Sebuah tawaran untuk perubahan paradigma
“Ini keteledoran dan kegagalan negara melindungi warga negaranya.” —Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care
“Kalau seandainya disebutkan pemerintah lalai dan tidak bekerja dalam hal ini, saya kira keliru.” —Julian Aldrin Pasha, Juru Bicara Presiden
ISU MENGENAI kemalangan Tenaga Kerja Indonesia kembali lagi mencuat ke permukaan. Kali ini dengan menghadirkan tragedi pemancungan Ruyati-Darsem. Ruyati dipancung oleh pemerintah Arab Saudi atas tuduhan pembunuhan majikannya yang mencoba memperkosanya. Sementara Darsem sedang berharap mujizat 4,7 Miliar untuk menyelamatkannya dari pisau jagal negara yang benderanya bergambarkan pedang itu.
Dengan sangat menyesal, saya tidak mampu membantu Darsem secara langsung untuk memperpanjang hidupnya. Namun demikian saya mendukung kawan-kawan LSM terutama yang sedang memperjuangkan nasib Darsem dan keadilan bagi almarhumah Ruyati. Dan dukungan yang ingin saya kontribusikan kali ini merupa dalam bentuk kritik. Kritik ini, bagi saya, teramat penting bagi orientasi advokasi kawan-kawan LSM tersebut secara khusus, dan kita semua yang peduli dengan nasib TKI secara umum. Jika praksis, entah itu mewujud dalam advokasi, emansipasi, atau bahkan perlawanan, adalah selalu mensyaratkan terlebih dahulu suatu pemahaman obyektif tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, maka suatu refleksi mengenai akar dari suatu permasalahan adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Di sini tepatnya saya mencoba menyelipkan kontribusi; dan klaim awal saya adalah bahwa dari opini publik yang berkembang di masyarakat, telah terjadi kesalah-kaprahan dalam memandang persoalan ketidak-jelasan nasib TKI.
Sasaran kritik saya adalah cara pandang terhadap negara yang melandasi seluruh aktivitas advokasi tersebut. Cara pandang ini sifatnya paradigmatik, dalam artian ia memengaruhi totalitas visi, misi, tujuan, sampai rupa-rupa praksis advokasi kita bagi TKI. Yang saya maksud di sini adalah pandangan bahwa negara memang diciptakan untuk melindungi rakyatnya. Atau dengan kata lain, adalah rakyat yang menjadi prioritas utama pemerintah. Argumentasi yang ingin saya kembangkan dalam artikel kritik ini adalah sebaliknya: rakyat tidak, dan tidak akan pernah menjadi prioritas utama pemerintah, setidaknya selama ia masih mewujud dalam negara berdaulat modern. Prioritas utama kedaulatan hanya ada dua: menjaga kesinambungan kedaulatannya dan memerintah rakyat yang (kebetulan) berada pada yurisdiksinya: titik. Keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya, dalam hal ini TKI, hanya menjadi signifikan sejauh ia berkenaan dengan kedua hal tersebut. Jadi, apabila negara berhasil melindungi dan mensejahterakan rakyatnya, maka sebenarnya hal tersebut bukanlah demi rakyat itu sendiri, melainkan demi menorehkan capaian keberhasilan suatu negara dalam menjalankan kedaulatannya.[2]
Implikasinya panjang. Jika rakyat tidak sejahtera namun negara tersebut masih (merasa) berdaulat, maka jangan harap negara akan turun tangan mendengar aspirasi rakyatnya. Jika rakyat menderita kelaparan dan mati karenanya namun negara masih melihat itu tidak mendegenerasi otoritas berdaulatnya, maka respon negara tidak akan jauh-jauh dari seputar retorika “saya ikut prihatin.” Jika rakyat marah dan berdemonstrasi karena pemerintah dianggap gagal menyediakan fasilitas dan infrastruktur namun pemerintah masih belum melihat potensi kudeta darinya, maka ungkapan lihai dan strategis seperti “terima kasih aspirasinya, akan kami tindak-lanjuti” adalah upaya paling banter yang diberikan negara. Saya katakan lihai dan strategis karena ungkapan ini, pemerintah akan dapat menghentikan demonstrasi sekaligus mempertahankan citra ‘demokratis’ di mata rakyatnya dan dunia—dengan membiarkan demonstrasi tersebut dengan dalih klasik ‘kebebasan berpendapat.’ Negara tidak akan pernah serius menangani suatu masalah/kasus yang tidak berkorelasi positif bagi, lagi, kedua tujuannya: kontinuitas kedaulatan dan legitimasinya memerintah. Singkatnya, dan izinkan saya menjadi sarkas di sini, negara sebenarnya tidak berkeberatan rakyatnya mati (sepanjang mereka tidak mati bersamaan pada waktu yang sama): negara hanya tidak suka apabila mereka dibunuh oleh negara lain.[3]
Hal serupa berlaku bagi “perlindungan” (jika kata ini tepat) TKI yang menjadi pemicu saya menulis kali ini.
Kegagalan Negara?
Pintu masuk saya adalah melalui respon standar terhadap kasus Ruyati-Darsem, yaitu bahwa negara gagal dan teledor dalam melindungi rakyatnya. (Respon ini bahkan merupakan statemen resmi dari kawan-kawan Migrant Care). Lainnya, misalnya dari situs jejaring mikro-blog Twitter, respon-respon serupa juga silih berganti dikicaukan: negara lalai, abai, tidak becus, dst, yang masih merupakan variasi dalam koridor paradigma yang sama, layaknya suara satu dan suara dua dalam paduan suara. Implisit dalam respon ini, pertama-tama, tentunya, adalah kekecewaan. Sedikit main mata dengan psikoanalisis, kekecewaan selalu berasal dari kegagalan sesuatu yang kita harap-harapkan (rely on) untuk memenuhi harapan dan aspirasi kita terhadapnya. Kegagalan ini berikutnya akan segera ditanggapi oleh ensembel ekspresi kekecewaan: marah dan protes. Lalu apakah harapan yang dimaksud dalam kasus kita kali ini?—tidak lain adalah harapan bahwa negara akan melindungi rakyatnya.
Hal kedua yang implisit dari respon-respon ini adalah bahwa problem ketidak-jelasan nasib TKI adalah akibat dari pemerintahan yang berjalan tidak dengan semestinya. Ketidakjelasan TKI dilihat semata-mata sebagai ‘kecelakaan’ atau ‘ekses’ dari negara yang keluar dari koridor ideal. Yang dilihat bermasalah di sini adalah orang-orang yang menjalankan sistem pemerintahan ini (presiden, kementrian, badan-badan, dst.), dan bukan sistem negara berdaulat itu sendiri. Akibatnya dalam. Dengan memposisikan problem ketidak-jelasan TKI seperti ini, maka solusi yang mungkin disampaikan adalah: mengganti presiden (atau anak-anak buahnya), mengevaluasi kerja kementrian dan badan-badan terkait, memutuskan hubungan dengan Arab Saudi, atau … sekedar histeria dan ekspresi kekesalan melalui media-media komunikasi saja (status facebook, kicauan di twitter, atau demonstrasi). Bagi saya, dengan mengacu dari sarkasme di atas, ketidakjelasan nasib TKI adalah akibat tak terelakkan dari sistem negara berdaulat modern. Sehingga, bagi saya, nasib TKI sudah jelas, selama negara kita masih menganut paradigma kedaulatan modern (a la Barat, a la PBB, a la Westphalia), maka nasib TKI tidak akan pernah jelas. Sudah jelas pula bahwa TKI akan terus terombang-ambing di antara kepentingan pasar bursa tenaga kerja dan kedaulatan negara.[4]
Yang ingin saya tekankan adalah sebenarnya tidak ada yang keliru dengan harapan-harapan yang implisit tadi, namun saya ingin mengajak kita untuk tur flashback sejarah hubungan negara-rakyat sebentar. Hal ini penting agar kita dapat, jika dirasa perlu, mereposisi rakyat dalam logika kekuasaan kedaulatan negara.
Logika Kedaulatan Negara
Secara substansial, konsep kedaulatan negara modern hari ini masih belum mengalami perubahan fundamental—sekalipun tantangan terhadapnya sudah sangat nyata. Konsepsi kedaulatan negara masih belum mendapat modifikasi serius sedari versi Westphalia-nya.[5] Kedaulatan negara memiliki tiga dimensi: batas, ke dalam, dan ke luar. Batas teritori negara akan menjadi penanda yang memisahkan wilayah satu negara (wilayah dalam/domestik) dengan negara lainnya (wilayah luar/internasional). Wilayah negara tersebut akan menjadi yurisdiksi pemerintahan berdaulatnya, yang negara lain tidak berhak untuk mencampuri selain mengakui kedaulatan negara yang menjadi tuannya, begitu juga sebaliknya.
Untuk memahami logika beroperasinya kedaulatan negara dan konsekuensi-konsekuensinya, sebaiknya kita tidak memulai dari manifestasi-manifestasinya yang muluk—institusi dan konstitusi. Saya mengusulkan untuk memulainya dari bentuknya yang bersentuhan langsung dengan kehidupan kita (sebagai masyarakat) sehari-hari, yaitu aparatus pemerintahan. Memetik pelajaran dari genealogi kepemerintahan (governmentality) Michel Foucault,[6] maka kita dapat, pertama-tama, melihat pemerintah sebagai sebentuk praktik kekuasaan sang berdaulat atau dengan kata lain, sovereignty in action. Sedari Machiavelli sampai Foucault, sekaligus mengulang yang sudah saya sampaikan sebelumnya, hati dan pikiran sang berdaulat tidak akan pernah lepas dari dua hal yang juga masih belum berubah: 1) mempertahankan, mereplikasi, sekaligus melanggengkan kedaulatannya dan, 2) memerintah—lebih ke arah manajemen dan administrasi—(si)apapun yang berada dalam teritori kedaulatannya.
Analogi paling sederhana untuk mengilustrasikan pemerintahan yang lebih bernuansa manajerial ini silakan berpaling pada video permainan The Sims. Di situ jelas saya kira bagaimana kita, sebagai pemain, mengatur seluruh aspek kehidupan aktor-aktor permainan tersebut: mulai dari jam tidur, jam makan, porsi daging-sayuran, jenis susu, waktu berkencan, waktu bercinta, lokasi rumah, lokasi wc-toilet, dst.[7] Analogi video permainan lain yang tak kalah serunya adalah game-game perang seperti Warcraft: Defense of the Ancient, Command & Conquer, Rome Total War, dst. Di situ, kita bisa mengatur sebatalion (atau lebih) pasukan, memperlengkapinya dengan senjata tertentu, menaikkannya pada kendaraan perang tertentu, menempatkannya di front tertentu, bahkan mengorbankannya (secara sengaja atau tidak sengaja), dst. Dengan kata lain, dalam permainan tersebut kita meng-atur, me-menej, me-merintah. Bagi kita, aktor-aktor tersebut tak lebih dari sekedar unit-unit yang keberadaannya secara singular tidaklah siginifikan. Kita juga tidak akan pusing jika kita salah mengurus aktor-aktor tersebut. Pula tidak akan kita berkabung jika satu batalion tentara Command & Conquer kita habis dibantai oleh tentara musuh. Sebaliknya, kesatuan kumulatif dari keseluruhan aktor-aktor permainan tersebutlah yang memberikan kita kesuksesan dan kemenangan (kedaulatan?) kita dalam permainan tersebut.
Demikian halnya dengan negara berdaulat. Dalam matematika kekuasaannya, rakyat tidaklah lebih dari sekumpulan kategori imajiner statistikal yang harus diatur sedemikian rupa (mulai dari tingkat kematian dan kelahiran, tingkat kemiskinan dan daya belinya, taraf pendidikannya, moralitasnya, situs yang boleh diakses atau tidak, jenis video yang boleh diunduh atau tidak, bahkan, jika bisa, sampai warna celana dalamnya). Kerinduan, mimpi, aspirasi, dan harapan dari rakyat hanya dihitung sejauh ia berkontribusi positif bagi kurva kekuasaan dan kekayaan negara, di luar itu: tidak relevan. (Hal ini menjelaskan mengapa saat ada “prestasi” dari aparaturnya, pemerintah langsung menggembar-gemborkannya melalui rupa-rupa publisitas; sebaliknya, program-programnya yang tidak mencapai target diupayakan sedemikian rupa agar luput dari ekspos publisitas).
Di pemandangan negara, rakyat tampak semata-mata hanyalah seonggok tubuh yang kesehariannya harus diatur. Tujuannya tidak lain dari untuk menunjukkan bahwa dalam suatu teritori tersebut ada yang memerintah, bahwa ada yang mengatur. Adalah eksistensi dan kesinambungan negara sebagai sang berdaulat yang mengedepan di sini. Memang benar apa yang dikatakan pemikir-pemikir kedaulatan rakyat: tidak ada rakyat, maka tidak ada negara. Tapi kita harus hati-hati menanggapi ini, jika perlu secara sinis menterjemahkannya: rakyat adalah unsur penting dan terutama bagi negara karena hanya kepadanyalah kekuasaan negara bisa dipraktikkan dan ditegakkan. Tanpa ada relasi rakyat-pemerintah—yang telah dan sedang diikat dengan rupa-rupa retorika nasionalisme dan heroisme-patriotik, tidak akan ada kekuasaan berdaulat. Akibatnya, relasi inilah yang diupayakan untuk dijaga, dimenej, diatur, diabadikan, dimonumenkan, diselebrasikan, dinormalkan, supaya kedaulatan negara bisa terus lestari.
Saya kira cukup jelas uraian ini untuk memberi landasan bagi saya untuk mengklaim bahwa sebenarnya (mengutip Jubir Presiden) “[k]alau seandainya disebutkan pemerintah lalai dan tidak bekerja dalam hal ini, saya kira keliru”: negara tidak gagal; walaupun sebenarnya penilaian berhasil-gagal saya kira juga tidak cocok. (Kegagalan dan keberhasilan menjadi sah untuk dijadikan tolak ukur saat negara memang berniat dan telah berusaha). Tapi sekali lagi saya tekankan, negara tidak pernah berniat untuk mensejahterakan dan melindungi rakyatnya—setidaknya, bukan ini yang menjadi prioritas utama negara. Lebih tepatnya, negara memang tidak peduli sama sekali.
Paradoks Pahlawan Devisa
Saya kira telah banyak diketahui bahwa nasib TKI adalah paradoksal: di satu sisi ia selalu menjadi bumbu-bumbu pemanis pidato presiden saat menobatkan mereka sebagai pahlawan—pahlawan devisa, namun di sisi lain, para pahlawan tersebut selalu hadir (atau dihadirkan, … oleh media) dengan cerita-cerita yang menyedihkan, mengenaskan, bahkan mengerikan. Saya kira cerita-cerita TKI yang saya maksud ini telah teramat-sangat banyak sehingga perulangan tragedi (dengan korban yang berganti-ganti) hanya akan senantiasa mengundang respon “lagi-lagi!” atau “ya tuhan, sampai kapan nasib TKI kita akan seperti ini.”
Namun demikian, saya mencoba sedikit mengenang: eksekusi mati Yanti Iriyanti yang tidak jelas prosesnya, 24 TKI overstayer yang terlantar di kolong Jembatan Kandara yang “ditemukan” beberapa bulan lalu oleh media kita, penganiayaan Sumiati yang masih hangat dibicarakan hingga kini, dst. Saking banyaknya, seringkali kita melupakan nama-nama para TKI tersebut, namun yang sudah pasti membekas adalah apa yang dialami mereka: dianiaya, diperkosa, disodomi, disetrika, disiksa, dilempar dari balkon, dibenturkan ke tembok, disiram air keras, disilet, digunting bibirnya, dan seterusnya yang sudah pasti membuat anda dan saya berjengit miris dan trenyuh.
Hal paling sederhana untuk memahami paradoks pahlawan devisa ini adalah dengan mengangkat anomali-anomali yang ada seputarnya. Semisal memang para TKI adalah pahlawan devisa, yang dengan demikian harus dilindungi, lantas mengapa permasalahan kesewenang-wenangan dan pelecehan terhadap TKI di luar sana tidak kunjung menemui penyelesaiannya? Mengapa pemerintah tidak kunjung menyelesaikan persoalan ini secara sistematis? Apakah sulitnya seorang presiden SBY menelpon Raja Fahd, memrotes perilaku warga dan aparatnya dalam memperlakukan TKI secara sewenang-wenang?—akan sulit jika yang dipertimbangkan adalah supremasi kedaulatan negara Arab Saudi—dan bukan hidup Darsem-Ruyati. Jawabannya tidak lain adalah karena negara tidak serius menangani masalah TKI. Memang, negara tidak akan pernah serius. Namun selama kita melihat ketidakseriusan ini sebagai suatu mismanajemen, kita tidak akan mampu melihat bahwa ketidakseriusan ini adalah inheren alias melekat pada natur kedaulatan negara.[8]
Lantas bagaimana dengan kasus Ruyati-Darsem? Negara terlihat (seolah-olah) “sibuk” menanganinya bukan? (Sehingga dalam hal ini jubir presiden tidak berbohong). Saya tidak menyangsikan keseriusan negara dalam hal ini. Bahkan jika benar nanti negara akan mengucurkan 4,7 Miliar bagi Darsem, saya tidak akan heran. Namun demikian, sebaiknya kita melihat hal ini secara berbeda. Tetap berangkat pada paradigma yang sudah saya gariskan di atas tentang kedaulatan yang berorientasi hanya pada dua hal: replikasi kedaulatan dan pemerintahan (baca: manajemen) rakyatnya. Negara sangat berkepentingan dalam penyelesaian masalah Darsem-Ruyati ini, namun penting untuk ditekankan, bukan demi Darsem-Ruyati tapi demi legitimasi kedaulatannya. Jika negara diam saja saat ada warganya yang dipancung bukan oleh pemerintahnya sendiri, maka negara tersebut akan dipertanyakan kedaulatannya. Peristiwa pemancungan Ruyati (dan Darsem, yang semoga saja batal), dilihat negara hanya sebagai pelecehan kedaulatan. Dengan demikian, kepentingan yang diperjuangkan di sini adalah kepentingan nasional—dalam arti kedaulatan, bahkan, bisa jadi, citra kedaulatan (pemimpin?) negara (dan bukan hidup Darsem-Ruyati). Hidup Darsem-Ruyati akhirnya dihitung hanya sebagai konstituen bagi kedaulatan negara.
Istilah ‘pahlawan devisa’ dengan demikian harus dipahami secara literer. Jika ‘pahlawan’ adalah orang yang menjadi korban demi orang yang lainnya, maka bukankah Darsem-Ruyati dan TKI lainnya adalah pahlawan bagi kedaulatan negara? Mereka dipancung, disemena-menakan, disiksa dan menderita—dengan demikian sah dikategorikan pada kategori ‘korban,’ dan akhirnya diabstrasikan dalam retorika haru presiden menjadi sosok ‘pahlawan’ bagi pertama-tama devisa, dan akhirnya bagi kedaulatan negara. Ya, TKI adalah pahlawan. Dan seharusnya posisi kita jelas: lawan semua gestur hipokrit pemerintah untuk memaknai penderitaan TKI sebagai sebentuk kepahlawanan!
Konklusi
Ada tiga konklusi sekaligus tawaran yang ingin saya ajukan untuk mengakhiri tulisan ini. Pertama, keterpakuan kita pada paradigma lama—yang telah saya coba tunjukkan dampak negatifnya—yang mengasumsikan bahwa negara memang ada untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya, saya kira membawa kita pada suatu isu lain yang, bagi saya, urjen. Sikap kita dalam menempatkan permasalahan Darsem-Ruyati secara khusus dan ketidakjelasan nasib TKI secara umum kepada semata-mata permasalahan ‘kegagalan negara’—yang juga telah saya klarifikasi—sebaiknya juga dilihat sebagai suatu permasalahan tersendiri. Singkatnya, masalah utamanya adalah cara kita melihat suatu masalah itu sendiri dan kemudian mempermasalahkannya. Dalam artikel ini, saya tidak akan mengelaborasi metode yang ‘sebaiknya’ dilakukan untuk melihat problem secara problematik (setidaknya tidak di artikel ini), namun satu saran yang ingin saya sampaikan: apabila suatu permasalahan berulang-ulang terjadi dan telah berbagai cara dilakukan untuk mengatasinya, saya kira sudah saatnya kita duduk sejenak, membakar rokok, dan menyeduh teh hangat lantas berpikir: jangan-jangan kita telah salah menentukan titik masalah dari kasus yang kita hadapi; jangan-jangan justru cara kita mempermasalahkan sesuatu itu yang sebenarnya bermasalah. Langsung diaplikasikan ke kasus TKI: jangan-jangan kita telah salah dalam melihat masalah ini sebagai masalah kegagalan negara dan aparaturnya. Saran saya, coba pertimbangkan ini: negara itu bermasalah bukan karena orang-orangnya jahat, melainkan negara itu jahat karena ia memang bermasalah.[9]
Kedua, kita harus mempertimbangkan tragedi Darsem-Ruyati dan ke(tidak)jelasan nasib TKI ini secara lebih sistemik. Mungkin negara tidak bisa mencegah Ruyati membunuh majikannya, tapi negara sebenarnya bisa mencegah kejadian yang menyebabkan Ruyati harus membunuh majikannya. Para TKI mencari pekerjaan di luar tentu bukan tanpa penyebab. Salah satu penyebab logisnya adalah berupa bayangan tentang penghasilan yang jauh lebih banyak dari yang dapat diperolehnya jika bekerja di negeri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa problem TKI sebenarnya merupakan sebuah gunung es persoalan yang jauh lebih besar lagi: ketersediaan lapangan kerja yang minim. Negara yang berdasarkan kontrak sosial pemilu mendapat tugas mensejahterakan rakyatnya: ingkar. Sehingga kesalahan pertama kita dalam melihat tragedi Darsem-Ruyati ini adalah saat kita melihatnya semata-mata sebagai suatu tragedi kemanusiaan, tragedi mismanajemen, dst. BUKAN! Yang ingin saya tekankan: ini tragedi sistemik, yaitu sistem negara berdaulat! Tragedi ini hanya bisa dicegah dengan perlawanan politik yang langsung menghujam jantung kedaulatan negara. Advokasi dengan demikian harus dilakukan dengan paradigma dan cara-cara yang juga menghujam jantung kedaulatan negara.
Advokasi seperti apakah itu? Inilah tawaran ketiga saya, yaitu advokasi yang tidak berangkat dari asumsi kedaulatan negara.[10] Advokasi tersebut pertama-tama harus menerima kenyataan bahwa negara tidak akan pernah serius dalam menangani permasalahan TKI. Untuk kepentingan jangka pendek, sistem tersebut akan sangat sulit untuk dibongkar—sekalipun bukan berarti mustahil,[11] sehingga upaya taktis saya kira akan lebih berguna (sementara sistem negara berdaulat (baca: sumber petaka) ini sedang diupayakan untuk dirobohkan). Usulan saya, kawan-kawan LSM bisa melakukan ini: 1) menekankan kepada kawan-kawan TKI untuk tidak mengharapkan keseriusan negara dalam memperhatikan nasib mereka; 2) mengkonsolidasi kawan-kawan TKI untuk membentuk semacam serikat TKI dan mengupayakan jejaring komunikasi yang solid—TANPA perlu menunggu inisiatif pemerintah; 3) di dalam negeri, kawan-kawan LSM harus mampu mem-frame setiap penderitaan TKI sebagai ancaman bagi kedaulatan negara, BUKAN dalam rangka menguatkan kedaulatan negara, melainkan semata-mata hanya memancing negara untuk menseriusi masalah ini: tidak lebih.[12]
TKI sedunia, bersatulah!
[2] Saya akan mengelaborasi klaim teoritis ini secukupnya. Namun demikian jika pembaca menuntut uraian yang lebih ekstensi, saya mempertanggung-jawabkan posisi ini secara teoritis-historis dalam Psikoanalisis Paradoks Kedaulatan Kontemporer, Tesis Magister (Depok: Universitas Indonesia, 2010) [dapat diakses di http://tinyurl.com/6h7akmf];Saat Negara Berbalik Menyerang Kita: Sebuah Genealogi Kedaulatan Negara, Makalah tidak terbit, 2009. [Dapat diakses http://tinyurl.com/65kvtcq].
[3] Menyitir Malcolm Bull saat mengomentari buku State of Exception Giorgio Agamben. [dapat diakses di http://www.generation-online.org/p/fpagamben2.htm].
[4] Saya tidak menafikan peran “bisnis” tenaga kerja di sini, namun bagi saya tetap saja akar dari permasalahan ini adalah kedaulatan negara, karena negara berdaulatlah yang memberi izin bagi pebisnis-pebisnis tenaga kerja ini untuk beroperasi. Malah sebenarnya bisnis tenaga kerja ini sebaiknya dilihat dari perspektif kedaulatan negara: “membantu” negara untuk me-menej para TKI—terserah mau diapakan.
[5] Titik historis kelahiran kedaulatan negara yang banyak disepakati adalah pada 1648, tepatnya pada Perjanjian Westphalia yang mendamaikan (sementara) perang di antara Perancis-Swedia dan sekutunya melawan Kekaisaran Romawi Agung dan sekutunya. Pemikir-pemikir yang menjadi inspirator utamanya saat itu di antaranya adalah Jean Bodin—sang Bapak Kedaulatan—dan Emmer Vattel.
[6] Sebenarnya bisa dilihat sedari The History of Sexuality vol I, namun akan tampak lebih culas pada seri-seri kuliahnya yang baru-baru ini diterbitkan satu per satu. Tiga di antaranya yang paling relevan: Society Must Be Defended (2003), Security, Territory, Population (2007), The Birth of Biopolitics (2008).
[7] Secara psikoanalitis, permainan ini sangat laris bisa jadi karena ia mampu menawarkan fantasi pervert dimana pemainnya bisa memainkan peran seperti tuhan: serba-mengatur kehidupan.
[8] Hazairin bahkan pernah berkata, “selama 3 tahun saya jadi TKI legal, tidak pernah sekalipun dikunjungi atau disapa oleh orang Kedubes atau Konjen.” Saya kira ini juga menjadi testimoni “keseriusan” negara dalam memperlakukan pahlawan-pahlawan (devisa)nya.
[9] Permainan kata ini terinspirasi dari cara kawan baik saya Martin Suryajaya dalam mempermasalahkan kapitalisme: kapitalisme itu bermasalah bukan karena orang-orangnya yang jahat, melainkan kapitalisme itu jahat karena memang ia bermasalah.
[10] Dalam merumuskan kerangka formulasi ini, saya sangat berhutang pada kawan baik saya Prasojo yang kebetulan sedang meriset tentang TKI ini. Namun demikian, elaborasi formulasi ini tetap menjadi tanggung-jawab saya. Saya memang tidak mengelaborasi secara teknis usulan-usulan ini, namun demikian sebenarnya memang bukan tujuan saya menyediakan model bagi advokasi LSM. Yang ingin saya sasar di sini justru lebih kepada paradigma yang melandasi kerja-kerja advokasi tersebut. Untuk terjemahan praksis di lapangan, saya kira kawan-kawan LSM-lah yang lebih paham.
[11] Sekedar informasi, sebagaimana yang telah (dan sedang) saya telusuri untuk studi saya, sistem negara berdaulat telah berdiri semenjak 1648, dan semenjak saat itu, sampai sekarang ia terus diperbaharui dan diperkuat terus menerus. Belum lagi saat di sekitar abad 18 pasca-revolusi Perancis (dan Inggris), ia bersintesis dengan kapitalisme-liberalisme, dan pada 1970an, ia di-upgrade menjadi sistem pemerintahan yang dikenal sebagai neoliberalism. Bersamaan, keduanya menjadi sistem yang serba-mengepung kehidupan manusia, dalam artian berebut mengatur dan memenejnya sampai seekstrim mungkin. Saya membahas ini juga secara lebih ekstensif di Republikanisme, Hantu Kedaulatan dan Primasi Perlawanan Demokratis, Makalah tidak terbit, 2011 [dapat diakses di http://tinyurl.com/6dondd5] dan Globalitas Demokrasi: Faktor Global dalam Over-Dominasi Tradisi Libertarian dalam Reproduksi Wacana Demorkasi di Indonesia, Laporan Riset (Jakarta: Center for International Relations Studies, 2011).
[12] Asumsinya jelas, sebagaimana yang tak jemu-jemu saya ulang-ulang, negara hanya akan serius bertindak selama (citra) kedaulatan (pemimpin?) negaranya terancam.
Hizkia Yosie Polimpung, peneliti di Center for Internasional Studies, Universitas Indonesia.