Epik Atau Romantik

Print Friendly, PDF & Email

Tips Menonton Opera Tan Malaka

“Seni yang tidak politis adalah seni yang bersekutu dengan kelas penguasa!”

[Bertolt Brecht, Kleines Organon für Das Theater, paragraf 55].

Pertunjukan yang berat dan lain?

SALAH SATU media massa besar di Indonesia, yaitu Tempo, berulang tahun ke-40 pada 2011. Untuk merayakannya, diadakanlah pentas teater pada Sabtu – Minggu, 23 – 24 April 2011 di Graha Bhakti Budaya (GBB) Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pentas tersebut membawakan lakon Opera Tan Malaka (OTM) yang dikarang dan disutradarai oleh redaktur senior majalah Tempo dan pengampu komunitas Salihara, Goenawan Mohamad (GM). Dalam penggarapannya, OTM juga dikomandoi oleh komponis Tony Prabowo. Sebelum tampil di GBB, OTM sempat dipentaskan di teater Salihara dan sempat dicobakan untuk pentas di Malang dan Kediri, tempat jenazah Tan Malaka dimakamkan. Sayang, pentas di Malang dan Kediri batal karena dilarang aparat keamanan setempat, terkait dengan isi Tap MPRS/XXV/1966. Sesunguhnya, pentas OTM di GBB sudah didahului oleh terbitnya teks Opera Tan Malaka dan Dua Lakon Lain karangan GM di akhir 2009.

Kabarnya, tiket pertunjukkan OTM seharga dua ratus lima puluh ribu habis terjual. Ini hal yang patut dikagumi, mengingat pada kurun 2010 – 2011, bioskop-bioskop menyuguhkan film-film picisan bertema horor dan kecabulan yang tidak mendidik. Dapat dikatakan, kaum urban yang datang menonton OTM menemukan titik cerah estetis pada pertunjukkan OTM. Dengan kata lain, usaha GM patut diacungi jempol bahwa dia masih menaruh harapan di Indonesia atas hadirnya pencerahan budi di tengah kekelaman jagat hiburan dan estetika tanah air. Selain itu, OTM juga bukan sekedar pertunjukan yang sewarna dengan pertunjukan-pertunjukan sold out macam Laskar Pelangi atau Ali Topan, ia pertunjukan yang berusaha keluar dari jebakan komersialisasi. Laporan di media-media massa besar mengatakan OTM ini lain. Rata-rata para penonton yang pernah menyaksikan Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Sang Pencerah atau Gie memberi kesan bahwa OTM ini berat.

Apa yang lain pada OTM dapat kita cari dari pengalamannya dengan aparat di Malang – Kediri atau dari tulisan brosur pertunjukan tersebut. Aparat mencium adanya ideologi kiri atau komunisme dalam OTM. Sedangkan dalam brosur, tertulis,”Goenawan Mohamad dan Yudi Ahmad Tajudin, dua sutradara yang bekerja sama menggarap pementasan ini, memilih untuk mengambil model teater epik ala Erwin Piscator, Vladimir Mayakovsky, Vsvolod Meyerhold dan Bertolt Brecht dari masa revolusioner Jerman tahun 1930-an: yang ditampilkan adalah sebuah montase dari pelbagai anasir yang berbeda – multimedia, gerak, teks, reportase, kur, puisi – di atas panggung yang didesain dalam gaya Konstruktivisionis Rusia setelah Revolusi Oktober 1917.”[1]

Tan Malaka adalah tokoh kiri. Piscator, Mayakovsky, Meyerhold dan Brecht juga merupakan tokoh-tokoh estetikawan kiri dan Marxis. Jadi, dapat ditarik suatu spekulasi bahwa apa yang berat dan lain bagi penonton adalah sesuatu yang kiri. Dikatakan berat karena model teater ala Piscator, Meyerhold maupun Brecht, bukanlah model teater konvensional seperti yang biasa dipentaskan di GBB. Dikatakan berat juga karena OTM ini adalah naskah asli yang mengambil model teater epik, bukan teks-teks dramawan epik yang bisa dibaca sebelum menonton pertunjukan. Dikatakan lain karena apa yang kiri di Indonesia sudah lama dilumpuhkan dan disenyapkan paska 1966. Sejak 1966, apa yang kiri hanya bertebaran bagai remah-remah, meskipun yang remah-remah itu ada yang meledak macam, tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer. Dapat dikatakan OTM bukanlah remah-remah karena dia berhasil hadir di Taman Ismail Marzuki, tempat di mana seniman W.S. Rendra dan Hardi pernah ditangkap karena kegiatan seninya.

Yang dapat dianggap prestisius, GM yang pernah tergabung dalam kelompok Manikebu pengkritik Lekra-PKI, adalah tokoh yang tidak pernah dipenjara oleh pemerintah Republik Indonesia. GM dalam karir ketokohan intelektualitasnya, tampaknya selalu punya posisi yang cerdik dan beruntung. Dengan berhasilnya pertunjukan OTM yang berat, lain dan beraroma kiri, pamor tentang yang cerdik dan beruntung tersebut kian kentara. Jika OTM dipandang sebagai pengusik Tap. MPRS/XXV/1966 sekaligus pionir jagat estetika Indonesia kontemporer, maka dapat dikatakan, sesungguhnya OTM adalah tahapan genesis dan GM adalah tokoh yang pertama merahimkannya. Literatur tentang ke-genesis-an seperti dalam kitab suci Abrahamistik, traktat big bang kosmologi, kisah Theogonia Hesiodos,  biasanya menggambarkan hal-hal yang sederhana, mudah dan lugas tentang hal-hal permulaan. Melihat kaitan historis ketokohan GM, keberhasilan pertunjukan OTM dengan suasana estetika-politik Indonesia paska 1966, kita dapat mengatakan OTM bukanlah pertunjukan yang berat, melainkan suatu permulaan sebagaimana yang ditulis GM dalam salah satu bait libreto OTM, ”Sebab pada mulanya adalah perbuatan. Dengan kata lain: ketidakpastian.”

Maka terlalu nekat kiranya jika ada tulisan yang berusaha membedah secara tajam OTM seturut kaidah dramarturgi teater epik dan seturut pisau penilik maksud-maksud politik di balik OTM. Tentang genesis, tentang benarkah ada buah apel telarang yang dimakan Adam– Hawa seturut godaan ular iblis di taman Eden, adalah tentang wilayah hablur-elusif jika harus ditembak oleh anak-anak panah kritik ilmiah. Berhadapan dengan kisah genesis, titik pijak ilmiah menjadi bagaikan sendok makan perak di depan belut liar rawa-rawa. GM sendiri dalam buku kumpulan tulisan ‘Marxisme Seni Pembebasan,’ mengatakan bahwa pada mulanya adalah kata. Konstruksi kata itu seperti belut; ada tetapi sulit ditangkap. Lebih-lebih GM juga sering mengatakan bahwa kata dan seni seharusnya multitafsir dan tidak terkontrol secara totaliter. Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mencerap OTM dan juga pemikiran GM?

Jika tidak ada yang dapat dilakukan, maka apresiasi terhadap OTM mungkin sebatas lintang-pukang keheranan tentang pertunjukan sensasional, elit dan sulit dimengerti. Jika teater absurd nan rumit oleh Samuel Beckett, Eugene Ionèsco, Jean Genet, Friedrich Dürrenmatt dan Fernando Arrabal saja dapat diapresiasi dan dinikmati lebih baik, mengapa OTM tidak? Apresiasi kritis terhadap OTM justru menempatkan pertunjukan tersebut sekaligus penciptanya dalam posisi terhormat, tidak seperti pemeran topeng monyet yang posisinya begitu rendah karena hanya dihargai selembar uang seribu tanpa apresiasi kritis. Lalu, bagaimana caranya? Kita dapat pergi ke wilayah di mana model teater OTM itu ada. Ambil saja pembacaan terhadap sekelumit hal teater epik dan pemikiran Brecht (tokoh teater epik yang paling terkenal), sambil berharap pembacaan tersebut menghasilkan tips sederhana untuk memahami OTM dan pemikiran GM.

Siapakah Brecht?

Brecht lahir dengan nama, Eugen Berthold Friedrich Brecht.  Lahir pada 10 Februari 1898 di sebelah barat Munich, Jerman. Orangtua Brecht adalah Yahudi yang berkonversi menjadi Protestan dan Katolik, sebagaimana kebiasaan orang-orang Yahudi Jerman paska kebijakan anti semit Otto von Bismarck. Ayah Brecht, yang bekerja sebagai direktur pabrik kertas, adalah orang yang cukup berada sehingga pendidikan Brecht dapat dijamin dengan baik. Ibu Brecht seorang Protestan yang cukup religius dan Brecht merasa cukup beruntung bisa mengenal sastra kitab suci dari ibunya. Saat berumur 16 tahun, Perang Dunia I pecah dan Brecht menjadi tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan kemiliteran dan perang. Terhadap ketertarikan itu, ayahnya mengirim Brecht ke Universitas Munich pada tahun 1917, untuk belajar medis. Di Munich, Brecht bertemu Arthur Kutscher, seorang sejarawan Jerman dan peneliti drama. Brecht muda segera tertarik dengan drama kabaret ala Frank Wedekind, lalu segera mempelajari teater di bawah bimbingan Kutscher. Pada musim gugur 1918, Berthold Brecht meninggalkan bangku universitas dan pergi ke medan perang sebagai petugas medis.

Beberapa bulan kemudian setelah perang berakhir, Brecht mendapatkan seorang anak di luar nikah dari Paula Banholzer. Pada 1921, Brecht sempat ambil bagian dalam teater kabaret politis Karl Valentin. Brecht mengatakan Valentin seperti Charlie Chaplin di Inggris. Ketertarikan Brecht dengan komedi-komedi politis Valentin, membuatnya kagum dengan Valentin, Wedekind dan Karl Georg Büchner, para tokoh teater modern Jerman. Pada 1922, karier Brecht sebagai dramawan mulai melejit. Saat itu, dia menikahi penyanyi opera, Marianne Zoff yang memberinya putri, Hanne Hiob yang akan menjadi artis terkenal di Jerman. Hubungan Brecht dengan Zoff mulai retak hingga bercerai pada 1927. Saat terjadi keretakan itu, Brecht menjalin hubungan dengan Elizabeth Hauptmann dan Helene Weigel. Stefan, putra Brecht dengan Weigel lahir Oktober 1924.

Selama bergulat dengan kehidupan teater Jerman zaman Republik Weimar, film Chaplin Perburuan Emas dan film Sergei Eisenstein Kapal Tempur Potemkin yang muncul pada 1925, mempengaruhi Brecht. Ia lalu belajar tentang pesan-pesan yang disampaikan Chaplin untuk memikirkan visi teater Epik-nya. Sedangkan dari Eisenstein, Brecht banyak belajar tentang teori Montase. Pada 1926, beberapa seri drama diproduksi oleh Brecht yang dibantu oleh Hauptmann. Saat itu, Brecht mulai tertarik mempelajari sosialisme dan Marxisme. Tentang pengaruh Marxisme dalam dramanya, Brecht berkata, ‘Ketika aku membaca Kapital karya Karl Marx, aku memahami drama-drama yang aku tulis. Menurutku, Marx adalah satu-satunya penonton setia dari drama-dramaku.’

Seputar 1927, Brecht mengaku dipengaruhi oleh Piscator dalam menyusun desain panggung pertunjukan. Menurut Brecht, Piscator membuka jalannya untuk mengkonstruksi teater yang epik, politis, dikdaktis (mendidik), konfrontatif dan dokumenter. Brecht bersama Piscator digolongkan dalam dramawan yang memperkenalkan Bentuk Baru Drama, suatu drama yang penuh teknik interupsi, montase dan hasil yang tidak selesai.

Selama periode 1927 – 1928, Brecht bergulat menemukan metode untuk menampilkan drama yang menunjukkan relasi produksi kapitalisme yang kompleks. Kemudian, Brecht merasa berhasil menunjukkannya melalui drama Santa Yohana dari Stockyards yang dikerjakannya pada periode 1929 – 1931. Seputar 1927 – 1930 adalah awal kerjasama Brecht dengan komposer Kurt Weill dan desainer panggung, Caspar Neher. Kerjasama ketiganya membuat Brecht menyimpulkan suatu prinsip baru tentang teater yaitu, ‘Pemisahan Unsur-unsur.’ Dalam prinsip estetika tersebut, teori Montase Eisenstein dan Dziga Vertov berusaha diterjemahkan ke dalam pertunjukan teater. Unsur-unsur teater seperti, teks, kur, panggung dan dekorasi diposisikan secara mandiri dalam wilayah yang saling berseberangan untuk menggambarkan posisi tesis dan antitesis dalam Dialektika Materialisme. Jika dikaitkan dengan khazanah ke-teater-an Jerman, maka prinsip ini berseberangan dengan prinsip ‘Kesatuan Karya Seni (Gesamtkunstwerk)’ yang dicetuskan komposer Richard Wagner. Periode teater Brecht selama Republik Weimar berlangsung sukses hingga munculnya rezim NAZI pada 1933. Ketika Brecht lari dan berupaya berkegiatan di Amerika, dia mendapat cap komunis oleh House of Un-American Activities Committee.

Ketika NAZI memulai program anti semitnya, Brecht meninggalkan Jerman pada Februari 1933. Brecht mengungsi ke Denmark, Swedia dan Finlandia sembari menunggu visa ke Amerika yang baru muncul pada 3 Mei 1941. Selama Perang Dunia II berlangsung, Brecht menuliskan karya-karya eksil yang isinya menentang ideologi Nasionalisme Sosialis dan Fasisme. Karya-karya yang terkenal itu antara lain berjudul, Kehidupan Galileo, Ibu Berani dan Anak-anaknya, Orang Baik dari Setzuan, Kebangkitan Tak Terbantahkan Arturo Ui, Lingkaran Kaukasian dan Kengerian dan Kepedihan Rezim Reich Ketiga. Selama di Amerika, Brecht bekerja sama dengan sesama Yahudi pelarian Eropa seperti komposer Hans Eisler dan Fritz Lang dalam mengerjakan film dan pertunjukan.

Perang Dunia II selesai pada 1945 dan Perang Dingin dimulai oleh Blok Barat dan Timur. Amerika yang masuk dalam Blok Barat mencap Brecht sebagai komunis dan musuh negara yang harus diawasi. Pada 30 Oktober 1947, Brecht bersaksi di depan sidang bahwa dia bukan anggota partai komunis. Keesokan harinya, Brecht kembali ke Eropa. Sesampainya di Swiss, Brecht memproduksi drama Antigon karya Sopokles berdasar terjemahan Friedrich Hölderlin. Esai mengenai pementasan tersebut yang berjudul Antigonmodell dan terbit 1948 menjelaskan tentang prinsip ‘Drama Non Aristotelian.’

Dalam prinsip tersebut, Brecht menjelaskan bahwa suatu jenis drama yang berbeda bentuk serta prinsipnya dibanding penjelasan Aristotles dalam karya Poetika. Brecht menyebut penjelasan Aristoteles adalah penjelasan tentang tragedi dalam model dramatik. Sedangkan lawan dramatik tersebut adalah epik. Menurut Brecht, perbedaan dramatik dan epik terletak pada metode konstruksinya. Yang dimaksud sebagai metode konstruksi adalah relasi-relasi dalam drama yang dibangun (dikonstruksi) antara bagian-bagian dan keseluruhan drama tersebut. Drama epik merupakan relasi bagian-bagian yang saling berdialektika, berbeda dengan drama dramatik yang seolah-olah sudah ditentukan kesatuannya sejak semula. Drama epik berbeda dari dramatik yang seturut naskah, menginterupsi naskah.[2]

Selain itu, Brecht juga membedakan isi filosofis antara epik dan dramatik. Menurut Brecht, yang epik mendasarkan diri pada filsafat Materialisme dan berprinsip untuk tidak mengakumulasikan emosi penonton, tidak selalu wajar tetapi ada batas akhirnya, memiliki pesan yang jelas tetapi tidak mau terjebak pada penyampaian yang vulgar. Menurut Brecht juga, yang epik biasanya memiliki struktur yang cair dan penuh warna komedi. Dalam Poetika, Aristoteles menyebut komedi sebagai drama rendahan dan yang dianggap drama yang penuh unsur estetika serius adalah tragedi. Brecht mengkritik Aristoteles dengan mengatakan bahwa manusia selalu menjadi agen produksi yang terkait dengan relasi sosial-produksi dalam masyarakatnya. Posisi sosial dan historis manusia tersebut adalah titik estetika yang paling mendasar. Pengungkapan posisi tersebut dalam drama, mendekati metode-metode komedi yang berupaya dengan realistis menangkap sejarah, tidak seperti tragedi yang penuh unsur ahistoris. Dengan pembedaan ini, Brecht berupaya menegaskan bahwa drama epik berupaya menghadirkan estetika ilmiah sebagaimana upaya Marx-Engels menunjukkan sosialisme ilmiah melalui Pandangan Sejarah Materialis. Drama epik berupaya menunjukkan relasi produksi individu dalam suatu masyarakat yang memiliki modus produksi tertentu dan yang sedang berjalan dalam sejarahnya.

Brecht kembali ke Berlin pada 1949, yang termasuk dalam kekuasaan Blok Timur. Meskipun mengaku tidak pernah masuk sebagai anggota partai komunis, Brecht mempelajari dan mengikuti Marxisme. Penjelasan Karl Korsch tentang dialetika Marxis sangat memengaruhi Brecht untuk memikirkan teori estetika maupun praksis teaternya. Bagi Korsch, gagasan sentral Marx adalah Prinsip Khusus Historis. Prinsip tersebut menjelaskan suatu metode yang berupaya memahami seluruh dimensi sosial dalam usaha memahami sejarah. Menurut Korsch, Marx tidak pernah menciptakan kategori-kategori eksternal untuk memahami masyarakat dan sejarahnya. Artinya, Marx selalu berangkat dari masyarakat yang ada termasuk dari unsur-unsur borjuisnya. Menurut Korsch, motor material sejarah yaitu, revolusi, beralih dari borjuis ke proletar. Korsch menekankan kerangka pemikiran tentang sejarah, sehingga, menurutnya, ilmu-ilmu dan filsafat yang sering dicap sebagai bentukan borjuis, tidak masalah dipakai untuk menegaskan kerangka sejarah sosialisme ilmiah. Korsch masuk dalam Partai Komunis Jerman, tetapi berseberangan dengan Grigory Zinoviev, pejabat Partai Komunis Uni Soviet di bawah Joseph Stalin. Brecht mengagumi penafsiran Korsch tentang dialektika, terutama tentang kerangka pemikiran sejarah. Kegiatan Brecht selama di Jerman Timur membuatnya dihadiahi Penghargaan Stalin pada 1954. Pada 14 Agustus 1956, Brecht mendapatkan serangan jantung dan meninggal. Dia dimakamkan di pekuburan Dorotheenstädtischer Chausseestraβe Mitte Berlin.

Brecht lahir dalam keluarga Yahudi borjuis di zaman Imperialisme. Ketertarikannya pada situasi perang imperialistis justru membawanya ke wilayah estetika. Brecht tampil sebagai seniman yang flamboyant, mengingat hubungannya dengan banyak perempuan. Estetika borjuis adalah seni yang menghibur, jauh dari kecamuk dunia politik. Tetapi Brecht justru melihat adanya kaitan antara dunia sosial-politik dan dunia kesenian. Pemikiran tentang keterkaitan itu membawanya untuk menjadi dramawan yang merombak prinsip-prinsip drama hiburan konvensional ala borjuis. Brecht menemukan bentuk awal gagasan-gagasannya estetikanya dalam istilah teater epik. Brecht semakin menegaskan teori teater epik-nya setelah memahami Marxisme berikut Pandangan Materialis Sejarah dan Dialektika Materialisme. Pemahaman tersebut ditegaskan Brecht dengan memilih Berlin, Jerman Timur yang dipimpin pemerintah komunis sub Uni Soviet sebagai tempat tinggalnya. Dengan demikian, dapat dikatakan, Brecht adalah seorang Marxis dan warga komunis. Teori teater epik-nya, yang tetap dipertahankan hingga akhir hayat, pasti juga terkait dengan ideologi warga negaranya; suatu teori teater yang melawan ideologi estetika borjuis.

Karena itu, perlulah untuk memberi porsi pemahaman lebih lanjut mengenai apa teater epik itu sendiri.

Apa yang dimaksud dengan epik?

Mengapa Brecht sampai membaca Poetika Aristoteles? Ada dua hal yang dapat dispekulasikan. Pertama, Brecht ingin mencari pendasaran yang tegas bagi teater epik-nya. Aristoteles dikenal sebagai filosof besar dan salah satu filosof yang memperhatikan estetika termasuk drama. Dengan membaca dan mengritik pemikiran estetika Aristoteles, Brecht mengharapkan dasar estetis teater epik menjadi kuat. Kedua, sesungguhnya Brecht ingin menghantam model-model teater sezamannya di Jerman. Dengan pergi jauh menuju tempat Aristoteles, Brecht berharap model-model teater sesudah Aristoteles dapat dikritik, sehingga apa yang disebut aliran ‘Bentuk Drama Baru Jerman’ yang dibawa Piscator dan Brecht memang bergaung kuat. Usaha Brecht ini dapat disetarakan dengan usaha Platon mengkritik Homeros dalam Politeia untuk menghantam tindakan para sofis.

Para maestro drama Jerman yang terkenal adalah Johann Wolfgang von Goethe juga Hölderlin. Keduanya dikenal sebagai dramawan romantik, seniman yang berusaha membangkitkan kembali kejayaan masa lampau. Kekaisaran Romawi melakukan gerakan romantik dengan berusaha membangkitkan kembali budaya Yunani Helenisme, yang menurut mereka hebat. Goethe dan Hölderlin adalah penyuka tragedi-tragedi Yunani, dan tentu saja, keduanya memahami betul apa yang ditulis Aristoteles dalam Poetika. Jika Brecht si pembawa ‘Bentuk Drama Baru’ ini mengritik Aristoteles tentang apa yang dramatik, tentu saja Brecht juga mengritik tentang apa yang dikenal di Jerman hari itu sebagai yang romantik. Brecht menancapkan tonggak estetika modern dengan teater epik yang berantitesis dengan yang romantik. Jika hal ini dilihat dalam kerangka ideologi yang dianut Brecht, maka epik yang Marxis bertentangan dengan  romantik yang borjuis.

Secara sederhana, Brecht melihat drama-drama romantik sebagai karya estetika yang jauh dari dimensi politik. Tragedi-tragedi opera yang ditulis Goethe, Hölderlin, maupun Wagner adalah drama-drama yang berkutat dengan emosi penonton. Dalam karya-karya romantik, penonton dibuai dengan segala perasaan heroik dan keagungan. Penonton ditunjukkan suatu ketragisan sebagai esensi sejarah manusia. Dalam estetika romantik tersebut, Brecht melihat panteisme dalam karya Goethe dan Ludwig von Beethoven; melihat ateisme, pelampauan moral dan Kristianitas dalam pemikiran estetika Hölderlin, Wagner maupun Friedrich Nietzsche. Menurut Brecht, panteisme, ateisme dan Kristianitas estetika mereka bersifat ahistoris atau tidak memiliki hubungan apapun dengan keadaan nyata masyarakat. Yang nyata dan terkait dengan keadaan masyarakat adalah apa yang politis. Apa yang politis, menurut Brecht adalah estetika yang bergumul dan berkutat dengan didaktika dan perubahan keadaan masyarakat. Menurut Brecht, karya seni harus mampu membongkar kesadaran palsu.[3]

Dalam pemikiran Marx, dimensi politis masyarakat menggambarkan pertentangan kelas yang mendorong terjadinya kemajuan sejarah. Keadaan masyarakat dapat dimengerti dan kemudian diusahakan suatu perubahan setelah kondisi-kondisi relasi produksi masyarakat tersebut dipahami. Dalam pandangan Brecht, drama-drama romantik sama sekali tidak mengangkat dan menjelaskan kondisi relasi produksi terkini dalam masyarakat. Drama-drama romantik justru mengambil tema dan bahan-bahan usang dari masa lampau. Menurut Brecht, drama-drama romantik berikut estetikanya, tidak nyata bagi masyarakat karena tidak membawa perubahan dan kemajuan. Yang romantik tinggal sekedar sebagai hiburan.

Brecht menentang hiburan, akumulasi emosi penonton, plot-plot lurus yang tragis, tidak progresif dan yang non politis sebagai prinsip-prinsip estetika modern. Brecht menegaskan pemikirannya tersebut dalam suatu polemik antara para pemikir Marxis. Dalam polemik yang terkenal itu, Brecht bergumul dan saling berhadapan dengan Ernst Bloch, Georg Lukács, Walter Benjamin dan Theodor Adorno. Keempat-empatnya adalah Marxis berdarah Yahudi dan yang paling terkenal adalah Lukács, seseorang yang memulai polemik hebat tersebut. Secara khusus, Brecht berhadapan dengan Lukács. Lukács yang lahir di Hungaria dan sempat menggeluti sastra di masa mudanya adalah filosof tangguh yang bekerja di Institut Marx-Engels-Lenin Moskwa bersama David Ryazanov. Karya Lukács, Sejarah dan Kesadaran Kelas bersama karya Korsch, Marxisme dan Filsafat menjadi tulang punggung berdirinya Mahzab Frankfurt, tonggak Marxisme Barat, yang diisi para teoritisi kritik masyarakat seperti, Max Horkheimer, Adorno, Benjamin, Herbert Marcuse dan Jürgen Habermas. Dalam hal estetika, Lukács melakukan studi teori dan sejarah sastra dari zaman Miguel Cervantes yang menulis Don Kisot (1605) hingga zaman Maxim Gorky yang menulis Ibunda (1907). Dari hasil studi tersebut, Lukács mengembangkan teori yang disebut ‘Realisme Sosialis.’

Menurut Lukács, sastra merupakan tanda buruknya modernitas. Yang dimaksud keburukan modernitas adalah pecahnya subyektivitas individu dan dunia nyata tempat individu-individu tersebut berinteraksi. Lukács melihat roman modern lahir bersama dengan individu problematik yang semakin terasing dari dunianya. Lukács memotret keterasingan tersebut dalam karya Roman Historis yang berbicara tentang tokoh Sir Walter Scott dalam novel Honoré de Balzac. Scott adalah tokoh yang mereprentasikan perubahan zaman dari feodalisme ke borjuasi dalam situasi Revolusi Perancis yang kental dengan atmosfir kapitalisme merkantilis. Mengikuti sastra romantik, Lukács menegaskan bahwa manusia hanya dapat mencapai eksistensi  yang sungguh-sungguh dalam sikap tragis. Dengan melukiskan bagaimana manusia kehilangan individualitasnya, Lukács berpikir bahwa sastra seharusnya menjadi titik tolak sebuah perlawanan yang nyata. Sastra tidak boleh hanya mengangkat keburukan modernitas tetapi harus mengritik dan menjadi filosofis. Menjadi jelas bagi Lukács, bahwa karya seni, khususnya sastra harus berpegangan pada apa yang nyata atau real. Yang real ini bukan berarti apa yang dilukiskan secara terang-benderang sebagaimana dalam naturalisme. Justru, menurut Lukács, naturalisme menggambarkan ilusi bukan kondisi masyarakat dan sejarah sesungguhnya. Yang real adalah yang menggambarkan kondisi pertentangan kelas yang kemudian mendorong terjadinya gerak sejarah. Artinya juga, realisme ini menurut Lukács menggambarkan kemungkinan-kemungkinan revolusioner menuju kemajuan sejarah atau sosialisme. Oleh karena itu, teori Lukács tentang karya seni disebut ‘Realisme Sosialis.’ Dalam banyak esainya tentang estetika, Lukács melawan tulisan-tulisan Franz Kafka dan Beckett, yang disebutnya, mordernis, juga melawan aliran naturalisme, impresionisme, expressionisme dan surealisme. Aliran-aliran tersebut dituduh Lukács bersekutu dengan borjuasi. Lukács mendasarkan tuduhannya pada pemikiran Marx tentang relasi produksi dalam modus kapitalistik. Menurut Marx, relasi produksi selalu berada dalam dimensi keterkaitan total. Jika kapital menjadi basis adanya relasi produksi, maka relasi produksi dibangun atas dasar fetisisme komoditas atau pengkomodifikasian relasi-relasi antara produsen (reifikasi). Aliran-aliran seni yang tidak menunjukkan kontradiksi dalam relasi-relasi produksi, menurut Lukács masuk dalam ideologi borjuasi yang tidak ingin reifikasinya terpatahkan.

Pertentangan antara Brecht dan Lukács menjadi jelas, ketika kita menilik cara keduanya memandang bentuk dan isi karya seni. Brecht melihat sosialisme bukanlah transisi dari kapitalisme, melainkan pembuangan suatu sistem. Kapitalisme itu usang, sedangkan sosialisme itu baru dan maju. Jadi, modernisme itu menyelesaikan atau mengusangkan yang romantik. Menurut Brecht, dalam berkarya, kita harus menciptakan segala sesuatu yang baru sama sekali karena yang lama sudah terkorupsi dalam sistem kapitalisme. Dengan demikian, hal-hal yang katanya baru dalam seni tetapi selalu berpatokan pada kaidah-kaidah seni yang lama adalah sesuatu yang tidak dialektis. Brecht mengejek para pengarang kebanggaan Lukács seperti, Thomas Mann, Balzac dan William Shakespeare. Brecht justru mengagumi para pengarang eksentrik macam, Jonathan Swift, Francois Rabelais, Denis Diderot juga penyair kuno Tiongkok. Brecht menuduh Lukács formalis dengan berusaha mendeterminasi realitas.[4]

Menghadapi Brecht dan juga, Benjamin, Lukács mengatakan pandangan estetika Brecht sebagai sesuatu yang miskin, sama seperti ketika Marx menyerang pemikiran sosialisme Joseph Proudhon. Menurut Lukács, Brecht hanya unggul di teknik bukan dalam hal material seni. Brecht gagal menyampaikan pesan yang dapat mendorong terjadinya gerak revolusioner masyarakat. Kegagalan itu disebabkan karena Brecht dan Benjamin gagal mengapresiasi tradisi karya seni. Menurut Lukács, justru Brecht maupun Benjamin mengulangi apa yang dilakukan para ahli ilmu pengetahuan borjuis: seolah-olah mengklaim menciptakan sesuatu yang baru padahal yang baru itu selalu beralaskan karya-karya sebelumnya. Dalil Materialisme Historis yang dicetuskan Marx-Engels mencontohkan bahwa generasi saat ini dapat bekerja di pabrik setelah menikmati sawah-kebun kerja generasi sebelumnya. Lukács justru menuduh balik Benjamin sebagai seorang Fasis-Yahudi dengan harapannya akan penebusan estetika dan menuduh Brecht sebagai seorang utopis yang frustrasi dengan kebenciannya terhadap segala hal masa lalu.

Persengketaan estetika antara para Marxis tersebut setidaknya masih menyisakan satu hal esensial dalam Marxisme, semuanya setuju bahwa seni mendeskripsikan pertentangan kelas dalam masyarakat. Lukács maupun Brecht pun tidak saling serang tentang hal tersebut. Serangan Lukács tentang keusangan justru dapat dipakai untuk memperkaya pemahaman Brecht tentang romantik. Yang dimaksud romantik bukan berarti warisan sistemik yang secara naif diterima tetapi lebih-lebih, suatu relasi produksi reifikatif yang tetap dipertahankan. Karya seni yang tidak mengritik borjuisasi dan segala aspeknya dapat dikatakan sebagai romantik. Jika pemahaman yang diperkaya itu diterapkan, maka Lukács pun bisa jadi menerima karena yang disasar adalah persoalan reifikasi dalam masyarakat kapitalis.

Berkaitan dengan persoalan reifikasi, Brecht mengembangkan praxis-teknis luar biasa tentang penggambaran relasi produksi. Teknik itu kemudian menjadi hal pokok dalam teater epik. Teknik yang dimaksud adalah ‘Verfremdungseffekt (Efek Penjarakan).’ Teknik praxis ini dimaksudkan untuk menghindarkan penonton menjadi agen pasif yang terbuai dan terbawa tontonan. Teknik ini memungkinkan penonton menjadi pengamat aktif sekaligus kritikus. Istilah Verfremdungseffekt berasal dari остранение (Rusia: membuat asing) yang dicetuskan seorang formalis Rusia, Viktor Shklovsky. Shklovsky menjelaskan teknik tersebut dalam Teori Prosa yang menyatakan bahwa dalam seni harus ada seni atau harus ada kebaharuan sehingga pembaca karya sastra menghadapi karya sastra sebagai persoalan nyata bukan alat manipulatif. Shklovsky yang pernah tergabung dalam resimen Tentara Merah tahun 1922 ini meninggal di Moskwa pada 1984 dan tekniknya banyak dipakai oleh pertunjukan teater di Leningrad yang salah satunya ditonton Brecht. Brecht menggubah istilah prosaik Shklovsky dalam bentuk Jerman untuk mendorong penonton lepas dari arus naratif dan emotif pertunjukan. Menurut Brecht, suatu narasi yang membuai penonton hanya efektif lekat sebagai ilusi dalam kepala masing-masing penonton. Penonton yang merupakan bagian masyarakat tidak lagi memiliki daya dobrak terhadap kapitalisme, jika mereka hanya membawa pulang ilusi. Daya dobrak atau kritik tersebut dibangun dengan menjarakkan penonton dari emosinya.

Dalam panggung pertunjukan, Brecht mengupayakan suatu panggung yang membuat aktor tidak berjarak dari penonton. Artinya, penonton terhindar dari ilusi tontonan yang selalu menyatakan bahwa tontonan selalu berarti aktor dan panggung pembatas sebagaimana burung berkicau dengan sangkarnya. Dalam penampilannya, sang aktor harus berupaya sebagaimana penonton, menjadi pengamat aktif. Aktor bebas mengejutkan penonton dengan interupsi-interupsi dan aktif menjarakkan dirinya dengan naskah. Teknik ini bertujuan mengeliminasi medium karya seni dan penonton sehingga penonton yang merupakan bagian masyarakat memahami akar persoalan (reifikasi) masyarakatnya. Dengan mengeliminasi medium, Brecht mendorong terjadinya kritik yang merupakan bagian praxis menurut Marx dalam Tesis-tesis tentang Feuerbach.

Secara keseluruhan dalam dimensi teater epik, teknik pokok ini bermaksud mendidik masyarakat, sebagaimana yang dikatakan Marx dalam tesis ke-3 Feuerbach, “Materialisme menyatakan bahwa manusia dihasilkan oleh kondisi dan didikannya. Oleh karena itu, Materialisme menyimpulkan bahwa manusia yang berubah adalah hasil dari kondisi dan pendidikan yang berubah. Tetapi, Materialisme usang melupakan bahwa manusialah yang mengubah keadaan dan para pendidik memerlukan pendidikan. Oleh karena itu, ajaran ini memaksakan diri untuk membagi manusia (secara antropologis) ke dalam dua golongan, yang satu golongan lebih unggul dari yang lain. Terjadinya secara bersamaan perubahan kondisi sekaligus aktivitas manusia, hanya dapat dibayangkan, dimengerti secara rasional dalam praxis revolusioner.” Yang dimaksud dengan epik adalah kritik dan didaktik. Sedangkan lawan  epik, yaitu  romantik adalah yang anti-kritik dan tidak mendidik.

Epik atau Romantik?

Setelah memahami Brecht dan teater epik selintas, kita bisa mengajukan pertanyaan kritis: ‘OTM itu termasuk epik atau romantik?’ Jika dikatakan dalam brosur bahwa ‘OTM itu mengambil model teater epik,’ kita juga dapat bertanya, seperti jargon iklan minyak rambut: ‘Sudah epikkah OTM?’ Pertanyaan-pertanyaan ini layak dilontarkan, jika kita memosisikan diri sebagai penonton yang dimaksudkan oleh Brecht atau jika kita sudah rela menghabiskan Rp.250.000 untuk tiket pertunjukan yang membuat kita terbengong-bengong.

Bayangkan saja diri kita sebagai penonton, yang setelah habis membeli tiket menggandeng pacar atau mengajak teman yang mengharapkan suatu pertunjukan yang luar biasa. Setelah mendapat tiket, kita akan mendapatkan brosur-brosur bukan teks naskah yang ditampilkan. Dengan bekal brosur tersebut, kita menikmati pertunjukan, setelah alat-alat komunikasi di non-aktifkan. Pertama-tama, mungkin saja kita mengarahkan pandangan ke arah panggung, melihat berbagai tata panggung dan properti yang memenuhinya. Lalu, mungkin juga kita bisa mencuri-curi pandang tentang siapa saja pemeran, teknisi, sutradara, musisi dan anak gawangnya. Jika pertunjukan sudah dimulai, mungkin kita merasa jantung ini berdebar menanti sesuatu yang mengejutkan. Setelah pertunjukkan sudah berjalan dan rasanya, terlalu lama dahi ini berkerut, kita mungkin menyalakan senter di ponsel mencari jawaban teka-teki di brosur.

Di brosur, tertera bahwa opera ini berjudul Opera Tan Malaka. Diharapkan kita mengenal sosok Tan Malaka sebelum menonton OTM. Jika tidak kenal, maka pertunjukkan ini akan serupa permainan puzzle bagi anak berkebutuhan khusus. Siapa itu Tan Malaka, tak nampak jua kejelasannya dalam bentuk cetak semua brosur itu. Setelah OTM berjalan, sosok Tan Malaka jarang sekali dihadirkan atau tidak dihadirkan sama sekali. Mungkin penulis menafsir bahwa Tan Malaka bukanlah tokoh heroik flamboyan ala Soekarno dan yang lain. Tetapi, jika kita menelusuri monolog tokoh-tokoh melalui teks brosur, kita menemukan bahwa seringkali tokoh-tokoh tersebut mengharapkan kedatangan Tan Malaka, sebagaimana gerakan mesianisme. Pola ini mungkin mengingatkan kita pada lakon-lakon carangan tentang punakawan dalam kisah pewayangan Jawa. Semar atau Petruk yang hilang dan sulit ditemukan. Semar, yang sesungguhnya dewa yang lebih hebat dari Batara Guru, menghilang karena ngambek, nasihat-nasihatnya tidak pernah didengarkan. Lalu, kekacauan yang terjadi di jagat manusia akhirnya dapat terselesaikan dengan kedatangan Semar. Apakah memang demikian maksud GM? Kita tidak pernah tahu karena brosur kecil ini tidak berbicara dengan jelas dan GM dalam Marxisme Seni Pembebasan, selalu berbicara bahwa multitafsir itu mencerahkan. Di sini tipsnya adalah: jika ingin serius mendapatkan elemen didaktik, maka penonton harus bertanya secara mendalam tentang maksud dan proses rekonstruksi Tan Malaka di zaman Indonesia kontemporer ini.

Kemudian, mari kita alihkan padangan kita ke teks-teks aria yang ada di brosur. Perhatikan bahwa GM sering sekali menulis dengan kata-kata: pada mulanya. Susah sekali menggaruk-garuk pemahaman dari kata-kata tersebut, kecuali melayangkan rujukan atau padanannya dalam teks kitab suci dan Masya Allah, teks Faust dari Goethe, dramawan besar romantik Jerman. Di teks Faust, terjemahan Agam Wispi (sastrawan eksil yang terkait dengan Lekra), pada fragmen awal disebutkan bahwa Allah Bapa, para malaikat dan iblis Mepistopeles menyatakan kata-kata: pada mulanya. Apakah ini berarti Tan Malaka disejajarkan dengan Faust atau dengan Ayub? Tidak tahu. Jika iya, maka konyol sekali bahwa pergerakan revolusioner yang dilakukan seorang Tan Malaka, ditampilkan sebagai perjalanan kenabian. Marx tidak pernah memaksudkan Pandangan Materialis Sejarah sebagai dogma agama baru tentang penebusan dan keselamatan umat manusia. Jika penonton ingin serius mengecap aria-aria OTM tanpa terbuai sekaligus menerapkan daya kritis, tipsnya, penonton harus mengunyah keras-keras kata kunci: pada mulanya.

OTM pernah ditolak di Malang dan Kediri karena berkaitan dengan ideologi kiri. Yang kiri tetap menjadi masalah selama Tap. MPRS/XXV/1966 belum dicabut. GM sendiri mengaku bahwa OTM ini tentang Tan Malaka (tokoh kiri Indonesia pra 1966) dan mengambil model teater epik yang dikembangkan oleh para estetikawan kiri. Apakah ini pementasan kiri dan artinya terlarang? Ya, menurut aparat dan entah menurut GM. Jika menurut GM, iya, apakah berarti GM itu seorang kiri? Belum ada pengakuan jelas dari beliau. Jika beliau itu kiri, maka siap-siap saja menjadi tapol sebagaimana para seniman yang tersangkut undang-undang anti komunis, seperti Brecht di Amerika atau Pramoedya di Pulau Buru. Teka-teki antara kiri atau tidak membuat susunan tips ini sedikit sulit. Artinya, jika pertunjukan ini bukan kiri, maka penonton bisa menikmatinya tanpa repot-repot berpikir soal pertentangan kelas dan revolusi. Penonton bisa menikmatinya sambil menengok Twitter, Facebook dan BBM. Jika pertunjukan ini adalah drama kiri yang dilahirkan oleh pengarang kiri yang memiliki maksud-maksud (ideologi) kiri, maka tips ini harus dibuat sedikit serius.

Jika OTM adalah kiri, maka penonton harus mau menonton sembari mengamati kondisi nyata mereka. Mereka harus masuk dalam kerangka pikir pertentangan kelas antara yang proletar dan borjuis. Daya kritis yang ditimbulkan selama menonton OTM diolah sebagai daya revolusioner untuk mengubah kondisi masyarakat menuju sosialisme. Risikonya adalah jelas bahwa penonton punya kemungkinan untuk ditangkap aparat, digelandang masuk bui dan dibuang di suatu penjara. Risiko dalam hal aktual juga jelas bahwa penonton yang merupakan warga masyarakat harus memosisikan diri dalam kelas tertentu yang melawan kelas lain. Dalam hal teater epik, penonton harus bersiap masuk dalam golongan proletar, pendobrak borjuisasi dan bersiap-siap menganggap pemilik bioskop 21 (sebelah GBB) sebagai mafia borjuisasi hiburan yang terkutuk. Tipsnya: dalamilah sejauh apa interupsi-interupsi Verfremdungseffekt OTM mendorong Anda untuk menseriusi lakon pertentangan kelas secara nyata.

Bagi dramawan sekaliber Brecht, hingga akhir hayatnya, kiri dan revolusi adalah urusan serius, bukan urusan bikin kedai kopi centil dan komunitas seni. Persoalannya bukan lagi soal formalis atau multitafsir. Tetapi serius atau tidak ingin membebaskan dan memajukan masyarakat dengan mengambil segala risiko yang ada.[5] Keseriusannya sama seperti Benjamin, Lukács, Lenin, Stalin, Zinoviev dan Pramoedya. Sehingga memang tidak ada unsur Brechtian dalam OTM dan memang tidak ada estetika komunikasi massa dalam OTM. Tips-tips yang sudah saya berikan sekedar memperteguh dua ketiadaan yang baru disebutkan.

Demi segala ketiadaan, ‘Selamat ulang tahun ke-40 untuk Tempo!’***

Rangga L. Utomodewan redaksi Jurnal Problem Filsafat


[1] Lih. Tan Malaka. Opera 3 Babak. 2011. Jakarta: Grafitti Press, hal. 4.

[2] “Epic theatre is gestural. The extent to which it can also be literary in the traditional sense is separate issue. The gesture is it’s raw material and its task is utilization of this material….Without anticipating the difficult study, yet to be made, of the function of the text in epic theatre, we can at least say that often its main function is not to illustrate or advance the action, but on the contrary, to interrupt it: not only the action of others, but also the action of one’s own.” Bdk. Walter Benjamin, Understanding Brecht (1998, London: Verso), hal. 3-4.

[3] “The explanatory paradigm underlying Brecht’s picture of theater commodification and its misreprenstation by those involeved in it derives from the assumption that the agencies whose attitudes the notes are examining are the victim of what Friedrich Engels reffered to as falsches Bewuβtsein (false conssciousness).” Bdk. John J. White, Bertolt Brecht’s Dramatic Theory (New York: Camden House, 2004), hal. 32.

[4] . “Whether a work is realistic or not cannot be determined merely by checking whether or not it is like existing works which are said to be realistic, or were realistic in their time.” Lih. Ernst Bloch, Georg Lukács, Bertolt Brecht, Walter Benjamin & Theodor Adorno, Aesthetics and Politics ( London: Verso, 1980), hal. 85.

[5] . “They would have clearly recognized that waht if describes is not an eccentric poet for a walk but the flight, the escape of man to live any longer inside the barriers of class which – the Crimean War, with the Mexican adventure – was then the beginning to open up even  the more exotic continents to its mercantile interests. Brecht thinks it is impossible to turn Rimbaud’s attitude of the footloose vagabond who puts himself at the mercy of chance and turns his back upon society – into a model reprensentation of proletarian fighter.” Bdk. Walter Benjamin, Understanding Brecht (1998, London: Verso), hal. 106.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.