Resensi Buku
Judul Buku: Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme
Pengarang: Martin Suryajaya
Tebal Buku: xxi + 299 hal.
Penerbit: Resist Book, Yogyakarta
Edisi: Cetakan Pertama, Agustus 2011
BUKU KARANGAN Martin Suryajaya (selanjutnya: MS) ini pantas disambut dengan antusias oleh kalangan kiri di Indonesia pada umumnya dan secara khusus di Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP). Paling tidak ada dua alasan yang melatari rekomendasi ini: pertama, MS memperkenalkan pemikiran kiri kontemporer, dalam hal ini Alain Badiou secara komprehensif. Sejauh pengetahuan saya, di kalangan aktivis kiri belum ada satu buku yang mengupas pemikiran Alain Badiou secara komprehensif. Kita pun pernah mengalami perdebatan yang tidak bermutu di mana Marx, Lenin, Trotsky dan tokoh-tokoh Marxis klasik dikutip-kutip secara serampangan, dijadikan semacam kitab suci, seolah-olah Marxisme berhenti sampai di situ. Perkembangan marxisme kontemporer yang pesat, yang sudah meninggalkan ajaran-ajaran klasik, sering kali tidak sanggup diikuti dan enggan dipelajari oleh mereka yang sudah berpuas diri dengan pengetahuan naskah-naskah klasik yang terbatas dan diselimuti oleh jargon-jargon revolusioner yang mengasyikkan.
Kedua, MS menempatkan kembali Badiou dalam domain Marxisme dan dengan demikian melawan penyalahgunaan pemikiran Badiou oleh ‘segelintir Tuan “inteligensia.”’ Sebut saja, di antaranya, para pengarang yang berkontribusi dalam buku Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Z)izek (Marjin Kiri & Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, 2008) yang diedit oleh Robertus Robet dan Ronny Agustinus. Dalam buku tersebut, Marxisme dibuat usang, mati dan tidak sanggup untuk menjelaskan situasi kapitalisme kontemporer. Para pemikir kiri kontemporer seperti Slavoj Zizek, Ernesto Laclau, dan Alain Badiou di(salah)gunakan untuk menolak politik yang berdasarkan kelas. Kembalinya Politik merupakan suatu manifesto dari para kontributornya untuk menolak signifikansi kelas pekerja dalam melawan kapitalisme.
Menanggapi penyalahgunaan pemikiran Badiou tersebut dan untuk memperoleh pemahaman tentang pemikiran Badiou yang sesungguhnya, menurut MS, ‘kita mesti berhasil menemukan medan teoritik yang menjadi titik berangkat Badiou dalam merumuskan filsafatnya. Adalah pertaruhan buku ini bahwa medan teoritik itu ialah Marxisme, atau lebih spesifik lagi Marxisme sebagaimana direkonstruksi oleh Louis Althusser.” (hal. 18, garis miring oleh MS sendiri) .
MS juga melihat dengan jeli bahwa yang sekarang terjadi di Indonesia ialah Politik sering kali dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, dengan Demokrasi yang dimaknai dengan parlementarisme, sehingga politik direduksi menjadi perwakilan (representasi) yang diperoleh melalui prosedur pemungutan suara. Situasi tersebut dibentengi dengan mitologisasi borjuis tentang kehancuran dan kejahatan komunisme. MS melalui pemikiran Badiou memrotes pemaknaan politik semacam itu. MS mengutip pernyataan Badiou bahwa Komunisme adalah satu-satunya hipotesis politik yang benar. (hal. 26) Praxis politik Badiou secara militan menentang (lebih pasnya membuat jarak/distance terhadap) demokrasi dan parlementarisme.
Saya kira sikap Badiou yang eksentrik ini, yang bertentangan dengan penerimaan dunia terhadap demokrasi dan sistem elektoralnya, membuat pemikirannya semakin menarik dan menantang untuk dipelajari. Tidakkah diskusi mengenai partai kelas dan tentunya partisipasi pada sistem elektoral merupakan suatu potensi burning question (masalah panas) di PRP?
Akar Marxisme dalam pemikiran Badiou
Dalam menempatkan pemikiran Badiou dalam tradisi Marxisme, MS melacak akar perkembangan pemikiran Badiou hingga ke Althusser. Di Bab I, MS menguraikan biografi singkat Badiou, di mana di situ disinggung keterlibatan Badiou muda dalam aktivitas organisasi Maois di Prancis. Bab II dikhususkan untuk membahas Marxisme Althusser. Membersihkan marxisme dari ideologi borjuis merupakan perhatian utama Althusser.
Marxisme adalah suatu sains yang terdiri dari materialisme dialektis (diamat) dan materialisme historis (histomat). Materialisme historis berurusan dengan kajian relasi-relasi produksi dan hubungan basis dengan superstruktur. Sedangkan materialisme dialektis memperhatikan bagaimana pengetahuan Marxis diproduksi. Materialisme dialektis bersifat lebih teoritis dan berfungsi menopang materialisme historis yang lebih empirik.
Acuan umum materialisme dialektis adalah Dialektika Alam yang ditulis Frederik Engels dan kemudian dibakukan oleh Stalin. Hukum-hukum yang digunakan oleh Engels seperti negasi atas negasi, kesatuan di antara oposisi-oposisi dan lompatan dari perubahan kuantitatif menjadi perubahan kualitatif adalah berasal logika Hegel. Althusser ingin membuang pengaruh Hegel dalam Marxisme. Relasi determinasi dalam logika Hegel, menurut Althusser, terlalu menyederhanakan persoalan sehingga determinasinya seolah-olah berupa hubungan sebab-akibat sederhana yang mekanis.
Salah satu konsep penting Althusser dalam merevisi ulang materialisme dialektis adalah konsep overdeterminasi. Konsep ini diambil Althusser dari konsep psikoanalisis. Dalam overdeterminasi hubungan relasional antar elemen-elemennya tidaklah sederhana seperti elemen A memengaruhi elemen B, basis menentukan superstruktur, namun tiap elemen memiliki semacam ‘otonomi relatif’ dan hubungan antar elemennya menjadi hubungan timbal balik. Sehingga, bagi Althusser, superstruktur tidaklah melulu dipengaruhi oleh basis. Ada kalanya supertruktur otonom, tidak dipengaruhi oleh basis, atau bahkan superstruktur dapat memengaruhi basis.
Penolakan terhadap determinisme yang sederhana ini juga dipengaruhi oleh konsep kontradiksi Mao. Konsep kontradiksi Mao memberikan perspektif baru dalam menyingkirkan konsep dialektika Hegel. Dari Mao kita memperoleh konsep-konsep baru yang tidak pernah kita dengar dalam logika Hegel sebelumnya, seperti kontradiksi pokok, kontradiksi sekunder dan perkembangan tak-mesti.
Badiou nampaknya dipengaruhi revisi materialisme dialektis Althusser. Badiou sendiri menyebutkan materialisme dialektis yang memengaruhi filsafatnya (hal 77, dikutip oleh MS dari buku Badiou belakangan Logics of Worlds).
Marxisme Badiou
Dalam Bab IV MS berupaya menyajikan magnum opus Badiou Ada dan Peristiwa secara singkat dan padat. Bab IV ini merupakan bagian dari buku yang paling tebal, sebanyak 115 halaman dari 229 halaman (lebih dari 50 persen). Bagi pembaca pemula, Ada dan Peristiwa merupakan buku yang sulit karena Badiou memanfaatkan matematika modern (teori himpunan) dalam memaparkan pemikirannya. Yang tidak terbiasa dengan simbol-simbol matematika akan kesulitan untuk memahaminya. MS tampaknya tidak gentar dan menerima tantangan tersebut dengan serius.
MS membagi dua Ada dan Peristiwa kemudian menempatkan kedua bagian tersebut masing-masing ke dalam dua disiplin Marxis. Bagian pertama ialah teori tentang situasi yang mencakup doktrin tentang presentasi dan doktrin tentang representasi, yang ia masukkan dalam materialisme historis; Bagian kedua, Teori tentang emansipasi, mencakup doktrin tentang peristiwa dan doktrin tentang subyek, yang ia kategorikan dalam materialisme dialektis. Dengan demikian, bagi MS, Ada dan Peristiwa adalah karangan filosofis yang Marxis-Leninis. Namun saya pun bertanya-tanya apa dasar pemilahan tersebut, karena sejauh saya membaca Ada dan Peristiwa, saya belum memperoleh petunjuk pernyataan Badiou yang menyatakan tentang hal ini. Menurut saya, dalam buku ini MS kurang memberikan penjelasan yang memadai mengenai apa dasar pembagian Ada dan Peristiwa ke dalam materialisme historis dan materialisme dialektis. Saya cenderung mengatakan bahwa pemilahan tersebut adalah pembacaan original MS sendiri.
Jika materialisme historis berurusan dengan analisis basis produksi kapitalisme, kita tidak menemukan pembahasan tersebut (analisis ekonomi seperti Perkembangan Kapitalisme di Russia-nya Lenin atau Masyarakat Tiongkok, Revolusi Tiongkok-nya Mao) dalam Ada dan Peristiwa. Tampak bagi saya Ada dan Peristiwa merupakan suatu traktat filsafat ontologi yang bersifat abstrak, sehingga lebih pas bila ditempatkan hanya pada domain materialisme dialektik. Namun tepat bila MS menempatkan Badiou sebagai kelanjutan dari Althusser, karena Althusser memprioritaskan untuk merevisi materialisme dialektis, menyelamatkannya dari pengaruh Hegel. Bila memang demikian, saya berpendapat bahwa Ada dan Peristiwa merupakan salah satu puncak dari proyek Althusser: materialisme dialektis baru yang bebas dari pengaruh Hegel.
Ada dan Peristiwa mulai dari suatu kejamakan (penebalan menandakan beberapa term-term kunci dari pemikiran Badiou). Hal ini berbeda dengan logika Hegel yang bertolak dari satu ada di mana kemudian satu ada ini menyadari ada-ada yang lain. Hegel mulai dari satu menuju kejamakan, sedangkan Badiou kebalikannya, bertolak dari kejamakan menuju ke satu. Bagaimana proses dari jamak menuju satu ini berlangsung? Melalui operasi perhitungan-sebagai-satu (count-as-one) kejamakan tersebut menjadi suatu presentasi. Sebelum operasi perhitungan tersebut, kejamakan merupakan kejamakan inkonsisten, tetapi setelah operasi mereka menjadi kejamakan konsisten. Struktur kejamakan yang konsisten ini adalah situasi. Akan tetapi dalam proses perhitungan itu kerapkali ada bagian dari kejamakan yang luput dari operasi perhitungan, yang tidak dapat dihitung. Yang luput dari mekanisme perhitungan tersebut disebut kekosongan (void).
Selanjutnya melalui perhitungan-sebagai-satu yang kedua, yang disebut dengan pembentukan-menjadi-satu (forming-into-one), presentasi tersebut ditransformasi menjadi representasi. Representasi merupakan status dari situasi. Bila pada presentasi tiap elemen kejamakan dihitung sebagai individu-individu, atom-atom, dalam representasi elemen-elemen dikelompokkan dalam kolektivitas/kelas-kelas tertentu. Terdapat perbedaan kuantitatif antara situasi dan status situasi. Status situasi memiliki suatu kelebihan (ekses). Ekses tersebut terkait dengan kekosongan pada presentasi, yang disimbolkan sebagai himpunan kosong.
Badiou memaparkan konsep-konsep kuncinya seperti kejamakan, perhitungan-sebagai-satu, presentasi, representasi, kekosongan, ekses dsb, dengan meminjam konsep-konsep teori himpunan modern. Dalam resensi ini saya tidak akan mengantikan MS untuk menjelaskan pemakaian teori himpunan dalam pemikiran Badiou, meski saya akan menambahkan beberapa keterangan yang berfungsi untuk memperjelas konsep-konsep tertentu dengan harapan membantu pembaca pemula untuk berkenalan dengan inti pemikiran Badiou.
Di sini akan dibahas sedikit bagaimana ontologi Badiou digunakan dalam politik sehari-hari. MS memberi contoh kata ‘massa,’ ‘rakyat’ dan ‘negara.’ Massa adalah kejamakan inkonsisten sebelum operasi perhitungan-sebagai-satu dilakukan. Setelah operasi perhitungan-sebagai-satu massa bertransformasi menjadi rakyat. Rakyat adalah suatu presentasi dari massa, di mana di situ terbentuk kategori baru atau kelas-kelas berdasarkan relasi hak kepemilikan pribadi, misalnya. Rakyat yang dikategorikan dengan cara itu terdiri dari kaum borjuis dengan segala tingkatannya dan kaum pemilik tanah. Mereka yang tidak memiliki apapun, yang menjual tenaga kerja adalah kekosongan.
Adalah fungsi negara untuk menjaga keutuhan situasi yang terpresentasi tersebut. Negara melalui hukumnya melakukan pemilahan massa yang tak terhitung menjadi kategori-kategori dan kemudian mengenalinya sebagai warga negara. Yang lolos dari pengenalan, yang sering kali tidak ber-KTP sehingga tidak diakui hak-haknya secara hukum tersebut dipaksakan tunduk dalam suatu petanda, misalnya, kaum ‘miskin’ oleh BPS. Badiou sendiri dalam praktek politiknya aktif memperjuangkan hak-hak kaum imigran di Prancis yang tidak diakui kewarganegaraannya. Petanda itu analog dengan himpunan kosong atau ekses dalam representasi.
Contoh lain tentang kekosongan yang diberikan MS, misalnya, ‘dalam masyarakat Romawi kekosongan itu mengejewantah dalam sosok budak sebagai mereka yang tak terhitung dalam sistem sosial-politik masyarakat itu, dalam masyarakat feodal kekosongan itu menampak dalam sosok pedagang kecil yang baru saja tumbuh di periferi kerajaan dan tidak memiliki hak politik, dalam masyarakat borjuis kekosongan itu mewujud dalam sosok proletariat yang tidak memiliki posisi tawar apapun selain untuk menjual hidupnya pada lecut jam-kerja.’ [hal. 148]
Lantas bagaimana proses tentang emansipasi dilakukan? Dari teori tentang situasi di atas, kita bergerak ke teori tentang emansipasi. Emansipasi adalah suatu peristiwa yang muncul pada tepi kekosongan (on the edge of the void). Seperti yang dibahas di atas, terdapat bagian yang tak terhitung, yang tak terpresentasikan, yang tidak diakui, yang tidak diketahui yang disebut kekosongan (void). Tepi kekosongan tersebut merupakan situs peristiwa atau tempat peristiwa muncul. Peristiwa secara kontingen dapat muncul di situ. Peristiwa terdiri atas elemen situs peristiwa dan peristiwa itu sendiri. Akan tetapi peristiwa yang muncul ini tidak dikenali situasi itu, ia ilegal. Segala sesuatu yang tunduk pada aturan internal situasi artikulasikan sebagai pengetahuan yang berbentuk ensiklopedia. Peristiwa tidak ada dalam ensiklopedia situasi. Dari sudut pandang situasi, peristiwa adalah sesuatu yang tidak dapat diputuskan (undecidable).
Di sini ada dua kemungkinan(MS menyebutnya pilihan aksiomatik, hal. 155 – 156). Pertama, peristiwa dapat menjadi bagian dari situasi (terpresentasi dalam situasi) atau ia tidak menjadi bagian dari situasi (tidak terpresentasikan dalam situasi). Bila peristiwa menjadi bagian situasi maka ia dilepaskan dari elemen kekosongannya, ia masuk dalam operasi perhitungan-sebagai-satu. Badiou menyebutnya sebagai ultra-satu. Ada semacam dualisme di sini. Peristiwa yang berada dalam situasi memosisikan dirinya di antara kekosongan dan dirinya sendiri.
Nah kemudian pertanyaannya bagaimana peristiwa menjadi diakui sebagai elemen dari situasi? “Jika memang demikian, kini persoalannya bertumpu pada ‘intervensi nominatif – sejauh keanggotaan-diri peristiwa itu berpusat pada nama peristiwa yang dinamai melalui suatu intervensi politik.’ [hal 155] Jadi peristiwa dikenali di dalam situasi melalui nama yang diperoleh dari prosedur intervensi. Nama yang diperoleh tersebut berada dalam situasi, akan tetapi nama itu belum mengikut-sertakan elemen yang dinamai (elemen yang berada kekosongan). Jadi nama tinggalah nama, bukan merupakan suatu presentasi dari kejamakan tertentu. Kekosongan adalah kejamakan yang tetap tak terpilahkan (indiscernable), entah itu melalui perhitungan-sebagai-satu atau oleh intervensi sekalipun. Proses selanjutnya dari intervensi terkait dengan dimensi waktu. Diperlukan suatu kesetiaan (terjemahan MS untuk kata fidelity) untuk ‘mengikuti peristiwa sampai kepada implikasinya yang paling ekstrim.’ [hal. 159]
Situasi yang telah memperoleh tambahan (suplemen) nama ini disebut oleh Badiou situasi kuasi-lengkap. Pada situasi kuasi-lengkap, situasi lama telah mengalami apa yang disebut ekspansi generik. Situasi lama telah memperoleh tambahan nama yang memiliki acuan pada kejamakan yang tak terpilahkan. Situasi seolah-olah mengalami ekspansi, tetapi ekspansi ini semu karena yang ditambahkan hanya nama tanpa presentasi sejati.
Sampai di sini kita dapat bertanya, siapakah yang melakukan proses nominasi dalam prosedur intervensi dan kemudian dengan setia mengikuti peristiwa sampai akhirnya? Adalah subyek yang melakukan prosedur tersebut. Dalam prosedur kesetiaan, subyek memisahkan dalam situasi elemen-elemen kejamakan yang memiliki hubungan dengan nama yang telah diedarkan dalam situasi melalui prosedur intervensi. Untuk mengetahui kejamakan mana saja yang memiliki hubungan dan mana yang tidak, maka sebelumnya dilakukan penyelidikan (enquiry).
Kembali kepada nama. Nama yang beredar dalam situasi, meski tidak mempresentasikan kejamakan tertentu namun ia memiliki nilai rujukan (referential value of a name). Apa yang dirujuk oleh nama ialah apa yang tidak terpilahkan dalam situasi, yang tidak tercantum oleh ensiklopedia situasi. Ia adalah kebenaran itu sendiri. Subyek memaksakan (forcing) kebenaran agar cocok (terjemahan MS untuk veridical) dengan aturan internal pengetahuan dalam status situasi. Hasil dari proses pemaksaan ini kebenaran dapat diterima/cocok dengan determinan ensiklopedia atau kebenaran tidak cocok dengan determinan ensiklopedia. Yang pertama kebenaran diterima menjadi tambahan situasi; apa yang awalnya tak terpilahkan, tak terputuskan (undecideable) oleh pengetahuan dalam status situasi, melalui prosedur pemaksaan menjadi terputuskan; kebenaran menambahkan pengetahuan baru dalam ensiklopedia. Sedangkan pada kasus kedua pemaksaan ditolak situasi dan kebenaran tidak cocok dengan determinan atau aturan-aturan ensiklopedia, ia tetaplah menjadi kejamakan yang tak terpilahkan dan tak terputuskan.
Sampai di sini kita perlu membedakan antara kebenaran dan kecocokan. Kebenaran mengacu pada kejamakan yang tak terpilahkan yakni kekosongan, sedangkan kecocokan mengacu pada diterimanya suatu elemen oleh kriteria pengetahuan dalam ensiklopedia situasi. Yang benar belum tentu dikenali oleh situasi, ia menjadi dikenali setelah prosedur pemaksaan terverifikasi (cocok) dalam situasi.
Apa yang dijelaskan di atas hanyalah gambaran yang sangat kasar dari Ada dan Peristiwa, di mana kerumitan dan keketatan berpikir matematis dihilangkan sama sekali. Sebagaimana disadari oleh MS, jarang sekali ada buku kajian tentang Badiou yang membahas secara rinci bagian-bagian tertentu dari buku Badiou yang sarat dengan penalaran matematis [lihat catatan kaki MS no. 170, hal. 169 – 170]. Salah satu penulis tentang Badiou, Peter Hallward menyebutkan, ‘Deskripsi persis matematis himpunan generik, tidak diragukan lagi, merupakan bagian yang paling kompleks dan intimidatif dari Ada dan Peristiwa’ [Peter Hallward, Badiou: a Subject to Truth, University of Minnesota Press, 2003, hal, 131, terjemahan saya]. Bisa dimengerti karena beratnya tuntutan teknis untuk masuk ke alam matematis dalam pemikiran Badiou, membuat upaya untuk memahami pemikirannya menjadi lebih sulit.
Pembaca yang ingin mengeluti kerumitan matematis tersebut bisa langsung merujuk pada Ada dan Peristiwa. Saya kira dalam menulis buku ini perlu diapreasiasi upaya MS memaparkan konsep-konsep sulit dari Badiou seperti situasi kuasi-lengkap, kondisi dan relasi dominasi di dalamnya, serta ekspresi matematis prosedur pemaksaan. MS berupaya mengisi aspek matematis yang kurang disoroti oleh buku-buku kajian tentang Badiou yang berbahasa Inggris tersebut. Eksposisi mendetail tentang konsep-konsep tersebut belum tentu dapat kita temui dalam buku-buku yang mengkaji tentang Badiou.
Praxis Politik Badiouan
Praxis politik Badiou sangat terkait dengan pemikiran filosofisnya. Situasi dan status situasi yang berada dalam ranah ada dan strukturnya, dapat kita analogkan dengan kapitalisme dan negara. Sedangkan peristiwa bisa kita analogkan dengan revolusi. ‘Ada’ dan ‘Peristiwa’ bisa disejajarkan dengan ‘negara’ dan ‘revolusi.’ Pada pembukaan Bab IV, MS menyejajarkan Ada dan Peristiwa-nya Badiou dengan Negara dan Revolusi-nya Lenin.
Situasi, status situasi, kekosongan, peristiwa, subyek, dan pemaksaan merupakan konsep-konsep kunci Badiou dalam praxis politiknya. Kapitalisme dan negara borjuis adalah situasi dan status situasi yang perlu diintervensi. Intervensi dilakukan oleh subyek yang muncul melalui peristiwa dan yang memaksa situasi serta statusnya untuk menerima kebenaran. Bagi Badiou, subyek itu hanya muncul dalam peristiwa. Sejak terjadi prosedur intervensi nama mulailah suatu proses subyektivisasi. Bila tak ada peristiwa sulit dibayangkan ada subyek. Subyek itu langka. Dan karena peristiwa itu muncul dengan dikondisikan oleh kekosongan yang tak terpilahkan, maka subyek tidak akan muncul dalam kondisi normalitas, yang di mana semua kejamakan terpresentasi dan terepresentasi. Pendeknya dalam situasi aman, tentram, damai dan sentosa di mana segala sesuatu sudah teratur tidak akan muncul subyek.
Peristiwa dalam interpretasi Badiouan adalah suatu gejala emansipatoris oleh subyek yang mendesakkan kebenaran. Peristiwa-peristiwa emansipatoris ini ialah revolusi-revolusi serta subyek-subyek adalah kaum militan yang memperjuangkan revolusi dengan setia. MS dalam Bab V membahas dua peristiwa emansipatoris yakni Komune Paris dan Revolusi Kebudayaan Tiongkok.
Kebenaran macam apa yang didesakkan oleh subyek dalam peristiwa emansipatoris itu? Bagi Badiou, apa yang didesakkan oleh subyek adalah apa yang diyakini (diimani) yaitu aksioma politik. Dalam matematika, aksioma adalah pernyataan dasar yang darinya suatu pernyataan-pernyataan lain, teorema, diturunkan. Ia tidak dapat dibuktikan, melainkan harus diyakini. Justru aksiomalah yang menjadi pijakan untuk membuktikan teorema. Dalam filsafat Yunani, aksioma sering disebut sebagai hipotesis (perhatikan bahwa pengertian hipotesis di sini berbeda dengan pengertian hipotesis yang biasa kita pahami dalam metode ilmiah. Pada metode ilmiah, hipotesis adalah sesuatu yang harus kita buktikan kebenarannya)
Apa aksioma politik Badiou? Badiou menyakini aksioma/hipotesis komunis. Yang dimaksud Badiou dengan hipotesis komunis adalah ‘ide murni tentang kesetaraan.’ [hal. 220] Badiou memandang hipotesis komunis sebagai suatu invarian (tetapan/konstan) sepanjang sejarah. [hal 221] Jadi perjuangan kelas-kelas tertindas sepanjang sejarah, mulai dari kelas budak, kelas borjuis hingga kelas proletariat pada dasarnya memperjuangkan ide tentang kesetaraan, yakni komunis itu sendiri. Perhatikan bahwa Badiou tidak memandang komunis sebagai suatu bentuk masyarakat yang dicapai setelah kapitalisme melampaui sosialisme sebagaimana yang dipahami dalam interpretasi Marxisme klasik. Komunis lebih dianggap sebagai ide aksiomatik yang tidak perlu dibuktikan secara ilmiah melainkan diimani, sebagaimana teologi Paulus, jika engkau percaya maka engkau akan diselamatkan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan ialah hubungan praksis politik dengan negara. Badiou sangat anti dengan demokrasi parlementarian. Baginya praksis politik harus membuat jarak dengan negara. Ia berupaya mewujudkan ide komunis tanpa partai politik! Organisasi politik (orpol) bagi Badiou berupaya untuk mengintervensi negara agar lebih mewujudkan kesetaraan, akan tetapi organisasi itu tetap di luar tidak masuk di dalam negara. Misalnya, terhadap kaum petani yang tidak memiliki tanah maka orpol mengorganisir perlawanan yang tujuan akhirnya adalah hak-hak kepemilikan tanah petani itu diakui. Akan tetapi para aktivis militan yang bergabung dalam orpol yang memperjuangkan ide kesetaraan dalam peristiwa perlawanan tersebut tidak pernah masuk dalam negara, entah itu berupaya merebut alat negara atau dalam parlemen. Badiou menggunakan istilah ‘mengobati’ (prescribing). Jadi, baginya, praxis politik hendaknya ‘mengobati negara.’ Ibaratnya seperti dokter yang mengobati pasiennya dari luar demikian pula subyek emansipatoris mengintervensi negara dari luar.
Pada akhirnya, Badiou memandang era revolusi sudah berakhir, kapitalisme adalah rule of the game yang berlaku saat ini, sikap terhadap negara pun termoderasi. Negara tidak perlu direbut, dihancurkan, atau diubah secara radikal. Negara kapitalis yang sakit ini hendaknya diobati, diperbaiki. Hal ini cocok dengan konsep ekspansi generik yang dipaparkan di atas. Kebenaran hanya merupakan suatu suplemen, tambahan, terhadap sistem representasi yang sudah ada. Tambahan ini tidak menghapuskan rezim representasi yang sudah ada tersebut. Ibarat ensklopedia, ia menambahkan kata baru dalam edisi revisinya tanpa menghilangkan koleksi pengetahuan lama yang sudah tercantum di dalamnya. Bagi saya, praxis politik Badiou sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praxis aktivis HAM.
Kritik terhadap pemikiran Badiou
Dalam bagian penutup dari buku ini, MS memberikan pandangan kritis terhadap pemikiran Badiou. Saya akan menggarisbawahi dua poin dari kritik MS tersebut yang saya anggap penting:
Pertama, Badiou memandang representasi dalam kerangka moral [hal. 267]. Segala sesuatu yang berbau representasi (negara) dianggap buruk;
Kedua, aksioma politik Badiou tidak memiliki basis material, yakni aspek ekonomi (basis) sebagaimana yang dipaparkan dalam materialisme historis.
Terhadap kedua poin kritik MS ini saya berpendapat: pertama, memang benar bahwa ada kerangka moral yang menyebabkan sikap negatif Badiou terhadap representasi atau negara. Dalam karangan lain mengenai etika, Badiou mempersoalkan apa yang bisa mencegah subyek menjadi otoriter setelah berhasil mendesakkan kebenaran dalam rezim representasi? [kajian tentang ini bisa dilihat pada Bab 12 buku Peter Hallward yang saya acu di atas] Tampaknya Badiou mengacu pada pengalaman Revolusi Prancis dan Revolusi Bolsheviks yang keduanya berakhir dengan kekuasaan otoriter. Oleh sebab itu Badiou bersikap berhati-hati bila berurusan dengan negara. Negara dalam satu sisi diperlukan untuk menjamin kesetaraan anggota-anggotanya, tapi di sisi lain bila subyek telah masuk ke dalamnya, maka ia berpotensi menjadi otoriter. Oleh sebab itu subyek revolusioner sejati harus membuat jarak dengan negara.
Di sini saya menyetujui kajian dari Peter Hallward bahwa ada pengaruh Sartre di sini, terlepas Badiou melanjutkan tradisi marxis Althusser yang anti-humanis itu. Sartre menyadari bahwa praxis politik yang dilakukan oleh sekelompok individu yang mengikat diri dalam organisasi politik militan itu setiap saat terancam menjadi reguler, kaku dan otoriter. Sartre menyebutnya sebagai medan practico-inert. Maka subyek yang sejati adalah mereka yang mendobrak regularitas dan normalitas itu. Regularitas ini mirip sekali dengan rezim representasi dalam pemikiran Badiou yang tunduk oleh aturan ordinal. [Kaitan pemikiran Badiou dengan pemikiran Sartre ini bisa dilihat pada buku Hallward yang saya kutip di atas, hal. 41 – 43]. Dalam Ada dan Peristiwa dunia reguler atau normal semacam itu hanya cocok untuk alam bukan dunia kemanusiaan yang penuh dengan singularitas.
Saya mengritik pemikiran Badiou yang mengatakan tidak ada singularitas pada alam. Mereka yang mempelajari fisika modern, saya kira, akan memahami bahwa alam tidaklah sereguler yang Badiou bayangkan. Ada dunia atom yang hanya dapat dipahami berdasarkan prinsip ketidakpastian, ada pertanyaan yang belum terjawab tentang apa yang terjadi sebelum dentuman besar (big bang), fenomena lubang hitam (black hole), dst. Bagi saya, alam penuh singularitas. Dengan demikian alam dan sejarah kemanusiaan memiliki homomorfisme struktur. Tetapi saya sepakat bahwa konstruksi struktur ialah harus dipandang sebagai pendekatan (aproksimasi) terhadap kebenaran. Tegasnya, kebenaran hanya bisa diaproksimasi dan proksimasi itu kepunyaan manusia. Bahasa dan pengetahuan struktural manusia harus dipahami sebagai berkah. Pada awalnya adalah kata (logos)! Struktur/pengetahuan ilmiah adalah jalan menuju kebenaran, senjata kita untuk merubah dunia. Pengetahuan/struktur/representasi tidak sejahat yang dianggap Badiou.
Terhadap poin kritik MS yang kedua, saya berpendapat bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi dari logis dari pandangan Badiou mengenai imanensi politik. Politik hanya dipandang bagi dirinya sendiri lepas dari determinasi apapun. Dalam imanensi politik, basis material ekonomi tidak mendeterminasi politik. Ini suatu perkembangan yang sudah jauh melampaui konsep overdeterminasi Althusser. Aksioma kesetaraan Badiou ini tidak perlu didasari darimana-mana, tetapi harus dianggap sebagai suatu kebenaran yang harus diyakini bukan dinalarkan, apalagi diturunkan dalam program politik. Justru hal inilah yang mengondisikan mengapa pemikiran Badiou dapat ‘disalah-gunakan’ sebagaimana pembacaan Badiou oleh sekelompok intelektual di Indonesia. Kan penalarannya begini: bila kita menganggap politik adalah sesuatu yang imanen, tidak dideterminasi oleh basis ekonomi, apa yang membuat kelas proletariat menjadi kelas yang berperan penting dalam melawan kapitalisme? Tidak ada! Oleh karena itu ini bisa dijadikan alasan untuk melegitimasi kemunculan subyek-subyek baru: kaum gay/homoseks/lesbian, gerakan perempuan, kaum miskin kota, kelas menengah, dsb.
Benarkah politik dalam pemikiran Badiou imanen? Saya berpendapat politik dalam pemikiran Badiou tidaklah terlalu otonom. Pertama, kemunculan peristiwa dan subyek sudah dikondisikan oleh kekosongan. Kekosongan meski tidak memastikan ada atau tidaknya peristiwa dan subyek yang muncul (sebagai dua pilihan aksiomatis di atas), namun ia mengondisikan peristiwa dan subyek. Demikian pula kebenaran juga harus menyesuaikan dengan hukum-hukum internal representasi. Pendek kata, saya menyatakan bahwa kekosongan dan representasi mengoverdeterminasi peristiwa emansipatif (politik) dalam Badiou. Dan bukankah kekosongan itu adalah hasil dari pengondisian dari corak produksi kapitalisme? Dan bukankan hukum-hukum representasi bisa dianalogkan dengan negara? Dengan demikian politik tidaklah imanen. Politik teroverdeterminasi.
Badiou pernah menyatakan bahwa “marxisme tidak eksis” [Alain Badiou, Metapolitics, trans. Jason Barker, Verso, 2006, hal. 58]. Karena itu saya berpendapat bahwa jika pemikiran Badiou, bila mau ditempatkan dalam tradisi Marxisme, maka Marxisme yang dimaksud sudah jauh sekali bergeser dari Marxisme klasik sebagaimana yang kita pahami. Bahkan konsep imanensi politik, bagi saya, sudah merupakan ruptur (patahan) epistemiologis dengan konsep overdeterminasinya Althusser. Karena itu saya berpendapat, bukunya MS ini lebih tepat diberi judul ‘Alain Badiou dan Masa Depan Komunis,’ sebab ide hipotesis komunis lebih bergaung dalam pemikiran Badiou daripada Marxisme. Tentunya dengan catatan bahwa konsep komunis Badiou ialah ide kesetaraan radikal, bukan suatu proses historis atau fase setelah sosialisme.***
Danny Pattiradhawane, anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)