AWAL tahun lalu, saya diminta menulis kata pengantar untuk suatu buku tentang dampak sosial dan ekologis dari MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Buku bertajuk Beyond Malind Imagination tersebut adalah laporan hasil penelitian R.Yando Zakaria, Franky Samperante, dan Emil Ola Kleden, di bawah suatu lembaga bernama Yayasan Pusaka.
Argumen utama yang dikemukakan pada laporan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soeryo Adiwibowo, seorang professor ekologi manusia dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam seminar ”Food Estate di Indonesia, Mampukah Mewujudkan Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan, Berkedaulatan dan Berkeadilan?” di Bogor, pada Desember tahun lalu. Kutipan berikut adalah liputan dari harian Kompas, 16 Des 2010, “Kawasan Pangan. Pemerintah Tak Perlu Tergesa-gesa.”
Menurut Adiwibowo, selama ini model pembangunan yang dilakukan di Merauke menyisakan celah besar, baik teknologi, manajemen, maupun investasi. Terbukti, masyarakat Merauke masih hidup dengan berburu dan meramu. Sementara tetangganya yang dari Jawa sudah mengembangkan sistem pertanian. Karena itu, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) perlu ada penyesuaian. ”Ini titik kritis. Kalau culture gap tinggi, ada mekanisme mengalah diri bagi masyarakat yang punya kemampuan lebih rendah,” katanya.
Laporan studi ini mendasarkan diri pada apa yang diistilahkannya dengan “kesenjangan peradaban,” suatu istilah yang mungkin dimaksudkan agar dapat segera dan secara padat mewakili uraian panjang tentang perbedaan antara “upaya percepatan pembangunan itu dengan tingkat perkembangan sosio-kultural dan ekonomi masyarakat asli”.
Saya duga kedua argumen yang sama itu bukan kebetulan, tetapi merupakan pandangan yang umumnya dianut oleh para sarjana dan aktivis pembela nasib penduduk pedesaan yang tertindas. Pandangan demikian ini dihadirkan sebagai kritik terhadap pandangan utama mengenai pembangunan yang dirancang secara memusat oleh elite pemerintahan yang dibimbing oleh cita-cita yang berada di luar jangkauan pengertian penduduk desa yang menjadi korbannya. “MIFEE memang masih merupakan sebuah program pembangunan yang berada di luar jangkauan orang-orang Malind yang tinggal di wilayah itu.”
Uraian dalam “Potret Dinamika Lapangan” membeberkan bahwa siasat, dan strategi dari pihak perusahaan dan aparatus pemerintah daerah yang dialami orang-orang kampung, yang dikerangkakan sebagai ilustrasi dari bukan hanya “kesenjangan peradaban,” namun juga sebagai konsekuensi dari jalan pikir tersebut, mungkin saja dapat dipahami sebagai pertemuan dua macam “peradaban.” Yang satu menguasai yang lainnya; yang satu menang, yang lain kalah; yang satu berdaya, yang lain diperdaya, dan seterusnya.
Tak pelak pula Adiwibowo menyarankan: “Rekayasa ruang harus dilakukan rinci dan mengacu pada budaya lokal.” ”Bagaimana mengatasi hal-hal negatif secara bertahap. Bisakah para penyelenggara bersabar menerapkan food estate, menunggu pembangunan untuk memperkecil jarak.” “Perspektif Menyembuhkan Papua” mengemukakan lebih rinci pentingnya “pembangunan dari bawah,” yang mampu “mengembangkan kekuatan-kekuatan sosio-budaya yang ada dalam masyarakat” dan bukan seperti yang selama ini dijalankan.
Saya melihat laporan ini menempatkan MIFEE sebagai suatu hasil dari proses kebijakan pemerintah (pusat+daerah) berpaham neoliberalisme dalam menghadapi krisis yang tercipta akibat kekurangan produksi, yaitu apa yang diistilahkan laporan ini sebagai ‘krisis 3 f dan 2 c’ (food, feed, fuel, and climate change). Hasil dari proses kebijakan itu dipahami sebagai “anak haram,” “hasil perselingkuhan para pemilik modal dan pemerintah pencari rente ekonomi di tengah kesempitan hidup orang-orang kebanyakan.” Paham neoliberalisme yang dimaksud dipahami sebagai paham yang mendefinisikan fungsi “pemerintah hanya sebagai ‘penjaga malam’ yang mengatur begaimana transaksi berlangsung.” Konsekuensinya, ketersediaan pangan dan energi diserahkan pada mekanisme pasar.
Berangkat dari pemahaman demikian, saya mulai dengan bertanya apakah karakterisasi “jurang peradaban” atau “kesenjangan peradaban” atau “culture gap,” dan memahami MIFEE sebagai solusi atas “krisis kekurangan produksi,” adalah memadai untuk membekali para aktivis melihat kekuatan-kekuatan utama yang membentuk MIFEE, bagaimana kekuatan-kekuatan itu bekerja, dan apa akibat-akibat yang ditimbulkannya?
Satu kekuatan utama yang sama sekali tidak boleh diabaikan adalah “keharusan-keharusan struktural” dari perusahaan-perusahaan raksasa yang bekerja lintas batas negara (transnasional) maupun yang hanya bekerja dalam lingkup negara Indonesia (nasional), untuk secara terus-menerus melanjutkan akumulasi modal. Dalam logika kapitalis, uang harus terus diputar dan berputar dalam siklus pokok: uang dijadikan modal lalu pada gilirannya kembali menjadi uang yang lebih banyak lagi. Ketika surplus yang mereka kumpulkan itu diam sebagai uang, dan tidak dapat diputar kembali dalam rangka mendapatkan keuntungan dalam siklus produksi, sirkulasi, dan pertukaran yang sudah ada, maka terjadilah krisis sebagai akibat akumulasi yang berlebihan. Salah satu pemecahannya adalah menemukan jalan baru bagi krisis ini melalui penciptaan ruang-ruang baru yang membuka siklus baru: uang dijadikan modal lalu pada gilirannya kembali menjadi uang yang lebih banyak lagi atau uang-modal-uang. Inilah yang dimaksud oleh David Harvey dalam The Limit of Capital (1982) tentang produksi ruang baru sebagai solusi (spatial fix). Likuiditas uang sebagai modal, meskipun menjadi penentu namun bukanlah satu-satunya pembentuk modal.
Dalam konteks industri pertanian dibutuhkan tanah, tenaga kerja, infrastruktur dan tatanan kelembagaan yang sama sekali baru. Untuk dua yang pertama, yakni tanah dan tenaga kerja, diperlukan paksaan. Tidak ada satupun petani yang akan rela begitu saja melepaskan tanahnya. Sisi lain dari proses untuk memperoleh tanah dan menempatkannya sebagai modal untuk pertama kalinya adalah pemisahan secara brutal petani dari tanah pertaniannya untuk kemudian secara drastis atau lambat laun menjadikan petani menjadi tenaga kerja industrial. Untuk menyediakan semua itu, badan-badan pemerintahan punya andil, termasuk menggunakan kewenangan monopolinya untuk membuat peraturan perundang-undangan, alokasi anggaran publik, hingga bila diperlukan mengerahkan aparatur represifnya. Selain memastikan konsensus dan akomodasi kepentingan di kalangan pemerintahan maupun perusahaan kapitalis (masing-masing maupun di antara keduanya), yang vital dilakukan oleh para manajer perusahaan kapitalis dan manajer badan pemerintahan adalah membuat keseluruhan proses yang brutal ini bisa diterima sebagai suatu yang alamiah, bahkan kalau mungkin kelompok-kelompok masyarakat sipil (seperti media, akademisi, kaum profesional, dan lainnya) membenarkan proses itu, dan mengatur diri sebagai pihak yang memperlancarnya.
Keharusan-keharusan struktural ini berbeda-beda dari waktu-waktu (sejarah) dan dari satu tempat ke tempat lainnya (geografi), sehingga perlu diperiksa secara spesifik. Menurut saya, apa yang telah dan akan terus terjadi di Merauke — seperti juga yang terjadi di Sumatera Timur setelah Undang-undang Agraria (agrarische wet) 1870 — memberi bahan yang lebih dari cukup bagi kita untuk memikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana keharusan struktural itu mewujud secara konkrit dalam ruang dan waktu tertentu.
Dengan perpektif demikian, saya mengusulkan terlebih dahulu perlu dipisahkan, dan kemudian dihubungkan, antara MIFEE sebagai kebijakan Pembangunan dengan proses berjalannya pembangunan kapitalisme. Pembedaan alat kerja analitik ini dikembangkan oleh Gillian Hart dalam artikelnya “Development Debates in the 1990s: Culs de sac and Promising Paths” (2001). Pembangunan (dengan huruf “P” besar), atau Development, sebagai “suatu proyek intervensi paska-perang dunia kedua terhadap negara-negara ‘dunia ketiga’ yang berkembang dalam konteks dekolonisasi dan perang dingin (cold war), dengan pembangunan kapitalis (dengan “p” kecil), capitalist development, sebagai suatu rangkai proses pembentukan cara produksi kapitalis yang dipenuhi dengan beragam kontradiksi dan secara geografis perkembangannya tidak sama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.
Pembedaan ini memiliki konsekuensi yang besar dalam melakukan studi mengenai MIFEE. Dengan pembedaan ini mari kita tempatkan dimana neoliberalisme itu berada. Neoliberalisme pada mulanya adalah suatu paham yang menomorsatukan prinsip-prinsip kepemilikan pribadi yang mutlak, pasar dan perdagangan bebas, dan kebebasan dalam berusaha dan berkompetisi. Sebagai suatu teori ia terkesan sangat menggoda, terutama dalam konteks kritik terhadap kekuasaan negara yang sangat besar – baik yang dipraktekkan oleh rejim sosialis-komunis, maupun rejim negara kesejahteraan, maupun negara pembangunan di negara-negara paska kolonial.
Laporan ini memahami neoliberalisme dalam konteks demikian ini. Sebagai praktek kelembagaan, neoliberalisme memberi pengaruh besar bagi kebijakan Pembangunan. Sebagaimana sudah diketahui, paham neoliberalisme dalam kebijakan pembangunan dimulai oleh Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) yang memberlakukan apa yang disebut program-program penyesuaian struktural (structural adjustment program) yang diurai dengan lugas oleh Rita Abrahamsen dalam buku Sudut Gelap Kemajuan, Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan (2003). Berbeda dengan hal itu, neoliberalisme juga dipahami sebagai agenda konsolidasi dari kelas yang berkuasa, sebagaimana dikemukakan David Harvey dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism (2005). Krisis yang dialami oleh kelas-kelas yang berkuasa memerlukan solusi, di antaranya melalui pembentukan ruang-ruang baru dimana siklus baru akumulasi modal muncul dan apa yang istilahkannya sebagai akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession), yang dapat dibedakan dengan akumulasi melalui eksploitasi (accumulation by exploitation).
Dalam laporan ini MIFEE dijuluki sebagai “anak haram … hasil perselingkuhan para pemilik modal dan pemerintah pencari rente ekonomi.” Padahal dengan memahaminya sebagai “anak resmi,” maka kita akan terdorong bukan melihatnya sebagai proses yang dipenuhi oleh pelanggaran atas komitmen awal, tapi justru sebagai jalan untuk memahami proses pertemuan antara Pembangunan (dengan P besar) dan pembangunan kapitalisme (dengan p kecil) yang terjadi sebagai perwujudan dari komitmen sepenuhnya dari masing-masing. Perlu suatu studi lain yang secara khusus mendokumentasikan dan mengungkap proses-proses kebijakan yang menghasilkan MIFEE ini.
Pertanyaam selanjutnya, bagaimana menjelaskan gerakan-gerakan sosial yang memprotes MIFEE? Saya menganjurkan kita berangkat dari perspektif yang ditawarkan oleh Karl Polanyi, melalui karya klasiknya The Great Transformation (1944). Tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi. Tanah dan kekayaan alam terikat dan melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan tanah sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat tanah itu sendiri. Alam dibayangkan sebagai komoditi walaupun sesungguhnya tidak bisa sepenuhnya demikian. Polanyi mengistilahkannya fictitious commodity.
Menurut Polanyi, memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. Tanah (dan juga tenaga kerja) tak lain dan tak bukan merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, demikian Polanyi, menimbulkan gejolak perlawanan. Polanyi menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah lingkungannya menjadi demikian tak terkendali. Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi 1944:3). Dalam bagian lain bukunya, ia menulis “selama berabad lamanya dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan [pasar] ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement) untuk menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat, yang pada akhirnya [gerakan tandingan itu] itu tak cocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dan dengan demikian tidak cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri” (Polanyi 1944:130).
Memahami gerakan-gerakan sosial dalam perspektif demikian akan membantu kita untuk menghargai peran yang diemban oleh gerakan-gerakan yang menandingi gerakan pasar. Masalah utama dari perspektif Karl Polanyi ini adalah anggapan bahwa dalam menghadapi gerakan pasar, masyarakat itu berada dalam kepentingan yang sama. Padahal tidak demikian. Para pelajar gerakan sosial mengetahui kekeliruan asumsi ini. Kelompok-kelompok masyarakat yang menentang gerakan pasar sungguh beragam karakteristiknya, baik asal-usul, kelas yang diwakilinya, arena kerja dan cara artikulasinya, hingga cita-cita yang mau dicapainya.
Laporan ini memang tidak mencakup ruang-lingkup topik kelompok gerakan-gerakan sosial seputar MIFEE, yang bergerak di berbagai arena yang berbeda-beda dengan cara kerja dan artikulasi yang berbeda-beda: mulai yang berada di lapangan melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, di arena kebijakan pemerintah daerah, maupun yang melakukan kampanye dan advokasi kebijakan di pentas-pentas kebijakan nasional maupun internasional. Kita akan lihat dinamika dan gerak langkah dari gerakan-gerakan yang beraneka ragam ini di kemudian hari.***
Penulis adalah pelajar Ekologi Politik dan Perubahan Agraria Kepulauan Indonesia