PERANG Libya mempertontonkan naluri purba kapitalisme dalam bentuknya yang telanjang sekaligus “alamiah”: “Taklukkan musuhmu hingga kau dapatkan apa yang kau inginkan”. Dari sudut ini, serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Sekutu terhadap rezim Muammar Qaddafi, bukan serangan militer demi tujuan militer itu sendiri, yakni “mengamankan warga sipil”, sebagaimana klaim Sekutu. Sebaliknya, aksi militer itu punya tujuan yang lebih samar, lebih implisit, dan lebih primitif, yakni kepentingan ekonomi-politik, yang tak lain adalah penguasaan ladang-ladang minyak.
Anehnya, tak banyak pengamat, analis, dan media arus utama yang berani terang-terangan mengangkat faktor “X” di balik serangan itu, seakan-akan semua terjadi begitu normal dan masuk akal. Salah satu harian terbesar di negeri ini, misalnya, daripada mengulas secara kritis kepentingan-kepentingan ekonomi-politik yang bermain di balik krisis Libya, lebih cenderung mengangkat riuh-rendah panggung perang itu sendiri, seolah ini merupakan tontonan yang lebih cocok dinikmati. Di atas panggung itu, diletakkanlah dua aktor besar “Sekutu” (yang diposisikan sebagai Penyelamat) versus “Qaddafi” (yang terus-menerus direpresentasikan sebagai Tiran), dengan dua aktor pembantu “kaum pemberontak” (pahlawan pemantik “Revolusi”) dan “warga sipil” (yang ditampilkan korban lemah yang harus dilindungi).
Representasi yang terpusat pada segelintir aktor-aktor ini, pada gilirannya, tentu saja, melupakan analisis atas aspek yang lebih struktural dan determinan, yaitu bidang material di mana semua aktor itu bermain. Bidang material itu adalah ranah tempat berbagai aktor dengan beragam kepentingan yang tampak berbeda itu (Sekutu dengan keinginan menyelamatkan warga sipil dari amukan Qaddafi; atau Qaddafi dengan keinginan mempertahankan kekuasaannya) dipersatukan, dan dengan demikian, menemukan diri mereka berada dalam pikiran dan tujuan yang sama. Hal itu, tak lain, merujuk pada kontestasi sumber daya alam Libya, dalam pengertian paling luas, dan upaya kekuatan imperial untuk meraup keuntungan dalam kontestasi tersebut.
Jembatan emas Libya
Sudah sejak lama, Libya memiliki posisi penting dalam percaturan ekonomi-politik dunia. Secara geografis, posisi Libya yang strategis menjadikan negara ini “palang” bagi masuknya komoditas ekonomi ke Eropa yang terletak tepat di seberang utaranya. Afrika dan Eropa, sejak era kolonialisme, telah terlibat dalam hubungan yang ambigu dan traumatik yang berkisar pada keterkaitan antara sentimen ras dan eksploitasi alam. Merasa diri sebagai ras unggul dalam sejarah manusia, Eropa menjejakkan kaki di Afrika untuk melakukan “misi pemberadaban” (mission civilisatrice) atas orang-orang kulit hitam, yang menurut ilmu biologi yang berkembang pada saat itu, dapat digolongkan setara dengan kera dan hewan primata lainnya. Namun, sentimen rasial ini, yang didukung oleh bukti-bukti “ilmiah”, membawa-serta motivasi ekonomi di baliknya, yaitu eksplorasi dan eksploitasi alam. Meski sebagian besar Afrika terdiri dari padang tandus, tetapi berkat teknologi, ditemukan sumur-sumur minyak yang potensial di kemudian hari, yang nantinya mengundang hasrat orang-orang Eropa untuk kembali mendatangi benua ini.
Di sini, kita memahami mengapa Libya menjadi momentum bagi “misi pemberadaban” jilid kesekian. Libya adalah negara terbesar penghasil minyak bumi di Afrika dan terbesar kesembilan di dunia. Dengan produksi minyak 1,8 juta juta barel per hari, Libya mampu menghasilkan suplai minyak yang amat besar bagi negara-negara sekutunya. Diperkirakan cadangan minyak ini akan memadai sampai lebih 60 tahun ke depan, bila tidak segera ditemukan sumur-sumur minyak baru. Kenyataannya, di Libya sendiri masih didapati tanah-tanah potensial yang belum tergali dan menunggu untuk dieksplorasi.
Namun, bukan saja kekayaan cadangan minyak itu yang menggiurkan. Dibanding negara-negara produsen minyak lainnya, Libya juga mengundang daya tarik karena dua faktor esensial: murahnya biaya produksi (1 dollar per barel) dan biaya transportasi, lantaran jaraknya yang dekat dengan pasar Eropa.
Tetapi, apa yang menarik digarisbawahi, dalam pergaulan kapitalisme dunia yang semakin menyatu, Eropa hanya pemain lama yang mencoba untuk bangkit kembali sebagai kekuatan ekonomi-politik. Di samping Eropa, Amerika-lah sebenarnya pemain dominan yang berkecimpung dalam arus perdagangan di Afrika. Selain menikmati dua faktor yang telah disebutkan, Amerika juga berkepentingan menjaga “stabilitas politik” di Timur Tengah dan dataran Afrika Utara, demi menjaga pengaruhnya terhadap negara-negara Teluk, terutama Saudi Arabia, penghasil minyak terbesar. Dengan memastikan negara-negara yang terletak di jajaran kawasan tersebut “stabil” secara politis, Amerika dapat tetap menjadikan negara-negara Liga Arab sebagai pangkalan militernya.
Sepanjang waktu, terlihat kecenderungan yang ternyata berulang-ulang muncul—semacam kecenderungan “diakronis” dalam peran-peran struktural di atas. Selalu ada keinginan pada Amerika untuk menancapkan pengaruhnya secara menyeluruh di Afrika Utara—pengaruh yang terutama bersifat ekonomis-politis—yang ditempuh dengan penggunaan aparatus militer pada kawasan tersebut. Setelah sempat lama berhasil “menundukkan” Mesir dan, sampai saat ini, Maroko ke dalam pengaruhnya, Amerika masih menemui ganjalan berarti di Libya. Sialnya, Libya bukan saja menjadi “jembatan emas” untuk memuluskan langkah Amerika melangsungkan roda kapitalisasinya dari arah timur secara horizontal, yang memanjang dari Maroko, Aljazair, hingga Mesir, tetapi juga menjadi lumbung sumber daya mentah kapital yang amat potensial itu sendiri. Karena itu, terlalu sayang jika Libya “dilewatkan”.
Sinyal-sinyal ke arah itu telah terbaca jauh sebelum serangan Amerika dan Sekutu terjadi. Tahun 2004, dilaporkan bahwa Amerika “berharap mencabut sebagian dari Undang-undang Sanksi atas Libya dan Iran.” Kevin Morrison, seorang analis minyak di Financial Times, saat itu memprediksi bahwa pencabutan embargo akan dilakukan menyusul pemilihan presiden 2004. Menurut J.J. Traynor, pengamat minyak dari Deutsche Bank, “Pembicaraan antara Libya dan perusahaan-perusahaan minyak AS dapat dimulai awal tahun ini [2004]”. Traynor menyebutkan, sebagian besar perusahaan-perusahaan minyak AS seperti ConocoPhillips, Marathon Oil, dan Amerada Hess “berminat untuk kembali ke Libya.” Lebih lanjut ia merilis, “Occidental Petroleum, perusahaan minyak AS, akan tertarik kembali ke Libya. Occidental masuk ke Libya pada 1966 dan sempat menghasilkan 70.000 barel sehari dari 250m barel sebelum ia hengkang.” Di sisi lain, Eropa telah terlibat dalam perdagangan minyak dengan kehadiran ENI (Italia), Total (Prancis), dan Repsol (Spanyol) di Libya. Namun, dengan kebijakan yang keras dari Qaddafi, berbagai perusahaan ini, di samping terdesak oleh kompetisi yang tajam, tidak dapat melakukan eksplorasi secara leluasa. Traynor menyebutkan, kebijakan Qaddafi menentukan kepastian hadir-tidak hadirnya perusahaan minyak Belanda, Shell, di Libya.
Moral kapitalisme
Keinginan yang “tertunda,” mungkin begitu kita dapat menyebutnya, dari kekuatan-kekuatan kapitalis besar dunia untuk berpenetrasi secara bebas di Libya, disebabkan oleh suatu faktor sederhana: mereka belum menemukan rasionale yang cukup legitim yang memungkinkan mereka masuk secara “legal” ke Libya, dan menyingkirkan, pada akhirnya, ganjalan terbesar mereka, Qaddafi.
Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mewujudkan keinginan tersebut, karena dua alasan mendasar: krisis finansial di AS dan Eropa, yang belum kunjung pulih, dan konflik internal dalam negeri Libya sebagai dampak dari hegemoni tunggal Qaddafi. Krisis finansial yang menyapu AS dan terus berlanjut ke Eropa telah membuat kekuatan-kekuatan kapitalis besar dunia kehilangan sebagian modal mereka, yang mendorong kebutuhan akan pasokan komoditas yang baru untuk dijual—komoditas dari sumber lama, tepatnya, tetapi di bawah koordinasi yang baru (multilateralisme tanpa Qaddafi). Dengan menguasai secara relatif lebih bebas sumber-sumber minyak di Libya, sebuah zona kekayaan setidaknya telah diamankan. Hal ini akan mempercepat pemulihan krisis finansial dalam negeri (AS) dan antar-negeri (Eropa), dengan menjadikan Afrika suatu pasar baru yang mungkin bagi produk-produk AS dan Eropa, mengingat di Timur Jauh, keduanya telah terdesak oleh pasar Cina yang terus berpenetrasi.
Krisis internal di sekeliling rezim Qaddafi, di sisi lain, memberikan peluang bagi realisasi cita-cita “liberalisasi” Libya untuk tercapai lebih cepat. Meski Qadafi mampu menghegemoni sebagian besar wilayah Libya, di tempat-tempat tertentu, Libya Barat misalnya, telah muncul sejak lama kekuatan anti-Qadafi yang digerakkan sebagian oleh Islamis garis keras. Qadafi memiliki sejarah pertentangan lama dengan front Islamis garis keras (antara lain Al-Qaidah), karena ide-ide “revolusionernya” tentang Islam dan “Barat” dianggap kelompok ini sekuler.
Terlepas dari dugaan-dugaan konspirasi yang beredar, seputar keterkaitan antara oposan anti-Qaddafi dan kekuatan Sekutu dalam agresi, tak dapat disangkal bahwa kelompok oposan bersenjata anti-Qadafi, yang muncul dari varian fundamentalisme Islam, secara tak langsung telah melapangkan jalan bagi kekuatan kapitalis dunia untuk beroperasi di Libya.
Melihat kontestasi-kontestasi di atas, menjadi absurd untuk menyebut perang atas Libya sebagai bagian dari “misi kemanusiaan.” Seperti dikatakan Obama 23 Februari, Amerika mengintervensi Libya demi “mendukung hak-hak universal rakyat Libya … untuk menentukan nasib mereka sendiri. Itu adalah hak asasi manusia. Ia tidak dapat ditawar-tawar. Ia harus dihormati di setiap negeri. Dan ia tidak dapat ditolak dengan kekerasan atau penindasan.”
Seperti berulang-ulang muncul sebelumnya—dan ini kecenderungan “diakronis” kedua—intervensi militer Amerika selalu mengusung argumen moral dan etis: bahwa perang diselenggarakan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan, atas nama “HAM”, “penegakkan keadilan,” “demokratisasi,” dan lain seterusnya. Tetapi, dilihat dari bidang material yang diperebutkan, sebenarnya bukan negara atau aparatus militer yang bekerja dengan argumen-argumen moral-etis di atas, tetapi kapitalisme itu sendirilah yang memaksakan argumen moral-etis dimunculkan, tidak lain untuk melindungi agar logika ekonomi-politik itu dapat dikaburkan sedemikian rupa, sehingga tak bisa dilacak dan dibongkar asal-usulnya. Di sini kita menjadi dibingungkan oleh situasi, karena kapitalisme telah mengkamuflasekan diri dalam argumentasi yang dapat diterima dan tampak universal bagi semua orang, sehingga menjadi keniscayaan yang harus diamini.
Apa yang menggelincirkan dari argumentasi moral-etis ini adalah kesimpulan bahwa perang dapat diterima sejauh ia bertujuan untuk menegakkan “kebaikan”, dan karenanya, kapitalisme—beserta produk legitimnya, demokrasi liberal—dapat diterima sejauh ia menghasilkan “kebaikan”; betapapun relatifnya standar “kebaikan” itu. Penggunaan argumen moral-etis ini menjadi semu, karena dalam praktiknya, Amerika mengintervensi Libya dengan mengusung jargon anti-tirani dan penegakan demokrasi, namun di saat yang sama, melindungi Ali Abdurrahman Saleh, diktator Yaman, dan bungkam ketika 52 demonstran anti-pemerintah ditembak mati, hanya dengan alasan sederhana: tentara Saleh menggunakan senjata buatan Amerika. Semua argumen moral-etis yang tampak muluk, luhur, dan suci itu pada akhirnya runtuh di hadapan fakta sederhana yang bersifat material: apa pun menjadi halal, sejauh ia menggunakan senjata buatan Amerika.
Yang kita saksikan hari-hari ini di Libya adalah kapitalisme yang hendak menjadi mulia dan “baik budi” (benevolent capitalism). Tentu kemudian kita tahu bahwa “ada dusta di antara kita,” sebab persoalannya bukan apakah kapitalisme dapat menjadi baik atau tidak baik, tetapi bahwa kapitalisme akan selalu menggunakan segala cara untuk membenarkan penguasaannya, dan alasan moral-etis hanyalah salah satu opsi dari sekian opsi lain untuk memperlancar penguasaan tersebut ke ladang-ladang kapital segar yang siap untuk dikeruk. Dengan atau tanpa Qaddafi.***
Muhammad Al-Fayyadl
Alumnus Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
(Esai dimuat di Koran Rakyat terbitan Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), edisi Maret-April 2011). Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.