Sumbangan Untuk Diskusi
I
TULISAN Muhammad Ridha mengenai persoalan TKI, secara ringkas menjelaskan soal kenapa TKI harus dikirimkan keluar negeri. Sayangnya, tulisan tersebut masih samar memberikan argumen mengapa TKI tidak memperoleh perlindungan dari Negara.
Argumen Marxisme yang dipakai Ridha hanya menjelaskan soal otonomi relatif negara dan soal negara yang bias, karena hanya mewakili kepentingan kelas berkuasa. Kurang dijelaskan dalam tulisan tersebut, latar tumbuhnya TKI dan kepentingan-kepentingan yang mendasari dikirimnya TKI ke luar negeri. Tak heran jika dalam itu Ridha tidak merasa perlu memberikan solusi atas kejadian-kejadian yang menimpa para TKI di luar negeri dan Arab Saudi pada khususnya. Tulisannya hanya ingin menunjukkan kritik terhadap teori negara yang dikemukakan oleh Hizkia Yossie Polimpung.
Seperti diketahui, dalam tulisannya, Yossie, dengan jelas memberi tahu kita supaya jangan berharap banyak kepada Negara, karena ia mempunyai logika dan kepentingannya sendiri, yakni logika Kedaulatan Negara. Dan seperti diperlihatkan oleh Ridha, dalam sejarahnya Negara tidaklah otonom dari kepentingan masyarakat. Negara yang berdaulat, yang berdiri di atas kepentingan masyarakat adalah mitos. Justru Negara adalah perwakilan dari kepentingan kelas yang berkuasa.
Dalam artikel ini, saya ingin menambahkan apa yang telah dikemukakan Ridha mengenai posisi Negara yang tidak otonom tersebut, sekaligus menunjukkan argumen teoritis untuk memahami kemunculan TKI dan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap Negara.
II
Pakar ekonomi politik Richard Robison dalam bukunya ‘The Rise of Capital’ (1986), telah menunjukkan Negara terlibat aktif dalam proses pembentukan kelas borjuis di Indonesia, terutama sejak kekuasaan Negara Orde Baru (NOB). Setelah penghancuran gerakan kiri dan nasional-kerakyatan pada 1965, NOB yang mengambil jalan kapitalis dalam pembangunan nasional, dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak terdapat kelas borjuis domestik yang kuat, yang sanggup menggerakkan mesin dan roda kereta kapitalisme.
Padahal, adalah mustahil roda kapitalisme ini berputar mulus tanpa kehadiran kelas borjuasi domestik. Sepenuhnya mengandalkan pada borjuasi asing, jelas berbahaya secara politik. Sementara, tidak mungkin bagi borjuasi asing beroperasi di Indonesia tanpa keberadaan borjuasi domestik sebagai partnernya. Sekuat apapun NOB, tetaplah mereka adalah tentara dan birokrasi yang bekerja berdasarkan logika akumulasi politik, bukan logika akumulasi dan ekspansi kapital.
Pada momen inilah, Negara selain terlibat langsung dalam aktivitas ekonomi melalui perusahaan milik negara (BUMN), juga kemudian menciptakan, memberikan ruang dan memfasilitasi kemunculan borjuasi domestik. Strategi pembangunan seperti ini, dalam studi ekonomi politik disebut state-led capitalism, lebih khusus lagi disebut strategi pembangunan industri berorientasi impor. Kasarnya, perkembangan kelas borjuis di Indonesia harus melalui negara, yang terwujud dalam rupa-rupa jenis kebijakan perundangan, seperti proteksi pasar dalam negeri, pemberian lisensi, subsidi untuk ekspor, kebijakan kredit perbankan dan non-perbankan yang murah, perlindungan politik dari aksi pemogokan buruh dan petani, dsb.
Melalui pembangunan kapitalisme yang dibimbing Negara ini, muncul dua keadaan: pertama, posisi Negara relatif kuat di hadapan kelas borjuasi domestik dan juga kelas-kelas lainnya. Misalnya. perencanaan pembangunan ekonomi nasional sepenuhnya menjadi hak eksklusif aparatus Negara. Satu-satunya kekuatan yang sanggup mengimbangi dan memengaruhi perencanaan pembangunan nasional adalah borjuasi asing, yang muncul dalam rupa lembaga Bank Dunia, dan negara-negara pemberi utang yang tergabung dalam Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) yang kelak berubah menjadi Consultative Group on Indonesia (CGI).
Kedua, borjuasi domestik yang lahir melalui Negara (istilah yang popular sekarang melalui KKN) tersebut, adalah borjuasi yang lemah secara ekonomi dan pengecut secara politik. Secara ekonomi, mereka sangat tergantung pada fasilitas dan proteksi Negara, sehingga tidak efisien dan tidak kompetitif di pasar domestik dan internasional. Secara politik, mereka tidak punya rekam-jejak yang panjang dan konsisten dalam memenangkan kepentingannya secara demokratis. Mereka tidak memiliki catatan emas pada perjuangan menegakkan liberalisme ekonomi dan pluralisme politik, bahkan diam ketika NOB mulai membungkam pikiran-pikiran liberal.
Di sisi lainnya, gelombang investasi asing yang masuk ke Indonesia pada era ini tidak ditujukan untuk kepentingan investasi jangka panjang dan padat modal, melainkan lebih pada sektor yang mengandalkan upah buruh murah dan ekstraksi sumberdaya alam (pertambangan, minyak dan gas). Akibatnya, indsutri yang berkembang pesat adalah industri manufaktur perkotaan yang bertumpu pada buruh murah dan berpendidikan rendah. Proletarianisasi massal ini terjadi melalui limpahan tenaga kerja dari sektor pertanian akibat penerapan Revolusi Hijau yang menghancurkan struktur tenaga kerja pedesaan saat itu. Revolusi hijau ini ditandai dengan pembukaan lahan-lahan baru, pengenalan industri pertanian modern, serta pemakaian pupuk anorganik besar-besaran melalui tindakan kekerasan fisik dan intimidasi kepada petani. Dalam waktu singkat, hasilnya sangat menakjubkan dan berhasil melambungkan produksi pertanian Indonesia. Tetapi dalam jangka panjang, seluruh kebijakan itu telah menyebabkan sektor pertanian, yang menampung jumlah tenaga kerja terbesar, menjadi terbengkalai untuk kemudian kembali terpuruk hingga saat ini. Jumlah pengangguran pedesaan pun meningkat setiap tahunnya, dan sebagian besar dari mereka bermigrasi ke kota.
Ketika gelombang pasang kapitalisme-neoliberal melanda dunia pada akhir 1970an, NOB dipaksa untuk menyesuaikan diri melalui program penyesuaian struktural yang dikampanyekan Bank Dunia. Restrukturisasi ekonomi secara perlahan tapi pasti mulai dilakukan melalui kebijakan liberalisasi dan deregulasi. Proteksi terhadap borjuasi domestik semakin terbatas pada kelompok terdekat istana negara (keluarga Soeharto dan konglomerat). Pada saat yang sama, gelombang aksi-aksi pemogokan buruh dan perlawanan petani semakin marak, sehingga posisi Negara yang relatif kuat pun semakin menyusut. Puncaknya adalah 21 Mei 1998, ketika rejim orde baru tumbang.
II
Setelah NOB tumbang, kita dihadapkan pada fakta-fakta: keterbukaan politik, krisis ekonomi yang parah, jumlah pengangguran yang membludak, dan restrukturisasi ekonomi yang semakin bercorak kapitalisme-neoliberal. Memang terjadi keterbukaan dan kontestasi politik yang marak, tetapi perubahan politik itu tidak mengubah arah perekonomian yang semakin terintegrasi ke dalam rantai ekonomi global. Siapapun yang berhasil memenangkan pemilu, ia harus memfasilitasi proses restrukturisasi ekonomi yang diputuskan oleh lembaga yang tidak dipilih rakyat dan tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Tentu saja ada riak-riak dalam proses restrukturisasi ini, tetapi riak itu tidak signifikan dalam mengubah orientasi ekonomi nasional.
Pada era reformasi ini juga, kita melihat bagaimana peran Negara bergeser secara signifikan. Jika NOB begitu kuat di hadapan borjuasi domestik, dan relatif bisa bargaining dengan borjuasi asing, kini posisi Negara sangat lemah di hadapan keduanya. Krisis ekonomi yang diikuti dengan restrukturisasi neoliberal melalui kebijakan liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi telah memangkas sumberdaya ekonomi Negara.
Hancurnya industri manufaktur, pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel, sistem kerja kontrak, sektor pertanian yang semakin terkebelakang, angka pengangguran terbuka dan terselubung yang besar, dan tingkat kemiskinan yang tinggi, menyebabkan pembiayaan pembangunan sangat tergantung pada utang luar negeri, investasi asing, dan pendapatan devisa melalui ekspor tenaga kerja murah ke luar negeri. Dari situasi ketergantungan inilah, kita bisa melihat bahwa keberadaan TKI ini merupakan konsekuensi dari sistem kapitalisme yang berlangsung saat ini.
Inilah akar masalah dari seluruh benang-kusut kasus TKI. Dalam sistem ini, dimana semua aspek kehidupan dikomodifikasikan, TKI telah menjadi salah satu komoditi ekspor utama, satu di antara sekian penyumbang devisa terbesar bagi pembiayaan pembangunan nasional. Karena harganya yang murah, komoditi TKI ini laris di pasaran internasional. Sebagai komoditi ia tidak berbeda dengan komoditi lainnya, dan konsekuensinya sebagai buruh ia tidak berbeda dengan buruh sektor lainnya, sehingga tidak ada urgensinya buat TKI untuk membentuk organisasi yang terpisah dengan organisasi buruh lainnya.
Di sini, saya ingin juga mengatakan, bahwa teori push and full factor tidak lagi memadai dalam menjelaskan keberadaan TKI ini. Teori push factor mengatakan bahwa TKI terjadi karena keterpaksaan akibat tidak adanya pekerjaan di dalam negeri, sementara teori full fator melihat TKI terjadi karena adanya iming-iming pendapatan tingg di luar negeri. Melalui teori ini, kita menempatkan keberadaan TKI sebagai dampak dari kegagalan Negara dalam menyediakan lapangan kerja dengan tingkat pendapatan yang mencukupi untuk hidup sehat. Tetapi, jika kita melihat TKI sebagai komoditi, sebagai barang dagangan, maka kehadirannya merupakan sesuatu yang direncanakan dan diorganisasikan secara rasional demi kepentingan akumulasi kapital. Sebagai komoditi, perdagangan TKI tidak hanya menguntungkan para kapitalis di negara asal dan di negara tempat tujuan, tapi juga sebagai cara untuk melanggengkan keberadaan sistem kapitalisme-neoliberal. Sebagai komoditi ia dipertukarkan layaknya komoditi lainnya (barang dan jasa) yang tunduk pada mekanisme pasar, dan seperti kita tahu, dalam era neoliberal Negara tidak boleh turut campur dalam mekanisme pasar ini.
Jadi, berbeda dengan Yossie yang melihat ketidakpedulian Negara sebagai akibat dari logika Kedaulatan yang melekat pada Negara, saya justru melihat ketidakpedulian itu sebagai hasil dari relasi dan struktur ekonomi politik yang terjadi saat ini, yakni kekalahan kelas pekerja di hadapan kelas kapitalis.
III
Kini saya akan coba menawarkan solusi terhadap persoalan TKI dalam hubungannya dengan Negara. Pertama-tama, saya ingin mengklarifikasi posisi teoritik saya tentang Negara. Mengikuti pandangan Marx, Negara muncul sebagai konsekuensi dari adanya kelas-kelas dalam masyarakat yang berkonflik satu dengan lainnya. Selama kelas-kelas ini ada, maka Negara akan tetap eksis. Di sini Negara ada bukan untuk mendamaikan konflik di antara kelas-kelas, karena Negara tidak lain adalah alat kelas berkuasa untuk melayani kepentingannya sembari menindas kepentingan kelas lainnya. Dalam kapitalisme, dimana kelas kapitalis yang berkuasa maka Negaranya adalah negara kapitalis.
Uraian singkat tentang NOB dan Negara pasca orde baru yang saya kemukakan di atas, memberikan konfirmasi terhadap posisi teoritik ini. Namun demikian, saya juga berpendapat bahwa Negara bukanlah sebuah entitas yang homogen dan monolitik, yang secara otomatis melayani kepentingan kelas berkuasa saat ini, yakni kelas kapitalis. Benar bahwa Negara pada akhirnya adalah komite politik dari kelas kapitalis, tapi keputusan Negara juga sangat dipengaruhi oleh relasi kelas yang ada. Jika kelas pekerja teroganisir rapi dan memiliki kesadaran politik yang tinggi untuk memperjuangkan kepentingannya, maka Negara tidak bisa sewenang-wenang atau leluasa menjadi instrumen kelas kapitalis. Seperti yang sudah ditunjukkan Marx, dalam kasus-kasus tertentu Negara bisa bertindak menentang kepentingan jangka pendek kelas kapitalis demi kepentingan jangka panjang kapitalisme.
Dalam era kapitalisme-neoliberal ini, jelas sekali relasi kelas berjalan sangat timpang. Kelas kapitalis sukses mengalahkan kelas pekerja di hampir semua front pertempuran.
Kekalahan kelas pekerja di era ini, seperti ditunjukkan Vedi R. Hadiz dalam bukunya ‘Dinamika kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Paska-Soeharto’ (2002), disebabkan oleh: pertama, banyaknya pengangguran akibat resesi ekonomi di tahun 1997 – 1998 yang mengakibatkan pengorganisasian pekerja menjadi sulit; dan kedua, banyaknya serikat pekerja yang masih lokal sifatnya dan saling bersaing di antara mereka. Dalam soal TKI, kelemahan itu semakin menjadi-jadi akibat persoalan ruang dan waktu di mana mereka bekerja. Akibat kekalahan kelas pekerja ini. maka kelas kapitalis berhasil memaksa Negara untuk terus-menerus melayani kepentingannya, baik melalui sistem perundang-undangan maupun dengan secara fisik.
Dengan demikian, agar Negara mau berpihak kepada kepentingan kelas pekerja, maka tidak ada jalan lain kecuali kelas pekerja merapatkan barisan, membentuk sebuah perjuangan kelas yang panjang untuk merebut kekuasan Negara. Perjuangan kelas pekerja merebut kekuasaan Negara ini dapat dilakukan lewat jalur parlemen maupun non-parlementer. Usulan ini saya kemukakan, karena saya tetap melihat bahwa Negara bisa menjadi agen untuk transformasi sosial ke arah yang lebih adil dan egaliter, tapi pada saat yang sama kelas pekerja harus memiliki organisasi yang kuat serta visi dan misi yang jelas mengenai kepentingannya.***
Bimo Semiarto, penulis lepas tinggal di Yogyakarta