Kasus Sumatera Utara
Pengantar
SUMATERA UTARA (Sumut), memang tepat menjadi tuan rumah konferensi alternatif peringatan seabad introduksi kelapa sawit (Elaeis Guineensis) dari Ghana, Afrika Barat. Di tempat inilah, berkat rintisan Adrien Hallet dari Belgia dan K. Schadt dari Jerman, untuk pertama kalinya kelapa sawit diproduksi secara komersial Pada tahun 1911, di Tanah Itam Ulu dan Pulu Raja di Sumut dan di Sungai Liput, Aceh Timur. Sebelumnya, jenis palma ini diintroduksi sebagai tanaman hias di Kebun Raya Bogor, tahun 1848 (Bangun 2010: 104-5; Ghani 2011).
Sumut juga tepat menjadi tuan rumah konferensi alternatif ini, bukan karena perkebunan sawit di Sumut saat ini paling luas di Nusantara, tapi juga karena dampak perkebunan ini paling kompleks di daerah ini. Mulai dari penyerobotan tanah, intimidasi terhadap rakyat yang menolak melepaskan tanahnya, tindakan-tindakan aparat birokrasi dan pengadilan yang hanya berpihak kepada pengusaha, hingga ketidakpekaan sebagian kaum terpelajar, yang juga sibuk bersawit ria, tanpa menyadari kontribusi mereka terhadap pemanasan global dan pembatasan keragaman hayati.
Dampak korporasi perkebunan sawit dapat kita lihat pada apa yang sudah dan sedang terjadi di perkebunan PT Nauli Sawit di Panti Binasi, Kecamatan Sokam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, yang sudah meresahkan masyarakat setempat sejak 2004.
Pertama-tama, perkebunan itu sejak 2004 telah secara bertahap menyerobot 6000 hektar lahan milik warga transmigran umum, non-transmigran, dan pengungsi konflik Aceh, di Kecamatan Manduamas, Sirandorung, dan Andam Dewi, serta seratusan hektar di Kecamatan Sorkam Barat dan Sosorgadong. Seluas 3500 hektar dari 6000 hektar itu sudah ditanami kelapa sawit, bahkan tanpa ganti rugi. Sebelumnya, seribu hektar dari yang sudah ditanami kelapa sawit itu adalah lahan gambut yang dikelola masyarakat untuk ditanami palawija (Berita, 23 Jan. 2009; VHRmedia, 20 Ag. 2009).
Kedua, alokasi tanah untuk perkebunan itu dilakukan oleh Bupati Tapteng, Tuani Lumbantobing, dengan melanggar berbagai peraturan pemerintah. Seperti dikemukakan Koordinator Kontras, Usman Hamid, Bupati tidak berwenang mengalihkan hak pengelolaan lahan milik warga transmigran kepada perusahaan swasta (VHRmedia, 20 Ag. 2009).
Ketiga, Pengadilan Negeri Sibolga diragukan kredibilitasnya dalam menangani kasus penyerangan kantor perusahaan itu oleh sejumlah petani Tapteng. Usman Hamid menilai PN Sibolga mengabaikan prosedur hukum acara, dengan menahan para terdakwa melebihi batas waktu yang diatur dalam hukum acara pidana. Hakim cenderung berpihak kepada perusahaan, dengan mengabaikan fakta bahwa warga lebih berhak menguasai lahan itu, karena memiliki sertifikat tanah dan kartu transmigrasi. Keberpihakan aparat yudikatif pada perusahaan itu semakin jelas, ketika sepuluh orang anggota Forum Pembela Tanah Rakyat (FPTR) Tapteng itu ditolak permintaan bandingnya, dan hukuman mereka ditambah menjadi 2,6 hingga 3,6 tahun (Tigor Manalu, 15 Ag. 2009; VHRmedia, 20 Ag. 2009).
Keempat, perusahaan itu menjalankan berbagai pelanggaran HAM. Partahian Simanungkalit, seorang petani setempat yang menolak untuk melepas tanahnya untuk PT Nauli Sawit, terbunuh secara mengenaskan di kebun sawit perusahaan itu akibat dianiaya oleh pekerja perusahaan itu, di bulan Desember 2005. Seorang guru yang kritis dan menolak putusan Bupati Tapteng yang mengeluarkan izin pengalihan tanah warga untuk areal perkebunan itu, dimutasi. Sedangkan rumah Edianto Simatupang, Koordinator FPTR Tapteng, dibakar oleh orang-orang yang tidak dikenal pada tanggal 22 Juli 2008 (VHRmedia, 20 Ag. 2009; Peduli Tapteng, 17 Jan. 2010).
Kelima, pelanggaran HAM terjadi secara berlapis. Isteri dan anak-anak almarhum Partahian Simanungkalit yang tak punya penghasilan lain setelah tanah mereka diambil secara sepihak oleh perusahaan itu, memungut sawit dari tanah mereka sehingga ditangkap oleh anggota Brimob yang menjaga perkebunan itu, dan menyiksa kedua anak almarhum Partahian. Akibatnya, salah seorang anak yang sudah dipenjara setelah diadili, tidak dapat berjalan karena siksaan polisi (Peduli Tapteng, 17 Jan. 2010).
Keenam, tampaknya hukum dapat dibalikkan di Kabupaten Tapteng, ketika Pastor Rantinus Manalu Pr, seorang pendukung gerakan tani yang menolak PT Nauli Sawit, justru diajukan sebagai tersangka pembalakan hutan, padahal yang dilakukannya justru adalah membagi bibit karet dari Keuskupan Sibolga (Kompas.com, 19 Des. 2009).
Ketujuh, kondisi perburuhan – termasuk higiene perusahaan dan keselamatan kerja – perkebunan sawit ini juga tidak dapat dibanggakan. Rabu, 14 Juli 2010, sekitar jam 8 pagi, sebuah truk Colt Diesel milik perusahaan itu yang membawa sekitar 25 orang buruh terbalik saat melintasi Dusun Nanjur, Desa Sarma Nauli, Kec. Manduamas, Tapteng. Akibatnya, tiga orang buruh perempuan (Tiodor boru Tinambunan, 40, Isa boru Situmeang, 40, dan Maya boru Simbolon, 27), tewas karena terjatuh ke dalam parit besar berisi air (EKSPOSnews, 15 Juli 2010).
Kedelapan, sampai awal tahun lalu, pemilikan PT Nauli Sawit masih merupakan misteri, sehingga tidak jelas siapa yang bertanggungjawab atas berbagai kekaburan perizinan perusahaan itu. Misalnya, perusahaan itu hanya memiliki izin membuka kebun sawit di Kec. Sirandorung dan Manduamas, bukan di Sorkam Barat dan Sosorgadong. Itu sebabnya, rakyat yang memungut sawit yang tercecer di jalan, di lahan yang tidak jelas pemiliknya, tidak dapat dikenakan sanksi hukum (PeduliTapteng, 2 Jan. 2010).
Ada yang mengatakan, Dina Riana boru Samosir, isteri incumbent Bupati Tapteng, merupakan salah seorang komisaris perusahaan itu. Ada juga yang mengatakan, Tuani Lumbangtobing sendiri hanyalah eksekutor, yang menggunakan – tepatnya, menyalahgunakan – jabatannya demi kemajuan perusahaan itu. Untuk itu sang Bupati diduga menerima fee dari pemilik perusahaan.
Investigasi lebih lanjut menunjukkan, pemilik perkebunan sawit itu adalah seorang pengusaha keturunan Tionghoa, Steven Nauli, yang berkantor di Kompleks Industri Medan (KIM), dan dikenal sebagai aktivis Gereja Katolik. Seorang keponakannya, Elbin Nauli, dipercayai mengelola perusahaan itu di lapangan.
Investigasi penulis melalui direktori agri-bisnis PT Capricorn Indonesia Consult Inc edisi 2009 (hal. S3-S4) menunjukkan keberadaan sebuah perusahaan bernama PT Sago Nauli, yang menguasai perkebunan sawit seluas 2.392 hektar di Desa Simumukan I, II, III, dan IV di Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumut. Presiden Komisaris perusahaan itu bernama Dr. Steven Yusly Nauli, Komisaris, Ny. Marietje Maria Simarmata, dan Direktur Utama, Drs. Ignasius Sago. Alamat perusahaan itu di Jl. Glugur No. 38, Medan 20113, dengan no telepon (061) 4150935 dan 4150789, serta fax no (061) 4522790. Masih diperlukan pengecekan apakah Steven Yusly Naui sama dengan Steven Nauli pemilik PT Nauli Sawit.
Terlepas dari itu, tampaknya Steven Nauli dekat dengan “orang Pusat”. Hal itu ikut menjelaskan, mengapa perusahaan ini begitu kebal terhadap oposisi rakyat setempat, maupun para pegiat HAM yang sudah beberapa kali melakukan aksi protes terhadap perusahaan itu. Termasuk aksi Solidaritas Nasional Peduli Tapteng – aliansi berbagai ornop mahasiswa, pemuda, dan gereja di Jakarta – di depan Istana Merdeka di Jakarta, Selasa, 9 Maret 2010 (Metro, 10 Maret 2010).
Lebih dari setahun sebelumnya, kasus itu sudah diajukan ke DPR-RI oleh aktivis-aktivis Solidaritas Nasional Peduli Tapteng, yang mendampingi Pastor Rantinus Manalu Pr dari Keuskupan Sibolga. Komisi IV DPR RI berjanji akan mengambil alih kasus itu. Namun sampai sekarang, belum ada tindakan tegas yang diambil terhadap perusahaan itu.
Satu dampak yang belum begitu dipersoalkan oleh warga masyarakat maupun para aktivis pro-demokrasi dan HAM di Sumut, adalah “sumbangan” perkebunan kelapa sawit terhadap pemanasan global. Konversi hutan menjadi perkebunan sawit tentu saja dimulai dengan penebangan pepohonan yang semula berada di areal itu. Kegiatan land clearing ini melepas karbon mono-oksida ke atmosfir. Dalam kasus PT Nauli Sawit itu, pembakaran seribu hektar lahan gambut yang tadinya ditanami palawija oleh masyakat melepaskan cukup banyak gas karbon mono-oksida (CO).
Selanjutnya, konversi lahan gambut dan tanaman petani menjadi perkebunan sawit, punya efek yang tidak kecil terhadap pemanasan global. Soalnya, kemampuan pohon sawit menyerap gas karbon mono-oksida sangatlah kecil dibandingkan dengan gas karbon mono-oksida yang dikeluarkannya. Berdasarkan data Sawit Watch, kelapa sawit hanya mampu menyerap 180 ton gas karbon mono-oksida, sedangkan yang dikeluarkannya hampir tiga sampai tujuh kali lipat, atau 625 sampai 1357 ton (Yudhistira 2010).
Barangkali, banyak aktivis pro-demokrasi dan HAM di Sumut masih kurang peka terhadap dampak pelepasan gas karbon mono-oksida ke udara. Terbukti, biara-biara Kapusin (OFM Cap), Conventual (OFM Conv), Suster SCMM, Suster FCJM, Suster KYM dan Suster SFD mempunyai kebun kelapa sawit di Pematang Siantar, Deli Serdang, dan Riau. Kantor provinsialat dan rumah retret Kapusin di Naga Huta, Pematang Siantar dikelilingi kebun sawit. Boleh jadi, para pengikut teladan Santo Fransiskus dari Asisi, Santo Pelindung para aktivis lingkungan, belum sadar bahwa ratusan hektar kebun sawit mereka dapat melepas gas-gas rumah kaca – khususnya karbon mono-oksida — yang tidak sedikit.
Selain Gereja Katolik, GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia), GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), HKI (Huria Kristen Indonesia), dan GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) serta beberapa aktivis ornop dan aktivis gereja di Tano Batak juga punya kebun sawit. Kebun sawit GKPI seluas 400 hektar terdapat di Aek Na Etek di Kabupaten Labuhan Batu, Sumut, yang dikelola oleh Yayasan Dana Pensiun gereja itu (Sitanggang2010: 220). Kebun sawit GKPS di Bagan Batu, Riau, luasnya sekitar 120 hektar, dalam keadaan produktif, sementara yang di Pematang Siantar luasnya sekitar 180 hektar, juga dalam keadaan produktif. Kebun sawit HKI sekitar 150 hektar dalam keadaan produktif juga. Sedangkan GBKP menguasai sebagian saham PT Jasa Nioga, yang punya kebun sawit seluas 600 hektar di Desa Belimbing, Kec. Penyaguan, Kab. Indragiri Hilir, Riau. Soal pemilikan kebun sawit di Riau itu, masih menimbulkan perdebatan pro dan kontra. Sebagai institusi, Moderamen GBKP tahu dampak buruk perkebunan kelapa sawit, tapi mengingat hasilnya yang cukup tinggi, perkebunan itu tetap dipertahankan.
Sedangkan di lingkungan gereja Protestan terbesar di Sumut, HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), tidak ada kebijaksanaan untuk secara institusional memiliki kebun sawit. Yang ada hanyalah bahwa beberapa gereja lokal, jemaat HKBP, yang punya tanah sekitar satu hektar, yang ditanami kelapa sawit.
Kalangan cendekiawan asal Sumatera juga tak ketinggalan bersawit ria. Sofyan Alisyahbana, penerbit majalah Femina, bersama abangnya, Iskandar Alisyahbana yang mantan Rektor ITB, masing-masing menjadi Komisaris Utama dan Direktur Utama PT Bio Nusantara Teknologi Bengkulu, yang punya kebun sawit seluas 4000 hektar lebih di Bengkulu (CIC 2009: B41).
Kekuatan-kekuatan pendorong ekspansi perkebunan sawit
Stakeholder, adalah istilah keren untuk kekuatan-kekuatan penopang ekspansi perkebunan sawit di Indonesia. Dalam makalah ini, para primadona, yakni perusahaan-perusahaan besar, baik swasta maupun BUMN, akan diperkenalkan terlebih dahulu:
(a). Korporasi-korporasi swasta & BUMN:
Sedikitnya, ada 17 kelompok perusahaan swasta besar yang bergerak di bidang ini, yakni:
(1). kelompok Salim yang dipimpin Anthony Salim, yang telah membeli PT PP London Sumatera Indonesia (LSIP) Tbk yang memiliki sejumlah kebun sawit di Sumut;
(2). kelompok Sinar Mas yang dipimpin Franky Widjaja, yang bergerak di bidang kelapa sawit melalui PT Sinarmas Agro Resources & Technology Tbk (SMART); kelompok ini paling agresif ekspansinya, dari Sumut, Sulteng, sampai ke Papua;
(3). kelompok Wilmar International, yang dipimpin laki-laki kelahiran Pematang Siantar, Martua Sitorus, yang pada tahun 1991 telah memiliki kebun kelapa sawit seluas 7100 hektar di Sumut serta sebuah pabrik pengolahan minyak sawit. Setelah bergabung dengan William Kwok dari Singapura, Wilmar telah memiliki 48 perusahaan dengan lahan siap panen seluas 169.725 hektar, dan sudah berekspansi ke Nigeria, Afrika Barat;
(4). kelompok Raja Garuda Mas (RGM) yang dipimpin Sukanto Tanoto dan isterinya, Tinah Bingei, dari keluarga pemilik pabrik rokok STTC di Pematang Siantar. Kelompok ini semula hanya bergerak di bidang pembalakan kayu (logging) serta produksi kertas dan bubur kertas, Namun di tahun 2001 mereka sudah menguasai hampir 20 % dari luas perkebunan swasta nasional yang ada di Sumut, dan di bawah kelompok Asian Agro telah melebarkan sayapnya ke Jambi. RGM juga membuka kebun sawit PT Kesatuan Mas Abadi seluas 36 ribu hektar di Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel, Papua;
(5). kelompok Bakrie milik Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie dan adik-adiknya yang lewat anak usaha mereka, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP) berencana menambah penguasaan lahan perkebunannya di Indonesia menjadi 150 ribu hektar, dan juga sedang menjajaki kemungkinan berekspansi ke Kamboja dan Liberia, Afrika Barat;
(6). kelompok Sampoerna Agro yang dipimpin Michael Sampurna, hasil penjualan pabrik rokok PT HM Sampoerna pada Philip Morris; kelompok ini telah menguasai 74 ribu hektar kebun sawit di Sumatera dan Kalimantan, dan semenjak tahun ini hingga 2014 berencana meningkatkan areal tanam mereka seluas 10 ribu ha/tahun;
(7). kelompok Astra Agro Lestari: anak perusahaan kelompok Astra menguasai puluhan kebun sawit di Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalsel, Kaltim, Sulbar, Sulteng, dan Sulsel. Serta penghasil CPO terbesar di Indonesia. Mereka berencana menambah luas kebun dengan mengakuisisi 75 ribu hektar lahan sawit dan karet di Sumatera dan Kalimantan, untuk mengejar target memiliki kebun seluas 300 ribu hektar;
(8). Kelompok Medco milik keluarga Arifin Panigoro, berencana memperluas kebun kelapa sawitnya yang seluas 20 ribu hektar di Kalimantan Tengah dengan membuka kebun baru di Kabupaten Merauke, Papua, dengan modal Rp 3 trilyun;
(9). kelompok Eterindo yang mengkhususkan diri pada minyak sawit untuk bahan bakar nabati, biodiesel sawit, sekitar 30 ribu tom setahun;
(10). kelompok Makin di bawah PT Matahari Kahuripan Indonesia, hasil penyisihan sebagian modal kelompok Gudang Garam milik Susilo Wonowidjojo, orang terkaya kedua di Indonesia yang memiliki US$ 8 milyar;
(11). Kelompok Tolan Tiga Indonesia, milik perusahaan Belgia, SIPEF N.V. (Societe National de Plantations et de Finance, S.A.) menguasai lima perkebunan kelapa sawit di Labuhan Batu, Deli Serdang, dan Simalungun di Sumut;
(12). Perusahaan bermodal Belgia, PT Socfin Indonesia (Socfindo), yang mewarisi kebun-kebun sawit hasil tanaman Belanda tahun 1927 di Sumut dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD);
(13). Pabrik rokok Djarum, melalui PT Hartono Plantations, juga sudah menjajaki rencana membuka 100 ribu hektar kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera lewat akuisisi, yang akan ditingkatkan menjadi 0,5 juta hektar tahun ini .
(14). Kelompok Marison Nusantara milik keluarga Janji Akbar Zahiruddin Tanjung (Akbar Tanjung) dan saudara-saudaranya, telah membuka kebun-kebun sawit PT Bina Pitri Jaya seluas 7000 hektar di Riau, PT Alno Agro Utama seluas 17 ribu hektar di Bengkulu, PT Musam Utjing seluas 1925 hektar dan PT Tasik Raja seluas 6446 hektar di Sumut, berkongsi dengan perusahaan Inggris, Anglo-Indonesian Oil Palms Ltd. Akbar Tanjung sendiri menjadi Preskom PT Tasik Raja;
(15). Kelompok Tirtamas Majutama milik Prabowo Subianto dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, memiliki kebun sawit seluas 30 ribu hektar yang terentang dari Sumbar ke Jambi, a/n PT Tidar Kerinci Agung, berkongsi dengan PPB Oil Palms Bhd dari Malaysia. Pokoknya itu belum apa-apa dibandingkan dengan ambisi Prabowo untuk membuka satu juta hektar perkebunan sawit kalau ia terpilih jadi Presiden ;
(16). Kelompok CCM (Cipta Cakra Murdaya) milik suami isteri Siti Hartati Murdaya dan Murdaya Widyawimarta Poo, berkongsi dengan Rony Narpatisuta Hendropriyono dalam perkebunan sawit PTHardaya Inti Plantations seluas 51 ribu hektar di Kabupaten-kabupaten Buol dan Toli-toli di Sulteng. Sebuah anak perusahaan mereka, PT Altrak, memasok alat-alat berat yang dibutuhkan perkebunan sawit sebagai captive industry mereka;
(17). Pendatang baru, Gozco Plantations, yang menguasai kebun sawit seluas 13 ribu hektar di Sumsel, kini mengincar lahan baru di Kalimantan Tengah, Selatan dan Barat serta Sumsel (Warta Ekonomi, 14 Mei 2007: 31, 23 Juli 2007: 56-9, 20 Ag. 2007: 22-26; Investor, Feb. 2011: 39, 44-47, 52-64; InfoSawit, Maret 2011: 11, 17; AAL 2003; CIC 2009; Subianto 2004: 193; Pambudi 2009: 95-96; Aditjondro 2009; Bangun 2010: 500).
Sumut bukan hanya “lahan bermain” perusahaan-perusahaan swasta, tapi juga lokasi kebun-kebun kelapa sawit milik sejumlah BUMN, yakni PTPN I, PTPN II, PTPN III, dan PTPN IV, hasil nasionalisasi perkebunan-perkebunan bermodal Barat di masa Konfrontasi. Salah seorang Komisaris PTPN III adalah Heri Sebayang, mantan aktivis mahasiswa di Yogya. Sarjana Hukum lulusan Universitas Janabadra itu termasuk inner circle SBY, yang sudah dikenalnya sejak menantu Sarwo Edhi Wibowo itu menjabat sebagai Danrem 072/Pamungkas di Yogya, di bawah Kodam IV/Diponegoro.
Stakeholders lain tentu saja para pejabat pemerintah, bank-bank dalam dan luar negeri yang membiayai investasi para anggota GAPKI, konsumen minyak sawit, baik untuk minyak goreng maupun untuk bahan bakar nabati (bio-fuel), dan aparat bersenjata.
(b). Keterlibatan Militer
Studi kepustakaan maupun pengamatan terhadap penyebaran perkebunan kelapa sawit menunjukkan, bahwa ekspansi kebun-kebun baru selama dasawarsa terakhir banyak yang berada di daerah-daerah perbatasan yang rawan, seperti perbatasan provinsi Papua dengan PNG yang dikuasai kelompok Korindo (PT Bade Makmur Orissa dan PT Tunas Sawa Erma) (CIC 2007: B1, T54), serta perbatasan provinsi Kalbar dengan Sarawak, Malaysia Timur.
Sejak 2005, PT Tunas Sawa Erma membuka perkebunan sawit seluas 14.461 hektar (CIC T54) di Distrik Jair di Kabupaten Boven Digoel, tepatnya di Asikie dan Getentiri. Penjagaan keamanan perkebunan itu dipegang oleh anggota-anggota Kopassus, Kostrad, dan Polri, selain petugas sekuriti perusahaan itu sendiri. Semula, komandan sekuriti perusahaan itu seorang pensiunan TNI/AD berdarah Kei. Baru di awal 2009, pihak perusahaan menggantinya dengan Serka Paswit dari Kepolisian.
Tentara yang bertugas di perbatasan Papua-PNG, betul-betul menikmati tugas mereka. Sebab banyak peluang untuk berbisnis kelabu, dalam arti, berbisnis tanpa izin, dengan mengganggu kelestarian alam, seingga menambah pelanggaran HAM sipil dan politik dengan pelanggaran HAM ekonomi, sosial dan budaya terhadap penduduk setempat. Anggota Kopassus yang bertugas di perkebunan PT Tunas Sawa Erma berbisnis ikan arwana, bekerjasama dengan manajer personalia perusahaan itu. Ikan-ikan itu ditangkap di sungai-sungai kecil antara Muting dan Asikie, dan di rawa Tak dekat Sungai Fly yang merupakan tapal batas kedua negara. Selanjutnya, ikan-ikan yang tertangkap diangkut dengan kapal-kapal pengangkut tripleks dan minyak sawit, dan dijual ke pedagang keturunan Tionghoa di hilir sungai. Sementara itu, anggota Kostrad yang bertugas di sana, menjual miras oplosan yang bernama ‘Alexander’ kepada pemuda setempat, yang diduga menyebabkan meninggalnya tujuh orang pemuda di tahun 2008.
Masih soal keterlibatan militer, konversi hutan primer dengan jenis-jenis pepohonan yang berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat menjadi monokultur sawit maupun ekaliptus yang ditanam dalam barisan pohon yang rapi, sangat memudahkan polisi dan militer berpatroli. Sebaliknya, sangat mempersulit gerakan gerilyawan bersenjata.
Berdasarkan logika yang sama, pembukaan kelapa sawit secara besar-besaran di NAD (Nangroe Aceh Darussalam), di samping menampung ekspansi perkebunan sawit dari Malaysia, di mana lahan semakin terbatas – 2,36 juta hektar di Semenanjung dan 1,25 juta hektar di Sabah (Bangun 2010: 137) — , juga merupakan taktik menggembos kemungkinan kebangkitan Gerakan Aceh Merdeka.
Untuk itu, Pemprov NAD di bawah pimpinan Gubernur NAD, Irwandy Jusuf, membentuk Aceh Plantation Development Authority (APDA), suatu usaha kerjasama antara pengusaha Aceh dan Malaysia, yang berencana membuka 145 ribu hektar perkebunan sawit di NAD, bekerjasama dengan Malaysian Islamic Economic Development Foundation. Perkebunan-perkebunan itu direncanakan akan memasok tandan buah segar (TBS) ke 13 kilang minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil), dengan investasi total sebesar US$ 488 juta (Aditjondro 2007: 20).
Usaha kerjasama Aceh – Malaysia itu semakin menunjukkan hebatnya politik pintu terbuka Indonesia bagi maskapai-maskapai perkebunan Malaysia. Saat ini, sembilan maskapai Malaysia – Kumpulan Guthrie Bhd, PPB Oil Palms, Kulim Bhd (Johor Group), KL Kepong, Golden Hope Plantations, Rimbun Sawit Bhd, Oriental Holdings Bhd, dan Sime Darby Bhd – menguasai 541.400 hektar kebun sawit di seluruh Indonesia, terutama di Pulau Sumatera (Aditjondro 2007: 20-21).
Lepas dari kaitan-kaitan regional itu, perkebunan-perkebunan sawit skala besar telah menciptakan lapangan kerja yang cukup besar bagi aparat militer dan polisi, untuk menjaga keamanan kebun-kebun itu. Soalnya, kebun-kebun itu sangat diganggu ‘hama berkaki dua,’ pencuri sawit, yang belakangan ini sudah beroperasi dengan cukup canggih. Dalama aksinya, ‘hama berkaki dua’ ini mengendarai mobil double cabin dan menggunakan senjata api laras panjang, yang konon dapat dibeli di pasar gelap di kota Medan.
bersambung ….
Penulis adalah Sosiolog dan Pengajar pada Program Studi Religi, Ilmu dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Artikel ini sebelumnya merupakan makalah yang disampaikan dalam Konferensi Alternatif Peringatan 100 Tahun Sawit di Indonesia, Medan, Sumatera Utara, 26-29 Maret 2011, dengan judul: “Sesudah cemara, haminjon, kelapa, pinang, Bagot, dan sagu tergusur oleh sang tamu dari afrika, yang menyemprotkan bermilyar-milyar ton gas karbon mono-oksida ke udara.” Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.