Revolusi politik yang terjadi di kawasan Dunia Arab (Tunisia, Mesir, dan Libya) saat ini, telah melahirkan gelombang optimisme akan sebuah dunia baru yang lebih demokratis dan terbuka. Melalui media, kini semangat dan gerakan perlawanan terhadap rejim otoriter dan korup itu bisa disaksikan oleh seluruh dunia, memunculkan simpati dan dukungan pada para demonstran.
Yang menarik, pemicu dan bahkan penggerak perubahan politik itu diyakini datang dari revolusi digital (internet dan sosial media (Facebook dan Twitter). Sejauhmana mana kebenaran dari klaim ini? Dalam rangka merayakan ulang tahun Manifesto Komunis pada 21 Februari, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, mewawancarai DR. Yanuar Nugroho, Hallsworth Research Fellow in Political Economy of Innovation, Manchester Institute of Innovation Research University of Manchester, Manchester, United Kingdom dan pegiat di Uni Sosial Demokrat, Jakarta, Indonesia. Berikut Petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels mengatakan, untuk terus hidup maka borjuasi harus terus-menerus merevolusionerkan alat-alat/teknologi produksinya. Bagaimana pendapat anda soal pernyataan ini dihadapkan pada perkembangan teknologi informasi khususnya revolusi digital saat ini?
Yanuar Nugroho (YN): Dalam terang Manifesto memang begitulah teknologi dipandang: ia adalah alat produksi kelas borjuis, yang mengukuhkan posisinya dalam kelas sosial. Inovasi teknologi adalah upaya mempertahankan status quo ini. Pandangan ini mendapat tantangan yang mengatakan bahwa karena teknologi adalah aplikasi sains dan sains itu netral, teknologi juga netral. Debat tentang ini tidak berhenti sampai kini. Tetapi bahkan dari kacamata yang paling konservatif sekalipun, perkembangan sains dan teknologi tidak pernah netral. Netralitas teknologi itu ilusi. Teknologi berkembang lebih karena dalil feasibility (kelayakan), ketimbang validity (kesahihan). Jika ia valid namun tidak feasible, sangat kecil kemungkinan teknologi itu dikembangkan. Dan kelayakan di sini adalah kelayakan ekonomi. Artinya teknologi dikembangkan sejauh bisa memberi nilai tambah ekonomi – bahkan ketika kelayakan lain (sosial, lingkungan) tak semuanya terpenuhi. Itulah logika inovasi teknologi. Sesuatu tak akan dianggap inovatif kalau ia tak bisa dibawa ke pasar.
Teknologi informasi bukan perkecualian. Bahkan, ia adalah salah satu mesin utama penggerak ekonomi modern saat ini. Internet adalah penggerak utama inovasi-inovasi produk, jasa dan model bisnis, dan mendefinisikan ulang peran kita sebagai warga dan konsumen. Manurut VeriSign, pada tahun 2010, dari sekitar 250 juta website, 85 juta diantaranya adalah dotcom. Dari angka ini 11,9 juta adalah situs e-commerce dan bisnis online, 4,3 juta situs hiburan, dan 1,8 juta situs olahraga. Bahkan setelah runtuhnya dotcom bubble, jumlah situs sejenis ini tumbuh rata-rata 668 ribu per bulan. Dotcom sendiri, menurut ITIF, adalah platform bagi aktivitas ekonomi senilai 400 milyar dollar setahun, dan diperkirakan akan mencapai 950 milyar dollar pada tahun 2020.
Perkembangan teknologi informasi ini menandai munculnya ‘era baru’ – yakni era Internet. Setelah berakhirnya PD II, Eropa Barat dan Jepang lambat laun mengejar ketertinggalannya dari AS dengan, salah satu di antaranya, mengadopsi teknologi-teknologi yang dikembangkan AS dan ditambahkan dengan inovasinya sendiri. Data dari Bloomberg Businessweek menunjukkan bahwa pada tahun 1970, pendapatan per kapita AS 31% lebih tinggi dari negara industri lainnya. Tahun1991, perbedaannya hanya 10%. Namun, dengan perkembangan Internet, perbedaan ini membesar lagi menjadi 22% pada tahun 2000.
Di Indonesia sendiri, Buku Putih Kominfo 2010 menunjukkan jelas bahwa yang menikmati teknologi informasi adalah kebanyakan mereka yang ada di kota-kota besar di Jawa-Bali dan Sumatera. Pembangunan infrastruktur masih sangat pincang. Jadi, perkembangan pesat teknologi informasi ini – dan seluruh infrastruktur kebijakannya, jika boleh saya ringkas, bukan hanya melanggengkan tata sosial berdasarkan kelas, namun justru memperlebar jurang antar kelas tersebut.
IP: Pendapat dominan mengatakan, revolusi digital ini telah mengubah masyarakat secara politik dan kultural, melalui demokratisasi informasi dan kritisisme masyarakat yang semakin tinggi. Pemerintah, misalnya, tidak bisa lagi membuat kebijakan yg semena-mena atau melakukan korupsi. Pendapat Anda?
YN: Ada dua lapis perkara di sini. Pertama adalah soal dinamika ekonomi politik makro (seperti saya sampaikan di atas). Ringkasnya, dari kacamata ekonomi politik, “revolusi digital” ini secara umum tidak mengubah apa-apa dalam konteks struktur kelas seperti dalam gagasan Marx dan Engels. Revolusi digital tidak, dan tidak akan, menghancurkan kelas borjuasi/kapitalis. Memang ada orang(-orang) yang “naik kelas” dari kelas bawah ke tengah, atau tengah ke atas karena revolusi digital ini (misalnya, mereka yang jadi lebih kaya karena bisnis online, e-commerce, dll.), tetapi jumlahnya relatif amat kecil dibandingkan keseluruhannya. Seperti dinyatakan Marx sendiri, peran pemerintah dalam struktur kapitalisme hanyalah sekedar “penjaga” kepentingan kaum borjuasi. Para cendekia tata-pemerintahan menolak label ini. Namun sayangnya –bagi saya setidaknya—apa yang tampak dari sisi kebijakan dan eksekusi praktik pembangunan (termasuk teknologi) justru memperkuat apa yang dikatakan Marx itu.
Kedua, adalah dinamika mikro difusi dan adopsi inovasi teknologi. Di tingkat mikro ini sebenarnya teknologi bisa digunakan untuk ‘membebaskan’. Artinya: sementara teknologi berdifusi mengikuti dinamika pasar, dalam adopsinya, aspek agensi berperan penting. Teknologi tak harus digunakan sebagaimana mestinya sesuai ia didesain atau diciptakan (“mengekang”). Namun teknologi bisa di”apropriasi” oleh agensi – diintegrasikan, bukan lagi dianggap eksternalitas/barang “asing,” lantas digunakan secara cerdas, taktis, strategis dan politis untuk mencapai tujuannya.
Pendapat yang mengatakan “revolusi digital mengubah masyarakat secara politik dan kultural” itu bertumpu pada perkara lapis kedua – soal adopsi dan apropriasi teknologi. Karena itu ada dua prasyarat. Pertama, ada tujuan yang berasal dari keprihatinan bersama dalam masyarakat. Kedua, ada agensi-agensi yang mengapropriasi dan menyebarluaskannya. Betul, bahwa penggunaan teknologi informasi telak memaksa pemerintah untuk makin transparan, efisien, dan tidak korup. Betul juga bahwa teknologi yang diapropriasi masyarakat membantu masyarakat makin kritis terlibat dalam politik dan mendesak pemerintah. Namun, apropriasi teknologi (baik oleh masyarakat ataupun pemerintah) adalah satu hal, dan keberpihakan (baik pemerintah ataupun masyarakat) pada masyarakat kelas bawah adalah hal lain.
Adalah pengandaian yang sembrono dan berbahaya jika mengatakan bahwa perubahan yang didesakkan masyarakat secara politis dan kultural pada pemerintah itu pasti bertujuan untuk “membebaskan” kelas bawah. Dan sebaliknya, juga sama naifnya, yakni bahwa pemerintah yang makin transparan dan tidak korup juga selalu makin berpihak pada kelas bawah. Pengandaian ini tak membedakan mana yang merupakan keniscayaan logis dan mana yang sekedar kontingensi historis dalam dinamika ekonomi politik kelas.
Semoga jelas kiranya bagaimana dua lapis perkara ini berhubungan, dan saling mempengaruhi.
IP: Revolusi digital juga dianggap sebagai kekuatan politik baru, yang sanggup menjatuhkan rejim korup dan otoriter. Pengalaman Filipina, Tunisia, Mesir dan Libya adalah contohnya.
YN: Kekuatan politiknya bukan pada instrumen digitalnya, melainkan masyarakat tertindas yang mau mengorganisir diri dan mendesakkan perubahan. Benar bahwa revolusi digital mendekatkan masyarakat ini pada informasi, membantu mereka berbagi informasi dan mengorganisir diri, namun instrumen komunikasi digital itu tetaplah alat. Tetap dibutuhkan agensi di belakang alat tersebut untuk membuatnya menjadi “powerful.” Apa yang terjadi di Filipina, Tunisia, Mesir dan Libya, dalam skala tertentu, sudah terjadi di Indonesia saat reformasi 1998. Saya melakukan penelitian doktoral saya tentang peran Internet dalam gerakan masyarakat sipil di Indonesia sejak sebelum 1995 hingga 2003. Dampak penggunaan Internet dan teknologi komunikasi dalam mengorganisir gerakan memang menakjubkan – seperti yang saat ini kita saksikan di dunia Arab. Namun gerakan menjatuhkan Suharto itu tetaplah digerakkan oleh agensi: orang konkret dalam ruang dan waktu tertentu. Mereka yang menduduki gedung DPR (atau alun-alun Thahrir di Kairo) lah yang mendesakkan perubahan, bukan teknologinya.
Kedua, menjatuhkan rejim korup dan otoriter itu berbeda dengan menciptakan tata pemerintahan baru yang berpihak pada kelas bawah atau rakyat miskin. Indonesia kini barangkali relatif lebih demokratis dan “bebas” ketimbang di jaman Suharto (meski ini bisa terus didebat). Tetapi jurang kaya-miskin tetap lebar menganga; kebijakan dan praktek pembangunan tetap tidak berpihak pada rakyat miskin; bahkan banyak orang mengritik bahwa agenda neoliberal makin kental terasa dalam berbagai kebijakan dan praktek sosial-ekonomi-politik pembangunan. Penjelasan akan hal ini jelas berada di luar wilayah teknikalitas teknologi, melainkan pada domain ekonomi politik.
IP: Sebagai kekuatan politik baru, revolusi digital ini telah menantang pendekatan lama bahwa sebuah gerakan sosial politik yang kuat butuh ideologi dan organisasi yang solid. Ideologi menjadi aneh di tengah-tengah demokratisasi informasi dan organisasi jadi tidak efisien ketika orang bisa dikumpulkan dan digerakkan hanya dng menekan tuts komputer atau handphone. Bagaimana anda menjelaskan hal ini?
YN: Memang di jaman ini ideologi akan kedengaran seperti barang antik. Dianggap usang, tak relevan. Kalau kita baca majalah-majalah dan buku-buku kontemporer, ideologi tak banyak dimasukkan sebagai faktor penjelas dinamika sosial-ekonomi-budaya saat ini. Ideologi hanya disebut sepintas saat orang bicara politik. Makin banyak orang bicara soal “kesadaran” (awareness, bukan consciousness) dan nilai (value) ketimbang ideologi. Yang diklaim hari-hari ini: orang akan bergerak karena kesadaran dan nilai. Tapi kesadaran akan apa? Nilai apa?
Hemat saya, kerumunan tanpa ideologi akan berakhir di kerumunan tanpa arah. Kesadaran, apalagi nilai, itu pun sebenarnya adalah sebentuk ideologi. Hanya, barangkali, ideologi seperti yang dikonsepsikan atau digagas ilmu-ilmu sosial (‘isme’-‘isme’) itu terlalu “berat” dalam kosmologi berpikir masyarakat modern kita yang sudah dibentuk, lewat media teknologi informasi, untuk berpikir “ringan” dan serba instan, dengan konsekuensi komitmen (politik) sekecil-kecilnya. Kalau ada yang diratapi dari dampak teknologi informasi di jaman modern ini, itulah dia. Ia melahirkan satu generasi yang barangkali melek informasi, namun rendah dalam komitmen sosial-politik secara konkret. Gejalanya adalah munculnya “click activism” – aktivisme klik, yakni reduksi aktivisme sosial-politik dari keterlibatan konkrit di lapangan menjadi keterlibatan online semata. Ada tembok tebal yang memisahkan antara menekan tombol ‘like’ atau ‘attend’ di Facebook page untuk ajakan donasi karitatif atau aksi protes ke jalanan, dengan sungguh-sungguh mendermakan uangnya atau ikut turun ke jalan. Apalagi di tengah teriknya matahari, atau dinginnya guyuran hujan. Barangkali terdengar berlebihan, tetapi saya ingin menegaskan: tanpa ideologi –atau kesadaran yang menggerakkan secara konkrit—ruang virtual juga hanya akan melahirkan komitmen virtual.
Di sinilah organisasi berperan. Organisasi tetap dibutuhkan karena ia berfungsi melakukan tatakelola sumberdaya agar komitmen sosial politik anggotanya terjaga dan terealisasi. Teknologi informasi bisa membantu proses organisasional, merampingkan struktur, me”rata”kan hirarki, membuat proses pengambilan keputusan makin transparan dan demokratis, dan lain sebagainya. Namun, ia tidak, dan tak akan pernah bisa, menggantikan fungsi organisasi. Akan ada pengaruh teknologi informasi pada organisasi ideologis (seperti misalnya partai politik) dan pengaruh itu barangkali bisa sangat signifikan (misalnya officeless organisation). Tetapi tetap saja hakekat organisasinya tak bisa dihilangkan. Itu inheren dalam cara kita bergerak sebagai homo socius – makhluk sosial.
IP: Dalam hubungan dengan Manifesto, revolusi digital ini juga menantang pendekatan dalam ilmu sosial, karena di sini individu dan kelompok yang lebih menentukan. Dalam bahasa sosiolog Manuel Castells, agen perubahan harus dicari di luar struktur kelas. Komentar anda?
YN: Saya kira pergeserannya ada pada locus kekuasaan (power) yang melahirkan perubahan. Dulu locus-nya adalah individual, baik individu tunggal/perorangan ataupun individu organisasi. Kini locus-nya jejaring (network). Network kini tak hanya menjadi norma, atau sarana (instrumentum), melainkan sudah menjadi locus kekuasaan yang bisa mendesakkan perubahan. Dan ini terjadi di semua sektor sosial: pemerintahan, bisnis, maupun masyarakat sipil. Castells sendiri mengatakan bahwa masyarakat yang terbentuk karena revolusi teknologi informasi ini adalah masyarakat jejaring (network society). Agen perubahan barangkali akan ditemukan di luar struktur kelas, tetapi dia pasti ada di dalam jejaring. Dan dia harus ada dalam jejaring itu, mengajak yang lain, untuk mendesakkan perubahan.
IP: Jika argumen Castells diterima, bagaimana menjelaskan fakta bahwa pasar penyedia jasa informasi dan teknologinya sangat monopolistik? Di AS, misalnya, pasar sektor ini dikuasai oleh Google, Microsoft, Apple, Verizon dan AT&T.
YN: Dalam analisis jejaring dikenal istilah cliques (klik) yakni sekumpulan kecil titik (nodes) yang terhubung erat satu sama lain. Mereka juga terhubung ke titik-titik lain dalam jaringan namun tidak seerat dengan kliknya. Bisnis beroperasi lewat klik ini. Gagasan monopoli itu gagasan lama dalam sistem ekonomi (politik) lama. Dalam masyarakat jejaring, monopoli itu dilakukan bukan oleh satu titik melainkan oleh klik. Beberapa klik memengaruhi dinamika seluruh jejaring. Istilah “menguasai pasar” pun tidaklah seperti gagasan kartel atau oligopoli dimana pasar di”bagi-bagi” secara deliberatif. Apple, Google, dan Microsoft juga bersaing rebutan pasar. Mereka tidak membagi pasar di antara mereka.
Namun interaksi mereka amat memengaruhi dinamika masyarakat jejaring ini. Apple punya kliknya, demikian juga Google dan Microsoft. Mereka ini memengaruhi pasar: mencari porsi pasar sebesar mungkin yang mereka bisa raih, sembari menyadari bahwa pesaingnya melakukan hal serupa. Mereka tak bisa sembarangan berekspansi karena pesaingnya melakukan hal serupa. Secara langsung atau tak langsung mereka juga saling menguntungkan (misalnya dalam soal standar, “mendidik” pasar, dll.). Jelasnya, logika penguasaan pasar oleh bisnis masih ada –dan akan terus ada—namun mekanisme dan instrumen penguasaan itu berubah seturut waktu. Penguasaan pasar itu keniscayaan logis, sementara mekanisme dan instrumennya adalah kontingensi historis.
IP: Apakah revolusi politik yang dipicu oleh revolusi digital memang tidak bertujuan merevolusi sistem sosial kapitalisme?
YN: Kalau kita bicara tujuan, saya yakin perubahan politik yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi, setidaknya sampai saat ini, bukan bertujuan mengubah sistem kapitalisme. Benar, pemanfaatan teknologi secara strategis akan membuatnya menjadi alat ampuh untuk mendesakkan gagasan-gagasan perubahan – termasuk mengubah sistem kapitalistik ini secara teoretis. Barangkali dalam skala kecil, dan dalam waktu terbatas, hal ini bisa dilakukan (misalnya di skala desa atau skala komunitas). Namun tidak dalam skala luas dan waktu yang panjang, Perubahan politik yang didorong perkembangan teknologi informasi ini umumnya bertujuan untuk mengubah sistem politik, tatakelola kenegaraan, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik. Namun, jarang sekali perubahan politik semacam ini ditujukan secara sengaja untuk mengubah relasi-relasi ekonomi.
Teknologi informasi memang memengaruhi relasi ekonomi ini. Namun, akhirnya, seperti yang dikatakan Marx, kapitalisme itu sendiri terus senantiasa memperbarui diri dari waktu ke waktu – dan satu di antara banyak cara, yang paling efektif, adalah lewat inovasi teknologi.***