TIGA BELAS tahun sudah Indonesia memilih jalan panjang menuju demokrasi. Jalan yang tidak mudah, dipenuhi kerikil serta tantangan di setiap liku jalan. Salah satu tantangan terbesar bangsa ini adalah menciptakan masyarakat yang harmonis dengan segala keragaman budaya, agama dan opini. Seperti halnya dua sisi mata pedang, keragaman tersebut merupakan anugerah struktural bangsa di satu sisi, sekaligus dapat memprovokasi benih-benih kanker jika tidak dikanalisasi dengan benar di sisi lainnya.
Mulai dari hiruk-pikuk sidang Abu Bakar Basyir, polemik bom buku akhir-akhir ini, hingga amukan masa yang ditujukan kepada kelompok Ahmadiyah dan Kristiani, memberi bukti gagalnya negara dalam melindungi keanekaragaman masyarakatnya. Jika kita melihat kembali pola-pola teror belakangan ini, kebencian yang irasional tidak lagi ditargetkan kepada “musuh luar” – seperti halnya pengeboman di Bali, Hotel Mariott maupun Kedutaan Besar Australia, yang merupakan simbol perlawanan terhadap negara-negara Barat. Target kekerasan kini beralih kepada “musuh dalam” yang mempunyai opini dan menganut kepercayaan yang berbeda dari kelompok radikal tersebut.
Du déjà-vu?
Tensi antar umat beragama saat ini, mengingatkan kembali akan peristiwa-peristiwa kekacauan di berbagai daerah Indonesia menjelang awal Milenium. Sekilas, jika kita bandingkan dengan era Orde Baru, era Reformasi seperti terbelenggu dalam kekacauan yang kontras dengan kestabilan kala Soeharto. Tetapi, jika rezim Orde Baru berhasil menempatkan Indonesia pada jalur stabilitas politik melalui sentralisasi yang intensif, stabilitas tersebut diperoleh dengan modus operandi otoriter yang bersembunyi di belakang diktum “Bhineka Tunggal Ika” dan prinsip SARA. Stabilitas itu ternyata semu dan rapuh ketika pendapatan domestik bruto (PDB) negara terjun bebas dilanda krisis. Yang terjadi selanjutnya sudah merupakan bagian dari sejarah bangsa ini.
Namun, patut dicatat, ketegangan antar agama dan antar etnis pada awal mula era Reformasi dan kekerasan relijius yang terjadi sekarang, walau sekilas terlihat mirip, mempunyai motif dasar yang berbeda dengan era Orde Baru. Pada yang pertama, merupakan konsekuensi dari tiga dekade politik hiper-sentralisasi di Jawa dan kronisme yang menimbulkan kecemburuan sosial, sedangkan yang terakhir merupakan akibat dari laxisme atau ketidak-tegasan pemerintah dalam menanggapi kelompok-kelompok garis keras. Meskipun fenomena terjeratnya ke dalam radikalisme dapat dikorelasikan dengan kondisi sosio-ekonomis, para individu di kelompok-kelompok tersebut akhirnya beraksi karena intoleransi mereka terhadap perbedaan, dan bukan lagi karena kecemburuan sosial.
Hal lain yang perlu diperhatikan, walaupun ekstremisme di Indonesia merupakan pengelompokan marjinal, aksi yang mereka perbuat dan atensi publik yang mereka dapatkan sudah jauh melampaui batas proporsional jumlah mereka. Merekapun semakin berani melakukan tindakan kekerasan, karena pemerintah melakukan pembiaran. Terlebih lagi ketika kritikan atas keterlambatan tim Gegana ke lokasi bom buku di Utan Kayu mengemuka, seorang petinggi kepolisian secara spontan berdalih bahwa “tim Gegana tidak terlambat, hanya belum datang.”
Hal itu tidak hanya menunjukkan pembodohan dan peremehan terhadap masyarakat, tetapi secara eksplisit menunjukkan ketidak-seriusan pemerintah dalam menanggapi perbuatan kelompok-kelompok radikal tersebut. Kemana pula ketegasan pemerintah dalam mengusut peristiwa amuk-masa melawan Ahmadiyah dan gereja-gereja bulan Februari lalu? Ketika dengan mudahnya didapati di Youtube, video-video khotbah suatu kelompok garis keras yang secara terang-terangan menganjurkan pembunuhan terhadap kelompok Ahmadiyah di muka umum, mengapa pemerintah tidak melakukan tindakan kontrol dan pencegahan terhadap gerakan-gerakan yang menyemai kebencian ini?
Sikap tegas pemerintah dibutuhkan, karena di negara demokratis hak untuk berasosiasi dan berkelompok itu dijamin; perlindungan negara terhadap masyarakat, terlepas faktor etnis, gender dan agama, merupakan hak fundamental setiap warga negara. Jika memang penegakkan hukum itu bersifat imparsial, mengapa seorang Antonius Bawengan dihukum lima tahun penjara karena dianggap menodai agama, sedangkan masih terdapat banyak khotbah dan kekerasan relijius yang justru menodai nama bangsa, tidak mendapat sanksi hukum yang tegas?
Seperti yang telah sering dikemukakan, penegakan hukum dan penguatan instansi-instansi pemerintah sangat diperlukan guna memberantas kekerasan-kekerasan yang berdasarkan intoleransi. Tetapi pembuatan butir-butir hukum maupun pembentukan detasemen baru, tidak akan efektif jika tidak ada pemahaman hukum terlebih dahulu, terutama pemahaman landasan dasar negara UUD 1945. Menghindari tindakan-tindakan hukum yang gegabah dan salah kaprah, baik yang berasal dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, sepatutnya menjadi titik mula penegakkan hukum, sehingga tidak bersifat memperkeruh suasana, membuat panik, atau memperkuat intoleransi. Penegakkan hukum itu sendiri juga harus tetap memperhatikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Tentu saja yang terpenting disini, selain mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan segenap instansi-instansinya, adalah menegakkan nilai-nilai demokrasi. Namun perlu juga diinternalisasi ke setiap individu bahwa demokrasi yang sesungguhnya itu bukan sinonim dengan tirani mayoritas. Kurangnya ketegasan terhadap pemikiran-pemikiran radikal hanya karena takut menyinggung umat Muslim mayoritas, jelas mengangkangi nilai-nilai demokrasi. Hal tersebut hanya akan mendorong mekarnya pemikiran-pemikiran radikal, yang akhirnya bertolak belakang dengan dasar-dasar demokrasi itu sendiri.
Lebih dari sekedar angka dan pemilu, demokrasi sejatinya merupakan wadah dimana semua golongan masyarakat dapat secara damai mengungkapkan opini dan menganut kepercayaan tanpa harus merasa takut maupun memaksakan kehendak kepada orang lain. Memang mencari keseimbangan antara kedaulatan mayoritas dan kebebasan minoritas bukanlah hal yang mudah, terutama bagi negara demokratis muda seperti Indonesia. Tetapi ada satu formula yang perlu diingat di dalam demokrasi: My freedom ends where yours begins!***
P. Ayu Paramita, PhD Candidate in Comparative Politics, Part-time lecturer of the Indonesian language and civilization Sciences Po (Institut d’Etudes Politiques), Paris