Mencicipi Selera Estetik ala Pierre Bourdieu

Print Friendly, PDF & Email

PEMIKIRAN Bourdieu tentang selera sebagai putusan estetis cukup menarik. Dikatakan menarik, karena jika selama ini soal putusan estetis hanya lazim berdenyut dalam wacana filsafat (semisal, Hume, Kant dan Hegel), namun kemudian Bourdieu menarik wacana ini dan menurunkannya ke ranah yang lebih konkret, dan dialami secara sosio-historis. Pemikiran Bourdieu tentang selera ini, pada dasarnya diarahkan untuk melakukan kritik terhadap pemikiran Kant tentang selera ‘murni’ keindahan yang bersifat apriori (tanpa kepentingan, tanpa konsep, tanpa tujuan dan niscaya). Bourdieu lebih melihat selera — sebagai putusan estetis – merupakan produk dari adanya perbedaan kelas ketimbang pengakuan atas standar kualitas.

Dalam pandangan Bourdieu, model putusan estetis ‘murni’ dari Kant merupakan cerminan dan produk kultur masyarakat barat (Eropa) yang dominant.[1] [1] Di samping itu putusan estetis murni dari Kant adalah putusan estetis yang berakar pada etika, lebih tepatnya etika elektif yang berjarak dan menutup mata dengan keniscayaan dunia alamiah dan sosial. Sementara keberjarakan dan sikap menutup mata merupakan suatu bentuk tindak pengabaian yang khas dilakukan oleh kelas borjuis.[2]

Menurut Bourdieu, selera estetis sesunggunya tidak semurni sebagaimana yang diandaikan Kant. Karena, selera adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial dalam ruang sejarah yang konkret. Apa yang pantas dibaca, dilihat, diapresiasi bukan merujuk pada rasionalitas selera (selera) murni, dalam arti tanpa kepentingan, kosong konsep, dan awa-tujuan, melainkan merupakan hasil tegangan dan perjuangan di dalam relasi seni dan strategi kekuasaan dalam rangka memonopoli apresiasi seni.[3]  Kalau Kant yakin bahwa sesuatu disebut indah sejauh muncul dari putusan ‘murni’ sebagai hasil dari pahaman rasional, menurut pandangan Bourdieu itu semua hanyalah ilusi. Tidak mungkin putusan estetis itu kosong konsep. Mengapa? Karena setiap putusan estetik senantiasa mengambil bentuk putusan hipotetik yang biasanya – secara implisit – berdasarkan pengakuan standar dari genre tertentu, atau setidaknya pada suatu model kesempurnaan yang sudah berada dalam ruang lingkup konsep tertentu.

Dan adalah mengada-ada pula jika kemudian disebutkan bahwa keindahan ‘murni’ adalah keindahan yang tanpa kepentingan dan tujuan. Bagi Bourdieu, selama suatu tindakan berlangsung dalam ranah sosial, putusan estetis, misalnya, sudah pasti mengusung kepentingan, sekalipun kepentingan itu sejauh pada kepentingan simbolik.[4]  Sebab, menurut Bourdieu, yang simbolik, dalam konteks ranah perjuangan kelas dan kekuasaan, sangatlah strategis karena ia memiliki kekuatan legitimasi untuk melakukan dominasi. Oleh karena itu, separasi dan pembedaan (distinction) simbolik – misalnya, selera seni — perlu dikonstruksi. Nah, dalam konteks ini bisa dilihat, ketika Kant mengatakan bahwa ada putusan estetis yang ‘murni’ dalam apresiasi, itu sebenarnya bisa disebut sebagi bentuk pen-distingsi-an (simbolik) dari putusan-putusan estetis yang ‘tidak murni,’  ‘tercemari,’ yang bisa berujung pada makna ‘kotor.’ Pendistingsian ini diperlukan dalam rangka menentukan posisi-posisi kelas dalam ranah sosial. Mereka yang mampu mengapresiasi keindahan melalui putusan estetis ‘murni’ memposisikan diri sebagai kelas yang berselera ‘tinggi.’ Sementara, apreasiasi ‘yang tidak murni,’  ‘tercemari’ diposisikan sebagai kelas yang berselera ‘rendah.’

Kelas Selera

Bourdieu menyebut kelas dengan selera ‘tinggi’ ini sebagai selera yang legitim (legitimate taste), sebagai selera aristokrat. Sementara yang berselera ‘rendah’ ini disebutnya sebagai selera jelata (popular taste). Digambarkan oleh Bourdieu,  selera legitim atau aristokrat ini adalah selera yang biasanya dikembangkan melalui mata ajaran tentang seni di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan. Dengan kata lain, kelompok ini memang secara formal – melalui pendidikan – sudah disosialisasikan mengenai konsep apa dan bagaimana itu seni. Bisa dikatakan, selera legitim ini merupakan selera yang telah dihabitualisasikan, yakni melalui konsep-konsep formal filosofis bahkan ilmiah. Yang dimaksudkan dengan konsep-konsep formal estetika, adalah konsep-konsep tentang seni, keindahan dari ragam pemikir atau filsuf estetika, misalnya. Pun dalam hal ini, termasuk konsep estetika ‘murni’ dari Kant – yang konon – tanpa konsep itu.

Sejatinya, selera legitim ini adalah persepsi ‘murni’ yang secara praktis menegasikan kondisi obyektif dan natural. Obyek natural atau situasi obyektif tidak lagi dilihat dan dipersepsikan secara natural obyektif, melainkan estetis. Suatu momen ketika obyek natural menjadi obyek seni (estetis) merupakan momen yang lebih mengutamakan forma (perspektif dan bentuk) daripada fungsi.[5]  Ambil contoh, sebuah kursi yang terbuat dari kayu jati. Orang yang berselera estetis akan membeli kursi tersebut berdasarkan bagaimana kursi itu dibentuk (ukiran, warna, aksesori, dsb.), sementara orang yang tidak memiliki selera estetis akan membelinya semata-mata berdasarkan aspek kenyamanan ketika duduk di kursi tersebut.

Adapun selera jelata ini biasanya berkembang ‘secara alamiah’ karena persentuhannya dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, selera ini merupakan kontinuitas antara seni dan kehidupan. Oleh sebab itu, pembacaan dan pemahaman berdasarkan selera orang kebanyakan ini selalu dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka. Jadi keindahan suatu seni, tidak dipandang sebagai yang menyublim pada seni itu sendiri — sebagaimana yang dimaksudkan Kant – melainkan sejauh ia terhubung dengan kehidupan yang dialami. Kata Bourdieu, selera jelata senantiasa lebih mengutamakan fungsi daripada perspektif atau bentuk (form).[6]

Dalam pertunjukan sebuah film, misalnya, selera jelata lebih menyukai plot yang logis, kronologis, runut yang berujung pada akhir yang bahagia (happy ending). Artinya, selera jelata ini lebih senang dengan suatu penceritaan situasi yang sederhana, mudah dipahami, dengan karakter tokoh yang bersahaja, daripada situasi yang ambigu, penuturan yang simbolik serta aksi-aksi tokoh yang enigmatik atau absurd. Dalam konteks Indonesia, selera jelata ini mungkin lebih terhubung dengan alur film ‘Ada Apa Dengan Cinta’ (AADC) yang dikonstruksi Riri Reza daripada ‘Opera Jawa’-nya (OJ) Garin Nugroho, misalnya. Itu karena, dari sudut pandang selera jelata ini, pesan yang disampaikan dalam ‘Ada Apa Dengan Cinta’ lebih mudah dicerna daripada ‘Opera Jawa’ yang pesan-pesannya disampaikan secara simbolis. Cerita dalam AADC lebih bisa dicicipi dengan selera jelata karena disampaikan lebih gambang, sehingga mereka akan dengan mudah menghubungkan cerita tersebut dengan realitas sehari-hari. Sementara, cerita OJ berada dalam sungkup ketat simbol-simbol.

Tak mudah bagi masyarakat biasa – bahkan orang Jawa sekalipun, yang umumnya berselera jelata – dimana pemahamannya hanya mengandalkan penangkapan persepsi atas kehidupan sehari-hari yang dialami secara gamblang – untuk memahami apa yang menarik dan estetis dari OJ. Tidak mengherankan jika kemudian film-film Garin kerap sepi penonton.[7]  Meski harus diakui film Garin sejatinya tidak benar-benar ‘kesepian,’ karena masih ada sekelompok orang yang menaruh apresiasi pada karyanya. Buktinya, kendati di dalam negeri filmya miskin penonton, ia banyak meraup penghargaan internasional. Dengan demikian, film-film Garin memiliki posisi tersendiri, berdistingsi dengan film lain dalam jagad sinema Indonesia. Film Garin hanya mungkin dipahami oleh mereka yang terdidik di bidang seni, intelektual, filsuf atau kritikus seni serta kelompok borjuis lainnya yang mampu melakukan distansiasi estetis. Karena merekalah kelompok orang – yang kata Bourdieu mengkalim diri berselera ‘murni,’ ‘tinggi’ dan legitim. Selera kebanyakan masyarakat Indonesia sepertinya – menyitir Bourdieu – tidak cukup legitim untuk mengapresiasi karya Garin.

Yang berlangsung dalam selera jelata terhadap suatu karya seni adalah suatu keterlibatan aktif dan kolektif. Sebuah selera yang menuntut adanya peleburan antara pengalaman hidup (sehari-hari) mereka dengan seni yang dinikmati. Cukup bisa dimengerti, misalnya, jika masyarakat jelata lebih memilih menonton tayub daripada pementasan teater, atau musik dangdut daripada seriosa. Dalam teater atau seriosa, sulit bagi masyarakat menemukan ruang keterlibatan bagi dirinya, terlalu lebar bentangan jarak antara dirinya dan kesenian itu. Namun, jika menonton tayub atau dangdut, mereka dapat terlibat di dalamnya, menari, berjoget, bergoyang, gembira bersama. Keterlibatan yang demikian adalah sebuah festival kolektif (collective festivity) yang menawarkan kenikmatan secara langsung, dan segera. Mereka terpuaskan cukup dengan ucapan yang sederhana, kelucuan yang membuatnya tertawa lepas, riang.

Inilah yang sesungguhnya disebut merayakan keindahan, sekaligus kehidupan. Sebuah perayaan keindahan yang menjungkirbalikan konvensi (formal) serta standar kepatutan (proprieties) yang selama ini dijadikan patokan bagi selera dan dalam kehidupan aristokrat, borjuis.***

Wildan Pramudya, Mahasiswa STF Drijarkara, Jakarta


[1] Richard Jenkins, Key Sociologist: Pierre Bourdieu, London (Routledge:1992), hal.129

[2] ‘The pure aesthetic is rooted in an ethics, or rather ethos of elective distance from necessities of natural and social world. ..or of an aestheticism which present the aesthetic disposition as universally valid principle and take the bourgeois denial of social world to its limits,’ periksa pengantar Pierre Bourdieu, dalam Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste, (trans.), USA (Routledge and Kegan Paul Ltd.: 1984), hal. 5

[3] Melanie Martini, Kaidah-Kaidah Seni dan Cinta Seni, Teori Produksi dan Penerimaan Hasil Budaya, (terj.), dalam Jurnal BASIS, No.11-12, Tahun ke-52, November-Desember 2003

[4] Istilah kepentingan (interest) yang dimaksudkan Bourdieu ini lebih menandakan arti terlibat dalam permainan atau hasrat ekonomi. Makna interest oleh Bourdieu disepadankan dengan illusio, investment dan libido. Namun menurut Bourdieu, istilah itu secara eksplisit dianggap terlalu vulgar. Oleh karenanya kepentingan semacam itu seringkali direpresi, terutama dalam suatu masyarakat, kelompok borjuis atau aristocrat, dan digantikan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat simbolis. Pemhaman saya atas makna kepentingan yang dimaksudkan Bourdieu ini saya elaborasi dari teks-teks berikut : ‘Having defended my usage of the notion, I will now attempt to show how it can be replaced by more rigorous notions, such as illusio, investment, or even libido. Ih his well-known book, Homo Ludens, Huizinga says that trough a flase etymology, one can make illusio, a Latin word derived from the root ludus, (game), mean the fact of being in the game, of being invested in the game, of taking game seriously. …Interest is to “ be there”, to participate, to admit that the game is worth playing. The notion of interest is opposed to that of disinteretedness, but also to that of indifference. One can be interested in the game ( in the sense of not indifferent), while at the same time being disinterestedness.’ Untuk selanjutnya, dengan mengutip Nobert Elias melalui bukunya The Court Society, Bourdieu mengilustrasikan demikian: ‘Nobert Elias cited the example of a duke who give a purse full of crowns to his son. When he question him six month later and the son boast of not having spent the money, the duke takes the purse and throws it out the window. He thus gives his son a lesson of disinterestedness, gratuitousness and nobility; but it is a lesson of investment, of the investment of symbolic capital, which suits an aristocratic universe. In fact there exist social universe in which the search for strictly economic profit can be discouraged by explicit norms and tacit injunctions.’ Mengenai teks tadi bisa dicermati dalam Pierre Bourdieu, khususnya bagian 4, ‘Is Disinterested Act Possible?,’ dalam buku Practical Reason, On The Theory of Action, Cambridge, (Polity:1998), hal. 75-86

[5] Pada bagian ini Bourdieu mengutip permisalan Panofsky: ‘If I write to a friend to invite him to dinner, my letter is primarily a communication. But the more I shift to the emphasis to the form of my script, the more nearly does it become a work of literature or poetry,’ dalam Bourdieu, ibid., hal.29. Atau baca juga E. Panofsky, Meaning In The Visual Art, New York (Doubleday Anchor Books:1955), hal.12

[6] ‘Everything takes place as if the “popular aesthetic” were based on affirmation of continuity between art and life, which imply the subordination of form to function,…’ periksa Bourdieu, ibid., hal.32. Pemikiran tentang selera jelata ini cukup bersinggungan dengan realisme Lucács yang melihat keindahan suatu karya seni mesti berdialektika dengan kehidupan sehari-hari. Menurut Lucács, suatu seni mesti membangun selera humanis, anthropomorfik; dalam arti setiap karya seni selayaknya menggugah dan memediasi keprihatinan, emosi dan perasaan manusia. ‘Art, by contrast, reflects an essentially human world; Art create a world of men; in art the world of men only appears as mediating element of human concerns, emotion and feelings.’ Selengkapnya baca Pauline Johnson, Marxist Aesthetic, The Foundation Within Everyday Life For Enlightened Consciousness, London (Routledge & Kegan Paul: 1984), hal. 40-1

[7] Ini terjadi pada karya Garin Nugroho, ‘Aku Ingin Menciummu Sekali Saja’ yang hanya disaksikan oleh 8000 penonton. Bandingkan, misalnya, dengan AADC yang sanggup menghipnotis 1,3 juta penonton. Selengkapnya simak esei kritis serta sinikal dari Totot Indrarto, ‘Film-Film Garin Nugroho: Mau Omong Apa Sampeyan, Mas Garin?’ Dalam Esei-Esei Bentara 2004, Jakarta (Penerbit Buku KOMPAS:2004), hal. 201-213

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.