PEMBERONTAK, menurut Albert Camus, yaitu orang yang berkata tidak dan ya sekaligus. Ia berkata tidak terhadap penindasan yang menderanya; berkata ya sejak pertama kali akan memberontak. Pram dan Arok merupakan tipe pemberontak yang dikatakan Camus.
Sebagai pemberontak, Pram menuliskan novel Arok Dedes. Entah mengapa, novel ini lebih dikenal sebagai novel sejarah. Ia lebih tepat disebut sebagai kitab seni memberontak. Tak berlebihan bila kitab ini disejajarkan dengan karya Machiavelli: The Art of War. Machiavelli membabarkan seni perang ala Eropa, Pram menampilkan gelar—formasi dan taktik perang ala Hindu—lengkap dengan baling-baling yang akan memutar pemberontakan; dengan gelar, feodalisme Hindu berhasil mengalahkan republik-republik desa di Jawa dan Sumatra.
Arok dalam versi Pram, tak lain taktikus pemberontakan yang luar biasa. Sebagai pemberontak, Arok terlebih dahulu mengritik kaum intelektual (brahmana). Menurutnya, para intelektual hanya mencaci maki kekuasaan, tak berbuat lebih dari itu. Dalam bahasa Arok: ‘Seluruh ilmu dan pengetahuan, milik paling berharga dari kaum brahmana yang tak dapat diragukan ini, dikerahkan hanya untuk memburuk-burukkan yang tidak disukai, tidak menjadi kekuatan yang mengungguli yang lain-lain.’ Bagi Arok, kaum intelektual yang berumah di atas angin mesti diturunkan ke bumi.
Arok tak berhenti. Ia melanjutkan: ‘Kekuatan tanpa Nandi, berkaki empat, bersentuhan langsung dengan bumi, tidak mungkin mengejawantahkan diri sebagai kekuatan di atas bumi. Dia tinggal kekuatan dalam angan-angan.’ Ada kata kunci: Nandi. Nandi, lembu tunggangan dewa Syiwa, mempunyai empat kaki yang menjejak ke bumi. Empat kaki Nandi—sebagai modal pemberontakan—yakni: teman, kesetiaan, uang dan senjata. Jika kekuatan intelektual digabungkan dengan empat kaki Nandi, pemberontakan tak akan hanya berhenti pada angan-angan. Arok mengembalikan triwangsa: intelektual dan rakyat tak perlu dipisahkan.
Empat kaki Nandi bukan jargon. Bukan pula kata-kata suci. Ia akan bermakna bila diciptakan. Tentu bukan seharmal (sehari semalam) untuk menciptakan.
Arok mendapatkan teman dari begal, penyamun, budak, petani miskin, biarawan-biarawati, dan kaum brahmana. Ia tahu betul kekuatan yang bisa diajak berlawan. Matanya tajam dalam melihat lapisan rakyat mana saja yang tertindas. Ketajaman ini tak mengherankan. Arok sering melakukan turba. Dari mereka ini Arok mendapatkan kesetian untuk menumbangkan Tunggul Ametung. Kesetiaan itu bukan tanpa alasan. Arok bisa memberikan jalan keluar. Dengan begitu, orang-orang yang tertindas tak setengah-setengah berjuang bersamanya. Sementara itu, uang ia peroleh dari merampok upeti-upeti di tengah jalan, dan merebut tambang emas milik kerajaan. Senjata didapatkannya dari pabrik senjata Empu Gandring.
Di luar istana Arok memperkuat kaki Nandi, sementara itu, ia sendiri masuk ke dalam istana. Langkah Arok ini tak sama dengan mantan-mantan aktivis yang masuk istana dan gedung parlemen; para aktivis—yang dibekenkan oleh kediktatoran Orba—masuk dalam lingkar kekuasaan hanya untuk mencari nafkah. Sementara Arok, walaupun di dalam istana, tetap bersandar pada empat kaki Nandi; dua taktik menurut Lenin.
Menjalankan seni pemberontakan, Arok membakar daerah pinggiran. Pemberontakan kecil-kecilan ia lakukan di luar Kutaraja. Para petani, budak, pencuri, dan rakyat jelata ia latih melawan.
Begitu kuat, Arok membunuh Empu Gandring. Ini mungkin dianggap langkah licik dan culas bagi kaum humanis. Tapi memang itulah yang harus dilakukan. Walaupun si empu telah bersumpah kepada Hyang Pancagina, Arok tahu: pembuat senjata hanya setia pada uang. Dan benar, Empu Gandring juga bermain mata dengan Kebo Ijo.
Setelah bertahun-tahun melemahkan istana Tunggal Ametung—mengadu para panglima, bersekutu dengan kekuatan yang seiring, menciptakan keresahan, mendorong Kebo Ijo untuk memberontak—dan memperkuat empat kaki Nandi, Arok memulai hari penggulingan.
Ada kata-kata Arok ketika memerintahkan simpul-simpul massa mengepung ibu kota: ‘jangan sampai menerbitkan takut pada penduduk dan siapa saja, berlaku tenang, sopan, penolong, dan pengajak.’ Ah, adakah gerakan seperti itu saat ini? Bukankah gerakan yang ada saat ini lebih suka mendongak dan menopang leher dengan kecongkakan? Dan, tak kenal tetangga?
Baiklah. Pram menggambarkan suasana menjelang jatuhnya Tumapel: Langit mendung tebal; hujan mulai turun; jalanan menggenang air—sebagai perlambang benih baru akan tumbuh dengan subur. Saat itulah kekuatan massa yang telah dipersiapkan Arok mulai masuk kota. Gelar dipakai untuk mengepung. Dari selatan massa dipimpin Lingsang, disusul Umang, dan terakhir barisan Tanca, merangsek memasuki batas kota. Dari arah barat massa dipimpin Mundrayana juga mulai bergerak. Dari arah utara Arih-Arih dan Santing memimpin ratusan petani. Di tenggara para biarawan-biarawati tetap berjaga-jaga. Jelas, ini bukan gerakan yang berjalan sendiri-sendiri. Ada pengorganisasian di sana. Ada struktur yang bekerja.
Dengan empat kaki Nandi, Arok tak membutuhkan pengorbanan lewat bakar diri, jahit mulut, mengancam meledakkan gas melon atau aksi-aksi masokis lainnya. Dan, kekuasaan Tunggul Ametung pun tumbang.
Setiap kesempatan Pram selalu mengatakan: negeri ini hanya bisa diubah dengan revolusi. Pram tak percaya jalan lain. Arok dijadikan arketipe pemuda yang bisa memimpin revolusi. Sosoknya berkebalikan dari para satria dalam kisah wayang—halus tangannya, lemah lembut tutur katanya, selalu tampil bersih dan tanpa cela.
Arok—sang Pembaharu—tak lain hanya rakyat jelata: muda, berani, cerdas, tangkas, dan ugal-ugalan.***
Lereng Merapi, 30.01.11