CISALADA sebuah perkampungan tipikal provinsi Jawa Barat. Ia dikelilingi sawah dan kebun, sekira 20 kilometer dari kota Bogor. Warga bekerja petani, sebagian pensiunan. Kehidupan berjalan tenang dan lambat. Menjelang sore, anak-anak bermain di lapangan bulutangkis, sebelah madrasah, dan bersama orangtua menuju masjid guna ibadah maghrib. Suasana terlihat normal, sampai kemudian, di tengah meningkatnya kekerasan minoritas agama, warga Cisalada berselimut ketakutan dalam arus kebencian anti-Ahmadiyah saat penyerangan awal Oktober 2010.
Para penyerang dari dua kampung tetangga, tak lebih 500 meter. Mulanya 30-an remaja, usia 14-17 tahun, berusaha membakar masjid tapi segera dihentikan warga Cisalada. Lantas, disulut isu membela diri atau sudah dirancang sebelumnya, 300-an orang dewasa berdatangan dan menjadikan Cisalada panggung parade kebencian.
Mereka melempar batu dan bom molotov. Mereka membakar sebagian rumah dan bangunan masjid, isi rumah dijarah, kaca jendela pecah, pintu dirusak. Sekira 50 Al-quran dilalap api. Madrasah dibakar. Mereka teriak: “Podaran!” “Ahmadiyah anjing!” seraya takbir—di sisi serupa warga Cisalada mengucapkan “Astaghfirullah” sembari sembunyi di kebun belakang rumah atau lari ke sawah. Pada akhirnya, polisi dari kantor terdekat, sekira 20 menit dari lokasi kejadian, datang dua jam kemudian. Itu sangat terlambat. Alasan polisi: jalan diblokade. Hingga tengah malam api masih berkobar sejak prakarsa serangan dimulai pukul 19:00. Saat bersamaan pula saluran air dari sumber telaga dimatikan lebih dulu.
Ini hempasan balik relasi sosial yang hancur berantakan seketika. Warga Cisalada sulit percaya. Mereka terus mengatakan, “Apa salah kami?” dan menambahkan, “Sebelumnya hubungan kami baik-baik saja.” Kekerasan kian menjadi-jadi ketika presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengizinkan menteri agama, menteri dalam negeri dan jaksa agung, meneken surat keputusan bersama anti-Ahmadiyah 2008. Alih-alih mengurangi kekerasan, surat keputusan pelarangan itu justru mendorong intensitas persekusi terhadap muslim Ahmadiyah.
Sejak beleid itu diterbitkan, dokumentasi Setara Institute, lembaga nonpemerintah yang mengkaji kebebasan beragama, menulis jumlah kekerasan terhadap Ahmadiyah melonjak 286 kasus dalam kurun 2007 hingga Agustus 2010. Ini ditopang lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang koruptif. Para pengikut Islam garis keras, benih yang ditanam tahun 1970-an, mengonsolidasikan diri lewat mobilisasi vertikal dalam saluran mesin birokrasi dan lembaga legislatif. Momentumnya sangat tepat di era transisi yang gampang goyah, bahkan sesudah 13 tahun euforia jatuhnya pemerintahan militer Soeharto pada 1998. Muslim Ahmadiyah Indonesia menjadi sasaran yang seakan mudah dibidik.
Sikap pemerintahan Yudhoyono, yang memberi ruang lebih besar bagi ekspresi politik intoleran, telah membawa kehancuran permanen mitos “Indonesia negara muslim terbesar yang demokratis.” Kenyataan bahwa presiden “membuka pintu hati, pikiran kami,” untuk menampung “pandangan, rekomendasi dan fatwa” dari MUI, sembilan bulan setelah dia dilantik, menjelaskan arah kebebasan beragama di negara ini. Terkesan tanpa memerhitungkan implikasi dari sikap tersebut, kita menyaksikan kekerasan demi kekekerasan terhadap minortas agama bersama pelanggaran hak sipil dan politik yang lain.
Mari melihat dari jarak terdekat. Sekira 300 muslim Ahmadiyah di Lombok, terpaksa mengungsi sejak gelombang pengusiran 10 tahun terakhir. Sekira 36 kepala keluarga mengungsi di Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Mereka hidup sebagai internally displaced persons. Anak-anak terpaksa terhenti kegiatan sekolahnya, sebagian ditampung orangtua asuh di Jawa Barat, betapapun ejekan dan kecemasan terus menguntit. Ironisnya, Jawa Barat, yang memiliki sejarah gerakan negara Islam, adalah wilayah dengan jumlah pelanggaran tertinggi untuk kasus intoleransi kebebasan beragama. Tak satu pun para pelaku serangan di Lombok dihukum serius.
Pola itu terus berulang. Massa yang jauh lebih besar dihasut lewat seni menebar kebencian. Ia juga digerakkan organisasi Islam berpandangan Wahhabisme, yang memobilisasi penyerangan kantung-kantung komunitas muslim Ahmadiyah. Kebencian terhadap Ahmadiyah meluas sekaligus menajam. Di bawah payung fatwa “sesat” Majelis Ulama Indonesia pada 2005, sebuah lembaga semipemerintah, plus SKB anti-Ahmadiyah, mereka bertindak dalam semangat kebal hukum.
Dari setiap peristiwa persekusi itu aparat kepolisian melakukan pembiaran, bahkan lebih sering meminta komunitas Ahmadiyah untuk mengungsi; bukan mengusir para penyerang. Namun polisi menolak anggapan tak bekerja serius. Itu terjadi pada 2005, sewaktu penyerangan di Parung, pusat kegiatan Ahmadiyah, hingga serangan dua jam di Cisalada. Tak sedikit kasus yang melibatkan pejabat lokal.
Negara abai melindungi muslim Ahmadiyah selain mengukum para pelaku kekerasan. Sebuah gelembung anti-Ahmadiyah kian membesar. Dampak seterusnya ialah pembunuhan terhadap tiga Ahmadi—sebutan muslim Ahmadiyah—di Cikeusik pada 6 Februari 2011. Ia adalah bom waktu.
Itu siklus kekerasan yang jauh lebih mematikan. Para penyerang, berjumlah 1,500-an, datang bergelombang dari dua arah. Melihat sasaran rumah yang semula “dikosongkan” tapi kemudian berisi 20-an pemuda Ahmadi, lantas melakukan pembelaan diri, mereka mengobarkan balasan serangan lebih massif. Selain tiga korban tewas, lima orang terluka, sebuah rumah dihancurkan dan dua mobil dibakar. Seorang warga Cikeusik turut menjadi korban luka. Kini 12 tersangka dari pihak penyerang menjalani proses sidang. Sementara seorang muslim Ahmadiyah ditetapkan tersangka, sinyalemen viktimisasi terhadap korban, pola serupa untuk kasus Cisalada.
Sejak Jemaat Ahmadiyah Indonesia hadir pada 1925 semasa Hindia Belanda hingga kemudian berbadan hukum pada 1953, belum pernah kekerasan itu terjadi “sistematik dan meluas” seperti yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Itu indikasi adanya unsur utama “kejahatan terhadap kemanusian,” menurut laporan sementara Komnas HAM 2002-2007. Ia membutuhkan perhatian serius dari sebagian besar masyarat Indonesia, bila tak jatuh dalam situasi lebih menyulitkan seperti Pakistan. Banyak pandangan beranggapan kecenderungan menyeluruh intoleransi kebebasan beragama di Indonesia, kini menuju apa yang dinamakan ‘Pakistanisasi.’ Ada hubungan ideologi yang spesifik dan jelas antara organisasi anti-Ahmadiyah di Indonesia dan Pakistan.
Sekarang “sebatas” peraturan bersama anti-Ahmadiyah, plus sekurangnya 19 peraturan daerah di bawahnya. Lain waktu—jika kita berdiam diri, tak menutup peluang tekanan keyakinan Ahmadiyah “di luar Islam” diakomodasi lewat undang-undang. Sementara pesan itu telah mengisi mimbar kebencian anti-Ahmadiyah, dalam batas tertentu media-media turut mengobarkannya.
Ada sedikit informasi proporsional tentang muslim Ahmadiyah. Media mengedepankan “realitas psikologis,” mengutip ujaran memojokkan dari para pejabat dan tokoh radikal Islam terhadap Ahmadiyah, tanpa sikap menapis kesalahan tersebut. Media juga melakukan swasensor dengan menyebut “bentrokan” ketimbang “penyerangan.” Wartawan bersikap bias. Banyak contoh pemberitan tentang muslim Ahmadiyah justru terperangkap dalam strategi sensasional organisasi-organisasi Islam militan.
Kini taruhannya adalah demokrasi itu sendiri. Selagi media-media meliput kejadian besar tentang pembunuhan di Cikeusik, berselang dua hingga tiga minggu yang lekas ditinggalkan, kasus serangan di Cisalada belum sepenuhnya surut. Polisi menahan tiga tersangka dari pihak penyerang. Mereka dikenakan tahanan rumah dan, pada vonis persidangan di pengadilan negeri Cibinong, mereka dihukum ringan 4-6 bulan; seketika itu masa hukuman telah selesai. Sementara seorang terdakwa, bernama Nuryamin, harus menjalani tahanan, dua hari setelah serangan. Ia diduga menusuk seorang penyerang, remaja usia 15 tahun. Pada 18 April 2011, hakim memvonis 9 bulan penjara. Jaksa mengajukan banding.
Pada sidang-sidang itu massa pengunjung melewati rumah-rumah Ahmadi di komunitas lebih kecil di sekitar Cisalada. Pada pusaran menentukan, serangan itu menyisir. Hanya satu kilometer dari Cisalada, kampung komunitas kecil Ahmadi itu diserang. Pada 12 Maret ancaman menjalar. Esoknya, pukul 20:30, serangan pertama. Pada 16 Maret, serangan kedua. Akhirnya, melibatkan tokoh kyai berpaham Wahhabi serta tokoh lokal setingkat RT, ancaman lebih serius menguat. Pada 5 April, selagi 5 rumah itu sudah dikosongkan, serangan ketiga terjadi, pukul 23:30. Hingga akhir Mei, saat saya mengunjungi 28 pengungsi, termasuk anak-anak, mereka belum dapat kembali. Tawarannya satu: mereka boleh ke rumah masing-masing asalkan “pindah dari Ahmadiyah.”
Saya bertemu dengan seorang korban serangan tersebut. Ia mengajak saya mendatangi rumahnya pada siang hari. Ada tulisan “Ahmadiyah Anjing” di tembok warung kelontong miliknya. Itu warung menjadi sumber pendapatan keluarga dia. Dia sulit percaya: “Apa salah kami?”***
Fahri Salam
Penulis Lepas