Menyambung Perdebatan Soal Negara
HUKUMAN pancung yang dilakukan pemerintahan Kerajaan Arab Saudi terhadap Ruyati binti Sapubi, telah menggetarkan dan menghentakkan sentimen kemanusiaan kita semua. Hukuman penggal kepala itu, membuat kita marah, sedih, sekaligus malu bahwa sebagai bangsa kita tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan atau membatalkan keputusan barbar tersebut.
Tetapi kalau kita cermati lebih jernih dan teliti, di sekeliling kita sedang terjadi sebuah proses sosial yang membuat kasus yang dialami Ruyati, bukanlah kejadian tragis terakhir. Di depan mata kita saat ini, terjadi kontradiksi antara kebijakan kenaikan anggaran pendidikan 20 persen, privatisasi kampus yang memaksa orang miskin sulit, atau bahkan, hampir mustahil untuk mendapat akses pendidikan tinggi. Pada ranah lainnya, negeri ini telah ‘digoreng’ sedemikian rupa untuk menjadi tempat yang ramah bagi investasi asing, dengan menekan upah buruh sedemikian rupa hingga kaum borjuis dapat menghisap dan mengakumulasi kapital dengan nyaman. Di arena politik formal, para politisi yang berumah di Senayan, Istana Merdeka dan pusat-pusat kekuasaan, berpesta pora menjarah uang rakyat. Di sektor pertanian, dengan dalih menekan harga bagi konsumen, liberalisasi pangan dibuka seluas-luasnya sehingga daya tahan kaum marhaen akhirnya hancur.
Sepertinya, berbagai fragmen dalam kehidupan republik ini tak saling berhubungan, berjalan sesuai dengan proses kehidupan yang saling terpisah dan tak saling berinteraksi. Benarkah demikian? Apakah tidak ada benang merah dan relasi yang dapat merangkai berbagai puzzle kehidupan ini, dalam sebuah metode yang bisa menelusuri sistem ekonomi-politik apa yang bekerja di dalamnya? Dalam perspektif Hizkia Yosie Polimpung, jawaban atas soal ini jelas, hal itu mesti dikembalikan pada problem kedaulatan Negara. Dalam soal TKI, ini bukti bahwa Negara tidak peduli karena fokusnya melulu pada kesinambungan kedaulatan. Pendeknya, negara berdaulat yang bekerja hanya untuk kesinambungan kedaulatannya.
Tesis Yossie ini mendapat gugatam dari Muhammad Ridha, dengan membongkar logika kedaulatan Negara yang dipahami cenderung esensialis dan menisbikan rangkaian sistem ekonomi-politik yang membentuk relasi sosial antara Negara dengan logika cara berproduksi di dalamnya. Ringkasnya, Negara dalam sistem kapitalisme. Namun demikian, saat Ridha melakukan kritik terhadap argumen fondasional dari kedaulatan Negara-nya Yosie, ia kehilangan fokus untuk menjelaskan dengan jernih bagaimanakah kita memahami nasib TKI Ruyati dalam pusaran formasi kapitalisme di atas. Tegasnya, bagaimana menempatkan tragedi TKI Ruyati dan 200 TKI Indonesia yang menunggu ajalnya di bawah hukuman pancung tersebut, dalam hubungannya dengan relasi sosial yang terbentuk dalam sistem kapitalisme neoliberal di Indonesia, beserta relasi kekuasaan yang membentengi praktek eksploitasi satu kelas terhadap kelas lainnya.
Ekonomi Politik TKI
Beberapa waktu lalu, dalam diskusi para filsuf di pinggiran sebuah kampus terkemuka Jakarta, saya pernah menggugat sebuah tesis perlawanan berbasis politik suka-suka, yang terinspirasi gagasan filsuf Prancis Claude Lefort tentang empty space. Menurut saya, sebuah perlawanan progresif tidak cukup hanya melalui aksi diskursus yang menimbang konteks dari medan kekuasaan dan melihat ruang politik demokrasi sebagai ruang kosong yang dapat kita maknai melalui politik perlawanan sesuka-suka kita. Justru, konteks material dari tatanan yang akan kita lawan dan gugat atau macro text (dalam istilah dari penganut critical discourse analysis), dari tatanan ekonomi sosial dan politik dari ruang politik yang akan kita gugat dan kita sodorkan teks perlawanannya mesti di petakan dengan jelas. Bagaimana transformasi Negara, sebagai institusi politik bekerja dan berdialektika dengan pertumbuhan ekonomi, hubungan sosial dan budaya, serta kepentingan kelompok berkuasa? Bagaimana ruang yang terbentuk dari proses dialektika tersebut, yang membentuk sebuah formasi ekonomi politik yang spesifik, tak biasa diabaikan?
Sosiolog Marxis Henri Lefebvre (1964) dalam esainya The State and Society menjelaskan, untuk membaca hubungan antara yang ekonomi, sosial dan politikal di sebuah wilayah, ada tiga hal yang patut dipertimbangkan: pertama, dalam membahas sebuah problem sosial maka pertama-tama harus dipetakan terlebih dahulu hubungan antara wilayah ekonomi, yaitu pola pembangunan ekonomi yang tengah berlangsung dan hubungannya dengan pembangunan politik. Interaksi dialektik tersebut akan menentukan bentuk, struktur internal, dan aturan, dan diatas segalanya, karakter dari Negara yang di dalamnya bercokol rejim ekonomi politik tertentu.
Kedua, interaksi dialektis antara wilayah ekonomi dan politik ini tidak begitu saja bekerja dalam mendefinisikan formasi ekonomi politik di sebuah negara. Hubungan dialektis antara ruang politik dan ekonomi ini bekerja untuk mewadahi bekerjanya proses dialektika antara kekuatan sosial yang menjadi agensi di dalamnya. Dengan kata lain, pertarungan kelas hadir dalam arena yang terwadahi dalam interaksi antara wilayah ekonomi dan politik. Pertarungan kelas ini juga tidak hanya berlangsung pada periode revolusi dan kontra revolusi, namun pada setiap waktu dalam proses politik yang berjalan.
Ketiga, kesempatan pintu perubahan atau tidak tersedianya sebuah kesempatan politik ditentukan oleh pertarungan sosial dan kekuatan sosial apa yang secara dominan dan hegemonik berkuasa dalam periode sejarah tertentu. Proses interaksi, dialektika, kontestasi dan negosiasi di antara tiga hal inilah yang menentukan pola pembacaan sejarah berbasis materialisme dialektika historis.
Terkait dengan pembacaan atas tiga hal tersebut, ketika kita menempatkan hubungan antara Negara, aktivitas ekonomi, dan pemenggalan kepala Ruyati, kita tidak dapat melihatnya semata-mata pada pemahaman akan abainya Negara karena hanya melulu mengurus kedaulatannya dan memerintah warganya saja. Pandangan ini akan membutakan kita melihat bagaimana transformasi sosial Negara berlangsung dalam tarikan kepentingan sosial ekonomi dan politiknya. Kita juga tidak bisa hanya melihat semata-mata pada problem dialektika ekonomi-politik yang berujung pada proses deindustrialisasi negara di era neoliberalisme, karena hal ini akan menghilangkan wawasan kita terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi, politik yang lebih luas. Dan kita harus menemukan argumen di balik Negara abai, Negara tak bermoral dan Negara bungkam, sebagai sebuah epifenomena, yang didalamnya tersembunyi “jejaring laba-laba” sistemik yang menandai peta akar dari malapetaka nasib para TKI.
Melengkapi penjelasan Ridha tentang proses deindustrialisasi Negara yang terjadi seiring dengan integrasi Indonesia dalam ekonomi global, maupun pengelolaan buruk tenaga kerja, saya berusaha mendaratkannya dalam relasi ekonomi politik yang memengaruhi entitas Negara secara global sejak tahun 1970-an. Seorang Geografer marxis Neil Brenner (2004) dalam karyanya New State Spaces: Urban Governance and The Rescaling of The Statehood mengutarakan, di belahan bumi Eropa dan Amerika Serikat, seiring dengan krisis rejime negara welfare state, terbuka peluang bagi proses modifikasi dan transformasi Negara baru yang lebih melayani kepentingan ekonomi-politik kelas borjuis, tekanan proses globalisasi, dan kebutuhan integrasi Eropa. Tuntutan akan akomodasi kebutuhan-kebutuhan tersebut memunculkan bentuk transformasi Negara berbasis pada entrepreneur, tata kelola pemerintahan yang berpijak pada aktivasi pemerintahan lokal, serta dorongan untuk mendorong kebijakan ekonomi yang berbasis di region kota. Kesemuanya ini, telah mengundang derasnya investasi dan dorongan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dari ‘bawah.’
Sejak saat itu, wacana desentralisasi politik yang mempromosikan demokratisasi dari bawah berjalan seiring dengan pembukaan investasi seluas-luasnya untuk menggenjot aktivitas ekonomi kota, serta kompetisi ekonomi antar kota. Dua hal yang di level praktis ternyata memunculkan paradoks diinternalnya. Seperti diutarakan David Harvey (2004) dalam A Brief History of Neoliberalism, transformasi dan konfigurasi ekonomi politik negara baru ini bekerja untuk melayani konflik dan pertarungan kelas yang terjadi dinegara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Masih menurut Harvey, sejak penerapan rejim neoliberal pada akhir tahun 1970-an porsi pendapatan nasional dari 1 persen orang terkaya di AS melonjak hingga 15 persen, sementara untuk Inggris proporsi pendapatan nasional dari 1 persen orang terkaya melesat dari 6,5 persen menjadi 13 persen. Menariknya, hal ini beriringan dengan pemiskinan kelas pekerja dan penghancuran serikat-serikat pekerja sebagai organ penting kekuatan politik di negara-negara tersebut.
Setelah melihat gambaran pendek transformasi negara kapitalis di belahan bumi Eropa dan AS, pasca Soeharto dan masuknya Indonesia pada era reformasi, kita melihat perkembangan yang mirip sebagai dampak kian terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam proses globalisasi ekonomi neoliberal. John Harris (2003) dalam Depoliticizing Development: World Bank and Social Capital menguraikan, setelah gegar demokratisasi gelombang ketiga, negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dirayu untuk mengadopsi formula desentralisasi yang telah menjadi tema kajian penting untuk mentransfer otoritas politik, fiskal, dan administratif ke level pemerintahan lokal. Dalam formasi baru perampingan negara pasca rejim otoritarian ini, relasi-relasi sosial di berbagai bidang kehidupan direstrukturisasi untuk membuka investasi seluas-luasnya, membangun tata kelola pemerintahan berbasis kewirausahawan yang berpusat di kota-kota besar, proses privatisasi institusi publik seperti institusi pendidikan, fleksibilitas pasar tenaga kerja melalui upah fleksibel (menekan upah kerja), hingga liberalisasi impor pangan dan janji manis demokratisasi di tingkat lokal.
Dalam logika desentralisasi ini, satu hal yang kerap terlupakan adalah proses politik perencanaan kota dan wilayah, saat menimbang bagaimana desain negara kapitalis-cum desentralisasi di Indonesia turut menentukan nasib rakyat miskin di Indonesia. Henri Lefebvre (1991) dalam Production of Space mengutarakan, desain tata kota adalah sesuatu yang mendasar dalam membaca aspek material di dalam konfigurasi ekonomi-politik suatu negara, terutama pada ruang yang dibayangkan (perceived space), ruang yang termaterialkan (conceived space), dan ruang yang menjadi ajang kontestasi politik. Ruang-runag ini secara inheren bersifat politik melayani kepentingan kelas sosial tertentu dan meminggirkan kelas lainnya. Dalam politik ruang inilah pertarungan kelas tercemin pada keikutertaannya dalam merumuskan, mengintervensi dan membentuk relasi-relasi sosial di masyarakat, yang mewujud pada proses penghisapan, membatasi ruang politik dari kalangan-kalangan yang termarjinalkan, melakukan segregasi perumahan berbasis kelas dan membatasi akses-akses untuk memperjuangkan kehidupan yang layak bagi warga miskin.
Akar soal TKI
Berpijak pada uraian ini, marilah kita tempatkan posisi para TKI seperti Ruyati, dalam konteks negara kapitalis-cum desentralisasi, dalam arsitektur kota yang membentuk relasi sosial kapitalisme.
Faktanya, sebagian besar TKI tersebut adalah orang miskin. Pada awalnya mereka menggantungkan hajat hidupnya dari bekerja pada sektor pertanian untuk menunjang nasib diri dan keluarganya. Di sini, mereka harus berhadapan dengan orientasi kebijakan neoliberal dari pemerintah nasional hingga lokal, berupa pembukaan kran liberalisasi import pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk kota yang terbiasa belanja di supermarket, mall dan minimarket. Hal ini membuat biaya produksi yang mereka harus kumpulkan tidak sebanding dengan margin keuntungan yang mereka dapatkan dalam memanen hasil pertaniannya. Pilihan yang tersedia bagi mayoritas keluarga marhaen ini adalah hijrah ke kota, mengadu nasib sebagai buruh. Sialnya, mimpi meningkatkan kualitas hidup ini pupus saat tawaran yang tersedia dalam pasar tenaga kerja adalah upah minimum, karena pemerintah lokal didesak oleh tuntutan investasi untuk menyediakan harga buruh yang elok, sehingga mampu bersaing dengan daerah-daerah yang lain.
Sementara itu, ketika mereka mau sekedar mengaso sejenak di tengah kepenatan kerja, yang tersedia adalah mall-mall yang menjajakan barang-barang dengan harga selangit. Rekreasi dan piknik gratis? Ternyata taman-taman kota yang elok begitu jauh dari ruang tempat mereka bekerja dan tinggal. Dalam kesumpekkan hidup itu, hanya sebagian kecil yang sadar dengan pentingnya politik. Namun ruang politik ini pun hilang, karena lokasi usaha-usaha strategis tempat mereka bekerja di pusat-pusat kota telah menerapkan strategi outsourcing, yang tak memungkinkan mereka berserikat, berkumpul dan memperjuangkan kepentingannya. Politik sebagai harapan untuk memperbaiki hidup bersama, dan mendekatkan rakyat dengan kekuasaan seperti janji desentralisasi ternyata tidak ditemukan oleh mereka yang terhimpit secara ekonomi. Hal ini sangat kontradiktif dengan pemandangan akan mudahnya para pengusaha real estate, kontraktor, investor, sliwar-sliwer ke gedung DPR dan pemerintahan di pusat kota.
Dalam kondisi tiada harapan inilah, maka kesempatan yang tersisa adalah merantau di negeri orang dan mempertaruhkan hidupnya terjaring menjadi budak belian. Dengan harapan siksaan yang diterima sebanding dengan hasil kerja untuk hidup lebih layak, membangun rumah baru, atau menyekolahkan anak-anak dan saudaranya. Banyak dari mereka yang bernasib malang: diperkosa, disiksa, dan dihukum pancung.
Ilustrasi-ilustrasi ini adalah penggambaran mudah dan gamblang bagi kita, bagaimana Negara sebagai pengelola kepentingan-kepentingan kaum borjuis (di negara kapitalis), bekerja memfasilitasi proses akumulasi dan ekspansi kapital. Dan secara dialektik, kita hanya akan bisa memahami posisi Negara yang tidak berpihak pada TKI melalui pembacaan yang cermat dan teliti akan relasi sosial kapitalisme.***
Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga dan Koordinator Serikat Dosen Progresif