Dalam kehidupan politik, buruh memang tidak dominan, tapi bukan berarti mereka tidak punya kekuatan.
SAAT REZIM otoriter Orde Baru runtuh (1998), banyak orang menduga bahwa buruh yang terorganisir sedang berada pada posisi yang diuntungkan. Secara berturut-turut, pemerintahan pasca-Soeharto mengubah hukum perburuhan yang bertujuan untuk memperluas hak-hak buruh, mempermudah pembentukan serikat, serta memperbesar ruang kebebasan berbicara dan berkumpul. Pada saat yang bersamaan, proses demokratisasi dan reorganisasi institusi negara juga terus dilakukan dengan memperluas partisipasi buruh di dalamnya.
Sebagai contoh, posisi perwakilan serikat di dalam institusi tripartit mulai dari tingkat daerah sampai tingkat nasional tidak lagi hanya menjadi milik Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) –yang merupakan serikat ‘jinak’ bentukan Orde Baru, tapi serikat manapaun bisa bersaing untuk mengisi posisi penting dalam institusi tersebut. Bahkan, di beberapa daerah, serikat buruh menjadi bagian dari perangkat pemerintahan yang turut memastikan berjalannya kerja-kerja pengawasan hukum perburuhan. Demokratisasi sistem politik juga menjadi peluang bagi serikat untuk mendirikan partai buruh dan mempengaruhi jalannya pemilihan umum (pemilu) dengan memastikan terpilihnya politisi yang pro-buruh.
Namun sekarang ini, banyak pengamat yang setuju bahwa masyarakat pekerja, khususnya buruh yang terorganisir, gagal memanfaatkan ruang-ruang baru yang tersedia bagi partisipasi politik. Memang, banyak serikat baru yang terbentuk (totalnya ada 90 federasi baru di tingkat nasional, dibandingkan dengan hanya ada satu federasi sebelum 1998) dengan jumlah anggota yang meningkat hingga lebih dari 3,4 juta anggota (data Juli 2010). Tapi, rendahnya kapasitas serikat buruh secara umum, meningkatnya jumlah pengangguran serta semakin kronisnya surplus tenaga kerja, secara efektif telah melemahkan daya tawar serikat ketika berhadapan dengan kelompok bisnis dan negara. Lebih jauh lagi, walaupun jumlah serikat buruh dan anggotanya semakin bertambah, namun mereka cenderung terjebak dalam perselisihan internal di antara serikat buruh itu sendiri; bukannya bekerjasama dengan efektif atau melakukan kampanye bersama, setiap sektor sibuk berkonflik dan terpecah.
Buruh yang terorganisir juga masih kesulitan untuk memastikan keterwakilannya secara efektif di dalam institusi negara. Bahkan, di dalam institusi tripartit yang sudah berubah sekalipun, serikat masih saja harus berjuang untuk menghasilkan kontribusi yang bermakna bagi perbaikan kesejahteraan para pekerja. Konflik antar serikat yang duduk di dalam dewan tripartit telah melemahkan daya tawar mereka, dan karenanya tidak jarang mereka diperdaya oleh oknum-oknum pejabat negara dan pengusaha yang licik. Demikian pula buruh yang terorganisir memiliki pengaruh yang kecil dalam pemilu. Pada tiga kali pemilu sejak 1998, partai-partai politik yang memiliki hubungan dengan serikat buruh tidak pernah mendapatkan satu pun kursi di parlemen. Melihat semua kegagalan tersebut, kita sulit mendapatkan gambaran yang cerah mengenai politik gerakan buruh pasca Orde Baru.
Protes Jalanan
Tetapi apakah potret suram di atas merupakan gambaran utuh dari politik perburuhan di Indonesia dewasa ini? Coba tengok ke jalan, dan kita akan melihat massa buruh yang turun ke jalan melakukan longmarch, berdemonstrasi, melakukan mogok kerja, yang kesemuanya mereka sebut ‘aksi.’ Pasca reformasi (1998) memang penuh diwarnai aksi-aksi protes dari beragam kelompok masyarakat: mulai dari organisasi-organisasi non-pemerintah (Ornop) dan serikat-serikat buruh, komunitas Islam militan, hingga protes dari organisasi yang berbasiskan pada hobi atau minat tertentu.
Di kota-kota besar Indonesia, kita dapat menjumpai bukan hanya satu, melainkan beberapa kelompok masyarakat yang melakukan aksi di jalan pada hari yang sama. Dicabutnya larangan untuk protes secara publik dan berubahnya cara pandang masyarakat secara umum dalam melihat perbedaan pendapat, telah menjadikan ‘aksi’ sebagai satu metode untuk menentang otoritas, mengintimidasi kelompok lawan, atau untuk kepentingan kampanye semata. Kemudian, hal penting apa yang bisa kita petik dari gerakan aksi massa ini?
Kelompok buruh melihat protes di jalan ini sebagai satu strategi yang secara fundamental berbeda dengan cara yang lazim digunakan untuk berurusan dengan negara dan kelompok bisnis. Strategi initumbuh subur di tengah-tengah ketiadaan atau tidak berfungsinya lembaga-lembaga perwakilan resmi, seperti partai politik, parlemen, termasuk lembaga tripartit. Saat para buruh menilai lembaga-lembaga politik tidak responsif terhadap tuntutan mereka, mereka akan membuat saluran alternatif bagi partisipasi politik dengan menciptakan klaim publik dan aksi kolektif. ‘Politik jalanan’ memaksakan rekonfigurasi relasi kekuasaan yang tidak bisa didapatkan melalui jalan negosiasi ataupun kesepakatan-kesepatan yang dibuat di dalam institusi-institusi politik formal. Persis ketika demokrasi sedang dibangun di Indonesia, dimana mayoritas orang lebih terfokus pada pembentukan institusi dan prosedur-prosedurnya, kelompok buruh justru membangun sebuah tradisi perlawanan yang populer, melalui jalur konfrontasi, konflik, dan perselisihan.
Di kota dan kabupaten Tangerang – salahsatu kawasan industri terbesar di Indonesia – polisi mencatat selama kurun waktu 1999-2004, telah terjadi 2.759 aksi mogok kerja; di kota Medan tercatat ada 188 aksi mogok kerja pada 2005–2008. Aksi-aksi protes ini beragam bentuknya, mulai dari aksi duduk-duduk di dalam kompleks pabrik, melakukan longmarch di sepanjang jalan, sampai melakukan pendudukan gedung-gedung pemerintahan. Inovasi-inovasi metode aksi bermunculan seiring kerja keras kelompok buruh dalam menyampaikan pesan dan tuntutan mereka kepada otoritas terkait, sekaligus mengajak masyarakat berpartisipasi dalam cara pandang mereka.
Kadang-kadang, dalam aksinya, buruh juga mengadakan panggung pertunjukkan seni, dengan melakukan aksi teatrikal di tengah jalan; mereka bermain peran dengan berbagai karakter lengkap dengan berbagai dandanan dan penuh warna, atau dengan membawa patung-patung yang memuat simbol-simbol tertentu. Strategi lain yang semakin populer adalah aksi pendudukan gedung-gedung pemerintahan, yang bisa berlangsung selama berhari-hari bahkan sampai beberapa bulan. Sebagai contoh, buruh PT Baja Utama Wirasa menduduki ruang parkir gedung Parlemen Sumatera Utara selama 40 hari, sejak awal Desember 2003 hingga pertengahan Januari 2004.
Aksi di jalan dan khususnya pendudukan gedung pemerintahan dalam waktu yang lama, mensyaratkan koordinasi tingkat tinggi, militansi dan perencanaan logistik yang matang, dan tentu saja pendanaan yang tidak sedikit. Serikat buruh di Indonesia memang tidak dikenal sebagai organisasi yang displin dalam arti tradisional, dengan jumlah kas iuran anggota yang minim, dan administrasi harian yang lemah, namun mereka telah berhasil beradaptasi dengan tuntutan strategi mobilisasi massa yang kemudian membuat mereka terampil dalam mengorganisir pertemuan-pertemuan akbar. Di atas semuanya, serikat buruh telah menjadi kendaraan untuk melakukan protes publik.
Beberapa elemen dari gerakan serikat buruh bahkan telah mulai mencoba strategi kontroversial yang dikenal dengan istilah ‘sweeping.’ Dengan menggunakan kata aslinya dari bahasa Inggris, istilah ini mengacu pada tindakan mendatangi pabrik-pabrik dan mengancam pihak manajemen akan melakukan kekerasan jika melarang pekerjanya bergabung dalam aksi. Tidak semua serikat setuju dengan strategi ini karena seringkali justru menghasilkan gambaran buruk di media. Banyak serikat lebih suka diasosiasikan dengan ‘aksi damai.’
Signifikansi Aksi Massa
Kelompok buruh boleh dikatakan memang tidak memiliki kekuatan politik yang sama seperti yang dimiliki partai atau pengusaha dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan negara, tapi mereka memiliki banyak hal yang patut untuk terus diamati lebih dekat. Selama puluhan tahun identitas kolektif mereka tidak diakui, kini kelompok buruh menegaskan eksistensi mereka dengan berkumpul dalam jumlah besar, mengganggu lalu lintas dengan turun ke jalan, kemudian melakukan pendudukan atas gedung-gedung dan tempat-tempat penting. Aksi-aksi ini memaksa otoritas untuk melihat para buruh sebagai satu kelompok dan mengakui kekuatan kolektif yang mereka miliki. Para buruh juga berhasil membujuk publik secara umum untuk memperhatikan penderitaan-penderitaan yang selama ini mereka lalui. Strategi turun ke jalan ini mencerminkan kekuatan politik dari kelompok terpinggirkan di dalam masyarakat kita, yang menunjukkan bahwa mereka mampu memperjuangkan dan menentukan nasibnya sendiri.
Aksi-aksi mogok kerja dan protes kelompok buruh juga membantu mengembalikan peran jalanan sebagai ruang politik yang sah bagi kekuatan rakyat. Jalanan yang berciri revolusioner pada masa Soekarno, selama masa tatanan otoriter Soeharto telah berubah menjadi sebuah ruang yang penuh disiplin dan ketakutan. Kini aksi-aksi mogok dan protes buruh, bersama dengan aksi-aksi dari beragam kelompok masyarakat lainnya, telah mengembalikan jalanan sebagai ruang pertunjukan politik seperti di masa Soekarno.
Strategi turun ke jalan, juga telah membantu membongkar salah satu aliansi kelompok developmentalis paling besar yang terbentuk di masa lalu. Salah satu ciri Orde Baru adalah terjalinnya hubungan yang stabil antara elit politik dan bisnis untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan masyarakat kelas menengah yang apolitis. Pada masa pasca reformasi (1998), gelombang protes yang terus-menerus dan mobilisasi populer menentang otoritas ikut menciptakan suasana yang sulit dikendalikan. Otoritas kini akan selalu khawatir dengan pelbagai kemungkinan delegitimasi kekuasaan yang bisa terjadi kapan saja.
Gelombang protes yang berkelanjutan merongrong pemegang kekuasaan, membuat mereka saling menyalahkan satu sama lain dan memaksa mereka untuk akhirnya mengambil sikap dalam isu-isu populis. Satu contoh adalah proses penentuan upah minimum tahunan yang diselenggarakan lembaga tripartit. Peristiwa rutin ini seringkali berubah menjadi konflik antara aparat pemerintah lokal, yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan dukungan masyarakat – termasuk di kalangan buruh– dan kelompok bisnis yang berusaha mempertahankan upah murah.
Pada kasus tertentu, ketika daerah-daerah industri mendekati pemilu daerah (pilkada), para pemimpin petahan daerah tersebut (walikota/bupati) yang akan mengikuti pemilihan kembali, akan memberikan perhatian khusus dan merayu kelompok pekerja untuk mendapatkan dukungan suara sekaligus untuk menghindari tekanan. Tidak heran bila akhirnya pihak pengusaha banyak yang menyalahkan pemerintah daerah karena telah mengorbankan rasionalitas pasar dan berpaling kepada populisme dengan menyerah kepada tuntutan buruh. Contohnya, pada November 2007, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menggugat keputusan Walikota Tanggerang untuk menaikkan Upah Minimum Kota (UMK) sebelum masa pilkada ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jadi, walaupun organisasi formal perburuhan seperti serikat buruh itu lemah, para buruh masih bisa mengatur strategi untuk menuntut diperhatikannya kepentingan-kepentingan yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka.
Jalanan adalah tempat di mana kita bisa menemukan kekuatan politik kelas buruh. Di tengah semakin agresifnya liberalisasi ekonomi dan warisan disorganisasi buruh, jalanan menyediakan ruang bagi masyarakat pekerja di era pasca-otoritarianisme untuk kembali hadir dan meneriakkan tuntutannya. ***
Benny Hari Juliawan, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tulisan ini adalah terjemahan tulisan asli yang berjudul Locating the Power of Labour, yang sebelumnya telah dimuat di majalah Inside Indonesia, disajikan kembali disini untuk tujuan Pendidikan. Artikel berbahasa Inggrisnya dapat diunduh di: http://www.insideindonesia.org/feature/locating-the-power-of-labour-23012885