TIDAK BISA disangkal lagi Sukarno, bersama seluruh generasinya, berhasil menang dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan mendirikan Republik Indonesia. Dan kemenangan itu bukan kemenangan kecil. Negeri Belanda pada tahun 1945-1949 masih bisa mengerakkan banyak modal, manusia dan senjata. Sementara itu pihak Republik masih serba kekurangan. Satu-sautnya modal perjuangan adalah kesadaran politik massa yang sudah dibangun selama 35 tahun sebelumnya. Dalam semua proses itu, Sukarno mengambil peran sangat menentukan. Dia memimpin sebuah gerakan yang menang.
Sesudah merdeka lain lagi ceritanya. Sukarno maju sebagai pemimpin gerakan yang mau membangun sosialisme Indonesia. Pada 1965, massa yang digerakkan oleh Sukarno, Partai Nasional Indonesia, Partindo, Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya sudah mencapai hampir 25 juta orang . Semua massa itu adalah pendukung Sukarno dan gerakan sosialisme ala Indonesia yang dipimpinnya. Dia bukannya tak punya lawan. Saat itu yang menentang Sukarno: sebagian besar militer, Partai Sosialis Indonesia dan ormasnya, Masyumi dan ormasnya dan sebagian dari pemimpin dan ormasnya Nahdatul Ulama. Indonesia terbelah.
Tapi sekarang, tahun 2011, jarak situasi Indonesia dengan Indonesia yang diperjuangkan oleh Sukarno sangatlah jauh. Dia memperjuangkan sosialisme Indonesia: di mana rakyat yang mayoritas berkuasa dan bekerja dengan semangat gotong-royong; di mana Indonesia merupakan bagian daripada gerakan persatuan New Emerging Forces (NEFOS) yang sedang dalam proses membangun sebuah tatanan dunia baru, tanpa kolonialisme tanpa neo-kolonialisme. Tetapi Indonesia yang berkembang dari 1965 sampai 2011, adalah Indonesia yang sepenuhnya tergerakkan oleh dinamika kapitalisme – kapitalisme vulgar eksploitatif dan terbelakang pula, dengan elit berkuasa yang memiliki ciri khas sama – dan menyatunya dengan kekuatan imperialis yang berpusat di Washington, London, Tokyo, dan Canberra.
Dengan kata lain: Sukarno gagal total dalam memperjuangakan cita-citanya. Dalam situasi bangsa yang terbelah pada tahun 1965, kendati massa pendukung Sukarno lebih banyak, justru kubu lawannyalah yang menang total.
Mengapa bisa begitu?
Mungkin ada berbagai faktor yang bisa ditinjau, mulai dari kekuatan bersenjata yang ada di tangan lawannya sampai dengan taktik konspirasi keblinger yang dilaksakan oleh seorang “pendukung”nya, dan banyak lainnya. Tetapi orang yang menilai positif Sukarno secara umum, juga harus berani bertanya apakah ada cacat dalam pemikiran atau praxis Sukarno sendiri yang memungkinkan kekalahannya. Menurut pendapat saya: ya, ada.
Kontradiksi Dalam Praxis Demokrasi
Esensi daripada demokrasi yang sejati adalah keterlibatan seluruh rakyat (atau semakin lama semakin banyak rakyat) dalam kehidupan politik negeri. Rakyat banyak (rakyat miskin dalam kasus Indonesia) semakin menjadi penentu dalam proses pengambilan keputusan. Format dan bentuk proses ini bisa macam-macam. Di Indonesia tahun 1960-an, banyak rakyat Indonesia masuk organisasi dan melalui keterlibatannya di organisasi mereka semakin terpolitisir, semakin membaca dan mendiskusikan politik, dan semakin memobilisasi diri untuk menuntut keinginannya. Proses ini juga memang dipimpin Sukarno (secara ideologis) dan diorganisir partai-partai seperti PKI, PNI, dan Partindo. Dari segi itu, gerakan tersebut merupakan gerakan yang meningkatkan kehidupan demokrasi kerakyatan. Hanya saja periode paling intensifnya yang berlangsung 1962-1965, terlalu singkat untuk bisa dievaluasi secara final.
Tetapi di saat yang sama, gerakan demokrasi kerakyatan radikal ini berkembang dalam suatu kerangka politik yang kontradiktif. Di satu sisi demokratis (dalam arti rakyat mulai lebih aktif terlibat dalam politik), di lain sisi tidak demokratis. Ada berapa contoh ketidak-demokratisannya. Pertama, pemerintah melarang Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi. Benar ada tokoh-tokoh dua partai ini yang terlibat PRRI-Permesta, sebuah pemberontakan bersenjata yang illegal. Tetapi melarang kegiatan seluruh partai karena keterlibatan beberapa tokoh merupakan upaya administratif (bukan tindakan politik) untuk mengatasi masalahnya. Tidak jauh berbeda dengan Suharto melarang kegiatan PKI, karena keblingeran seglintir kecil pemimpinnya yang terlibat Gestapu. Begitu juga di kemudian hari pemerintah Sukarno melarang Partai Murba, atas desakan PKI. Pula larangan yang tak perlu terhadap Manikebu, manifesto kanan anti-politik oleh segelintir seniman dan intelektual. Semua partai yang dilarang, dilarang saja, tidak ada proses pembasmian. Ini juga berarti bahwa perpolitikan mereka tetap eksis tetapi hanya masuk ke pasar gelap politik.
Kedua, ada proses mentotalitariankan bahasa politik. Dengan dilarangnya PSI dan Masyumi, bahasa politik konservatif dan kanan kehilangan ruang gerak padahal masih cukup banyak rakyat Indonesia, biarpun mungkin semakin minoritas, yang menganutnya. Semua diskusi politik harus memakai bahasa yang diciptakan Sukarno. Di satu segi ini adalah hasil daripada semakin besar dukungan buat kubu kiri. Dengan sendirinya kubu konservatif akan semakin kecil dan marjinal. Ini juga mengakibatkan ketimpangan dan distorsi terhadap kehidupan politik demokratik.
Di dalam pikiran politik Sukarno, memang ada unsur yang membuka kemungkinan distorsi seperti itu. Soekarno sangat kritis terhadap ‘demokrasi liberal’ maupun ‘parlementer demokrasi.’ Ini bisa di lihat dari berbagai tulisannya. Ini ada dua contoh dari kuliah Sukarno tentang Pancasila yang diadakan di Istana Negara pada 1958:
‘Parlementair demokrasi adalah hanya ideologi politik, Parlementair demokrasi memberi kans yang sama secara demokratis kepada semua orang di bidang politik, itupun zoegenaamd [seharusnya]. Sebab dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda.
Parlementair demokrasi adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang naik. ….. … kita dus sebenarnya tidak boleh memakai parlemantaire demokrasi.’
Juga sangat terkenal kritikan Sukarno yang menyerang demokrasi liberal sebagai hanya ‘demokrasi 50% plus 1’ dan kemudian tekanannya pada menggunakan musyawarah.
Kritik Sukarno terhadap demokrasi liberal mempunyai dua asal yang pokok. Pertama, caranya mengritik demokrasi liberal berasal dari kritikan umum yang sering diungkapkan oleh kaum kiri di mana pun. Dalam demokrasi liberal semua warganegara dan semua kekuatan punya hak formal yang sama, tetapi karena kekuatan keuangannya berbeda, hak formal yang sama ini sebenarnya batal, sebab kata Sukarno: ‘Dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda.’ Kritik itu sangat benar.
Asal-usul kedua dari kritikan Sukarno adalah pengalaman Indonesia sendiri sejak kemerdekaan, yaitu periode 1950-1958. Selama periode tersebut, kehidupan politik demokrasi parlementer diwarnai oleh gonta-ganti koalisi kabinet. Friksi antar partai semakin tajam. Sukarno dan banyak orang lain mengeluh terjadinya saling ‘jegal-menjegal.’ Sebenarnya masalah yang sama sering juga dikeluhkan oleh masyarakat pada zaman sekarang yang tercerminkan melalui komentar bahwa ada terlalu banyak partai. Saat ini masalah tersebut dicoba diselesaikan sepenuhnya dengan cara adminstratif, yakni dengan cara mempersulit proses verifikasi untuk ikut Pemilu kemudian dengan usulan menaikan threshold.
Tetapi problem yang sama, baik tahun 1950-an maupun zaman sekarang bukan masalah demokrasi liberal itu sendiri. Problem itu adalah cerminan daripada fenomena lain yang juga sering dikomentari Sukarno, apalagi sebelum kemerdekaan. Menurut Sukarno semua hal di Indonesia, termasuk kehidupan demokrasi tentunya, tak bisa berkembang lebih besar dan esensial akibat tak terjadinya industrialisasi. Ini juga berlaku sampai sekarang, bahkan untuk Indonesia pada tahun 2011. Meskipun terjadi pembesaran sektor manufaktur, jenis manufakturnya tidak berkembang lewat industrialisasi tetapi lewat perluasan banyak manufaktur yang berskala kecil. Akibat dari realitas itu adalah banyaknya pengelompokan kelas borjuis dalam negeri Indonesia yang berskala kecil. Situasi kepartaian mencerminkan kenyataan itu.
Di jaman sekarang, untuk menghadapi carut-marut seperti itu solusinya bisa mengambil langkah administratif. Bikin saja peraturan yang akan mengakibatkan jumlah partai berkurang. Di tahun-tahun Demokrasi Terpimpin, Sukarno berusaha mengombinasikan solusi politik dengan solusi administratif. Solusi politiknya mula-mula adalah mendukung konsep Golongan Karya (Golkar) dengan harapan bahwa organisasi-organisasi massa bisa melepaskan diri dari affiliasi partai dan menjadi sebuah gerakan massa yang bersatu. Tetapi upayanya tidak berhasil.
Sejak tahun 1962, Sukarno lebih mendorong konsepsi Nasakom dan Front Nasional. Dia kembali kepada tulisannya di tahun 1926 untuk berusaha menyatukan Islam (progresif), nasionalis (progresif) dan Marxis (non-sektarian). Sesudah tahun 1962, gerakan mobilisasi massa mendukung Soekarno semakin membesar. Membesarnya gerakan itu, yang disertai dukungan ide-ide sosialisme ala Indonesia yang diusung Sukarno, agaknya menjadi solusi yang diharapkan bisa memecahkan kebuntuan situasi politik nasional. Tetapi Sukarno tetap memberlakukan sanksi adminstratif, yakni larangan terhadap PSI, Masyumi dan Murba.
Bukan hanya itu, mulai 1959 ada proses penundaan terus-menerus mekanisme utama dari demokrasi parlementer, yakni pemilihan umum. Pada kurun 1959-1962, semua partai, termasuk PKI, selalu menuntut adanya Pemilu yang tertunda (dan ditunda-tunda) itu. Tetapi mulai sekitar 1962-1963, seolah-olah memang semua pihak sepakat tak perlu ada Pemilu lagi. Maka terciptalah sebuah mekanisme baru untuk mengatur perpindahan kekuasaan dari satu golongan kepada golongan lain. Pada 1963, didirikan Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (Kotrar) langsung di bawah komando Sukarno, yang menggantikan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin Jenderal Nasution. Sejak ada Kotrar, konsep penggantian pemerintah diubah menjadi konsep Retooling Kabinet – artinya mereka yang dianggap datang dari golongan ‘kanan’ di dalam kabinet diganti dengan yang ‘kiri’ atau progressif.
Cara demikian sebetulnya jebakan, karena secara formal semua menjadi tergantung pada Presiden Sukarno. Di luar proses formal, kuncinya adalah memang sejauh mana ide-ide sosialisme ala Indonesia mendapat dukungan. Selama dukungan mayoritas rakyat menjadi sasaran, proses ini memiliki sifat demokratis. Tetapi tanpa proses pemilu, ini merupakan proses demokratis tanpa tersedianya mekanisme demokratis, yaitu mekanisme formal yang memang bersandar pada rakyat sendiri. Semua bersandar pada presiden. Juga sangat susah membayangkan proses demokratis langsung – yaitu insureksi bersenjata oleh rakyat mayoritas, karena mereka tidak memiliki senjata.
Sementara itu presiden juga tidak punya kekuasaan atau kekuatan absolut. Apakah kabinet bisa diretooling atau tidak, banyak tergantung pada kalkulasi imbangan kekuatan. Kalkulasi dan manuver menjadi sebuah mekanisme utama yang menciptakan suasana yang penuh kehati-hatian dan manuver yang sangat matang untuk segala macam konspirasi.
Demokrasi liberal memang banyak cacatnya dan banyak mendapatkan kritik dari Sukarno. Dalam hal itu dia benar. Yang harus dipertanyakan adalah solusi yang ditawarkan Sukarno: sebuah sistem politik formal yang membuang semua aspek positif dari demokrasi liberal: tak ada Pemilu, pelarangan partai-partai dan bahasa politik yang tunggal. Dengan begitu sebuah gerakan memperjuangkan sosialisme ala Indonesia – yang pada hakekatnya bersifat demokratis dan juga melibatkan jutaan orang ke dalam kehidupan politik negeri – berkembang tanpa mekanisme formal demokratis. Situasi seperti itu berujung pada pertarungan konspirasi gelap dan memuncak di tahun 1965, yang membuka kesempatan untuk kubu lawan Sukarno untuk mengalahkannya secara total.***
Max Lane, Pengajar di Universitas Sydney, Australia
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Majalah Historia Online. Diterbitkan ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.