Mengenang Sondang Hutagalung
PADA 10 DESEMBER, seorang lelaki berumur 22 tahun bernama Sondang Hutagalung, meninggal dunia akibat 98 persen dari tubuhnya terbakar. Sulit membayangkan rasa sakit yang dideritanya sebelum maut datang menjemput. Yang tidak biasa, lelaki muda ini tidak kebakar dalam sebuah kecelakaan, tetapi membakar diri.
Dia tidak meninggalkan sebuah surat yang menjelaskan niatnya tentang aksi bakar diri yang penuh penderitaan ini. Mungkin Sondang mau menunjukkan rasa cemasnya yang dalam bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih menderita kemiskinan. Sondang aktif di organisasi mahasiswa Himpunan Advokasi-Study Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hammurabi). Dia juga memimpin Komunitas Sahabat Munir. Dia membakar diri di depan Istana Kepresidenan, mungkin ingin mengatakan bahwa presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala pemerintahan, telah ‘gagal mensejahterakan rakyat.’ Mungkin juga dia terinspirasi oleh kasus seorang pedagang kaki lima Tunisia (Marhaen Tunisia), yang melakukan hal yang sama yang kemudian memicu pemberontakan oposisi di negeri tersebut, sehingga Presidennya jatuh.
Bisa saja terjadi – dan memang sudah terjadi – debat atau diskusi tentang benar atau salahnya tindakan Sondang ini. Tetapi mengingat rekor kegiatan Sondang, minimal kita harus menghormati dia dan mengenangnya sebagai orang yang sanggup mengorbankan nyawanya dan menderitakan kesakitan fisik yang luar biasa dalam harapan bahwa ini akan berguna buat rakyat Indonesia.
Karena itu aku salut pada saudara Sondang, mahasiswa Universitas Bung Karno, yang pernah bergerak buat kaum marhaen dan korban pelanggaran HAM. Saya juga membaca bahwa dia pernah terlibat aktivitas solidaritas dengan rakyat Papua korban kekerasan. Sekali lagi salut!
Dinamika Menghadapi Kegagalan Mensejahterahkan Rakyat
Di Maroko, Tunisia, kasus orang membakar diri memicu sebuah pemberontakan oposisi yang massif. Di Indonesia belum jelas sepenuhnya bagaimana nanti dampak dari tindakan Sondang. Teman-teman mahasiswanya dari UBK sudah mengaraknya ramai-ramai ke kuburan. Ada versi bahwa lagu ‘DARAH JUANG’ telah didedikasikan ke Sondang. Universitas mengangkatnya dengan pemberian gelar kehormatan. Mahasiswa-mahasiwa menyatakan tekad untuk meneruskan perjuangannya melawan pimpinan hedonis. Simpati sangat meluas, meski juga ada yang mempertanyakan tindakannya sebagai perbuatan politik. Kita belum tahu sepenuhnya bagaimana warisan perbuatan dia ke depan.
Dalam perbandingan Indonesia dengan Tunisia (atau Mesir) bisa kita catat suatu hal yang berbeda yang akan mempengaruhi situasi. Di Maroko, pada saat Mohammed Bouazizi membakar diri, masyarakat Tunisia sedang di bawah cengkeraman seorang diktator. Mahasiswa dan rakyat Indonesia sudah memaksa diktator Indonesia selama 33 tahun – Suharto – turun pada tahun 1998, 14 tahun yang lalu. Situasi kondisi politik bukan sebuah kondisi yang tegang, menunggu sesuatu yang akan memicu kemarahan anti-kediktatoran meledak. Solusi pada kedikatatoran gampang dirumuskan dengan tepat (meski belum tentu gampang menerapkan rumusannya). Kediktatoran bisa dihilangkan dengan turunkan diktator. Tunisia (dan Mesir) sudah lama menunggu pemicu penurunan diktator mereka. Di Indonesia, dari tahun 1989 sampai 1996, proses membangun gerakan anti-diktatoran tanpa pemicu dramatis, berkat jerih-payah aktivis-aktivis yang membangun organisasi, termasuk yang selalu di depan, aktivis-aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), periode 1994-1999.
Bom kemarahan kalau sudah meledak, asal diarahkan, bisa jatuhkan diktator. Tetapi seperti yang sedang dialami di Tunisia dan Mesir, dan juga sudah dialami Indonesia selama 14 tahun, jatuhnya kediktatoran membuka ruang gerak yang lebih luas. Kita kemudian dihadapkan dengan masalah bagaimana mengisi ruang tersebut dengan sebuah gerakan yang akan memperjuangkan perubahan yang lebih jauh lagi. Pemicu-pemicu yang ditunggu ialah pemicu yang membangunkan rakyat agar mau berorganisasi secara massal dan massif, memperjuangkan kemajuan negerinya, karena elit tak bisa diharapkan sama sekali. (Ini masalah yang dihadapi seluruh negeri saat ini). Dan yang bisa mensejahterakan rakyat bukan seorang Presiden tetapi gerakan rakyat sendiri.
Rakyat memang tidak mengharapkan elit, kemudian .. ?
Sering sekali saya lihat di berbagai aksi mahasiswa maupun serikat buruh, serangan kritik terangkum pada slogan bahwa pemerintah Presiden Yughoyono gagal mensejahterakan rakyat. Slogan ‘Megawati-Hamzah Haz gagal,’ ‘Yudhoyono-Kalla gagal’ dan sekarang ‘Yudhoyono-Beodiono gagal’ muncul berulang-ulang sejak Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Di pinggir jalan dan di perbincangaan rakyat, pasti mayoritas sudah setuju kesimpulan tersebut. Rakyat sepakat. Tetapi bentuk pemikiran ‘Yudhoyono-Beodiono gagal,’ meskipun sebagai kenyataan adalah benar, sekaligus juga tersesat. Perumusan masalah dalam bentuk si A dan si B gagal sebagai Presiden dengan sendirinya mengandung anggapan bahwa si C dan si D yang akan berhasil. Secara tidak langsung, pendekatan ini masih mengandung unsur ‘ratu adil’isme.
Presiden Yudhoyono memang sudah pasti gagal mensejahteraan rakyat sejak sebelumnya. Begitu juga semua orang-orang yang lagi dibicarakan sebagai calon presiden tahun 2014. Ada beberapa sebab. Pertama, Yudhoyono dan calon-calon lainnya, semuanya merupakan perwakilan dari kelas menengah atas Indonesia yang mengukur keberhasilan ekonomi dengan ukuran pertumbuhan kelas menengah dan kelas menegah atas. Itu saja yang harus dicapai. Kelas menengah makmur Indonesia mungkin kurang-lebih 10 persen dari penduduk Indonesia atau 20an jutaan orang. Yang 200 juta orang lain memang tidak dianggap, asal jangan rusuh atau melawan. Jadi memang tidak ada minat mensejahteraan rakyat, sejak awal. Kadang-kadang pemerintah kelihatan bengong menghadapi masalah-masalah sosial dan ekonomi rakyat: jangan-jangan tidak bengong, hanya tidak tertarik saja.
Kedua, kemiskinan rakyat dan keterbelakangan ekonomi Indonesia tidak disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia, termasuk yang ‘neo-liberal’ pun atau yang diresep-resepkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Kebijakan-kebijakan mereka memang kebanyakan tidak pantas disetujui, tetapi bukan sebagai penyebab atau asal-usul masalah, tetapi sebagai hal yang memperparah situasi. Kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi Indonesia, dan terbelakangannya infrastruktur sosio-budaya, berasal dari warisan kolonialisme Hindia Belanda yang meletakkan Indonesia sebagai ekonomi neo-kolonial yang tak berindustrialisasi. Kemudian ekonomi Indonesia selama Orde Baru ditumbuhkan lagi pakai pola yang sama, bukan sebagai hasil pemaksaan kubu imperialis tetapi atas undangan sukarela kekuasaan pemenang pertaruhan arah pembangunan Indonesia yang berlangsung 1945-65. Indonesia 2011 adalah hasil 33 tahun pola ini, sehingga elit politik-ekonominya tak mungkin akan berminat mensejahterakan rakyat.
Dua lapis ‘Ketidak-ada-harapan’
Sudah 46 tahun berlalu sejak Orde Baru berdiri. Elit kekuasaan Indonesia sudah terbentuk mapan. Apakah ada harapan elit tersebut akan melahirkan sebuah sayap yang dinamis, bergairah, cinta rakyat, cinta kebenaran, cinta ilmu? Periksa saja partai-partainya mereka dan mengambil kesimpulan sendiri. Kalau kerangka pikiran kita ialah Yudhoyono tak mampu, dengan fokus pada perorangannya dan kebutuhan akan seorang presiden yang lain lagi, sudah pasti akan muncul perasaan: tak ada harapan, harus ada tindakan yang sedrastis-drastisnya.
Ada juga sebuah ‘ketidak-ada-harapan’ lain yang ikut mewarnai suasana. Pada tahun 40an, 50an, 60an, 70an bahkan 80an, baik di Indonesia maupun secara internasional, ada suatu kata, suatu diskursus, suatu visi yang memberi harapan pada semua orang: ‘Development,’ ‘Pembangunan.’ Pada dekade-dekade itu, seluruh dunia yakin bahwa negeri negeri ‘sedang berkembang’ akan berkembang, bahwa ‘development’ akan terjadi, bahwa negeri-negeri itu akan mencapai ‘take-off.’ Yang pesimis dan sabar menganggap proses ini akan berjalan lambat melalui ‘trickle down effect’ selama beberapa generasi. Yang optimis mengira ‘take-off’ akan pesat dan heboh. Kaum sosialis yakin gerakan-gerakan pembebasan nasional akan berkembang menjadi revolusi sosialis sehingga akan ada pembangunan sosialis. Di Indonesia sendiri, selama periode Orde Baru sampai 1997, ‘pembangunan’ menjadi hampir sebuah agama, dan sebuah agama yang formal menjanjikan akselerasi pembangunan 25 tahun.
Pada abad 21 ini, di sebagian besar negeri sedang (tidak) berkembang di dunia, mimpi tentang pembangunan tinggal menjadi mimpinya kelas menengah atas saja. Hanya sedikit negeri, seperti Venezuela, misalnya, yang masih memperjuangkan pembangunan buat rakyatnya – atau lebih tepat, rakyat Venezuela sendiri sedang memperjuangkannya. Di banyak negeri-negeri dengan mimpi development menghilang, rasa tak ada harapan semakin kental terasa. Tindakan-tindakan drastis, semakin sering terjadi.
Di Indonesia, rasa tak ada harapan yang melahirkan tindakan drastis juga yang mengakibatkan beberapa kali orang yang memimpikan dunia yang lain dan lebih baik melakukan bunuh diri. Berbeda dengan Sondang, orang-orang ini sekaligus membunuh orang lain pula, dengan aksi bom bunuh diri. Tindakan drastis bom bunuh diri dan membunuh nyawa lain ini bukan hanya sakit irrasionil tetapi juga kriminil. Sondang tidak berniat ambil nyawa orang lain, tetapi mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Membangun harapan
Membangun harapan butuh lebih daripada semacam pengambilan sikap bertekad berjuang. Membangun harapan mebutuhkan pengertian bahwa memang adalah mungkin untuk mencapai kemajuan-kemajuan. Selama gerakan fokus pada menyatakan kekecewaan dengan pimpinan negara yang ada dengan slogan si A dan si B gagal, dengan pesan di dalamnya bahwa si C atau si D, yang bisa selesaikan masalah, tidak akan terbangunkan harapan. Konsekwensi logis dari kesimpulan bahwa elit politik ekonomi negeri tak mampu memimpin atau melakukan pembangunan ialah bahwa hanya yang non-elit yang akan bisa melakukannya. Yang ‘non-elit’ (marhaen, rakyat miskin, 99% dll) tidak bisa hanya sebagai penerima kesejahteraan tetapi sebagai pelaku, merebutnya, merencanakannya, dan melakukannya.
Dari kesadaran itulah akan datang permulaan dari analisa syarat-syarat yang dibutuhkan untuk yang non-elit bangkit berorganisasi. Dan dari sana akan datanglah harapan.
Contoh Sondang mengingatkan kita betapa dalam seorang manusia merasa peduli tentang rakyatnya. Perasaan dalam tersebut harus digendongkan dengan pengertian dan perencanaan untuk bangkit bersama-sama, supaya tidak perlu lagi dan tidak akan ada lagi orang yang merasa perlu ambil tindakan drastis mengorbankan diri, menderita kesakitan dan kehilangan nyawa demi berusaha memicukan sesuatu yang dia tunggu-tunggu tapi tidak datang. Kekuasaan selalu siap makan korban dari kaum pejuang, karenanya tak perlu kita menambahnya dengan nyawa pejuang yang mengorbankan dirinya sendiri. Hanya bangkit dan berorganisasi bersama-sama -dengan membuang semua harapan pada elit siapapun- memperjuangkan keadilan dan pembangunan akan membangun harapan yang melahirkan tindakan-tindakan berdaya cipta.
Selamat jalan Sondang.***
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di maxlaneonline.com
Max Lane, Mengajar di University of Melbourne, Australia