PADA malam paskah 24 April itu, aku menyaksikan bangkitnya Tan Malaka dari liang kuburnya. Ia hadir di tengah-tengah massa cerdik cendekia dalam gedung Graha Bakti Budaya. Tan Malaka telah mati. Tapi Goenawan Mohamad membangkitkannya. Untuk membunuhnya dua kali. Atas nama lirisisme, demokrasi-ruang-kosong dan Hari Penebusan.
Dalam baris-baris berikut, akan kukisahkan dimensi-dimensi gaib dari misteri kebangkitan Tan Malaka.
Tan Malaka sebagai Teka-Teki
Tan Malaka, sang pelumat mistisisme, dibangkitkan kembali sekaligus dibuat jadi mistik. Baris kata pertama yang terlontar dalam opera itu telah meringkaskan keseluruhan isi opera: “Tan Malaka, Bung di mana?” Dengan kata lain, Tan Malaka sebagai teka-teki. Apa yang salah dengan itu? Tentu tak ada yang salah, kecuali bahwa Tan Malaka bersusah-payah menuliskan traktat 400-an halaman untuk menyiangi segala teka-teki feodalisme dan imperialisme dengan logika dialektika-materialis. Artinya, jika esensi dari “Tan Malaka” adalah teka-teki, maka Madilog adalah suatu kesia-siaan yang boros. Yang jelas, itulah yang diupayakan Goenawan sang libreto dengan Tan Malaka: membuatnya jadi “bunyi yang menandai yang tak ada.” Tapi, tentu, Goenawan menyelipkan kata “mungkin” pada narasi itu. Terlalu banyak malah. Ini wajar, sebab ia adalah seorang pengarang yang bertamengkan kata “mungkin” untuk menghindar dari setiap serangan sehingga wajar jika ia jadi lihai setelah berpuluh-puluh tahun. Begitulah juga ia perlakukan Tan Malaka: sebagai suatu “barangkali”, sebagai teka-teki, sebagai misteri.
Kukatakan tadi: jika Tan Malaka itu teka-teki, maka Madilog adalah kemubaziran yang kolosal. Madilog ditulis untuk mempersenjatai rakyat Indonesia dengan cara berpikir logis yang terpimpin berdasarkan prinsip-prinsip dialektika materialis untuk menghadang. Madilog mengedepankan kritik atas feodalisme. Goenawan mengedepankan feodalisme kritik. Madilog bersenjatakan logika diamat untuk mengganyang mistifikasi-mistifikasi feodal. Goenawan bertamengkan teka-teki untuk meringkus kritik ke dalam impotensi, ke dalam kegamangan, ke dalam batas-batasnya sendiri. Madilog berseru: “Lawan mistisisme dengan logika diamat!” Goenawan balas berseru: “Lawan logika diamat dengan pasemon, dengan teka-tekiisme dan keserba-samaran!” seraya menggumam seperti bangsawan Jawa: “Tahu dirilah, nak, jangan mau menyingkap tabir realitas.” Di sinilah terletak kehebatan seorang Goenawan Mohamad: ia mampu menghadirkan sesuatu menjadi sebaliknya. Dengan cara itulah Tan Malaka dibangkitkan dari kuburnya—dengan dibuat jadi bukan Tan Malaka, bukan Tan Malaka sama sekali.
Tan Malaka sebagai “Ruang Kosong”
Dalam ritual kebangkitan badan itu kusaksikan juga bagaimana Tan Malaka dikosongkan dari seluruh pengandaian ideologisnya. Monolog panjang pada akhir opera itu menyatakan: “Sering saya pikir, kita selamanya perlu Tan Malaka. […] Tapi ia lebih baik kosong. Tiap kali kita akan bisa mengisinya dengan fantasi. Tafsir kita. Itu sebabnya Tan Malaka, akan selamanya absen—palsu atau tak palsu, mati atau hidup. Ia tak akan pernah hadir. Dan itu penting sekali.” Inilah mantra kunci dalam ritual itu. Dengan ini, terwujudlah kenosis atas Tan Malaka. Hilang sudah Tan Malaka yang komunis, bergantilah ia dengan tubuh kosong yang bisa diisi muatan apa saja. Ini merupakan penerjemahan yang cukup vulgar tentang ide “demokrasi sebagai ruang kosong” dari Claude Lefort yang sering dibicarakan kaum cerdik cendikia Jakarta akhir-akhir ini.
Menurut teori itu, demokrasi adalah sebuah ranah yang tak terbangun dari substratum yang tunggal (misalnya kehadiran Raja sebagai wakil Tuhan di bumi), melainkan tersusun oleh keberagaman artikulasi kepentingan yang saling berkontestasi. Inilah juga yang mau dibuat dengan Tan Malaka. Jika ritual ini berhasil, maka “Tan Malaka” akan bisa direproduksi menjadi apa saja. Pada saat itu, kita akan melihat “Tan Malaka” dalam argumen pembelaan atas demokrasi liberal, dalam glorifikasi atas kebebasan untuk berinvestasi dan keberagaman komoditas. Tan Malaka sebagai ruang kosong—dengan kata lain, sebagai lahan yang bebas untuk dieksplorasi dan dieksploitasi. Tan Malaka sebagai ruang kosong—dengan kata lain, sebagai sosok tanpa sejarah, sebagai penanda tanpa petanda, sebagai Manusia Universal.
Humanisme Universal—itulah tujuan final dari ritual ini. Tan Malaka mau diabstraksikan ke dalam sosok Manusia Universal yang tak punya kelas, tak punya sejarah—singkatnya, yang tak punya realitas.
Melalui naratornya, Goenawan bercerita tentang sang Manusia: “Ia lahir dari buku, hidup dari pustaka, dan menghilang di halaman terakhir sebuah risalah.” Dengan kata lain, Tan Malaka hanyalah kutipan. Ia hadir di mana-mana tanpa menjadi apa-apa. Sebagai Manusia Universal, ia seperti micin. Itulah sebabnya, dalam opera itu kita mendengar 16 kali nama Tan Malaka disebut tetapi tak satu sosok Tan Malaka pun yang hadir di sana. Hadir di mana-mana tanpa menjadi apa-apa, kecuali sebagai rasa. Sebagaimana dalam Indomie rasa ayam kita hanya menemukan rasa ayam tanpa ayamnya, demikian pula dalam opera Tan Malaka kita hanya bisa mendengar namanya tanpa bisa mengerti realitasnya. Dalam opera itu Tan Malaka bangkit sebagai desas-desus.
Tan Malaka sebagai Martir Kelas Menengah
Malam itu aku saksikan Tan Malaka diarak ke sorga. Ia telah bangkit dan membumbung tinggi berjarak dari massa. Goenawan Mohamad membaptisnya sebagai elang. “Seharusnya ia seekor elang—elang, burung yang sendiri. Dari atas, sambil terbang berputar mengelilingi sasaran, ia akan melihat dengan mata tajam apa saja yang terjadi di sana, di bawah yang luas.” Itu artinya, Tan Malaka dibaptis menjadi flâneur. Tan Malaka sebagai individu yang melihat realitas dari kejauhan dan memberikan komentar-komentar “kritis” terhadapnya. Ia jadi seperti borjuis kecil dari Paris abad ke-19 yang berdiri di balkon apartemen sewaannya sambil memandang ke lautan massa di jalanan sambil menguap dengan sinis.
Di tangan Goenawan, Tan Malaka menjadi Bauerian ketimbang Marxis. Sebab bukankah Bruno Bauer pernah menulis: “Sang kritikus tak boleh berpartisipasi dalam penderitaan maupun kebahagiaan masyarakat, ia tak boleh mengenal persahabatan ataupun cinta, benci maupun iri—ia mesti bertahtakan kesendirian, di mana hanya tawa para Dewa Olympus terhadap kekarut-marutan dunia yang sesekali terdengar dari bibirnya.”
Tan Malaka hadir dalam opera itu sebagai sosok yang resah-gelisah sendirian pada suatu ketinggian—bak puncak Olympus—yang sepenuhnya asing dari massa. Apa yang dirisaukannya? Tak lain lagi: keterlemparannya di dunia. “Dulu ada seorang ibu yang tak mengerti kalimat pertama Sinbad, si Malin Kundang, di sebuah bandar yang tak diinginkannya,” nyanyi aria di babak pertama. “Aku tak akan pulang ke sebuah Hindia yang ditegakkan dari dongeng Sri Rama,” tukas narator. Ia tercerabut dari akar tradisinya, melayang-layang seperti vampir di kota-kota. Selalu gelisah dengan asal-usulnya, selalu galau di tengah himpitan kehidupan urban yang mengancam otentisitas individualnya, selalu berharap-harap cemas pada penebusan yang tak pasti, pada pelunasan kredit yang tak tentu—apa lagi kalau bukan suara kelas menengah yang keluar dari penanda kosong “Tan Malaka” dalam opera itu? Di balik imaji-imaji sublim-subtil yang hendak ditampilkannya, apa yang ada di sana sebetulnya hanyalah rengekan kelas menengah yang diartikulasikan dengan gagah dan bangga di balik tameng lirisisme. “Tan Malaka” jenis ini bergelayut pada suatu eskatologi tanpa telos, pada mimpi tentang Hari Penebusan, tentang emansipasi radikal, tanpa tahu dan mau berkotor-kotor untuk memperjuangkannya. Ia tak punya program, ia hanya punya mimpi—di situ ia bisa berlagak bersih dari segala kekeliruan sejarah—tapi ia juga mau menyalip kerja keras orang lain di tikungan yang licin.
Melalui buah tangan Goenawan Mohamad, Tan Malaka dibangkitkan sebagai martir kelas menengah, sebagai juruselamat borjuis kecil. Ia yang membasuh luka batin kelas menengah dengan mengekalkannya ke dalam karya seni, ke dalam sorga yang bersih dari massa. Di sana impotensi dirayakan dengan begitu kolosal.
Dan Damai di Bumi
Opera itu ditutup dengan “sebuah requiem yang lirih”, yang sebenarnya hanyalah puisi lama Goenawan yang ditambal-sulam tanpa diedit ke dalam karya ini (seperti juga narasi tentang “patung Buddha di kuil Kamakura” yang berasal dari salah satu catatan pinggirnya dan tema Malin Kundang dari esai awalnya). Aku dengar puisi itu: “Barangkali telah kuseka namamu dengan sol sepatu / Seperti dalam perang yang lalu kau seka namaku / Barangkali kau telah menyeka bukan namaku / Barangkali aku telah menyeka bukan namamu / Barangkali kita malah tak pernah di sini / Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi”.
Dengan itu, bubarlah semua perjuangan kelas dalam permainan tebak-menebak teka-teki, tafsir dan “barangkali”. Barangkali kaum buruh Indonesia tidak ditindas oleh kapitalisnya. Barangkali kaum miskin kota tidak dihisap oleh borjuasi kakap. Barangkali proletariat dan kapitalis malah tak pernah ada. Barangkali berabad-abad sejarah penindasan cuma desas-desus. Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi? Ya Tuhanku dan Allahku!! Ternyata Marx keliru: kelas pekerja tak dihisap oleh kapitalis, keduanya malah tak pernah ada, yang ada hanyalah Manusia Universal yang hidup harmonis di hutan-hutan selatan. Maka pantaslah: pada babak ketiga setelah dibangkitan, Tan Malaka diwafatkan kembali dengan misa requiem liris yang menyudahi, membatalkan dan menegasi sejarah perlawanan rakyat Indonesia.***
Martin Suryajaya, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Drijarkara, Jakarta
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Buletin Problem Filsafat No. 9, yang diterbitkan oleh Komunitas Marx. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.