KEN SARO-WIWA, sastrawan asal Nigeria, bertutur, ‘Sastra tak bisa disapih dari politik.’ Kata-kata itu mengalun sebelum ia dieksekusi oleh Pemerintah Nigeria, 10 Nopember 1995. Ia dilenyapkan karena tulisan-tulisannya begitu menakutkan bagi kekuasaan. A Month and a Day: A Detention Diary, sehimpunan karya yang diterbitkan setelah kematiannya, menyuratkan sikap politik sang penulis; tentang satire Nigeria yang karut marut; kisah seorang lelaki yang menapis mati daripada hidup di tengah masyarakat korup.
Wiji Thukul tak beda dengan Ken Saro-Wiwa. Telatah politiknya tak pernah oleng. Bukan penyair salon yang genit memoles kata-kata. Ia penyair petarung dalam arena politik: baik karya dan tindakannya. Seperti Ken Saro-Wiwa dan Garcia Lorca, Thukul mimpi buruk bagi kekuasaan tiran. Momok hiyong di siang hari. Kapak yang siap menebas demagog.
Thukul dihilangkan. Dan, tak pernah kembali sampai kini.
Ini cara lain mengingat Thukul yang belum pulang. Tanpa air mata.
Ada satu puisi Thukul yang jarang diperbincangkan. Selama ini orang lebih tertarik pada penggalan sajak Thukul yang telah klise, hanya satu kata: Lawan! Puisi yang asing ini judulnya: Reportase dari Puskesmas—yang dipinjam menjadi judul tulisan ini. Puisi tanpa heroisme. Bisa dibilang kocak tanpa lepas dari satir. Uniknya, tetap mengajak berpikir. Dan, jauh dari keriuhan akrobat kata-kata.
Entah pada hari apa. Mungkin tahun 1986. Thukul pergi ke Puskesmas di Semarang. Tubuhnya gatal-gatal. Dengan seratus lima puluh perak ia daftar di loket. Di Puskesmas orang berbaur. Ada bayi yang digendong. Orang batuk-batuk. Yang tak kebagian tempat duduk berdiri. Kursi memang cupet. Tak bisa menampung semua pantat yang ada di situ. Thukul menggambarkan situasi itu dengan teliti. Agar tak salah tafsir. Tanpa lebih. Tak kurang. Memang sebuah reportase.
Setelah tuntas menangkup situasi, Thukul kemudian berdialog dengan orang-orang di dekatnya. Dialog biasa-biasa saja. Tak ada agitasi. Seperti obrolan di gerobak warung nasi kucing. Simak dialognya:
‘sakit apa pak?’
aku bertanya kepada seorang bapak berkaos lorek
kurus bersandal jepit dan yang kemudian mengaku
sebagai penjual kaos celana rombeng
di pasar johor
‘batuk pilek puising sesek napas
wah! Campur jadi satu!
bayangkan tiga hari mengigil panas tak tidur
ceritanya kepadaku, mendengar cerita lelaki itu
Dialog melahirkan sahutan. Bebas-bebas saja. Tak perlu ada basa-basi. Seperti kentut yang menuntut lepas, tak perlu ditahan-tahan. Seorang ibu menyahut tanpa rem:
seorang ibu (40 th) menjerit gembira:
‘ya ampun rupanya bukan aku saja!’
Puskesmas memang keranjang penyakit orang-orang miskin. Sakit gigi, mencret, demam, mulas serta tetanus, berbaur jadi satu. Penyakit-penyakit itu minta diobati. Thukul ingin tahu semua itu. Maka ia membongkar isi keranjang sebiji demi sebiji. Itulah gaya Thukul menyerap kasus. Ia bertanya, bukan orasi. Survei. Tak mengira-ngira.
Thukul telaten memutar jalan untuk sampai pada hilir. Sembari menebarkan kata-kata, ia mengalir menuju ke jantung. Ibarat obat nyamuk bakar: pucuk luar yang pertama terbakar sembari pelan-pelan membakar ujung yang terdalam. Memang lama sampai obat nyamuk habis terbakar, tapi itulah yang dilakoni Thukul.
Setelah paham jeroan orang-orang di Puskesmas, Thukul mengurai problem yang sesungguhnya terjadi. Cerap berikut ini:
Puskesmas itu demokratis sekali, pikirku.
sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam,
tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama.
ya semua disuntik dengan obat yang sama.
Tak menghentak memang. Tapi memukul ulu hati. Tanpa jargon. Cara Thukul memang beda dengan politik kiri paling anyar, yang tak jauh beda dengan adegan film porno: yang penting heboh. Tujuannya hanya untuk memuaskan syahwat secara kilat. Tak ada lagi sikap tasamuh. Tak ada kata-kata selain: Pokok-e (Pokok-nya) anti Kapitalis. Pokok-e gulingkan. Pokok-e turunkan BBM. Pokok-e anti partai borjuis. Persis seperti film porno, yang ada kata: Oh yes! Oh no! Thukul menghindar dari itu.
Seperti mengelupas rebung—anak bambu—Thukul berangkat dari yang paling luar: orang berbaur, berpuluh-puluh bayi yang digendong, kursi yang tak cukup, orang batuk. Ada objek yang ia amati. Setelah itu ia mengupas kulit berikutnya: masuk lebih jauh; berbaur dengan orang kebanyakan. Thukul bercakap untuk tahu penyakit orang-orang yang berjubel di Puskesmas. Menangkap problem rakyat kebanyakan. Sekali lagi, Thukul berkelit dari adegan dalam film porno, yang tak butuh epitesme—wacana.
Mau apa lagi, kini wacana memang seperti berlian: barang mewah. Sebab, mengundang aksi cukup lewat twitter. Memberikan penjelasan lebih pas melalui BBM (Blackbery Messager). Tak salah karena Tuhan yang ditiru. Tuhan berhasil menciptakan wacana dengan satu kata: iqra—bacalah. Dan, gerakan progresif ingin membebek Tuhan lewat 140 huruf; tak boleh lebih dari itu. Tak perlu menebar selebaran, mengajak dialog, atau memberikan penjelasan lewat bacaan. Semua terpecahkan lewat seratus empat puluh karakter.
Baiklah.
Itulah cara Thukul; satu kupasan demi satu kupasan sampai ketemu inti persoalanya: negara dan kapitalisme seperti Puskemas—memberikan resep yang sama terhadap semua perkara yang dihadapi rakyat. Lewat cara yang halus, Thukul justru menghentak. Mengajak berpikir tentang jargon-jargon pembangunan selama Orba hingga sekarang. Tak peduli di Amerika Latin, Asia, Afrika: kapitalisme memberikan obat itu-itu juga.
Kini, reportase a la Thukul sudah dianggap kuno. Sekarang hanya perlu berselancar di dunia virtual. Semua permasalahan sudah terpampang di sana. Tak perlu repot-repot berdesak-desakkan seperti Thukul di Puskemas: panas, bau keringat, pesing, dan sumpek.
Entah ini tragedi atau komedi:
Kini cukup berlaku bak dongeng ‘Timun Emas,’ tak perlu lama-lama menunggu benih tumbuh menjadi pohon, hanya dengan menebar biji mentimun, maka seketika itu akan tumbuh hutan belantara.
Setelah Thukul pergi memang tak ada lagi reportase dari Puskesmas.
Lereng Merapi. 28.03.2012.