Tanggapan Untuk Goenawan Mohamad (GM)
TULISAN panjang GM, Emansipasi: Ngelmu Kuwi, menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Tanggapan saya ini, khusus menyoroti pemaparan GM tentang aliran Post-Marxis, dengan begitu saya tak masuk pada pemikiran tokoh lain macam Michael Hardt dan Antonio Negri. Saya juga secara sengaja menghindari diskusi soal metodologi pembacaan atas karya-karya Marx (walaupun ini sebuah diskusi yang saya anggap fundamental), namun dalam debat kali ini, perbincangan soal metodologi tersebut cenderung kontraproduktif dan menjurus buntu. Dengan demikian, saya akan mengabaikan tuduhan kalau tanggapan ini merupakan wujud dari ‘Marxisme kamar studi.’
Post-Marxis dikutip GM untuk menunjukkan satu metode tafsir baru yang diklaimnya membebaskan, yang luwes, yang tidak dogmatik atas karya-karya Karl Marx. Buat GM, semestinya diskusi tentang Marx dan Marxisme ada dalam semangat seperti yang ditunjukkan kalangan Post-Marxis ini, agar Marx dan Marxisme menjadi semacam Suluh dan bukan Benteng bagi para pengikutnya.
Tetapi, apa itu Post-Marxis dan apa yang baru, yang luwes, yang membebaskan dari aliran ini sehingga ia bisa menjadi Suluh? Tanggapan ini akan dibagi dalam dua bagian: pertama, menceritakan tentang latar belakang kemunculan Post-Marxis; dan kedua, mendiskusikan tentang perspektif teoritik yang dikembangkan oleh aliran ini.
Sebelumnya, mari kita ikuti dulu definisi Post-Marxis ini agar kita tidak membicarakan sesuatu yang asing, agar kita tidak dianggap sedang berdiskusi tentang ‘nama sebuah kantor pos.’ Menurut sosiolog Göran Therborn, definisi yang paling luas diterima bahwa ‘Post-Marxist merujuk kepada para penulis yang memiliki latar belakang Marxis, yang kemudian dalam karya-karyanya bergerak melampaui problematika Marxis tapi tidak secara publik mengklaim diri untuk melanjutkan komitmennya pada Marxisme.’[1] Dan bagi Therborn, buku Hegemony and Socialist Strategy, karya Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, dianggap sebagai karya yang merepresentasikan posisi kalangan Post-Marxis ini (dan karya ini juga yang dicuplik GM untuk menunjukkan kebaruan dan keluwesan tafsir atas Marxisme).
Apa yang bertolak dari tradisi Marxis dan kemudian bergerak melampaui tradisi itu? Di sini, saya rangkumkan telaah dari ilmuwan politik Ellen Meiksins Wood serta sosiolog James Petras, mengenai posisi teoritik dari kalangan Post-Marxis ini:
1. kelas pekerja, tidak seperti yang diharapkan Marx, ternyata bukan merupakan sebuah gerakan revolusioner;
2. ini merefleksikan fakta bahwa tidak ada korespondensi langsung antara ekonomi dan politik secara umum. Setiap hubungan antara kelas dan politik adalah sebuah hubungan yang tak pasti. Dalam kata lain, ideologi dan politik adalah (relatif? absolut?) otonom dari hubungan ekonomi (kelas); dan dengan demikian tak ada itu kepentingan ‘ekonomi’ kelas tertentu yang bisa diterjemahkan secara otomatis ke dalam pengertian politik;
3. lebih khusus lagi, proposisi ini berarti bahwa tidak ada hubungan langsung atau istimewa antara kelas pekerja dan sosialisme, dan tentu saja kelas pekerja tidak memiliki ‘kepentingan fundamental’ dalam sosialisme. Konsekuensi lebih jauh, sosialisme sebenarnya telah gagal dan seluruh ‘teori umumnya’ tentang masyarakat tidak lebih sebagai sebuah pengulangan. Ideologi adalah palsu (kecuali bagi Post-Marxis);
4. dengan demikian, formasi gerakan sosialis secara prinsipil adalah independen dari kelas, dan politik sosialis bisa dikonstruksi, kurang lebih, otonom dari kondisi-kondisi ekonomi (kelas). Poin ini bermakna dua hal:
5. sebuah kekuatan politik bisa dibentuk dan diorganisasikan dalam perencanaan ideologi dan politik, dibangun dari beragam elemen-elemen ‘popular’ yang dipersatukan oleh motivasi murni politik dan ideologi, dalam makna tidak terkait dengan hubungan kelas atau pertentangan di antara kelas-kelas;
6. dengan demikian, tujuan-tujuan sosialis menjadi bersifat universal, menjadi tujuan bersama seluruh umat manusia melampaui kelas, bukan tujuan material yang sempit yang didefinisikan dalam pengertian kelas itu. Dalam perencanaan politik dan ideologi yang otonom, tujuan universal umat manusia ini bisa dikomunikasikan kepada beragam rakyat, terlepas dari situasi kelas mereka;
7. secara khusus, perjuangan untuk sosialisme sudah terkandung dalam pluralitas perjuangan ‘demokrasi,’ bersama-sama dengan beragam perlawanan terhadap begitu banyak bentuk ketidakadilan dan penindasan. Dalam makna ini, maka adalah sangat mungkin untuk mengganti konsep sosialisme dengan gagasan ‘demokrasi radikal/radical democracy.’ Di sini, sosialisme dimengerti sebagai tidak lebih dari ‘perluasan alamiah’ dari demokrasi liberal.’
8. konsekuensinya perencanaan tersentral hanya menyebabkan dan menghasilkan birokrasi serta menghalang-halangi pertukaran barang di antara para produser. Pasar dan pasar pertukaran yang diregulasi secara terbatas diyakini akan menghasilkan konsumsi yang besar dan distribusi yang lebih efisien;
9. negara adalah musuh demokrasi dan kebebasan, bersifat korup dan tidak efisien dalam menciptakan kesejahteraan sosial. Pada saat yang bersamaan ‘masyarakat sipil’ adalah pendukung demokrasi dan peningkatan kesejahteraan sosial;
10. dengan demikian perjuangan kiri tradisional untuk merebut kekuasaan negara adalah sesuatu yang korup dan hanya akan menciptakan rejim otoritarian yang nantinya akan mensubordinasi masyarakat sipil di bawah kontrolnya. Perjuangan lokal terhadap isu-isu lokal adalah satu-satunya alat demokratik untuk perubahan, bersama dengan petisi atau tekanan terhadap penguasa nasional dan internasional;
11. maka revolusi selalu dan pada akhirnya bersifat buruk atau tidak mungkin. Transformasi sosial hanya akan mengancam dan memprovokasi reaksi otoritarian. Sebagai alternatifnya adalah perjuangan untuk mengonsolidasikan transisi demokrasi untuk mengamankan proses elektoral. Lebih khusus lagi, perjuangan untuk sosialisme harus dipahami sebagai perjuangan demokrasi yang plural, karena konsekuensi dari beragam perlawanan terhadap bentuk-bentuk kesenjangan dan penindasan. Konkritnya, adalah sangat mungkin konsep tentang sosialisme diganti dengan gagasan tentang ‘demokrasi radikal.’ Di sini, sosialisme lebih kurang bermakna sebagai perluasan dari demokrasi liberal atau pada tingkat tertentu, demokrasi yang eksis, walaupun dalam bentuknya yang terbatas di masyarakat kapitalis maju, secara prinsipil punya kapasitas untuk diperluas menjadi demokrasi sosialis;
12. solidaritas kelas adalah bagian dari ideologi masa lalu, merupakan refleksi realitas dan kondisi-kondisi politik awal masyarakat kapitalis;
13. perjuangan kelas dan konfrontasi kelas tidak memroduksi hasil-hasil yang nyata. Sebaliknya, memprovokasi kekalahan dan gagal menyesuaikan diri dengan problem-problem yang konkrit; dan,
14. anti imperialisme juga adalah ekspresi lain dari ideologi masa lalu yang tidak lagi relevan saat ini. Dalam era globalisasi kini, ketika dunia semakin terhubung satu sama lain, dimana kebutuhan akan kerjasama internasional dalam hal transfer teknologi, modal, dan manajemen dari negara-negara ‘kaya’ ke negara-negara ‘miskin’ makin tinggi dan penting, maka konfrontasi terhadap pusat-pusat ekonomi adalah mustahil.[2]
Apa yang disampaikan oleh Petras dan Wood ini, rupanya diamini oleh GM. Bagi GM, tilikan Laclau tidaklah keliru, karena ‘banyaknya emansipasi yang disebutnya didukung oleh pengalaman konkrit akhir abad ke-20.’
Latar belakang Post-Marxis
Pengalaman konkrit seperti apa yang terjadi di akhir abad ke-20? Sebelum lanjut, mari kita lihat sebentar latar ekonomi politiknya. Pasca Perang Dunia II, perkembangan kapitalisme Amerika Serikat dan Eropa Barat, mencapai masa keemasannya (the ‘Golden Age of Capitalism.’) Kemakmuran tinggi itu selain dinikmati, tentu saja, oleh borjuasi (kelas kapitalis) tapi juga oleh kelas buruh, sehingga masa-masa ini juga disebut sebagai masa keemasan kelas buruh. Kondisi ini lalu berimplikasi pada penumpulan politik kelas, baik karena represi maupun politik kolaborasi kelas yang dilakukan oleh birokrat serikat buruh. Rasionalitas di balik kolaborasi kelas itu, jika kelas buruh terus–menerus memperjuangkan kepentingan partikularnya di hadapan kelas kapitalis, maka hal itu akan menyebabkan perkembangan tingkat keuntungan yang diperoleh kelas kapitalis akan menurun, yang berarti juga menurunnya tingkat pendapatan kelas buruh. Di Amerika Serikat, kerjasama kelas ini dikenal dengan istilah rejim Keynesian dan di Eropa Barat disebut sebagai rejim Sosial-demokrasi.
Dampak lain dari tingginya tingkat kemakmuran adalah munculnya apatisme politik, dimana politik lalu sekadar menjadi urusan elite dan kelas pekerja terjebak pada kepentingan partikularnya yang terbatas. Hal lain yang muncul dari masa ini adalah pesimisme dan sinisme terhadap gagasan dan proyek modernisme.Tapi, berbeda dengan pesimisme pra-perang yang melihat modernisme gagal merealisasikan cita-cita pembebasan universalnya, pesimisme di masa keemasan kapitalisme ini justru melihat janji-janji modernisme telah terealisasi seutuhnya. The End of Ideology, demikian tulis Daniel Bell, untuk menggambarkan pesimisme itu.
Singkatnya, di masa keemasan kapitalisme ini, gerakan kiri (serikat buruh dan partai politik kiri) mengalami kebuntuan dalam merespon tingkat kemakmuran kapitalisme. Politik perjuangan yang berbasis ekonomi (kelas) tak lagi dominan, sehingga yang akhirnya muncul adalah politik berbasis identitas, yang mengusung isu dan tuntutan spesfik dan mendesak, yang prakteknya muncul dalam wujud gerakan sosial. Itulah yang terjadi pada pertengahan dekade 1960an, dimana dunia Barat (Amerika Serikat dan Eropa Barat) menyaksikan kebangkitan gerakan sosial yang paling dinamis. Di AS, misalnya, dimotori oleh kehadiran buku Rachel Carson, Silent Spring, telah memicu kemunculan gerakan lingkungan. Tak lama sesudahnya, terbit buku lain dari Betty Friedan, The Feminine Mystique (1963) yang memicu gelombang kedua gerakan feminisme post-1945. Kemudian pada 1969, muncul gerakan Gay Liberation. Dekade 1960an juga ditandai oleh kemunculan gerakan Indian American dan perlawanan masyarakat Meksiko America, yang dikenal dengan nama Chicano Resistance. Jangan lupa menyebut gerakan hak-hak sipil, dan gerakan anti perang Vietnam. Dengan struktur organisasi yang relatif longgar tanpa program politik dan ideologis yang baku, maka gerakan sosial baru ini dengan cepat memperoleh popularitasnya di tengah massa.
Di Eropa dekade 1960an, muncul gerakan posmodernisme yang dipelopori para intelektual yang berbasis di Paris, seperti Jacques Derrida, Jacques Lyotard, dan Michel Foucault. Pertanyaan utama kalangan ini adalah pada masalah subyek individual, kebenaran pemikiran rasional, dan gagasan tentang ‘human progress,’ yang merupakan perlambang manusia modern dalam pemikiran Barat modernist. Tetapi Eropa tidak hanya ditandai oleh posmodernisme, melainkan juga Revolusi Bunga di Portugis, yang memicu gelombang besar tuntutan kemerdekaan di negeri-negeri jajahan, dan tentu saja yang populer, gerakan mahasiswa 1968 di Paris, Prancis.
Krisis sosial yang ditandai oleh kebangkitan gerakan lingkungan dan politik identitas itu, kemudian memperoleh momentumnya dengan terjadinya krisis ekonomi di akhir dekade 1960an, yang menyebabkan runtuhnya rejim Bretton Woods, dan kemudian diganti dengan sistem baru yang disebut neoliberalisme. Rejim keynesianisme digusur, intervensi negara dalam pasar dinista, dan kebebasan individual menjadi penanda kemajuan.
Pada saat yang sama, gerakan kiri internasional dihadapkan pada perpecahan dan perkubuan yang akut. Yang paling dominan adalah kubu Stalinisme Uni Sovyet versus Cina yang dipimpin Mao Zedong. Kubu lain adalah Eurocommunism[3] yang tumbuh subur di kalangan intelektual berbasis kampus di Eropa Barat, serta kubu Trotskys yang sangat marjinal. Sementara itu, di belahan Dunia Ketiga, proyek pembebasan nasional dari negara-negara baru merdeka menderita kegagalan total. Sebagian besar dari negara-negara baru tersebut kemudian terjatuh dalam cengkeraman rejim kediktatoran militer.
Kemakmuran (kemudian krisis) ekonomi, represi, politik kolaborasi kelas, serta konflik dan perkubuan di kalangan kiri internasional ini, menyebabkan’Kiri lama’ tertatih-tatih dalam menjelaskan fenomena kebangkitan gerakan lingkungan, politik identitas, multikulturalisme, globalisasi, deteriotorialisasi ekonomi, agresi pemikiran posmodernisme, serta terjangan ideologi ekonomi neoklasik. Kiri lama lantas dipandang tidak lagi kompatibel dengan perkembangan situasi sosial baru ini.
Dalam kondisi seperti itu, Laclau dan Mouffe datang dengan satu pernyataan tegas: ‘untuk membaca kembali teori Marxis dalam terang masalah-masalah kontemporer, hal yang sangat penting adalah mendekonstruksi kategori-kategori sentral dari teori tersebut. Inilah apa yang kemudian kami sebut sebagai post-Marxism.’[4] Hasil dari dekonstruksi atas teori Marxis itu mengemuka dalam empat belas point di atas.
Dengan runtuhnya Tembok Berlin, yang menjadi penanda kebangkrutan rejim Stalinis dan bergesernya Cina ke jalan kapitalisme, menyebabkan tesis kalangan Post-Marxis dianggap sebagai sebuah kebenaran. Ia dianggap telah menambahkan sesuatu yang baru, dan lebih dari itu, dipandang telah menyelamatkan Marxisme dari kepunahan. Pendekatan kelas sudah kuno dan mereduksi persoalan yang kompleks sekadar menjadi urusan ekonomi. Dan rupanya, inilah yang disebut sebagai tafsir baru dan luwes atas Marxisme, sementara mereka yang menggugat atau bahkan menolak tesis-tesis Post-Marxis lantas dicap sebagai Stalinis, suka memamah-biak dogma-dogma usang, memperlakukan Marx seperti nabi, dan mengamini ajarannya layaknya mengamini ajaran agama. Dalam satu tarikan nafas, Marxisme dilafal berbarengan dengan Wahhabisme.
Dari kelas ke discourse, dari kelas pekerja ke intelektual
‘Sejarah perjuangan seluruh umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas.’ Kalimat padat dan tegas dalam Manifesto Komunis itu, merupakan kata kunci dalam memahami substansi pemikiran dan proyek politik Marx.[5] Wood mengatakan, perjuangan kelas adalah inti (nucleus) dari Marxisme. Di sini, masih menurut Wood, terdapat dua pengertian yang tak terpisahkan: adalah perjuangan kelas yang menurut Marxisme bisa menjelaskan dinamika sejarah; dan penghapusan kelas-kelas, yang diobservasi atau yang merupakan produk akhir dari perjuangan kelas, adalah tujuan utama dari proses revolusioner.[6]
Dan seperti kita ketahui, kelas-kelas sosial ini berkaitan dengan ekonomi. Ekonomi di sini, didefinisikan oleh Marx sebagai ‘totalitas hubungan produksi yang membentuk struktur ekonomi sebuah masyarakat, fondasi nyata di mana di atasnya muncul superstruktur legal dan politik, yang berkorespondensi secara langsung dengan bentuk-bentuk kesadaran sosial.’[7] Di sini, Marx secara tegas mengatakan bahwa baginya ekonomi itu adalah ‘totalitas hubungan produksi….’ Bukan ‘hubungan pertukaran’ sebagaimana yang dipahami ekonom non-Marxis. Karena berkaitan dengan hubungan produksi, maka di situ Marx melihat hubungan produksi yang terjadi adalah antara mereka yang memiliki alat-alat produksi (borjuasi) dan mereka yang menjual tenaga kerjanya kepada borjuasi (proletariat). Dinamika hubungan antara kedua kelas ini senantiasa bersifat antagonistik, namun seperti kata Marx, manifestasinya kadang berlangsung secara tertutup dan kadang juga berlangsung secara terbuka.
Dan bagi Marx, karena watak hubungan produksi dalam kapitalisme terjadi seperti itu, maka satu-satunya kelas yang paling revolusioner, yang paling berkepentingan untuk menghancurkan kapitalisme, tidak lain adalah kelas proletariat. Karena tidak ada yang hilang dari mereka, kecuali rantai yang membelenggunya. Namun demikian, Marx menegaskan, pembebasan kelas proletariat itu tidak hanya untuk pembebasan dirinya sendiri melainkan untuk menghapuskan keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat, karena hanya dengan cara demikian maka ia bisa membebaskan dirinya sendiri sebagai sebuah kelas. Inilah makna dialektika dari perjuangan kelas ini.
Namun, seperti yang ditunjukkan Wood dan Petras di atas, kalangan Post-Marxis menolak pendekatan kelas dan sekaligus menolak tesis bahwa proletariatlah kelas (subyek, dalam bahasa Laclau dan Mouffe) yang paling revolusioner. Tentu saja penolakan ini didasarkan pada pembacaan atas perkembangan ekonomi, sebagaimana yang dilakukan oleh intelektual Post-Marxis terkemuka lainnya, Manuel Castells.[8] Dalam End of Millennium yang merupakan bagian terakhir dari triloginya, Castells mengatakan bahwa konflik buruh-kapital merupakan ciri masyarakat industrial, sementara dalam abad informasi (Age of Information) saat ini, dimana jaringan kerja global begitu menyebar dan menembus inti terdalam kesadaran maka satu-satunya jalan untuk melawan dominasi adalah keluar dari jaringan kerja tersebut. Dengan demikian, perlawanannya bukan di dalam jaringan (buruh-kapital, misalnya) tetapi antara yang di dalam dan di luar jaringan, bukan dari bawah ke atas tapi dari luar ke dalam, antara ‘who we are’ versus those who do not belong.[9]
Karena penolakan ini muncul dari kalangan yang berangkat dari tradisi Marxis, maka dari mana sumber-sumber absah untuk abstraksi teoritik itu? Aha, GM menunjukkan bahwa Laclau mengambil inspirasi teoritiknya dari Antonio Gramsci, seorang Marxis revolusioner Italia, dan juga dari Jacques Derrida. Saya akan fokus ke pembacaan Laclau terhadap Gramsci saja.
Dalam buku mereka Hegemony and Socialist Strategy, Laclau dan Mouffe mengatakan, Gramsci memperkenalkan dua konsep baru dan berdasarkan itu secara fundamental menggusur problematika yang selama itu melekat pada kalangan Marxis klasik: pertama, konsepsinya tentang kepentingan ideologis (materiality of ideology), dimana bagi Gramsci ideologi tidak berkaitan dengan ‘sistem gagasan’ atau ‘kesadaran palsu’ agen-agen sosial. Menurut Gramsci, ideologi adalah sebuah hubungan yang menyeluruh dan organik yang melekat pada institusi dan aparatus yang secara bersama-sama membentuk sebuah blok historis disekitar prinsip-prinsip dasar yang diartikulasikan; kedua, dengan pengertian seperti itu Gramsci lalu memperkenalkan sebuah cara pembacaan “superstrukturalis” terhadap ideologi. Maksudnya, melalui konsep blok historis dan ideologi sebagai semen organik, maka sebuah kategori totalitas mengambil tempat di luar pembedaan lama basis/superstruktur. Di sinilah ia bicara tentang kepemimpinan moral dan intelektual. Tetapi agar kepemimpinan moral dan intelektual ini tidak dimengerti sebagai sebuah kesadaran palsu di antara dua kelas yang bertentangan, maka Gramsci lalu menyuguhkan argumen ketiga yang paling penting, yakni ‘menggusur problematika reduksionis dari ideologi.’[10] Inilah kata Laclau dan Mouffe:
‘Bagi Gramsci, subyek politik bukanlah – dalam pembicaraan yang ketat – kelas-kelas, tapi kompleks ‘keinginan kolektif/collective will;’ hal yang sama, elemen ideologi yang diartikulasikan oleh kelas yang hegemonik tidak dengan sendirinya melekat pada kelas itu. Berkaitan dengan poin pertama, posisi Gramsci sangat jelas: keinginan kolektif adalah hasil dari artikulasi ideologi-politik yang terpancar dan tersebar pada kekuatan-kekuatan sejarah. Dari sini bisa disimpulkan pentingnya ‘kekuatan kultural.’[11]
Tetapi, sebagaimana dicatat Wood, Laclau ternyata melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa tidak seluruh konflik sosial itu adalah perjuangan kelas dan tidak seluruh ideologi merupakan ideologi kelas, walaupun berimplikasi pada perjuangan kelas.[12] Artinya, berbeda dengan Marx yang mengatakan bahwa ‘ideologi yang dominan adalah ideologinya kelas berkuasa,’ maka bagi Laclau ‘ideologi bisa otonom,’ yang kelak dikenal dengan istilah discourse. Dari sini kita mengerti mengapa Laclau dan Mouffe kemudian mengatakan bahwa yang paling menentukan itu sebenarnya bukanlah kelas tetapi hegemoni, yakni kepemimpinan kultural dan intelektual. Dengan demikian, hegemoni terpisah dari hubungan ekonomi karena ‘basis ekonomi tidak lagi meyakinkan sebagai penentu akhir kemenangan kelas pekerja, sejak kelas pekerja itu sendiri tergantung pada kapasitas kepemimpinan hegemonik.’[13] Masyarakat saat ini dibentuk oleh ideologi atau discourse, sehingga perjuangan untuk menghumbalangkan ‘totalitas hubungan produksi’ yang eksploitatif itu bukan lagi merupakan tujuan utama perjuangan, melainkan pada perjuangan politik dan ideologi. Kelas digantikan oleh discourse dan perjuangan kelas digantikan oleh perjuangan politik.
Karena perjuangan kini adalah perjuangan politik dan ideologi, maka siapa yang paling sanggup mengartikulasikan kepentingan politik dan ideologi sebuah kelas? (Ingat kelas di sini hanyalah salah satu dari beragam subyek yang bertarung di arena perjuangan politik dan ideologi). Ada dua kemungkinan jawabannya: pertama, rakyat sendirilah yang menentukan apa identitasnya dan kemudian mengartikulasikan dalam perjuangan politik dan ideologi. Kelompok perempuan, masyarakat adat, pencinta lingkungan, pencinta hewan, kalangan lesbian-gay-biseksual-transgender (lgbt), kelompok agama marjinal itu sendirilah yang paling berhak menentukan identitasnya dan artikulasi kepentingannya.
Tetapi kita tahu, ini adalah pernyataan yang lip service. Maka yang paling masuk akal adalah adanya agensi dari ‘luar’ yang menyuntikkan/memaksakan pengetahuan dan kesadaran ke kalangan rakyat mengenai gagasan tentang identitas kolektif mereka, merumuskan identitas kolektif tersebut dan seperti apa artikulasi perjuangannya. Dan agensi dari luar ini, siapa lagi, kalau bukan kaum Intelektual, kelas yang membaptis dirinya sebagai paling otonom dan independen dari kepentingan kelas/identitas, serta merasa paling sanggup merumuskan sebuah konsep abstrak tentang ideologi perjuangan.[14] Tetapi, bagaimana bisa kaum intelektual ini merumuskan sebuah sistem pengetahuan abstrak dan kompleks kepada ‘mereka’ yang berada di luar dirinya? Jangan kaget, sebab Laclau dan Mouffe telah menyediakan jawabannya, yang telah dikutip di atas, ‘…elemen ideologi yang diartikulasikan oleh kelas yang hegemonik tidak dengan sendirinya melekat pada kelas itu.’
Kesimpulannya, Post-Marxis adalah ideologi dan proyek politik intelektual kelas menengah yang terancam hidupnya oleh agresi kebijakan neoliberal, namun kakinya gemetar di hadapan gerakan kelas pekerja.[15] Kelas pekerja digantikan oleh intelektual.
Penutup
Setelah panjang lebar memaparkan tentang ‘pembacaan yang luwes’ atas Marxisme, GM yang setuju dengan proyek politik Post-Marxis untuk meradikalisasi demokrasi, pada akhirnya mengakui bahwa ‘’demokrasi radikal’ Laclau terbentur jalan buntu ke arah emansipasi – jalan buntu yang dibangun oleh demokrasi liberal yang tidak ditampiknya.’ Tetapi dihadapan kebuntuan yang dialami Laclau tersebut, GM juga tidak memiliki alternatif lain untuk keluar dari kebuntuan itu.
Lalu, buat apa pemaparan panjang lebar tentang cara baru membaca Marx, agar bisa menjadi suluh, jika sudah tahu kalau pada akhirnya suluh tersebut padam diterpa badai demokrasi liberal? Apakah GM sedang melempar guyonan? Atau, kalau mau lebih serius, bukankah begini ini kerjaannya kalangan ‘Marxis kamar studi,’ yakni sekadar intellectual exercise?
Saya kira, masalah utama yang dihadapi GM, sebagaimana kalangan Post-Marxis, adalah ia menolak premis utama Marx bahwa ‘produksi adalah esensial bagi eksistensi manusia dan organisasi kehidupan sosial.’ Dalam surat kepada sahabatnya Ludwig Kugelman, Marx menulis, ‘setiap anak kecil tahu bahwa jika setiap bangsa berhenti bekerja, jangan bicara tahun, tapi katakanlah dalam beberapa minggu, maka bangsa tersebut akan mengalami kehancuran…’[16] Dengan menolak premis ini, maka GM menolak keberadaan kelas-kelas dan perjuangan kelas, menolak kelas pekerja sebagai kelas yang paling berkepentingan dalam perjuangan menghancurkan kapitalisme dan keberadaan kelas-kelas tersebut. Ia menerima kapitalisme dan mengritiknya, tidak lebih.
Seperti kalangan Post-Marxis, GM terjebak pada fakta-fakta yang tampak, bahwa kelas pekerja tidak lagi revolusioner, bahwa ada elemen lain di luar kelas pekerja yang juga revolusioner. Kesimpulan atas fakta-fakta itu mengasumsikan (1) bahwa ada hubungan langsung atau otomatis antara kondisi ekonomi (totalitas hubungan produksi) dengan kesadaran politik dan ideologi. Asumsi ini sendiri berpijak pada asumsi lain (2) bahwa antara domain ekonomi dan politik berdiri terpisah, dimana basis (ekonomi) menentukan superstruktur (politik, hukum, dan ideologi) dan ketika fakta tidak menopang asumsi (2) maka asumsi (1) dianggap sebagai kebenaran. Padahal Marx sendiri ketika bicara tentang basis/superstruktur tidak lebih sebagai metafora belaka, karena pada esensinya ia tidak memisahkan kedua domain tersebut.
Selain itu, GM dan Pos-Marxis menganggap bahwa Marx dan kalangan Marxis ortodoks mengabaikan peran gerakan yang selain gerakan kelas pekerja. Secara teoritik dan praktis politik anggapan ini keliru. Tidak ada kaum Marxis yang menolak adanya rasisme atau ketimpangan gender dalam kelas, misalnya. Yang ditolak adalah menganalisa rasisme dan ketimpangan gender itu di luar kerangka kerja (framework) kelas. Sebutlah karya klasik Engels The Origin of the Family, Private Property and the State, yang saya yakin pasti telah dibaca GM, dengan jelas mengatakan bahwa penindasan pertama yang terjadi dalam sejarah masyarakat berkelas adalah penindasan laki-laki atas perempuan. Karena itu, konsekuensinya, ‘no socialisme without women’s liberation.’ Tetapi, penindasan perempuan ini tidak dilihat sebagai hasil dari sistem masyarakat yang patriarkhal, tetapi inheren dalam sistem masyarakat berkelas, sehingga itu perjuangan pembebasan perempuan dalam Marxisme tidak terpisah dari perjuangan untuk menghapuskan kelas-kelas sosial tersebut. Maka kesimpulan ‘no socialism without women’s liberation’ itu mesti bergandeng tangan secara erat dengan kesimpulan ‘without socialism there can be no women’s liberation.’
Dalam praktek politiknya, figur-figur perempuan Marxis terkemuka dari Eleanor Marx, Rosa Luxemburg, Mother Jones, atau Elizabeth Gurley Flynn, tidak pernah mengklaim perjuangannya secara spesifik sebagai perjuangan khusus untuk pembebasan perempuan. Bahkan figur revolusioner lain seperti Clara Zetkin dan Alexandra Kollontai, yang secara khusus memusatkan aktivitasnya pada pengorganisiran perempuan, tidak pernah mengklaim bahwa ini adalah pekerjaan utama mereka.[17] Secara organisasional, tak usah jauh-jauh, mari ambil contoh apa yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan terbesar yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebelum dipersekusi rejim orde baru. Dalam penuturannya kepada wartawan lepas Lilik Hs, Lestari, ketua Gerwani Cabang Bogor, mengatakan: ‘saban hari kami turun ke basis-basis tani dan buruh, mendirikan TK Melati, penitipan anak dan kursus buta huruf gratis. Ada sekitar 1.500 balai penitipan anak yang dibangun Gerwani pada 1960an.’[18]
Demikianlah, ketika pembacaan yang luwes itu buntu tapi ia sendiri enggan kembali kepada premis utama Marx, maka posisi GM sebenarnya adalah ‘menerima kapitalisme yang humanis dan menolak kapitalisme yang destruktif.’ ***
Coen Husain Pontoh, Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
[1] Göran Therborn, ‘From Marxism To Post-Marxism?’ Verso, London, 2008, p. 165.
[2] Ellen Meiksins Wood, ‘The Retreat From Class A New ‘True’ Socialism,’ Verson, London, 1998, p.3-4; James Petras, ‘A Marxist critique of post-Marxists,’ November 1997, http://www.rebelion.org/hemeroteca/petras/english/critique170102.htm
[3] Studi Wood menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran Laclau dan Mouffe ini sangat dipengaruhi, kalau tidak ingin mengatakan, pewaris langsung Eurocommunism.
[4] Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, ‘Hegemony and Socialist Strategy Toward a Radical Ddemocratic Politics,’ Verso, London, p. ix.
[5] Diskusi mengenai kelas dan perjuangan kelas ini, lihat Coen Husain Pontoh, ‘Kelas dan Perjuangan Kelas Dalam Manifesto Komunis,’ IndoPROGRESS, 18 Juni 2011, https://indoprogress.com/2011/06/18/kelas-dan-perjuangan-kelas-dalam-manifesto-komunis/
[6] Op.cit., p. 12.
[7] Karl Marx, ‘A Contribution To The Critique Of Political Economy,’ International Publisher, NY, 1989, p. 20.
[8] Manuel Castells menulis karya trilogi terkemuka yang membahas kemunculan masyarakat baru yang disebutnya network society: The Rise of the Network Society (1996), The Power of Identity (1997), and End of Millennium (1998), yang kesemuanya diterbitkan oleh Blackwell, London.
[9] Ibid., p. 382.
[10] Op.cit., p. 67.
[11] Loc.cit. Tetapi, apakah Gramsci menolak pendekatan kelas seperti klaimnya Post-Marxis? Diskusi lebih detil lihat Coen Husain Pontoh, ‘Revolusioner Dari
Sardinia Antonio Gramsci dan Analisa Kelas,’ IndoPROGRESS, 9 Februari 2011, https://indoprogress.com/2011/02/09/revolusioner-dari-sardinia/
[12] Op.cit., p. 52.
[13] Ibid., p. 69.
[14] Dalam bahas Castells, ‘cultural battles are the power battles of the Information Age. They are primarily fought in and by the media, but the media are not the power holders. Power, as the capasity to impose behavior, lies in the networks of information exchange and symbol manipulation, which relate social actors, institutions, and cultural movements, through icons, spokepersons, and intellectual amplifiers’ (huruf miring dari saya), op.cit, p. 379.
[15] Dalam pengantar untuk terbitan kedua bukunya, Laclau dan Mouffe mengatakan, ‘the left should start elaborating a credible alternative to the neoliberal order, instead of simply trying to manage it in a more humane way,’ op.cit., p. xvi-xvii. Bandingkan kata alternatif (alternative) ini dengan proyek politik Marx untuk menghancurkan (abolishing) kapitalisme dan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Sangat menarik bahwa posisi teoritik dan ideologis Post-Marxis ini sejajar dengan posisinya kalangan Islam Politik, lihat Deepa Kumar, ‘Political Islam: A Marxist analysis’ (part two), International Socialist Review, Jul-Aug 2011, p. 48-55.
[16] Lettter of Marx to Ludwig Kugelman, 11 July 1868, http://www.marxists.org/archive/marx/works/1868/letters/68_07_11.htm
[17] Lihat Chris Harman, ‘Women’s Liberation and Revolutionary Socialism,’ International Socialism, spring 1984, http://www.marxists.org/archive/harman/1984/xx/women.html.
[18] Lilik Hs, ‘Jalan Teguh Sang Pemimpin,’ IndoPROGRESS, 25 April 2011, https://indoprogress.com/2011/04/25/jalan-teguh-sang-pemimpin/