Kisah Mantan Tapol PKI di Sulawesi Tenggara
DI kampung Nangananga, Kendari, Sulawesi Tenggara, tiap jiwa pergi dengan cara tragis. Bila di tahun 1965 banyak anggota keluarga mereka mati dengan label ‘keluarga PKI’, di tahun-tahun selanjutnya kematian datang akibat trauma sakit, deraan sepi, sikap antisosial mereka yang non komunis dan loncatan-loncatan kenangan yang tak kunjung hilang. Memori pahit mereka memiliki nama kini: somewhere in time.
Apa yang tersulit dari melupakan? Mengabaikannya tanpa mengenang sakit, tanpa mendengar gaung kepedihan dan tanpa membaui aroma yang sama. Lambatu membutuhkan waktu puluhan tahun untuk sampai di taraf ia bisa konsisten tidak merasakan sakit yang sama persis di hari ketika ia kehilangan kemerdekaan dalam hidupnya.
Lambatu hidup sendiri, dengan sejumlah kunjungan keluarga dan teman yang bisa dihitung jari dalam seumur hidupnya. Rumah yang ditempatinya merupakan bangunan berlantai tanah, berdinding papan dipenuhi lubang-lubang. Kalajengking bertubuh gemuk seringkali melintas di sini, bergegas di antara ruas-ruas papan saat udara lembab. Beberapa kali, ular dari kebun belakang muncul di dapurnya—ruang kecil dengan tungku, dan piring, gelas-gelas seng berserakan. Satu meja melintang di ruang tengah, dihiasi radio transistor tua, benda favoritnya yang bergemerisik di frekuensi sama tiap hari menyiarkan berita-berita Radio Republik Indonesia. Sejumlah tamu yang pernah berkunjung menitip suratkabar lama, sehingga Lambatu paling tidak bisa mengetahui berita tentang kota tempatnya tinggal, meski bukan berita terbaru.
Tak ada air bersih yang mengalir di rumah ini. Lambatu menampung air keruh dari sumur dalam ember di sudut dapurnya. Menjelang malam, ia secara hati-hati memeriksa pasokan minyak dalam kaleng-kaleng bersumbu, memastikan api bisa menerangi ruangan hingga ia bisa duduk santai mendengarkan lagu-lagu lawas dari radio.
Bila pagi tiba, Lambatu cukup membuka dua jendela di ruang depan dan samping, sinar matahari lain masuk melalui sela-sela papan yang koyak. Dari jendela ini ia bisa menyaksikan pohon mete yang tak berbuah, tanah kering, lalu-lalang generasi baru yang lahir dari keluarga-keluarga mantan tahanan politik Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Tak banyak generasi seusianya. Jumlah mereka berkurang tiap tahun. Separuh dari mereka meninggalkan Nangananga tanpa kabar. Satu-dua orang dikirim ke panti jompo karena tak lagi memiliki kerabat dekat, lainnya meninggal dengan penyakit yang tak bisa ditangani tanpa uang.
Dunia di sekitar Lambatu telah berputar meninggalkan tahun 1977, tahun di mana ia tiba di Nangananga dengan gelar eks tapol (tahanan politik) dalam usia 37 tahun. Ia telah menjalani belasan tahun masa tahanan di sel Buton, terhitung sejak 1965, setahun setelah ia berjumpa Karl Max melalui buku yang dibaca sembunyi-sembunyi saat menjalani pendidikan sebagai guru di Makassar.
LAMBATU lahir dari keluarga non-bangsawan di Buton, tapi banyak anggota keluarganya mengabdi pada keluarga feodal itu di Buton. Ia sendiri tak bisa maklum pada pengabdian yang memenjara hak-hak orang. Sejumlah buku bergaung perubahan yang dibacanya membuat Lambatu kemudian memutuskan bergabung dengan PKI pada 1964. Di saat yang sama, ia juga mengajar di sekolah menengah pertama atau SMP di wilayahnya.
“Saya berpikir sederhana saat itu: hidup setara, tak ada kotak-kotak kelas dalam hidup. Sama halnya kalau hari ini kalian berpikir untuk mengubah hidup menjadi lebih baik,” tuturnya.
Partai komunis menjadi partai yang menarik minat banyak orang yang menginginkan perubahan, terutama kelompok petani dan buruh.
Ia lalu terlibat dalam sejumlah pertemuan, dan kemudian duduk sebagai sekretaris komite subseksi PKI di kecamatan Kapontori, Buton. Saat itu struktur partai komunis telah terbentuk rapi di sejumlah wilayah Buton, sementara sebagian pengurus juga sibuk terlibat dalam pembentukan provinsi Sulawesi Tenggara.
“Tak ada yang aneh-aneh, semua normal. Pertemuan kami hanya membahas tentang struktur dan diskusi soal keadaan negara kita saat itu,” katanya.
Ia juga tak pernah mendengar adanya rencana-rencana terselubung yang belakangan dikenal sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau disebut G30S PKI. Di kemudian hari, saat mulai menjadi orang tahanan, ia tak bisa menghentikan pikirannya tentang hal ini, menjadi tertuduh, terpenjara, dan membayar seluruh hidupnya hanya karena menginginkan perubahan.
Semuanya berubah pada November 1965, ketika berita-berita soal kudeta di Jakarta merebak di mana-mana. Ia mendengar penculikan enam jenderal dan seorang letnan (Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, Deputi II Menpangad Mayjen R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayjen MT. Harjono, Deputi IV Menpangad Brigjen DI. Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen Soetojo Siswomihardjo, Asisten I Menpangad Mayjen S. Parman, dan Lettu P. Tendean (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution) dan bagaimana mayat mengenaskan mereka ditemukan di desa Lubang Buaya, Cipayung Jakarta Timur pada 4 Oktober 1965 oleh pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto, yang kelak jadi presiden Indonesia dan berkuasa selama 32 tahun sebelum tumbang.
Penemuan mayat para jenderal ini menyebar secara cepat dengan ragam pemberitaan yang menyeramkan dan menyulut kebencian. Partai komunis disebut dalang peristiwa ini. Media yang dekat dengan Angkatan bersenjata, Berita Yudha, RRI dan TVRI merilis berita-berita keterlibatan PKI dalam peristiwa itu dan membuat Presiden Soekarno gusar.
Soekarno lantas mengklarifikasi isu-isu kekejaman itu dalam pidatonya saat ulang tahun kantor berita Antara di akhir 1965 dengan mengungkapkan hasil visum et repertum tim dokter yang diketuai Brigjen TNI Robebiono Kertapati.
“Tidak ada yang kemaluannya terpotong-potong… Aduh, Masya Allah, Masya Allah, Masya Allah. Di suratkabar dikatakan ada yang dipotong biasa, ada yang disilet. Laillahhaillallaaah, kamu wartawan-wartawan ikut menyebarkan kabar yang tidak benar ini!”
Namun, Soekarno tak bisa menghentikan perburuan terhadap orang-orang komunis dan yang dituduh komunis. Pengejaran massal terhadap anggota aktif, pasif, keluarga anggota partai terus berjalan, dan dilakukan secara sistematis berdasarkan kebencian dan prasangka. Setelah itu Soekarno mulai menjalani pengasingan dan Mayjen Soeharto mulai mengendalikan Indonesia.
Pembantaian itu diperkirakan menelan korban jiwa sekitar 500 ribu hingga 3 juta.
Benedict Anderson dari Cornell University yang meneliti soal ini memberikan gambaran ketidakbenaran fakta pembunuhan para jenderal itu di Jurnal Indonesia April 1987. “How Did the Generals Die?”, artikel itu membuat pemerintah Indonesia di bawah kendali Soeharto mengeluarkan keputusan: Anderson tak boleh lagi menginjak Indonesia.
Anderson kembali menulis “Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant,” dan mengutip pengakuan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo tentang jumlah orang tewas dalam pembunuhan besar-besaran tahun 1965-1966. Sarwo memimpin pasukan Baret Merah di masa perburuan anggota PKI dan ia mengatakan bertanggungjawab terhadap kematian 3 juta jiwa. Mereka yang tetap hidup menyongsong kematian secara perlahan-lahan. Kesepian, tersisihkan, terdiskriminasi. Lambatu salah satunya.
DI Sulawesi Tenggara, penangkapan pertama terjadi pada 18 Oktober 1965. Delapan pemimpin PKI di tahan Korem 143, disusul tindakan lain berbau kebencian yang menyebar secara cepat di provinsi ini dan menulari daerah-daerah di kabupaten lain. Pada 1968, 200 orang yang dikategorikan sebagai anggota partai komunis masuk tahanan.
“Saya tak bisa tidur mendengar semua itu. Terlebih lagi karena Buton disebut-sebut sebagai pemasok senjata bagi partai komunis,” ceritanya.
Wa Ode Zatimah, istri Lambatu, meriang sejak penyisiran anggota partai dilakukan. Kata Lambatu, ia tak pernah memikirkan hidupnya akan berubah. Ia hanya mengira dirinya akan diinterogasi (bila penangkapan dilakukan), setelah itu ia bisa meneruskan hidupnya kembali. Ia menenangkan istrinya dan mengatakan musuh partai komunis hanyalah imperialisme dan feodalisme, yang lainnya tak ada.
Tapi Lambatu keliru.
Pada 7 November 1965, sejumlah tentara masuk ke rumahnya. Istrinya berdiri gemetar. Anggota pasukan militer itu mencari dokumen yang terkait dengan kudeta jenderal. Ia digelandang ke kantor militer malam itu, mengalami penyiksaan fisik dengan interogasi berbulan-bulan dengan pertanyaan sama hingga ia tak bisa berpikir. Mengapa masuk PKI? Mana dokumen-dokumennya? Struktur PKI seperti apa? dan pertanyaan lain yang membuatnya tercengang-cengang. Pasalnya, waktu itu PKI sama sekali bukan partai terlarang. Ia salah satu partai terbesar yang ada di parlemen negara Indonesia.
Keluarganya ikut diinterogasi. Zatimah mendapat giliran pertama. Perempuan ini menangis dan mengatakan hanya tahu kalau suaminya ikut rapat. Dari anggota tahanan lain, Lambatu tahu istrinya mendapatkan kekerasan seksual selama diinterogasi. Ia menangis karena tak mampu melakukan apapun untuk menolong istrinya. “Hidup seperti apa ini…” katanya.
“Saya hanya ingin ini segera berakhir. Jangan sakiti istri dan keluarga saya lainnya,” katanya pada tentara yang menginterogasinya.
Ia lalu mengamini bahwa benar ada rapat untuk kudeta, agar pemeriksaan cepat selesai dan keluarganya tidak diganggu. Ia juga bermohon-mohon agar keluarganya tak lagi diganggu. Ia dipindahkan ke sel Buton pada 1970.
Tak seorangpun pernah menjenguk Lambatu. Kalau ada yang melakukan hal itu, sama halnya memindahkan penyakit ke tubuh orang sehat.
Di luar tahanan, istrinya meninggal dunia dengan jiwa terganggu. Ia pergi dengan label PKI, karena memiliki suami yang bertekad ingin mengubah wajah negeri ini.
Bupati Buton, Kasim, yang dikategorikan terlibat PKI, memilih bunuh diri dengan cara menggantung diri di sel tahanannya. Hingga bertahun-tahun berikutnya, istri Kasim terus meminta penjelasan militer tentang benar atau tidaknya bunuh diri suaminya ini.
Pada 1969 Pangdam Wirabuana Andi Azis Rustam, Oditur Militer Kol Busono dan Kolonel Bagyo dari Direktorat Kehakiman Pusat menyatakan Buton tak terbukti menjadi wilayah pemasok senjata dari negeri Tiongkok untuk PKI. Tapi banyak jiwa yang sudah pergi akibat tuduhan itu.
LAMBATU menjalani hari-hari yang disebut ‘dimanusiakan kembali’ pada 1977. Bersama 42 orang lainnya ia menempati lokasi terkosentrasi Nangananga. Wilayah seluas 84 hektar ini dikapling-kapling dan dirancang terpusat agar mantan tahanan politik ini mudah diawasi.
Ratusan orang tiba lebih awal di Nangananga. Ia mendengar kabar ratusan orang lainnya telah tewas dalam kerja-kerja paksa pembukaan lahan hutan, transmigrasi, jalan-jalan di bawah kontrol militer di sejumlah wilayah Sulawesi Tenggara. Pikiran Lambatu tak lagi jernih, meski tak mati, namun ia tak punya bayangan seperti apa hari esoknya.
Ia mengusir sedihnya dengan mengurusi kebun di belakang rumahnya, kebun yang tak bisa berkembang.
Di tahun pertama menetap di Nangananga ia tak punya nyali bertemu orang lain di luar Nangananga. Ia merasa ada cap PKI ditempel di kepalanya. Meski ia tak mengatakan itu, namun ketika orang tahu ia berasal dari Nangananga, identitasnya sebagai eks tapol terkuak.
Tahun-tahun berikutnya, ia mencoba berhenti mengenang kejadian buruk di masa lalunya. Tapi ia begitu kesepian, hingga tak mudah beranjak dari kenangan-kenangan tersebut.
Rekannya, Zakaria, yang memiliki dua anak dari pernikahannya mengalami nasib naas. Istri Zakaria pergi, karena tak tahan hidup dalam pengasingan. Sejak itu, anak bungsu Zakaria berteman dengan kucing dan berlaku seperti kucing, mencakar-cakar dinding, mengeong.
“Karena ia tak punya teman,” kata Zakaria, yang kini dititip di panti jompo.
Sejak dulu ia ingin memberikan anaknya pada siapapun, agar mereka memperoleh hidup lebih manusiawi.
“Tinggal di Nangananga membuat mereka tak punya teman dan jauh tertinggal dari siapapun,”ceritanya.
Meski kini anaknya tak lagi mengeong, ia mengikuti jejak kakak perempuannya, Mayang yang dinikahkan dalam usia muda untuk ‘memangkas’ penderitaan. Namun, anak-anak Zakaria tetap membawa label anak keluarga eks partai komunis.
Yanasin, eks tapol yang lain, menjual tanah di depan rumahnya. Ia lalu menyingkir ke rumah kecil di belakang tanah itu. Ia ingin berdamai dengan hidupnya. Bhani, mantan anggota DPRD utusan PKI di masa tersebut, termasuk satu dari sedikit orang yang masih terus berharap. Di masa tuanya kini ia tak kenal lelah menanyakan haknya sebagai seorang pegawai negeri sipil.
LAMBATU selalu menerima tamu dengan sikap hormat. Ia berpakaian rapi, kemeja dimasukkan dalam celana katunnya dan ia berdiri di depan pintu hingga tamu-tamu itu muncul. Ia selalu mengingatkan tamunya untuk membawakan buku, suratkabar, apapun untuk bisa dibaca-baca membunuh sepi. Ia telah melewati sesuatu di masa lalu, somewhere in time, yang begitu pahit untuk dipanggil sebagai memori.***
Indarwati Aminuddin
Kontributor Aceh Feature di Sulawesi Tenggara. Kini ia sedang menempuh studinya di Negeri Belanda.