In memoriam Umar Said (26 Oktober 1926-8 Oktober 2011)
Perjumpaan di Paris
PARIS, sekitar bulan Februari 1996. Serikat buruh guru dan mahasiswa baru saja mengadakan pemogokan besar-besaran di sentero Prancis. Saya masuk ke Paris dengan kereta setelah mengikuti acara konferensi tentang Timor Leste di Lisbon, Portugal. Seorang guru dari Portugis, yang mendirikan organisasi solidaritas untuk Timor Leste, menjemput di stasiun. Saya dibawa ke apartemen sang guru yang sederhana di tengah kota, merangkap sebagai rumah tinggal dan kantor solidaritas . Setelah makam malam, saya diajak putra sang guru yang kuliah arsitektur menikmati kota Paris dengan mobil. Bagaikan mimpi, saya seperti memasuki dunia antah berantah yang penuh dengan kilauan cahaya warna warni.
Keesokan harinya sang guru dari Paris itu memastikan bahwa dia sudah mengontak Umar Said dan bersedia mengantar ke Restoran Indonesia. Sejak berangkat dari Jakarta, saya memang sudah membulatkan tekad harus mampir di restoran Indonesia bila mampir di Paris. Nama restoran dan orang-orang yang mengelolanya seperti sebuah legenda bagi saya, seorang aktivis muda. Restoran ini adalah sebuah koperasi yang dikelola secara kolektif oleh para eksil (pelarian politik) dari Indonesia. Salah seorang yang menjadi pengelolanya adalah Ibarruri Aidit, anak sulung dari Dipa Nusantara Aidit, pimpinan PKI yang dibunuh tentara Orde Baru pasca Gestok 1965. Bung Umar Said menyambut dengan hangat di depan restoran. Saya lalu diajak berkeliling restoran dan dikenalkan dengan para pengelolanya. Beliau bahkan mengajak saya ke dapur, melihat-lihat proses mengolah masakan dari restoran. Kami lalu duduk. Saya mendengarkan cerita dia tentang sejarah restoran, pengelolaan melalui koperasi dan berbagai masakan yang disajikan. Saya sangat tekesan dengan kehangatan dari beliau atas seorang anak muda yang mungkin baru kali itu dia kenal.
Lalu sampailah kesalah satu peristiwa paling penting di restoran itu, mengisi dan berkomentar di buku tamu. Bung Umar Said mengambil buku tamu dan menunjukan daftar tamu yang pernah berkunjung selama beberapa tahun terakhir sejak restoran berdiri. Saya diperlihatkan berbagai komentar dari para tamu yang beberapa di antaranya adalah tokoh-tokoh penting. Lalu ia berhenti pada sebuah nama, Danielle Mitterrand, istri PM Perancis Francois Mitterrand dari partai sosialis, yang dikenal dengan keramahan dan dukungannya pada berbagai gerakan revolusioner di berbagai belahan dunia. Danielle Mitterrand mendirikan sebuah yayasan “French Liberties” yang bergerak dalam bidang solidaritas kemanusiaan dengan banyak negeri. Kabarnya, Ia bahkan memberikan solidaritas kemanusiaan pada Kuba yang saat itu di blokade oleh Amerika Serikat. Saya beruntung sempat mengunjungi lembaga ini yang sekretariatnya menghadap menara Eifel di Paris. Menurut Umar Said, istri perdana mentri Prancis tersebut adalah salah seorang yang memberikan dukungan pada kegiatan para eksil di Prancis.
Sore harinya, kami bertemu kembali di kantor Amnesty International Paris. Kebetulan, perjalanan saya di Eropa waktu itu memang di support oleh Amnesty International yang bermarkas di London. Bung Umar Said membantu menjadi penerjemah dalam pembicaraan dengan pihak Amnesty.
Kesan saya ketika bertemu bung Umar Said adalah dia kelihatan gesit dan tampak sangat bersemangat untuk orang yang sudah berumur. Setelah meninggalkan Paris, saya berkomunikasi dengan Bung Umar Said via email. Tapi kehangatan dan keramahannya tak pernah hilang dari memori saya.
Sepintas tentang Umar Said
Umar Said dilahirkan di Pakis, Malang, Jawa Timur. Anak dari Hardjowinoto ini seorang pengaggum Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pendiri organisasi massa Sarekat Islam di jaman pendudukan kolonial Belanda. Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, Umar Said terlibat dalam perjuangan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang dipimpin oleh Soemarsono.
Umar Said memulai karir jurnalistiknya saat bekerja sebagai seorang korektor di surat kabar milik Mohtar Lubis, Indonesia Raya. Pada tahun 1953, Umar Said menjadi delegasi Indonesia, merangkap penerjemah di Konferensi Internasional Hak-Hak Pemuda di Wina, Austria. Sekembalinya ke Indonesia, Umar Said bekerja di surat kabar Partai Komunis Indonesia, Harian Rakyat. Pada tahun 1960-an, Umar Said mulai memimpin koran Ekonomi Nasional. Pada tahun 1963, bersama dengan almarhum Joesoef Isak, ia termasuk salah satu penggagas Persatuan Wartawan Asia-Afrika.
Umar Said sedang berada di Aljazair dalam rangka persiapan kongres Wartawan Asia-Afrika ke-2, ketika peristiwa Gestok 1965 meletus. Akibatnya ia tidak bisa pulang ke Indonesia dan bersama ribuan orang lainnya menjadi kaum eksil di negara lain selama puluhan tahun. Sejak tahun 1974, ia bermukim di Paris, Prancis. Bersama kawan-kawan eksil lainnya, ia mendirikan Restoran Indonesia. Restoran ini telah menjadi duta budaya dan kemanusiaan bagi Indonesia, bahkan lebih maju dari orang-orang kedutaan yang digaji negara disana.
Meskipun jauh di negeri orang dan beranjak sepuh (83 tahun), Umar Said tak pernah menghentikan pemikirannya tentang nasib rakyat dan masa depan bangsa Indonesia. Ia tetap rajin menulis seperti layaknya jurnalis dan disebar melalui berbagai milis. Pemikirannya dapat diakses melalui website pribadinya http://umarsaid.free.fr/. Situs tersebut terakhir memuat tulisan di Paris pada 7 September 2011 berjudul ‘Bahan Renungan Sekitar G30S, Bung Karno, Suharto dan PKI.’
Teman Diskusi
Bung Umar Said adalah salah seorang penulis dengan gaya jurnalis yang enak dibaca. Tulisan-tulisannya menunjukkan bahwa meskipun di Paris, ia tetap mengikuti perkembangan di tanah air secara kritis.
Saya sempat membahas beberapa tulisan almarhum di internet dan mengirim ke email bung Umar Said. Salah satu tulisan dari Bung Umar Said yang sempat saya komentari adalah tulisannya ‘Apa Arti Golkar Bagi Bangsa.’ Menurut beliau Golkar adalah satu dan senyawa dengan rezim militer Orde Baru, yang telah melakukan pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi yang merajalela di Indonesia dengan berkolaborasi dengan pejabat-pejabat tinggi militer. ‘Karenanya, sebenarnya dan seharusnya, menolak Orde Baru berarti juga menolak Golkar.’ Selanjutnya juga dikatakan, ‘simpatisan-simpatisan Orde Baru dan simpatisan Suharto tidak hanya terdapat dalam Golkar saja. Mereka ini juga terdapat di partai-partai lain, dan menduduki pos-pos penting dalam lembaga eksekutif, legislatif, judikatif, dan kehidupan masyarakat. Mereka inilah, yang dewasa ini, berusaha menjalankan neo-Orde Baru.’
Saya sangat sepakat dengan pendapat bung Umar Said, bahwa simpatisan Orba ‘juga terdapat di partai-partai lain.’ Tulisan bung Umar Said ini sudah menjadi kenyataan sekarang. Partai-partai yang ada telah menjadi Neo Orde Baru yang ‘membajak demokrasi,’ korup dan tak berpihak kepada kepentingan rakyat kecil. Saya menjawab tulisan tersebut dengan mengirim email kepada beliau. Saya tegaskan pada beliau bahwa sekarang ini, mental, sikap dan cara-cara berpolitik ala Partai Golkar, tidak hanya monopoli dari Partai Golkar, tapi telah bermutasi ke dalam partai-partai lainnya. Jadi sebetulnya, Partai Golkar paling banyak pengikutnya, sebab PDIP, PKB, PPP dan PAN sudah mirip dengan mereka dalam hal prilaku dan tingkah laku politiknya. Partai-partai tersebut ‘sebetulnya sudah menjadi Golkar, tanpa perlu pakai bendera kuning berpohon beringin…Partai-partai itukan cuma namanya yang beda-beda, tapi prilaku politiknya sama dengan Partai Golkar; korup, anti rakyat, pro TNI, pro operasi militer di Aceh, pro pasar bebas, dan pro lain-lainnya yang menjadi musuh rakyat.’
Salah satu tulisan beliau yang juga mengelitik saya adalah yang berjudul ‘Marilah Kita Rehabilitasi Nama Bung Karno.’ Pada prinsipnya saya sepakat bahwa nama Bung Karno sebagai proklamator harus di rehabilitasi, karena stigmanisasi yang diberikan kepada proklamator ini adalah rekayasa politik Orde Baru dan sarat kepentingan perang dingin. Keduanya sudah tumbang, jadi tak perlu ragu untuk membongkarnya. Tapi menurut Umar Said, ‘rehabilitasi Bung Karno bukan satu-satunya obat mujarab untuk mengatasi segala kesulitan, tetapi menghilangkan satu sumber penyakit perpecahan bangsa yang sudah membikin penderitaan selama berpuluh-puluh tahun.’ Benar sekali. Rehabilitasi atas bung Karno adalah pintu pembuka untuk memberikan rehabilitasi bagi ‘para korban tragedi kemanusiaan 65-66 yang jumlahnya jutaan, dimana sebagaian besar adalah pendukung Bung Karno.
Namun saya melihat harapan bung Umar Said kepada Presiden Megawati untuk melakukan rehabilitasi atas Bung karno tidak menjadi kenyataan. Dengan kekuasaannya sebagai presiden, Megawati tidak memanfaatkan momentum itu untuk merehabilitasi Bung Karno, yang notabene adalah ayahnya sendiri. Sang presiden sepertinya sudah terjebak pada pragmatisme politik kekuasaan dan disandera oleh kepentingan para pimpinan partai lainnya yang oportunis.
Saya menganggap Megawati hanyalah anak biologis Soekarno, tapi itu tidak otomatis menjadikan Megawati juga sebagai ‘anak ideologis’ Soekarno. Sebab ideologi bukanlah sesuatu yang genetis, seperti gelar bangsawan feodal atau harta keluarga yang bisa diwariskan, tapi sesuatu yang secara sadar ‘dipelajari teori’nya dan ‘dipraktekkan’ untuk menguji kebenarannya. Dari kebijakan-kebijakan yang ia lakukan selama menjadi presiden, Megawati tidak nampak sama sekali sebagai seorang Soekarnois. Selain itu juga ‘sangat tidak mungkin rehabilitasi atas bung Karno akan digunakan oleh Megawati dan konco-konconya untuk mengambil demarkasi dengan Orde baru, sebab Megawati dan para pimpinan PDIP sebetulnya sudah semakin mirip dengan Orde baru dalam praktek politiknya.’
Perjumpaan di Jakarta
Sekitar bulan Agustus 1999, ibu saya memberi kabar, ‘kemarin ada telpon dari orang bernama Umar Said, katanya teman kamu dari Paris. Ini dia meninggalkan nomer telpon untuk dihubungi.’
Saya menghubungi nomer telpon tersebut. Ternyata betul, orang tersebut adalah Umar Said dari Restoran Indonesia di Paris. Umar Said sedang melakukan kunjungan ke Jakarta. Dia menginap dirumah saudaranya di daerah Pengadegan Barat di Kalibata-Jakarta Selatan. Umar Said mecoba menghubungi saya, bukan saja karena ingin bertemu, tapi juga karena ada titipan untuk saya.
‘Bung Wilson ini ada titipan perlengkapan bayi dari ibu Carmel Budiarjo dari Tapol di London untuk bayi bung yang katanya baru lahir . Ini amanat jadi harus saya sampaikan,’ ujar Umar Said.
Saat itu memang saya baru saja mendapat berkah dengan kelahiran bayi perempuan yang bernama Bunga. Ketika Bunga lahir, bu Carmel sedang berkunjung ke Jakarta. Saya berjanji akan menemui bu Carmel di sekretariat PRD. Namun tepat tanggal 11 Juli, di hari pertemuan saya dengan bu Carmel di sekretariat PRD, bayi saya lahir sehingga pertemuan itu pun batal.
Saya terkejut dan terharu mendengar titipan dari Ibu Carmel, yang di bawa oleh Bung Umar Said. Tapi saya lebih kagum lagi dengan orang yang membawa hadiah itu jauh-jauh dari Eropa. Saya kagum sebab Umar Said telah membawa titipan yang mungkin telah sedikit membebani perjalannya dan membuat sedikit repot.
Malam harinya, bersama Hendri Kuok dan beberapa pengurus PRD, saya menemui Umar Said di rumah saudaranya di Pengadegan Barat. ‘Kita jangan bicara disini, kalau tidak keberatan mari saya traktir makan malam di restoran,’ ujar Umar Said.
Dengan menumpang taxi kita menuju restoran ‘Sate Pancoran’ di sekitar tugu Pancoran. Kami memesan sate kambing dan sate ayam. Menu yang bagi kami sangat mewah saat itu. Sebab bertemu daging adalah sesuatu yang jarang dalam menu makan kami sehari-hari. Setelah memakan puluhan tusuk sate dan kekenyangan, kamipun mulai berdiskusi tentang kondisi politik nasional dan apa yang sedang dilakukan PRD saat itu. Tiba-tiba Umar Said merasa seperti ada yang kurang di atas meja.
‘Kita sampai lupa pesan Bir. Kita pesan bir ya sambil ngobrol,’ ujarnya. Kami pun langsung mengiyakan. Bir adalah minuman yang cocok setelah makan sate puluhan tusuk dan membuat diskusi politik semakin seru. Lalu berbotol-botol bir terhidang dimeja. Kami mulai berdiskusi sambil menghabiskan bergelas-gelas bir. Sekitar jam 11 malam, saya dan kawan-kawan PRD sudah mulai agak mabuk. Kepala mulai kunang-kuang dan mulut berat untuk bicara. Sementara bung Umar Said dengan santai terus minum bir dengan kondisi yang masih normal, tidak tampak dia agak mabuk seperti kami. Akhirnya, kami minta ijin kepada Bung Umar Said untuk pulang ke sekretariat karena sudah tidak bisa lagi berkosentrasi. ‘Kalian masih bisa pulangkan,’ ujar bung Umar Said yang masih tampak segar. Kami lalu diantarnya untuk menghentikan taxi di depan restoran dan pulang ke sekretariat di Tebet.
Makan malam di restoran ‘Sate Pancoran’ adalah pertemuan terakhir saya secara fisik dengan Umar Said. Setelah itu kami tak pernah bertemu lagi. Meskipun begitu, tulisan-tulisanya tetap saya nikmati di internet. Beberapa tahun lalu saya sedih mendengar kabar Umar Said sakit terkena stroke. Akibat serangan itu, Umar Said telihat agak mengurangi frekuensi menulis. Tapi, tulisan-tulisan yang ia tulis masih muncul sesekali. Ini membuktikan bahwa sakit sekalipun, Umar Said tetap mengikuti perkembangan politik di negerinya. Sampai hari ini saya tetap bisa menikmati tulisan-tulisan Umar Said yang kerap muncul di intenet.
Sabtu, 8 Oktober 2011, saya mendapat pesan pendek bahwa Umar Said telah wafat dengan tenang di Paris. Saya kaget dan sangat berduka. Orang-orang seperti Umar Said, dengan pikiran yang terbuka dan selalu mengikuti perkembangan jaman tak pernah menjadi tua. Sekarang, saya akan kehilangan orangtua yang saya anggap sebagai teladan dan tak pernah menyerah untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan bagi negerinya melalui gagasan-gagasan jernih dan tulisan-tulisan kritis di internet.
Selamat jalan Bung Umar Said. Kami, akan terus mengingatmu sebagai sahabat, guru, dan tauladan yang tak pernah padam bagi sebuah perjuangan.***
Citayem, 10 Oktober 2011.
Wilson Obrigados, sejarawan