World Economic Forum 2011 dan Penataan(-ulang) Global
New Reality?
Asumsi implisit dari laporan ini adalah karena resiko-resiko ini mempunyai dampak global, maka ia harus dihadapi pula secara global. Dan semenjak globalisasi menjaring seluruh dunia ke dalam suatu jejaring-global, maka resiko global juga harus dihadapi secara berjejaring. (Metode berjejaring ini termanifestasi dalam proposal WEF 2011 akan suatu Jaringan Respon terhadap Resiko (The Risk Response Network, RRN)).
Mencoba berjarak dari laporan ini, saya melihat suatu kegelisahan yang berkali-kali muncul dalam berbagai bentuk konsep njelimet baik di laporan ini maupun di pidato-pidato dan forum diskusi yang terselenggara. Kegelisahan tersebut diarahkan pada kompleksitas situasi dan kondisi yang berikutnya berpengaruh pada instabilitas, inkonsistensi dan ketidak-menentuan diri. Kegelisahan muncul saat imaji diri ideal yang ada di benak seseorang berselisih, berkebalikan, atau setidaknya berbeda dari realitas imaji dirinya.7 Namun, perlu ditekankan di sini, kegelisahan bereaksi bukan terhadap suatu krisis, bencana, atau kehilangan. Kegelisahan di sini bereaksi terhadap potensi, bahaya, kemungkinan atau fantasi dari krisis, bencana atau kehilangan tersebut. Jadi, dimensi terpenting dari kegelisahan bukan pada obyeknya, melainkan pada resiko yang ditimbulkan apabila sang subyek tidak mendapat/kehilangan obyek tersebut.
Kegelisahan selalu akan berujung pada gestur penguasaan situasi dan kondisi. Gestur penguasaan tersebut akan dilakukan dengan pengambilan langkah-langkah tertentu, treatment tertentu terhadap situasi tersebut. Namun demikian, langkah yang pertama kali perlu dilakukan adalah memahami situasi tersebut, bahkan jika perlu memetakan, mendefinisikan, dan mengkonseptualisasikan situasi tersebut. Ini adalah gestur penguasaan tahap pertama: pengetahuan.8 Gestur penguasaan berikutnya adalah membangun suatu jangkar tatanan yang mampu pertama-tama menaklukkan inkonsistensi situasi dan membuatnya menjadi stabil, dapat dipahami, bahkan dapat diprediksi. Gestur penguasaan ke dua ini umumnya akan menghasilkan suatu teknologi penguasaan (situasi). Untuk contoh sehari-hari, lihat misalnya, jam weker/alarm—ia merupakan inovasi untuk menguasai kondisi dimana manusia tidak mampu mengatur jam hidupnya, yang berikutnya menimbulkan kegelisahan bahwa ia akan gagal mengikuti jadwal yang sialnya ditentukan orang lain yang lebih berkuasa atas dirinya, (atas penghasilannya lebih tepatnya).
Dari sini, WEF (2011 dan sebelumnya) bisa dipahami juga sebagai suatu gestur penguasaan, sebagai respon dari suatu kegelisahan eksistensial yang diberi label akademik ‘resiko global.’9 Namun yang terpenting bagi saya, setidaknya untuk diskusi kali ini, jauh melebihi konseptualisasi saintifik kegelisahan kontemporer bernama resiko global, keseluruhan WEF 2011 sebenarnya adalah tentang problem penataan global (global order), atau lebih tepatnya, penataan-ulang global (global re-ordering). Jika kita melihat secara seksama proposal RRN WEF 2011, yang diarahkannya pada pembaharuan (jika bukan penciptaan) suatu pemerintahan global (global governance),10 ide yang ditawarkan adalah sebentuk tatanan global baru yang lebih up to date untuk menghadapi tantangan resiko global. Tatanan yang lama dianggapnya “can no longer cope with the speed and complexity of all these changes.”11 Dengan tatanan yang lama, nampaknya adalah unilateralisme Amerika Serikat yang sedang disindir, terutama terhadap sikapnya yang “lembek” terhadap bos-bos perusahaan finansial yang notabene merupakan sumber krisis finansial global 2008 silam.12 Tatanan yang baru tentunya adalah tatanan yang bukan unilateralis. Sebagaimana RRN, tatanan baru tersebut adalah tatanan multilateral, dan bukan hanya itu, ia terintegrasi dalam suatu jaringan! Masuk akal tidaknya proposal ini sama sekali bukan urusan saya dan keluarga saya. Satu hal yang ingin saya tekankan, WEF 2011 adalah suatu upaya untuk meng-upgrade tatanan global kepada suatu tatanan yang mampu menjawab kegelisahan kontemporer yang disebut-sebut resiko global.
Problem tatanan global ini sebenarnya bukan hal yang baru. Menurut pelacakan penulis, ia sudah berumur lebih dari satu milenium semenjak gestur penataan Eropa pasca invasi kaum Barbar di abad 9. Saat itu Paus Leo III menganugerahi Raja Charlemagne dari Dinasti Carolingian gelar Kaisar Agung Romawi, yang menguasai suatu penataan Imperium Eropa. Kegelisahan kehidupan barbarianistik saat itu mendorong terciptanya suatu teknologi penguasaan berupa Kekaisaran Romawi Agung berikut ide imperiumnya. Begitu pula di awal abad 11, pasca serangan Viking dan Magyar sekitar akhir abad 9 sampai abad ke 10 yang memorak-porandakan kekuasaan, hasrat penataan kembali muncul, kali ini menghadirkan dua aktor berbeda—Paus dan Kaisar Romawi Agung, dengan proposal penataan yang berbeda pula—Persemakmuran Kristen Eropa (Kristendom) dan Imperium Romawi Agung. Perbedaan konsep dan manuver penataan dalam satu teritorial tertentu tentunya akan menghasilkan bentrok. Bentrok ini pada gilirannya akan menjadi suatu krisis yang lagi-lagi membawa pada suatu kondisi kegelisahan. Sehingga pada abad 17, kembali suatu resolusi tatanan global tercapai (yaitu Perjanjian Westphalia), kali ini oleh raja-raja Eropa yang sudah lelah “dipermainkan” baik oleh Kaisar Romawi Agung dan Paus. (lihat tabel 1).13 Gestur penataan global ini terus berlanjut hingga hari ini, dengan berbagai versi yang saling berkompetisi. Untuk penataan global di masa-masa semenjak Perang Dingin, saya rangkumkan secara sederhana pada tabel 2.Sampai sini, sekiranya sudah cukup dijelaskan argumentasi bahwa kerinduan akan tatanan global ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sehingga terkait WEF 2011, yang saya usulkan untuk diperdebatkan lebih jauh bukanlah pertanyaan-pertanyaan: “temuan abad berapakah tatanan global?”, atau “siapakah yang diuntungkan dari tatanan global?”, atau malah “bagaimana sukses di era dengan tatanan global seperti ini?” Saya kira hipotesis bahwa tatanan global hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu sudahlah jelas; siapa-siapa yang diuntungkan dari tatanan tersebut juga sudahlah jelas. Lalu persoalan bagaimana tatanan selalu mensyaratkan peminggiran kelompok-kelompok tertentu juga sudah cukup kentara—munculnya World Social Forum sebagai tandingan WEF misalnya dengan jelas menyuarakan teriakan mereka yang terpinggirkan. Pertanyaan bagaimana sukses di tatanan seperti saat ini juga jelas-jelas mengasumsikan begitu saja bahwa tatanan global yang ada saat ini adalah tidak terelakkan; pula untuk pertanyaan ini adalah Hermawan Kertajaya atau Tung Desem Waringin atau Mario Teguh yang saya kira lebih “kompeten” menjawabnya.
Dengan mempertimbangkan hal-hal ini, maka saya mengusulkan pertanyaan berikut: dengan melihat gestur penataan global yang telah terus-menerus terjadi, dan terus-menerus krisis, sehingga terus-menerus ditata-ulang, maka pertanyaan yang sebaiknya diajukan adalah: “bagaimana konsolidasi-rekonsolidasi tatanan global ini bisa terus terjadi?”, “mengapa krisis yang seperti ini, memerlukan tatanan global yang seperti itu?”, “tatanan global seperti apakah yang akan coba dire-kreasikan?”, “model penguasaan seperti apa yang coba dilembagakan melalu tatanan global yang baru tersebut nantinya?”, atau yang lebih khas WEF 2011, “tatanan global seperti apa yang mensyaratkan setiap entitas di dalamnya memegang norma yang dijunjung bersama dan mengintegrasikan dirinya dalam sistem jejaring respon global?” Sehingga dibandingkan meletakkan WEF 2011 sebagai semata-mata gestur rekonsolidasi kelas dominan, bukankah lebih baik melihat WEF 2011 sebagai satu lagi upaya rekonsolidasi tatanan yang menguntungkan kelas dominan? Dengan memahami seperti ini kiranya akan dihasilkan suatu pertanyaan berikutnya yang cukup mengganggu setiap upaya pergerakkan anti kelas dominan: mengapa pergerakkan tersebut selalu gagal mengantisipasi gestur penataan global yang notabene sudah berulang-ulang kali terjadi? Atau bahkan yang mungkin lebih praksis, mengapa krisis-krisis yang memicu gestur penataan dan penataan-ulang global ini tidak mampu dimanfaatkan untuk mengakhiri kekuasaan kelas dominan once and for all? Saya kira pertanyaan-pertanyaan ini perlu menjadi introspeksi bagi setiap perjuangan anti kelas dominan, termasuk WSF dan sebangsanya.17
Sekali lagi ditekankan, saya memahami WEF 2011 ini sebagai suatu simptom dari kegelisahan tertentu dan sekaligus sebagai kerinduan akan penataan global tertentu (sebagai akibat kegelisahan yang mendahuluinya tersebut). Melalui WEF 2011 ini saya melihat kembali suatu gestur yang mengarah pada pendirian suatu pemerintahan global. Dan dalam gestur kreasi pemerintahan global ini, ada dua kekuatan yang sedang bertempur: negara dan kapitalis. Semenjak abad ke-18, kedua entitas ini selalu berseteru. Saking seru dan berdampak-globalnya, tatanan global yang terbentuk semenjak abad ke-18 tersebut, saya berani mengklaim, sampai sekarang adalah tatanan yang terbentuk sebagai kompromi, untuk memperhalus skandal, di antara keduanya. Dengan negara dan kapitalis saya tidak berbicara orang-orang atau oknum-oknum tertentu; melainkan sebagai logika. Logika negara terkulminasi dalam gagasan kedaulatan, sementara logika kapitalis terkulminasi pada gagasan pasar bebas dan komodifikasi. Sekalipun mode eksistensi dan perjuangan yang berbeda, namun demikian kedua logika ini memiliki sifat yang sama: tujuannya tak lain adalah replikasi dirinya secara terus-menerus. Lalu di mana peran manusia? Tidak lebih sebagai, meminjam Richard Dawkins, kendaraan-kendaraan (vehicles) yang semata-mata berfungsi mereplikasi, memproliferasi, memperjuangkan, bahkan mempertahankan mati-matian kedua logika tersebut dari kepunahan.18
Singkat cerita, salah satu kompromi kedua oknum ini adalah yang terkenal dengan sebutan neoliberalisme, dengan tatanan neoliberal globalnya. Tatanan neoliberal global berupaya menjadikan seluruh negara—dalam suatu tatanan sistem negara berdaulat yang merupakan warisan penataan global abad 17, dan sistem negara berteritori fix warisan abad 19—sebagai negara neoliberal, yaitu negara yang kuat—cukup kuat untuk menjaga sistem pasar bebas, menjaga kebebasan individu, dan menjaga ideologi kebebasan. Tugas negara, dalam imajinasi neoliberal, adalah menjaga, meregulasi, melegislasi dan memelihara kebebasan: titik. Apakah ini lantas membuat negara tunduk pada kapitalisme: TIDAK! Dengan menjaga dan meregulasi ini, negara hadir. Kehadiran negara inilah yang dibutuhkan oleh logika kedaulatan, yaitu bahwa eksistensinya terjaga. Bagi kapitalis, ia akan puas dengan negara yang mampu menciptakan kondisi agar ia dan antek-anteknya (kita semua) mendapat jaminan untuk mereplikasi diri. Suatu tawaran yang adil, bukan? Tatanan inilah yang sedang dirundung krisis.
Kebaruan krisis kali ini adalah saat globalisasi, sebagai suatu model penataan global yang sedang berlaku, yang juga merupakan hasil kompromi keduanya, tidak mampu lagi berpihak pada kedua logika tersebut. Perlawanan terhadap negara dan kapitalisme juga mengambil keuntungan melalui globalisasi: peristiwa Seattle 1999, tragedi “9/11” New York, Chanchun 2003, bahkan sampai Tunisia & Mesir 2011—untuk menyebut beberapa perlawanan yang “kentara.” Akibatnya, negara dan kapitalisme menjadi melemah kapasitasnya: negara menjadi tidak efektif dalam memerintah karena mendapat perlawanan di mana-mana; sementara kapitalisme, pasca krisis finansial global, dipertanyakan reputasinya sebagai penggadang panji “kebebasan pasar,” bla..bla.. yang kesemuanya dapat dirangkum dalam satu frase: ‘resiko global’. Inilah rupa-rupa kegelisahan yang memotivasi secara libidinal suatu gestur penataan-ulang global. Akibatnya, globalisasi menjadi dipersalahkan, dan dicarikan penggantinya melalui, misalnya, WEF 2011. Kutipan berikut saya kira representatif,
“Without state intervention, there would have been a total colapse. It’s not a question of liberalism, of government control, of socialism, of left or right; it’s a reality. After the events of a year ago, to not reach the conclusion that we must change our way would be quiet simply irresponsible.This crisis is not just a global crisis. It’s not just a crisis in globalization. This is a crisis of globalization.”
— Nicholas Sarkozy
(penekanan dari ybs.)
Dengan memperhatikan proposal-proposal yang beredar di forum-forum WEF, saya menangkap suatu proposal pengganti tatanan global saat ini, sebagai apa yang saya sebut sebagai ‘globalisasi yang terjejaring’ (networked-globalization). Mengapa terjejaring? Tidak lain agar kendali dan kontrol atasnya menjadi efisien. Membalik tesis Paul Virilio, integral effect bisa terjadi bukan hanya pada krisis (accident, dalam term Virilio)—yaitu karena terintegrasi, krisis satu akan menjalar ke lainnya, dan seterusnya sampai sistem itu sebagai kesatuan akan black-out; integral effect juga dapat terjadi pada pengendalian dan penguasaan krisis: pengendalian krisis yang di sini, berkat jaringan, akan berdampak pada penguasaan krisis di sana, dan sebaliknya, dan seterusnya.19 Semua ini bisa terjadi berkat suatu korelat yang bernama ‘informasi’, dan terima kasih dihaturkan pada revolusi teknologi komunikasi dan informasi, informasi pengendalian dan penguasaan krisis ini bisa tersebar secara real time. Koordinasi penguasaan akan menjadi semakin sinergis dan solid. Dengan kata lain, melalui globalisasi yang terjajaring ini, adalah kapasitas dan reputasi negara sebagai regulator, administrator, “the one in charge” … singkatnya sebagai sang berdaulat, yang direstorasi dan dikuatkan. Bisa di lihat dari kutipan-kutipan pembesar Eropa berikut,
“There is no solution in anti-capitalism. There is no alternative system to market economy. But we could only save capitalism and market economy by reengineering it, there I say this words, by restoring its moral dimension, giving it a conscience to it.”
— Nicholas Sarkozy, Presiden Perancis
(penekanan penulis)We have an enormous job yet to be done. … The main question is: ‘can we actually prevent the crisis from happening again, and can we ensure sustainable growth for the world as we know it?’ … We need to do more, we need to regulate more.. Every financial center, every financial player has to be made subordinate to supervision. So far we have not yet trully coordinated the national response to the question of what happen if a systemicly important institution, or a systemically important bank collapses … so [it is] how can we prevent that from happening again.”
—Angela Merkel, Kanselir Jerman
(penekanan penulis)“I want to make the case for optimism, for confidence in our future. We can overcome these problems, but we do need a change of direction. We have been our own worst enemy, but the power is within us to change. … It is going to be tough, but we must see it through. The task is immense, but we need to be bold to build the economy of the future. … Above all, what we urgently need in Europe is an aggressive, pan-continental drive to unleash enterprise.”
—David Cameron, Perdana Menteri Inggris
(penekanan penulis)
Tatanan selalu butuh justifikasi, atau yang disebut Foucault sebagai rasionalitas politik (political rationality): justifikasi moral, jejaring ekspertis dan aparatus. Oleh beberapa pemikir yang disebut-sebut pos-workerist marxist Italia, ditambahkan variabel precarity (kekhawatiran), yang akan menakut-nakuti orang untuk patuh dan tunduk pada penataan ini.20 Menanamkan precarity ini bisa dilihat sebagai penanaman ontologi krisis. Setelah precarity ini ditanamkan, monopoli solusi harus segera dilakukan. Hal ini yang berikutnya akan menjadi justifikasi moral dan mental bagi tatanan yang terbentuk. Inilah yang ingin dilakukan Sarkozy, misalnya.
“the globalization we have dreamt of …how can we move toward globalization in which thed evelopment of each will assist the development of others. How can we build a more cooperative, less conflictual form of globalization—because it is too conflictual right now. Let me be clear, let us be clear about this, I want you to understand me: we are not asking ourself what we will replace the capitalism with; but what kind of capitalism we want. The crisis we are experiencing is not a crisis of capitalism. It is a crisis as the result of eschewing capitalism. Capitalism has always been inseparable from the system of values, the conception of civilization, and the idea of the humankind. Financial capitalism is a distortion.”
— Nicholas Sarkozy, Presiden Perancis
Akhirnya, sekedar meringkas, ada beberapa poin yang ingin saya tekankan kembali. Pertama, miopia dalam memandang WEF sebagai semata-mata restorasi kelas dominan justru kontra-produktif bagi perjuangan perlawanan terhadap kelas dominan itu sendiri. Pertama-tama karena ia hanya memahami satu bagian saja dari keseluruhan simptom WEF 2011 ini, seraya melupakan bagian lainnya yaitu bahwa ia juga merupakan restorasi bahkan peneguhan logika kedaulatan negara. Dan kedua, karena ia sama sekali luput melihat problem restorasi—baik kelas dominan maupun kedaulatan negara—ini sebagai permasalahan penataan-ulang global. Padahal, justru penataan inilah yang menjustifikasi secara moral, saintifik dan bahkan libidinal (dalam hal ia mampu menjawab kegelisahan kontemporer) bagi tidak hanya restorasi, melainkan juga bagi “kenormalan” keberadaan ahistoris keduanya.
Poin kedua, dalam memahami tatanan global, adalah esensialisme yang menjadi biang kegagalan untuk memahami evolusinya. Melihat tatanan semata-mata dari ideologi atau agenda-agenda retorik semata beresiko membuat kita tersandung dalam memahami faktor-faktor yang membuat mode penataan global periode tertentu berbeda dengan periode lainnya. Sifat tatanan, terutama dalam hal ini tatanan global, adalah anti-esensialis. Gagasan universal apapun, retorika apapun, justifikasi apapun, negara manapun, bahkan ideologi manapun dapat dimanfaatkannya sebagai kendaraan untuk melestarikan apa yang saya sebut di awal sebagai kegilaan neurotik yang melandasi setiap tatanan. Kegilaan neurotik tersebut tak lain adalah kegelisahan eksistensial, yaitu hasrat akan kelangsungan ontologis eksistensial dari (si)apapun yang disubordinasi oleh tatanan tersebut, termasuk saya dan anda. Hanya dengan mengintervensi proses kristalisasi dan kanalisasi kegelisahan ini ke arah suatu gestur penataan yang difantasikan, maka proyek perlawanan dapat dilakukan, yaitu dengan cari memanfaatkan dan membalikkan krisis inheren dari tatanan tersebut—yang notabene menjadi biang kegelisahan abadi segala tatanan—untuk mengakhiri gestur penataan-global tersebut sekali dan selamanya. Saya kira ini yang penting untuk segera diperdebatkan “bagaimana?”-nya. Salam.***
Hizkia Yosie
Catatan kaki:
7Sigmund Freud, “The Uncanny (1919),” dalam Standard Edition, Vol. XVII
8Agak berbeda dari pemahaman pengetahuan dalam koridor kekuasaan Foucaultian yang bertujuan menjustifikasi kekuasaan dan memproduksi subyek untuk dikuasai, pengetahuan yang dimaksud di sini lebih mengarah kepada suatu gestur pemaknaan untuk meresolusi suatu absurditas. Untuk catatan ini saya berterima kasih pada David Tobing yang telah mempermasalahkan ini, dengan demikian menunjukkan ambiguitas yang perlu saya klarifikasi.
9Pembuatan laporan ini juga turut melibatkan “the expertise and thought leadership” yang menjadi partner dari WEF 2011 seperti Marsh & McLennan Companies, Swiss Reinsurance Company, Wharton Center for Risk Management, University of Pennsylvania, and Zurich Financial Services. Lihat pengantar Klauss Schwab untuk Global Risk 2011.
10Ada baiknya ‘pemerintahan global’ (global governance) dibedakan dari ‘pemerintah global’ (global government). Yang pertama lebih berkonotasi koordinasi, yang terakhir mengimplisitkan suatu sentralisasi pemerintahan
11Klaus Schwab, pidato pembukaan.
12Sebagaimana diketahui, AS memberi bailout sampai ratusan trilyunan dolar terhadap perusahaan-perusahaan yang kolaps akibat krisis.
13Penulis menjabarkan gestur penataan Eropa abad pertengahan ini dengan sangat ekstensif di Psikoanalisis Paradoks Kedaulatan Kontemporer, Tesis Magister Hubungan Internasional, Depok: UI, 2010.
14Disarikan dari Psikoanalisis Paradoks Kedaulatan Kontemporer, Idem.
15Terima kasih untuk Fitri Bintang Timur yang mengusulkan poin ini.
16Dengan sadar saya akui tabel ini terpaksa melakukan banyak penyederhanaan, belum lagi dalam hal tidak mencantumkan versi-versi penataan global lainnya yang lebih kecil, seperti misalnya versi Zapatista, versi Freemason, dst. Namun demikian, sekalipun hanya mencantumkan versi-versi dominan/besar saja, tabel ini setidaknya ingin menunjukkan bahwa gestur penataan telah dan akan terus ada beriringan dengan kegelisahan yang silih berganti manifestasinya.
17Keterbatasan tempat membuat saya memilih untuk menunda pembahasan tentang perlawanan terhadap penataan (ulang) global ini. Namun setidaknya, melalui diskusi ini, saya kira cukup untuk setidaknya memberi usulan “kisi-kisi” bagi gerakan perlawanan tersebut.
18Keterbatasan tempat membuat saya membatasi diskusi dengan tidak membahas asal-usul kedua logika tersebut, yang notabene memerlukan ruang yang lebih banyak. Untuk konsep ‘kendaraan’ ide, atau yang disebut Dawkins meme, lihat bukunya, The Selfish Gene, edisi revisi, Oxford: Oxford Uni Press, 1989
19Untuk konsep integral accident sebagai akibat ingralisasi dan otomasi sistemik, lihat Paul Virilio, Information Bomb, terj. Chris Turner, London: Verso, 2005, hal. 132-4
20Misal, Maurizio Lazzarato, “The Political Form of Coordination,” transversal, 2004 (diakses 23 Desember 2007): http://eipcp.net/transversal/0707/lazzarato/en; lainnya, Enda Brophy, “System Error: Labour Precarity and Collective Organizing at Microsoft,” Canadian Journal of Communication, 31, 3, 2006.