CERITA PENDEK
AKU teringat pada Marcial Antonio Requelme, lelaki asal Paraguay. Marcy, begitu panggilan yang kukenali. Ia pernah menulis sesuatu di balik sampul buku ‘Sangkur dan Pena’ koleksiku.
“Mahasiswa yang bernafas kini berada di jaman revolusioner. Jaman saat rakyat memberontak dan menentang kolonialisme, feodalisme, imperialisme dan diktator dengan tujuan satu kemerdekaan penuh. Cukup makan, kemanusiaan, dan pendidikan. Diktator dan kelaparan adalah musuh mahasiswa.”
Goresan pena Marcy itu entah kutipan siapa. Mungkin kutipannya. Barangkali pula milik orang lain. Aku yakini saja bahwa itu memang kutipannya, yang berangkat dari prinsip-prinsipnya.
Ah, Marcy, tulisanmu masih terbaca jelas di balik sampul buku koleksiku. Tapi kini engkau entah di mana. Kabarmu tak pernah terdengar lagi, selain email terakhirmu yang kau kirimkan di awal 2001, bertepatan dengan hari kelahiranku.
***
Barangkali Marcy sudah mati. Aku tak pernah menyesalinya —jika benar dia telah mati. Sebab kami tahu, itulah resiko terkecil dari prinsip dan jalan hidup yang telah kami pilih. Namun, iika kematiannya memang benar terjadi, aku sungguh tak mengerti kenapa tak ada seorang pun yang mengabarkannya padaku.
Kawan-kawannya tak menjawab pertanyaanku dengan jelas. Hanya basa-basi dan cerita yang tak pasti. Begitu pun kekasihnya, Erica Gloria Rosaria, yang berbelit-belit jika ditanya tentang keberadaan Marcy.
Suatu kali, di tahun 2008, aku merasa harus mendapatkan kejelasan itu. Aku menelepon Erica melalui sambungan international ke nomor yang pernah diberikannya padaku lewat email. Awalnya, ia terdengar senang saat tahu aku menghubunginya. Tapi dua menit berikutnya yang terdengar hanyalah suara pilu tangisnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku mengerti.
Sepekan berselang, kutemukan surat Erica yang ia tulis empat hari setelah aku meneleponnya. Ia meminta maaf atas sikap emosionalnya saat itu.
Dia senang bahwa aku masih ingat padanya, walau kami tak terlalu akrab. Aku memang kenal Erica hanya karena dia pacar Marcy saja. Sementara dia tahu banyak tentangku lewat cerita kekasihnya.
Lalu Erica bercerita mengapa kami kehilangan kontak di beberapa tahun terakhir. Selain hanya mengenalku lewat cerita Marcy, perempuan itu merasa segan harus membuka pembicaraan tentang sesuatu yang menyedihkannya. Erica merasa bahwa aku akan ikut sedih begitu tahu seperti apa nasib kawanku itu.
***
Bali pada pertengahan tahun 1996 adalah saat pertama kali aku bertemu Marcy. Aku datang karena sebuah undangan, sementara Marcy sebagai turis. Kebetulan kami menginap di hotel yang sama. Aku tahu, Marcy banyak memperhatikanku ketika sedang tekun membaca. Beberapa kali dia hendak menghampiriku dan berkenalan, namun tak dilanjutkannya. Ragu-ragu jika tindakannya itu akan mengganggu waktuku membaca.
Keraguannya tak sepenuhnya benar. Konsentrasiku tentu berpusat pada lembaran buku, tetapi aku pun masih peka situasi di sekelilingku. Itulah mengapa aku tetap tahu kalau Marcy memperhatikanku. Saat itu dia sendirian, duduk pada deretan sofa di seberang aku berada. Di dalam lobi Wisma Yani, di jalan yang bersisian dengan pantai Kuta.
Karena tahu gerak-geriknya, kututup bukuku dan tersenyum padanya. Kuangkat bukuku tinggi-tinggi ke arahnya, sambil mengirimkan kerutan kening dan menaikkan kedua bahuku. Aku ingin mengisyaratkan padanya bahasa tubuh yang berisi tanya; “Hey, what’s wrong with me, brother? Why did you look at me like that?”
Marcy menghampiriku dan mengangsurkan tangannya untuk bersalaman. Itulah perkenalanku dengannya. Sempat kutanya apa yang aneh padaku hingga ia selalu melihat ke arahku yang sedang membaca. Dia tertawa geli dan berkata bahwa ia senang dengan gayaku saat bersama buku. Duduk santai, melipat kaki sebagai tumpuan buku dan sebelah tangan menggantung sambil memainkan sebuah koin.
Kami berdua banyak bertukar kisah saat itu dan berlanjut sampai beberapa hari kemudian. Bahasa Inggrisnya terdengar lucu. Fasih namun diucapkan dengan langgam Spanyol berdialek Guarani. Aku kemudian mengetahui bahwa dia mahasiswa hukum tingkat tiga di Universitas National Asuncion. Dia juga ikut di banyak pergerakan di negaranya untuk memprotes kebijakan presiden Juan Carlos Wasmosy Monti. Presiden yang dianggap sebagian besar rakyat Paraguay sebagai diktator.
***
Bagi Marcy, kelaparan adalah nasib paling buruk yang bisa dialami manusia. Dia bercerita mengapa mereka, kaum mahasiswa di Paraguay, sangat peka pada persoalan itu. Juga kenapa ia sangat membenci kelaparan. Ternyata, sepenggal kisah masa kecilnya dihabiskan dalam keadaan lapar.
Keluarga Marcy hidup di pinggiran Asuncion yang kumuh. Marcy kecil kerap tak makan seharian dan baru pada esok harinya dia bisa menyantap masakan sederhana buatan ibunya. Makan bagi mereka adalah suatu hal mewah. Untuk sepanci kecil masakan ibunya, Marcy harus berbagi dengan tiga saudaranya yang lain.Tak usah kenyang, kata Marcy, bisa merasakannya saja sudah tergolong beruntung.
Suatu ketika, ibunya jatuh sakit sehingga tak bisa memasak buat mereka semua. Nyaris dua hari Marcy dan tiga saudaranya kelaparan, sampai seorang tetangganya bernama Mohammed Mas’ud Passula, seorang Muslim turunan Turky-Paraguay, datang pada malam hari. Mas’ud menengok mereka sebab mendengar Fontada, adik Marcy, terisak-isak menangis karena menahan lapar yang sangat.
Mas’ud lalu membawa mereka berempat, setelah sebelumnya meminta ijin pada ibu mereka dan menenangkannya untuk tak khawatir. Marcy sempat tak mau ikut karena cemas dengan keadaan ibunya, tapi Mas’ud memastikan bahwa ibunya akan baik-baik saja.
Malam itu, Mas’ud memasak banyak sekali. Keempat anak malang itu disuruhnya makan sampai kenyang. Saat hendak kembali pulang, Mas’ud membekali mereka setempayan besar penuh makanan. Mas’ud tahu, ibu Marcy tidak akan kuat untuk memasak. Makanan itu habis dalam tiga hari berikutnya, saat ibu Marcy sudah cukup kuat untuk menjaga keempat anaknya.
“Bapak Mas’ud itu masih hidup. Beliau seorang Muslim yang baik. Tak pernah marah pada tetangga. Bersama istrinya, dia sering meringankan beban ibuku. Bahkan karena itulah, ibuku pernah marah besar pada seorang tetangga lain yang mengganggu keluarga Mas’ud,” kata Marcy. Wajahnya berbinar ketika bercerita tentang ibunya dan keluarga Mas’ud. Berbeda saat ia menceritakan tentang ayahnya.
Ayah Marcy tak pernah ada di sisinya. Lelaki itu meninggalkan ibunya saat kelahiran adik Marcy yang paling bungsu, Manuella. Sang bapak tak pernah kembali, dan entah sekarang di mana. Marcy dan ibunyalah yang bekerja bahu membahu untuk memenuhi semua kebutuhan mereka sekeluarga. Apa saja dilakukan Marcy agar ibu dan ketiga adiknya bisa makan dan bersekolah. Kerja serabutan ini berkurang sejak Marcy masuk ke universitas dan magang di sebuah firma hukum. Sedikit demi sedikit ia mulai menerima penghasilan yang layak. Pelan-pelan, perubahan yang baik mulai terjadi di keluarganya.
***
Ingatanku melayang atas perlawanan rakyat Chili pada Augusto Jose Ramon Pinochet Ugarte, dan pada Salvador Allende saat mendengar pembangkangan yang mereka lakukan pada pemerintahan Paraguay yang sedang berkuasa. Namun sebelumnya, aku tak mendengar atau membaca apapun tentang pembangkangan itu karena tak pernah terbetik dalam berita-berita tentang Paraguay.
Dengan kukuh, Marcy bilang bahwa pemberitaan media soal Paraguay memang tampaknya aman-aman saja. Namun di lapangan, yang terjadi adalah sebaliknya. Politik sedang tak stabil. Demonstrasi mahasiswa terjadi di mana-mana. Resesi ekonomi mengacaukan situasi negara di bawah pemerintahan Juan Carlos Wasmosy Monti –dalam surat-suratnya kemudian, Marcy bercerita tentang buruknya pemerintahan baru lainnya, seperti pemerintahan presiden Raul Cubas Grau (yang mengundurkan diri karena terlibat dalam pembunuhan atas wakil presidennya sendiri), dan presiden Luis Angel Gonzales Macchi.
Akibatnya, banyak aktivis yang dibungkam dengan pemenjaraan dan penghilangan. Tekanan dari kalangan aktivis membuat Partai Liberal Radikal Otentik mengancam akan keluar dari koalisi. Akan ada rencana kudeta, begitu kata Marcy. Aku mengikuti kabar ini dengan seksama.
Kondisi Paraguay saat itu tak beda jauh dengan Indonesia yang sedang bergolak. Setelah Marcy pulang ke negaranya, kami makin sering bertukar kisah tentang kondisi dan perkembangan terbaru di negara masing-masing melalui email. Seringkali kisah-kisah itu menjadi bahan diskusi seru, terlebih saat kawan kawan pergerakannya juga mulai ikut dalam diskusi.
Diskusi makin intens ketika gerakan perubahan menyentuh Indonesia sejak tahun 1997-1998. Aku kerap menuliskan padanya berbagai kisah heroik kawan-kawan mahasiswa, kisah lucu, atau bahkan aneh pada semua entitas pergerakan kami. Kukirimi dia foto kekacauan di Jakarta 17-19 Mei 1998, juga di beberapa kota lainnya termasuk yang terjadi di Kendari pada 24 Mei.
Pada waktu itu, mahasiswa dan penduduk lainnya memenuhi jalanan di Kendari. Tak ada aktivitas militer. Markas Kodim dan markas Korem kosong, hanya dijaga beberapa orang berpakaian sipil tanpa senjata. Kantor gubernuran pun sunyi.
Kami para mahasiswa berhasil memaksa Gubernur Sulawesi Tenggara untuk menyetujui penurunan bendera menjadi setengah tiang setelah sebelumnya seorang petugas Satpol Pamong Praja berusaha mencegahnya. Petugas ini kami ‘amankan’ dan akhirnya kami menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil menurunkan bendera setengah tiang. Gubernur tak kami beri pilihan lain selain menghormat dengan tegap dan gagah.
Saat rombongan mahasiswa dengan 26 truk besar melintas di depan Markas Polisi Daerah Sulawesi Tenggara, tak ada seorang polisi pun yang tampak. Markas itu justru dipenuhi ibu-ibu Bhayangkari yang siap dengan puluhan kotak besar berisi nasi campur dan puluhan galon air mineral. Ibu-ibu itu menjamu kami semua ketika truk besar yang kami tumpangi melintasi jalan utama di depan kantor suami mereka, saat sedang konvoi menuju bandara untuk tujuan penguasaan.
Aku masih ingat berada di dalam konvoi itu bersama para penggerak mahasiswa lain seperti Saleh Hanan, Jusuf Tallama, Imam As’roi, Bambang Hendratmo (Alm.), Irianto Ibrahim, Jayadi, Iwan Rompo, Haris Palisuri, Rasman Manafi, Hayani ‘Theo’ Imbu, Ruslan Adijaya, Boy, Deli, Arminus Wuniwasa dan Adi (keduanya dari barisan LMND) dan beberapa kawan lainnya yang tak teringat lagi olehku.
***
Saat memandangi koleksi bukuku pada rak yang sesak, mataku tak sengaja melihat kembali buku ‘Sangkur dan Pena’ yang bersampul merah dan putih itu. Di sanalah aku menemukan kembali jejakmu, Marcy. Tulisan tanganmu itu.
Lalu, aku temukan semua jawaban atas semua pertanyaanku lewat kekasihmu. Dia membenarkan bahwa kudeta telah terjadi. Bahwa engkau ikut di dalamnya, tak kenal lelah menyuarakan kepentingan “orang kelaparan”. Bahwa suatu kali kamu ditangkap, lalu kemudian dibebaskan. Begitu kisah Erica dalam suratnya.
Kudeta memang akhirnya terjadi di tahun 2000. Marcy dan kawan kawannya mulai menyerang kepentingan L.A Gonzales Macchi. Ikut mendesak Senat dan Majelis Rendah untuk melancarkan impeachment pada presiden Macchi. Gerakan kudeta tak berdarah itu, kata Erica, gagal total karena kuatnya kubu pendukung presiden Macchi di Senat. Kegagalan ini membuat Erica kehilangan Marcy karena kekasihnya itu ditangkap kembali.
Sejak itu, tak pernah lagi terdengar kabar Marcy. Seorang kerabat Erica yang bekerja di Policia Nacional del Paraguay (Kepolisian Nasional Paraguay) memberi kabar bahwa Marcy “tewas di tahanan oleh sebab yang tidak diketahui”.
Kesedihan segera menghantam Erica, diperparah dengan tak adanya kepastian tentang bagaimana jenazah Marcy bisa dikembalikan kepada keluarganya. “Tak ada. Tak pernah ada informasi atau niat baik pemerintah Macchi untuk membeberkan sejumlah kasus itu”. Artinya, kawan baikku, Marcy, memang sulit diketemukan lagi.
Tulis Erica di email-nya :
“Kawan Ilo, kami ada harapan menemukan kebenaran perihal nasib Marcy ketika Macchi gagal mempertahankan jabatannya di Pemilu 2003. Kami mendesak presiden baru Nicanor Duarte untuk membongkar kebusukan pejabat kepolisian dan siapa saja yang berada di belakangnya, atas sejumlah kasus kematian aktivis. Aku, dan keluarga Marcy, khususnya ibunya, akan sangat berterima kasih pada pemerintah Duarte jika cukup diberitahu soal kuburan Marcy dan aktivis lain yang ikut mati bersamanya. Tapi, itu tak pernah terjadi.”
Marcy dan Erica memanggilku dengan nama kecilku; Ilo. Mereka suka menyebutnya begitu, sebab singkat dan mengingatkan mereka dengan ILO, organisasi buruh PBB.
“Satu satunya harapan Marcy yang terwujud adalah terbongkarnya skandal penipuan dan penggelapan pajak yang dilakukan mantan presiden Macchi. Orang sesat itu dihukum enam tahun penjara dua tahun yang lalu (2006).”
Surat Erica ini bertahun 2008. Jadi dua tahun sebelumnya, saat kubaca email Erica, musuh Marcy sudah dijebloskan ke penjara.
***
Ah, Marcy, aku teringat padamu lagi, kawan. Ternyata engkau telah lama hilang. Erica mengenangmu dalam tangisannya. Perempuan itu dipinang teman dekatmu, namun dia jujur bilang dalam suratnya; tak pernah bisa melupakanmu. Calon suaminya, yang juga kawanmu, tahu benar soal derita Erica itu. Setiap hari dia berusaha keras menemukan dan mengumpulkan setiap jejakmu. Entah berupa informasi soal keberadaan kuburanmu atau sedikit saja petunjuk sejumlah kematian di sel tahanan diktator Macchi.
Kata Erica, calon suaminya itu tak pernah merasa benar-benar dicintai olehnya, jika belum bisa menghapus bayang-bayangmu dari fikirannya.
Telah kutulis balasan surat untuk Erica. Aku bilang aku sudah cukup senang mengetahui semua hal yang tak mereka katakan padaku selama ini. Aku mengirimkan doa buatmu, kawan. Juga buat Erica. Pada perempuan itu, aku minta agar dia mencoba berdamai dengan dirinya, dengan hatinya. Sehingga dia tak terbelenggu pada semua kenangan yang pernah kalian jalin bersama-sama.
Aku menaruh hormat pada lelaki kawanmu, yang meminang Erica itu. Tak mudah menemukan calon suami yang baik seperti dia. Aku meminta Erica tidak menyia-nyiakan usahanya. Aku minta Erica mulai belajar mempercayai calon suaminya. Tapi aku pun memintanya untuk tak surut dan terus mencari makammu.
Ah, Marcy, sekian dulu kawan. Aku akan selalu memelihara kenangan perkawanan kita. Aku tak tahu kini engkau sebahagia apa, tapi aku yakin engkau sekarang lebih tenang dari sebelumnya.
Marcy, dimana pun engkau, demi semua prinsipmu, aku senang telah mengenalmu.
Demi perlawanan, Marcy. Kini tenanglah.****
(Berdasarkan kisah nyata perkawanan penulis dengan Marcial Antonio Requelme)
Ilham Q. Moehiddin, editor, The Indonesian Freedom Writers