Studi Kasus Atambua
KETIKA pintu gerbang reformasi 1998 terbuka lebar, salah satu isu yang mendapat sorotan penting adalah isu demiliterisasi secara radikal. Tuntutan yang mengemuka ketika itu adalah penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI/TNI, pembubaran lembaga-lembaga ekstra-yudisial, pembubaran sistem pertahanan teritorial, pelarangan bagi TNI sebagai lembaga dan perwira aktif untuk berbisnis, dan penyelidikan bagi para jenderal yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia.
Demiliterisasi ini sangat penting, karena tak mungkin terjadi konsolidasi demokrasi di era transisi selama militer masih aktif terlibat dalam bidang politik dan bisnis. Terlebih militer orde baru, yang lahir dan besar sebagai kekuatan garda depan yang anti demokras dan anti hak asasi manusia. Dengan kata lain, reformasi di TNI adalah sebuah keharusan yang tak bisa ditawar.
Kini, setelah lebih dari satu dekade reformasi berlangsung, bagaimana sesungguhnya nasib dari reformasi di sektor keamanan ini? Apakah perilaku TNI yang khas orde baru telah memudar? Berdasarkan riset yang saya lakukan, kita tampaknya harus mengubur dulu optimisme akan perubahan dalam tubuh TNI.
Kekerasan Atambua
Atambua adalah sebuah kecamatan sekaligus ibukota kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar penduduknya berbahasa Tetun, dimana Katolik menjadi agama yang dianut mayoritas. Sejak tahun 2000, Atambua menjadi salah satu daerah yang menjadi pusat penampungan arus pengungsi dari Timor Leste. Secara sosial, penduduk Atambua sangat terbuka terhadap pendatang, dan memperlakukan mereka layaknya saudara sendiri. Persatuan dan persaudaraan, begitulah motto penduduk Atambua, yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan warga Timor Leste,
Tetapi, persahabatan dan kebersamaan itu akhir-akhir ini sedang diuji dengan serius. Penyebabnya adalah penganiayaan terhadap seorang pemuda bernama Charles Mali (21 tahun) oleh sekelompok anggota TNI. Tepatnya pada 11 Maret 2011. Charles bersama beberapa rekanya, dianiaya di markas Yonif 744. Akibat penganiayaan itu, nyawa Charles harus berpisah dari raganya, sementara lima orang rekannya mengalami luka serius. Ibunda Charles, Modesta Dau, yang sangat terpukul oleh kematian anaknya, akhirnya memilih mengikuti anaknya dengan cara bunuh diri.
Penganiayaan berujung kemtian Charles ini, rupanya bergema luas dalam masyarakat. Terbukti, pada 24 Maret 2011, DPRD dan Masyarakat Belu Peduli Ham (MBPH) menyampaikan pernyataan sikap, terkait kasus kekerasan para personil militer terhadap warga sipil di Atambua, Belu. (timorekspress.com). Pertama, menolak Keberadaan Yonif 744 di Kabupaten Belu NTT; kedua, menuntut putusan yang adil dari pengadilan militer terhadap oknum-oknum militer yang melakukan penganiyaan hingga tewas. Hal ini akan diawasi dan dipantau oleh Pansus DPRD Belu dan Komnas Ham; ketiga, menuntut pemecatan terhadap komandan dan para anggota yang terlibat dalam kasus penganiayaan tersebut. Ketiga tuntutan di atas merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat di Atambua, khususnya di daerah perbatasan. Keberadaan militer di daerah perbatasan, dalam hal ini Yonif 744 memang cenderung melakukan pendekatan koersif daripada persuasif terhadap masyarakat sekitar. Sebelumnya, pada 18 Maret 2011, Musyawarah pimpinan daerah (muspida) sepakat untuk mencabut pos yang berada di pintu masuk Markas Komando (Mako) Batalyon Infateri (Yonif) 744 di Tobir, Kecamatan Tasifeto Timur, Belu. Hal tersebut dilakukan karena desakan masyarakat Tobir yang resah dengan keberadaan pos tersebut.
Setelah melalui proses yang panjang, pada Senin, 11 Juli 2011, ke sembilan anggota TNI yang terlibat penganiayaan tersebut diadili di Pengadilan Militer, Kupang. Namun, tuntutan hukuman yang dikenakan sangat ringan, yakni hukuman kurungan rata-rata 8-9 bulan dan pemecatan hanya kepada satu anggota Yonif 744/Satya Yuda Bakhti. Hal ini tentu saja sangat mencederai nurani keadilan masyarakat, terutama keluarga Charles Mali. Namun, tulisan ini tidak akan membahas terhadap hasil putusan tersebut, melainkan secara komprehensif tentang agenda reformasi keamanan.
Ringkasan peristiwa kekerasan TNI dan tuntutan masyarakat Belu di atas, menjelaskan bagaimana upaya reformasi sektor keamanan di Indonesia selama 11 tahun, yang digaungkan pasca reformasi 1998 sampai sekarang masih berjalan di tingkat normatif dan subtanstif (Mietzner,2006), namun tidak di tingkatan operasional. Reformasi sektor keamanan merupakan proses transformasi menyeluruh bagi seluruh aktor-aktor keamanan yang dilakukan secara terpadu, efektif dan sah untuk dapat menyediakan jaminan keamanan bagi seluruh warga negara dari segala bentuk manifestasi ancaman keamanan, baik yang berasal dari lingkungan eksternal maupun internal. Reformasi sektor keamanan Indonesia merupakan bagian dari upaya demoktarisasi pengelolaan pertahanan Indonesia pasca reformasi serta perubahan situasi internasional. Dibutuhkan pemahaman bahwa urgensi reformasi sektor keamanan di Indonesia selama ini masih terbatas, bukan hanya karena terbelenggu oleh konstelasi politik nasional tetapi juga masih dipertahankannya superioritas TNI dalam menjalankan tugas di tengah perubahan masyarakat Indonesia.
Reformasi TNI, yang merupakan salah satu elemen dalam reformasi sektor keamanan, masih cenderung berkutat di wilayah tata kelola hubungan sipil-militer (normatif), yang meliputi penarikan personil militer aktif dari jabatan sipil, menghilangkan peran militer dalam praktik politik formal, penetapan UU tentang TNI, penarikan anggota militer dari parlemen, serta pembentukan Dewan Keamanan Nasional. Penguatan netralitas TNI sebagai elemen negara yang menjalankan fungsi pertahanan negara (substantif), yang meliputi deklarasi netralitas politik-militer, pembekuan doktrin Dwi Fungsi, keberadaan komunitas sipil di bidang pertahanan, proses pengadaan peralatan militer dilakukan secara berlapis dan professional. Sedangkan dalam tataran operasional seperti, pengadopsian nilai-nilai lokalitas (budaya) sebagai bagian dari pemahaman dan pengertian TNI serta pengadopsian nilai-nilai humanitarian dalam menjalankan tugas militer cenderung tidak terlihat.
Agenda reformasi sektor keamanan di Indonesia, di antaranya pertama, perumusan regulasi-regulasi politik untuk mengatur aktor-aktor keamanan yang diharapkan membangun karakter dan budaya startegi baru; kedua, restrukturisasi organisasi keamanan terutama yang berkaitan dengan pemisahan organisasi keamanan, khususnya yang berkaitan dengan pemisahan organisasi TNI-Polri serta program pengembangan postur pertahanan Indonesia; ketiga, pengaturan tataran kewenangan antar instansi-instansi yang bergerak di sektor keamanan; keempat, perumusan dan penetapan kebijakan pertahanan negara serta kebijakan keamanan nasional; kelima, alokasi sumber-sumber daya pertahanan untuk mengembangkan kekuatan pertahanan; dan terakhir, rekonstruksi budaya startegik yang mencerminkan adanya adaptasi nilai-nilai demokrasi serta prinsip-prinsip humanitarian oleh institusi-institusi keamanan, khususnya aktor-aktor keamanan utama, seperti angkatan bersenjata, kepolisian, pasukan paramiliter, pasukan pengawal presiden dan lain-lain.
Kasus kekerasan di Atambua menunjukkan bahwa selama 11 tahun belakangan agenda reformasi sektor keamanan masih didominasi oleh lima agenda utama reformasi sektor keamaman. Namun, yang belum banyak mendapat banyak perhatian dan implementasi adalah agenda keenam, yakni rekonstruksi budaya strategik. Berkaitan dengan kekerasan yang sering terjadi di beberapa wilayah perbatasan darat seperti Papua dan Atambua terdapat beberapa hal perlu dibahas.<
Rekonstruksi budaya strategik
Penempatan, pergelaran, dan pergantian pasukan di daerah perbatasan cenderung tidak menjadikan budaya masyarakat setempat sebagai variabel bebas yang menentukan karakter pasukan seperti apa yang harus ditempatkan dan jenis peralatan tempur seperti apa yang harus berada di daerah perbatasan serta lokalisasi markas pasukan organik yang berada di daerah perbatasan. Masyarakat Atambua dan masyarakat NTT secara umum, memiliki watak dan karakter yang berbeda dengan masyarakat di kawasan Indonesia bagian barat. Masyarakat Indonesia di wilayah timur, seperti di Atambua cenderung komunal, berbasiskan suku, dan memiliki prinsip yang kuat. Hal tersebut sebenarnya harus dipahami sebelum pergelaran pasukan di wilayah perbatasan di kawasan Indonesia Timur, seperti di Atambua. Para aparat militer seharusnya benar-benar memahami melalui pendidikan militer pra-penempatan, penempatan dan pasca penempatan (evaluasi setelah pergantian pasukan perbatasan) bahwa karakter masyarakat di kawasan tertentu, seperti di Atambua, adalah berbeda dengan kawasan perbatasan lain seperti di wilayah Kalimantan maupun di Papua.
Selama 10 tahun terakhir, personil militer yang ditempatkan (Yonif 744) cenderung melihat masyarakat Atambua sebagai masyarakat terbelakang dan tidak memahami bagaimana pelaksanaan fungsi keamanan dalam dinamika sehari-hari di tengah masyarakat. Padahal harus disadari masyarakat Atambua, adalah warga negara yang memiliki kedaulatan penuh dalam pengelolaan lingkungan keamanan. Hal ini berakibat pada karakteristik personil militer di Atambua yang bersifat ofensif, layaknya personil militer TNI sebelum jajak pendapat 1999. Peralatan tempur yang ditempatkan juga seakan menjadikan Atambua sebagai Daerah Operasi Militer baru, seperti tank-tank tempur. Fakta ini terasa aneh dalam kaitan dinamika hubungan masyarakat Atambua dengan masyarakat Timor Leste di perbatasan, yang dasarnya merupakan hubungan berbasis kekeluargaan.
Perlu diketahui, masyarakat Atambua-Timor Leste adalah masyarakat yang masih memiliki kedekatan kultural yang sama. Hal tersebut dipertegas dalam karakteristik perbatasan. Perbatasan Atambua-Timor Leste termasuk dalam zona damai, bukan dalam zona perang. Hal tersebut dapat dipahami karena Timor Leste bukanlah negara yang dikategorikan musuh oleh Indonesia. Bahkan, Indonesia justru menjadi promotor dan pendukung utama Timor Leste sebagai anggota baru Association of Southeast Asia Nations (ASEAN). Keadaan ini menyebabkan masyarakat di daerah perbatasan kedua negara tidak merasa terancam dengan keberadaan masing-masing. Transaksi ekonomi, misalnya, berlangsung lancar. Hal yang sangat ironis terjadi ketika hubungan harmonis antara kedua negara, justru dianggap berbahaya oleh pengambil kebijakan pertahanan dengan menggelar sejumlah besar kesatuan tempur di daerah perbatasan yang dikategorikan zona damai.
Keberadaan YONIF 744/Satya Yudha Bhakti
Pasca pemisahan Timor-Timur menjadi sebuah negara baru, kekuatan militer organik TNI juga mengalami penyesuaian. Terdapat dua batalyon infanteri yang berkedudukan di Lospalos, yakni batalyon 744 dan batalyon 745. Kedua batalyon tersebut kemudian direorganisasi. Batalyon 745 dilebur ke dalam beberapa satuan tempur dalam koordinasi Kodam IX Udayana, sedangkan batalyon 744 tetap dipertahankan dan ditempatkan di Kabupaten Belu, di bawah koordinasi Komando Rayon Militer (Korem) 161/Wirasakti yang berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kebijakan ini bersifat paradoks, karena di satu sisi wilayah Atambua bukan merupakan wilayah konflik, sehingga pasukan reguler yang ditempatkan seharusnya bukanlah pasukan ofensif. Hal tersebut terlihat jelas dengan keberadaan markas Yonif 744 di daerah padat penduduk. Di sisi lain, keberadaan batalyon 744 yang mempunyai reputasi gemilang dalam sejumlah operasi penumpasan Fretilin dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) masih tetap dipertahankan, sementara batalyon 745 justru dibubarkan. Kebijakan mempertahankan keberadaan batalyon infateri 744 yang dibentuk pada tahun 1978, didasari alasan bahwa batalyon tersebut, dengan sejumlah prestasi gemilang di Timor Leste, mampu menjaga daerah perbatasan Republik Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste. Celakanya, reputasi gemilang batalyon 744 ternyata tidak berkorelasi positif terhadap keharmonisan hubungan dengan masyarakat Belu. Semenjak direlokasi ke Tobir pada tahun 2001, berbagai tindak kekerasan sering dilakukan oleh para personil militer dari kesatuan tempur tersebut.
Identifikasi potensi ancaman yang berlebihan
Strategi pertahanan nasional selama ini cenderung bersifat inward-looking. Hal ini bisa dilihat dari doktrin dan postur pertahanan RI yang bersifat defensif. Hal tersebut diakibatkan oleh pengalaman pertempuran bangsa ini yang didominasi pertempuran internal, melawan kolonialisme dan apa yang disebut separatisme. Hal ini membuat TNI mengadopsi perspektif keamanan yang fokus pada kekuatan koersif terhadap masalah-masalah internal. Salah satu indikator adalah pemetaan yang keliru terhadap pergelaran pasukan di daerah-daerah tertentu. Pergelaran pasukan militer Indonesia cenderung bersifat ofensif di wilayah-wilayah yang sebenarnya lebih bersifat defensif, seperti di daerah perbatasan. Akibatnya karakteristik personil-personil militer di daerah seperti di Atambua, cenderung bukan sebagai penengah (peacemaker), namun justru menjadi pemicu konflik.
Di Atambua, jumlah kesatuan tempur TNI di wilayah RI-RDTL direncanakan terus bertambah. Kesatuan tempur yang berada di wilayah Atambua adalah dua batalyon infanteri, termasuk Yonif 744 (pemindahan dari Timor Leste) di Tobir, dan batalyon 743 yang digelar di sepanjang garis perbatasan (278 km). Sampai tahun 2024, direncanakan penambahan 6 batalyon infanteri, 1 Komando Resort Militer (Korem) di Flores, 1 batalyon artileri medan di Kefamenanu, 1 batalyon artileri pertahanan udara di Soe, 1 batalyon kavaleri di Atambua dan 1 pasukan zeni tempur di Soe. Hal ini, jika ditelisik lebih jauh, merupakan bagian dari pelaksanaan Komando Teritorial berbasis sistem Wehrkreise. Sistem tersebut membagi daerah-daerah di Indoensia ke dalam lingakaran-lingkaran pertahanan yang memungkinkan satuan-satuan militer secara mandiri mempertahankan lingkaran-lingkaran pertahanan tersebut. Konsep ini mendorong dibentuknya Komando Teritorial, lalu Komando Teritorial ini membentuk satuan-satuan militer dari tingkatan Komando Daerah Militer/KODAM (Propinsi) sampai tingkat Babinsa (desa). Sistem Komando Teritorial layak untuk dikaji kembali, karena keberadaan militer dalam jumlah yang banyak di suatu daerah akan lebih efektif jika Indonesia berada dalam masa perang, bukan dalam masa damai. Terlebih, seringkali keberadaan komando teritorial (Korem, Kodim dan Koramil) dan satuan-satuan tempur (batalyon infanteri (yonif), dan batalyon kavaleri (yonkav), cenderung menghasilkan gesekan-gesekan dengan masyarakat sekitar.
Yang juga patut dipertanyakan, pergelaran kesatuan-kesatuan tempur di wilayah perbatasan Atambua seakan menjadikan Atambua dan daerah-daerah sekitar perbatasan RI-RDTL, sebagai daerah operasi militer baru. Padahal kalau kita perhatikan, Timor Leste bukanlah negara yang memiliki postur pertahanan seperti Indonesia. Ditinjau dari anggaran pertahanan tahun 2009, anggaran pertahanan angkatan bersenjata Timor Leste hanya berjumlah USD 38 juta, bandingkan dengan anggaran pertahanan Indonesia yang mencapai USD 47,91 miliar (35 triliun rupiah). Ditinjau dari kapabilitas militer, sejauh ini sampai dengan tahun 2008, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste baru bekerja sama dengan Cina dalam pembelian 2 jenis kapal patrol tipe-062 senilai USD 28 juta. Bandingkan dengan Indonesia yang pada tahun yang sama telah membeli rudal anti kapal perang tipe C-802/CSS-N-8 sebanyak 18 rudal. Melihat perbandingan ini terlalu berlebihan jika menjadikan Atambua sebagai daerah pergelaran pasukan yang berkarakter ofensif layaknya dalam masa perang.
Karakteristik pergelaran pasukan di daerah perbatasan
Potensi ancaman konflik di perbatasan RI-RDTL bersifat transnasional. Hal tersebut terlihat dalam beragamnya kasus pencurian ikan, illegal logging, trafficking, penyeludupan, lintas batas illegal, penggarapan kebun secara ilegal, dan sengketa tanah. Berbagai tindak kejahatan transnasional tersebut, seharusnya tidak perlu menggunakan pendekatan militeristik, terlebih lagi penggunaan kekerasan secara berlebihan. Pendekatan yang sebaiknya dilakukan adalah persuasif, mampu mengayomi masyarakat dan berkarakter peacebuilding. Proses transisi personil militer pasca konflik seperti di Atambua, tidak dilakukan secara baik. Kemampuan peacemaking dan peacebuilding, humanitarian assistance tidak terlihat dari para personil TNI di daerah perbatasan Atambua. Kemampuan-kemapuan tersebut justru diberikan kepada para personil militer yang mengemban tugas negara sebagai pasukan penjaga perdamain di luar negeri, sedangkan di daerah-daerah perbatasan, khususnya Atambua, kemampuan-kemampuan tersebut tidak terlihat. Di wilayah seperti Atambua, seharusnya operasi militer terbatas yang dilakukan TNI bersifat perusasif (soft skill), karena Atambua adalah daerah tertinggal yang masyarakatnya masih hidup dari pertanian bersifat subsisten.
Pasca reformasi 1998, militer Indonesia diharapkan dapat meninggalkan citra buruk terkait hubungan sipil dan militer, bukan hanya di tingkatan politik, tetapi juga jauh lebih penting penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Bukan hanya mengutamakan supremasi sipil di tingkatan politik, tetapi juga supremasi sipil dalam hubungan sosial, budaya dan ekonomi dengan masyarakat secara umum. Kasus kekerasan di Atambua, kembali menunjukkan ‘lingkaran setan’ pendekatan militeristik yang tidak sesuai dengan agenda reformasi militer di Indonesia selama 11 tahun terakhir. Penyelesaian dengan memproses secara adil terhadap para pelaku kekerasan merupakan solusi sementara, bukan merupakan solusi jangka panjang. Dibutuhkan redefenisi, reorganisasi peran dan fungsi TNI di daerah perbatasan, serta profesionalitas berdasarkan nilai-nilai humaniter dalam menjalankan tugas di daerah perbatsan, seperti Atambua.***
Hipolitus Wangge, Peneliti Di Pacivis UI-cum Anggota Forum Academia NTT