Marchandiser: Membela negara oligopoli kapitalis
DALAM kasus posisi, kita menangkap kesan apa yang dilakukan oleh Menkominfo Tifatul Sembiring, didasarkan nalar nasionalisme ekonomi. Dengan bahasa yang lebih gamblang, setelah mengungkap rahasia negara tanpa kewenangan bahwa RIM tidak membayar pajak sepeser pun, Tifatul dalam twitter @tifsembiring pada hari Rabu (12/1/2011) menuliskan kicauan-kicauan berikut: “Salahkah kita meminta ‘JATAH’ buat NKRI spt. Tenaga Kerja, konten lokal, hormati dan patuhi ketentuan Hukum dan UU di RI yg berdaulat ini. (…) Kelirukah kita jika minta RIM menjalankan UU dan aturan yg sama? Apakah RIM perlu diberi keistimewaan dan perkecualian? (…) Saya sdh baca komentar2, haruskah kita selalu me-runduk2 kpd asing? Arogankah kalau mengingatkan asing agr hormati hukum dan UU di INA.”1
Henri Subiakto, pengamat komunikasi, dengan kapasitasnya sebagai Staf ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa, mengamini pandangan patronnya tersebut. Henri pun mengatakan, ancaman atas penutupan RIM merupakan upaya untuk memberikan keuntungan lebih bagi Indonesia. Bahkan, dia juga menduga, pihak yang menentang peringatan Pemerintah tersebut, kemungkinan memiliki kepentingan dengan pihak asing. Dari sini, kita pun seolah-olah dihadapkan pada sebuah dilema: “Pilih BlackBerry atau Kedaulatan Negara?”
Latar belakang mengenai kontreversi #RIM ini, sesungguhnya dapat kita baca secara jelas dalam siaran pers yang ditandatangani dan disampaikan oleh Gatot S. Dewa Broto, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo dalam siaran persnya pada hari Senin (10/1/2011). Dia menyatakan, 6 operator rekanan RIM mengirimkan surat tertanggal 1 Desember 2010 yang MEMINTA Pemerintah mendesak RIM untuk menyaring konten pornografi dan memasang pusat data (data center) di Indonesia guna efisiensi bandwidth internasional.2
Dari tinjauan ekonomi, kita tidak dapat memastikan apa keuntungan atau kerugian dalam hal penyaringan konten pornografi bagi para operator. Kita hanya dapat menduga, isu ini dapat menciptakan sebuah image yang baik bagi para operator itu di mata Pemerintah, sebagai regulator dan rakyat sebagai pengguna maupun pelanggan. Citra atau penciptaan kesan “baik,” “beretika,” “bermoral” atau “sesuai norma” dari para operator ini dapat menjadi sebuah cara yang tidak langsung untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Cara-cara seperti ini dalam kajian politik dan hubungan internasional, diistilahkan oleh Joseph S. Nye, Jr. sebagai “the second face of power”3 atau dikenal pula sebagai “soft power.” Dari perspektif ini, para operator ini menggunakan isu budaya dan nilai-nilai yang dihargai di masyarakat serta kebijakan yang ditetapkan Pemerintah sebagai “sumber-sumber kuasa” untuk melakukan agenda setting, attraction dan co-opt. Penggunaan cara-cara seperti ini sangat penting, perlu, jika tidak ingin dibilang wajib digunakan oleh para kapitalis dan/atau korporasi agar bisa bertahan (survive).
Jika Adam Smith mengandaikan bahwa the invisible hand yang telah mengarahkan kita saat menciptakan putusan-putusan dalam suatu perdagangan bebas, maka sesungguhnya ide-ide yang mendasari putusan-putusan kita tersebut dibentuk oleh soft power – sebuah attraction (daya tarik) tak tampak, yang mampu meyakinkan kita agar bisa bersesuaian dengan tujuan-tujuan pihak lain, tanpa diperlukan sebuah ancaman dan/atau sebuah pertukaran.4 Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa penggunaan soft power dari segi ekonomi maupun bisnis sangat menguntungkan bagi korporasi-korporasi, termasuk para operator rekanan RIM tersebut.
Selanjutnya, mengenai keuntungan atau kerugian bagi para operator dalam hal pemasangan pusat data (data center) di Indonesia guna efisiensi bandwidth internasional, kita dapat membaca wawancara M. Rizal, wartawan DetikNews, dengan Muhammad Salahuddien Manggalany (dikenal pula sebagai Didin Pataka), ahli telematika, yang diangkat pada tanggal 26 September 2007, sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pelaksana ID-SIRTII (Indonesia-Security Incident Response Team on Internet Infrastructure)5 oleh Dirjen Postel Kemkoninfo.6 Didin mengatakan, saat data center atau server RIM berada di Kanada, biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh para operator itu sangat besar. Dengan asumsi PT Telkomsel untuk kapasitas 1 Giga, harus mengeluarkan hampir Rp. 1,5 miliar untuk beli bandwith setiap bulan, maka jika dikalikan dengan 6 operator, menurut Didin, “kerugian kita akan sangat besar.”7
Kita pikir tidaklah tepat, jika Didin menisbahkan pengeluaran oleh 6 operator rekanan RIM sebesar hampir Rp. 9 miliar rupiah itu sebagai kerugian negara. Karena, sebagaimana yang dinyatakan Didin sendiri, beban itu ditanggung oleh operator (dengan menyebut Telkomsel sebagai contoh asumsi). Agar lebih jelas, kita perlu menelaah lebih lanjut, siapakah enam operator rekanan RIM tersebut dan apakah benar mereka ini dapat mewakili “kita” atau “negara Indonesia.”
Jika didasarkan pada data profil melalui website masing-masing dan apa yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, maka kita dapat mengetahui 6 operator rekanan RIM itu adalah: (1) PT Indosat (sahamnya 55,79% dikuasai oleh Qatar Telecom (QTel Asia) Pte. Ltd – Qatar, 15,62% dikuasai oleh The Bank of New York Mellon Dr – Amerika Serikat dan 14,29% dikuasai oleh Negara Republik Indonesia),8 (2) PT XL Axiata (sahamnya 66,69% dikuasai oleh Axiata Investments Sdn. Berhad – Malaysia dan 13,39% dikuasai oleh Emirates Telecommunications Corporation (Etisalat) – Uni Emirat Arab)9; (3) PT Hutchinson CP Telecommunications (bagian dari Hutchinson Whampoa Limited – Hongkong)10; (4) PT Natrindo Telepon Seluler (bagian dari Saudi Telecom Company (STC) – Saudi dan Maxis Communications Berhad (Maxis) – Malaysia)11; (5) PT Smart Telecom (bagian dari Sinar Mas Group – Indonesia)12; (6) PT Telkomsel (sahamnya 65% dikuasai oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom)13 – Indonesia dan 35% dikuasai oleh Singapore Mobile Pte Ltd (SingTel Mobile) – Singapura).14
Dari informasi mengenai profil 6 operator rekanan RIM ini, kita dapat mengetahui bahwa sebagian besar operator itu dikuasai oleh kapitalis asing, hanya satu yang dikuasai oleh kapitalis nasional, hanya dua saja (itu pun masih berbagi dengan kapitalis asing) yang benar-benar dikuasai oleh Negara Republik Indonesia. Dari sini, kita pun bertanya-tanya, tepatkah mayoritas kapitalis asing ini disebut negara Indonesia? Apakah kepentingan para kapitalis asing sama dengan kepentingan bangsa dan negara Indonesia? Apakah menuruti kemauan para kapitalis asing di balik operator ini tidak bisa disebut sebagai “merunduk-runduk pada asing?” Bahkan, kita pun bisa bertanya dalam keadaan yang seperti ini, “dimanakah letak kedaulatan Indonesia?” Didin, Tifatul dan/atau Kemkoinfo tentu yang dapat menjawabnya secara pasti.
Selanjutnya, apakah benar pengeluaran hampir Rp. 1,5 miliar oleh tiap operator itu disebut kerugian yang sangat besar? Dari tinjauan akuntansi dan manajemen, sebenarnya tidak tepat jika pengeluaran oleh operator untuk membeli bandwith ini disebut sebagai kerugian. Karena yang disebut kerugian adalah besarnya net income (penghasilan bersih dipotong pajak) bernilai minus, sedangkan pengeluaran yang dipakai untuk menciptakan produk, menjalankan bisnis atau suatu sistem, disebut atau dikenal sebagai operating expense, operating expenditure, operational expense, operational expenditure atau OPEX.15 Maka Rp. 1,5 miliar tersebut, lebih tepat disebut OPEX tinimbang disebut sebagai kerugian.
Kini, apakah nominal OPEX yang dikeluarkan oleh operator itu bisa disebut sangat besar? Di sini, kita menggunakan data dari Bursa Efek Indonesia untuk tiga operator besar rekanan RIM, yaitu PT. Telkomsel, PT. Indosat dan PT. XL Axiata, sebagai contoh analisis, yaitu sebagai berikut:
1. Jika diketahui total OPEX PT. Telkomsel pada tahun 2010 (data bulan Juni) adalah sebesar Rp. 22,883 triliyun, sedangkan pada tahun 2009 sebesar Rp. 41,993 triliyun, maka yang digunakan untuk pembelian bandwith pada tahun 2010 hanyalah sebesar 0,00655%, sedangkan pada tahun 2009 hanyalah sebesar 0,00357%!
2. Jika diketahui total OPEX PT. Indosat pada tahun 2010 (data bulan Juni) adalah sebesar Rp. 8,048 triliyun, sedangkan pada tahun 2009 sebesar Rp. 15,180 triliyun, maka yang digunakan untuk pembelian bandwith pada tahun 2010 hanyalah sebesar 0,0186%, sedangkan pada tahun 2009 hanyalah sebesar 0,00988%!
3. Jika diketahui total OPEX PT. XL Axiata pada tahun 2010 (data bulan Juni) adalah sebesar Rp. 5,884 triliyun, sedangkan pada tahun 2009 sebesar Rp. 11,242 triliyun, maka yang digunakan untuk pembelian bandwith pada tahun 2010 hanyalah sebesar 0,0254%, sedangkan pada tahun 2009 hanyalah sebesar 0,0133%!
Dari tiga contoh di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa nilai biaya pembelian bandwith hanyalah sangat kecil, bahkan tidak lebih daripada 0,026% total OPEX operator! Nominal yang kecil dan bahkan cenderung tidak terlalu signifikan itu pun sesungguhnya jumlahnya masih jauh lebih kecil dibandingkan jumlah total uang yang ditengarai masuk rekening Gayus Tambunan.
Kemudian, dengan menggunakan data dari Bursa Efek Indonesia atas tiga operator besar rekanan RIM tersebut, kita bisa mengetahui besaran net income ketiganya yaitu sebagai berikut:
1. PT. Telkomsel: Rp. 11,005 triliyun (2006), Rp. 12,857 triliyun (2007), Rp. 10,619 triliyun (2008), Rp. 11,332 triliyun (2009), Rp. 6,003 triliyun (2010).
2. PT. Indosat: Rp. 1,410 triliyun (2006), Rp. 2,042 triliyun (2007), Rp. 1,878 triliyun (2008), Rp. 1,498 triliyun (2009) dan Rp. 287 milyar (2010).
3. PT. XL Axiata: Rp. 651 milyar (2006), Rp. 250 milyar (2007), Rp. -15 milyar (2008), Rp. 1,709 triliyun (2009), Rp. 1,323 triliyun (2010).
Dari data tiga contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa pada tahun 2009 dan tahun 2010 ini, tidak ada operator yang mengalami kerugian, walaupun memiliki kecenderungan pertumbuhan menurun. Kasus kerugian dari contoh yang ada, hanya kita jumpai pada PT. XL Axiata di tahun 2008.
Selain itu, sebagai data pembanding, ada baiknya di sini kita tampilkan data Bursa Efek Indonesia untuk dua operator bukan rekanan RIM, yaitu PT. Bakrie Telecom Tbk (sahamnya 16,85% dikuasai oleh PT. Bakrie and Brothers – Indonesia, 8,08% dikuasai oleh Credit Suisse Singapore Branch S/A Bright Ventures dan 5,37% dikuasai oleh PT Ciptadana Securities) dan PT. Mobile-8 Telecom Tbk (sahamnya 18% dikuasai oleh Jerash Investment Ltd., 11% dikuasai oleh PT Etrading Securities dan 11% dikuasai oleh Corporate United Investments Limited). Tetap saja, di sini kita melihat bahwa dua operator ini tidaklah bisa sepenuhnya bebas dari para kapitalis asing dan tidaklah sama sekali dikuasai oleh Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, kita pun bisa mengetahui keadaan net income dari dua operator bukan rekanan RIM itu sebagai berikut:
1. PT. Bakrie Telecom: Rp. 72,68 milyar (2006), Rp. 144,269 milyar (2007), Rp. 136,813 milyar (2008), Rp. 98,442 milyar (2009), Rp. 2,721 milyar (2010).
2. PT. Mobile-8 Telecom Tbk: Rp. 35,157 milyar (2006), Rp. 50,345 milyar (2007), Rp. -1,068 triliyun (2008), Rp. -724,396 milyar (2009), Rp. -437,743 milyar (2010).
Di sini, kita melihat kerugian sangat besar terjadi pada PT. Mobile-8 Telecom Tbk, khususnya pada tahun 2008, di mana nominal kerugiannya 71,2 kali lebih besar daripada yang diderita oleh PT. XL Axiata – operator yang menjadi rekanan RIM di tahun yang sama. Dari kedua operator bukan rekanan RIM ini, kita bisa mengetahui bahwa pada kurun waktu 2009 dan 2010, menunjukkan kecenderungan grafik net income yang menurun sangat tajam, jika dibandingkan dengan tiga operator besar yang menjadi rekanan RIM.
Dari sini pula, walaupun harus dibuktikan dan diteliti lebih lanjut, patut diduga dampak negatif RIM secara ekonomi, justru lebih banyak dirasakan oleh operator-operator bukan rekanan RIM. Atau dengan kata lain, menjadi operator-operator rekanan RIM lebih menguntungkan. Oleh karena itu pula, para operator rekanan RIM tidak pernah mengharapkan atau meminta agar Pemerintah sungguh-sungguh memblokir BlackBerry, karena itu justru akan mengancam bisnis mereka.16
Alih-alih ingin menghemat Rp. 1,5 miliar untuk pembelian bandwith, para operator rekanan RIM justru berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp. 225 miliar per bulan jika BlackBerry diblokir. Agar tak merugi, para operator ini bernegosiasi dengan Pemerintah sekaligus berharap mendapatkan hasil yang terbaik yang menguntungkannya.17 Sebenarnya, dari sini kita bisa memprediksi akhir cerita dari kontreversi RIM ini, dimana para operator melakukan agenda setting dengan meminjam tangan Pemerintah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, menghemat Rp. 1,5 miliar dengan tidak kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp. 225 miliar per bulan. Di sini, tidak seperti apa yang disampaikan Didin, akhirnya Pemerintah diminta kembali oleh para operator untuk melakukan negosiasi dan bukannya menagih janji.18
Dari data dan analisis sebelumnya, kita mengetahui bahwa para operator (baik rekanan RIM maupun bukan) tengah menghadapi kecenderungan penurunan net income, yang jika dibiarkan akan membawa mereka pada suatu kondisi yang disebut oleh Samir Amin sebagai “crise du capitalisme” – krisis kapitalisme – yang pada awalnyanya merupakan krisis tingkat keuntungan yang didasari pada kerasnya persaingan para oligopol kapitalis untuk mengakumulasi kapital dalam perdagangan bebas.19 Budi Rahardjo menjelaskan secara apik kondisi ini sebagai berikut, “[K]atakanlah RIM dan operator seluler memiliki kerjasama yang mengatakan bahwa untuk setiap pelanggan RIM mendapatkan $7/bulan. Terserah kepada operator untuk menjualnya kepada pengguna. Operator bisa saja menjualnya dengan harga Rp. 300 ribu/bulan atau Rp 90.000/bulan. Pada kenyataannya para operator ini banting harga. Harga yang terendah yang dia pakai.”20
Di sini, kita pun mempertanyakan apa dasar kewenangan Pemerintah untuk melakukan intervensi dengan memenuhi apa yang diminta oleh para operator rekanan RIM? Jika Pemerintah, dalam hal ini Kemkoninfo, mendalilkan apa yang dilakukan adalah dalam kerangka “pembinaan telekomunikasi,” maka kita pun menemukan bahwa menyelamatkan satu atau beberapa operator dari krisis kapitalisme tidak termasuk sebagai pembinaan yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan/atau pengendalian, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU Telekomunikasi.21 Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh Tifatul adalah melampaui kewenangan dari yang digariskan oleh UU, dalam bahasa hukum, bukan hanya disebut ilegal, tapi juga sewenang-wenang.
Selain itu, berdasarkan preseden yang ada, kita dapat mengetahui bahwa Pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh peduli dan/atau berupaya menyelematkan suatu perusahaan telekomunikasi yang mengalami krisis. Dalam hal ini, kita tentu masih ingat, bagaimana PT. Indosat (kini sahamnya dikuasai mayoritas oleh QTel – perusahaan Qatar) – penyelenggara telekomunikasi (yang dulu berstatus BUMN) yang dilaporkan mengalami kerugian (?) “diselamatkan” dengan cara diprivatisasi (baca: dijual dengan harga murah) oleh Pemerintah kepada asing (kepada Temasek – perusahaan Singapura). Sebenarnya, apa yang dilakukan Pemerintah, lebih tepat disebut dengan apa yang diistilahkan oleh Rémy sebagai “marchandiser” – soumettre aux lois de l’économie marchande ou réduire à l’état de marchandise – menundukkan diri pada ekonomi pasar atau menurunkan nilai sesuatu menjadi sebuah barang dagangan (baca: mengecer), daripada disebut penyelamatan.22
Karena seperti yang kita ketahui, penyelamatan PT. Indosat a la ekonomi pasar ini justru menuai kenyataan pahit, antara lain: pertama, pajak yang diterima dari PT. Indosat melorot tajam. Bila sebelum dijual Indosat merupakan 5 pembayar pajak terbesar di Indonesia dan selalu di atas pajak PT. Telkom, kini sebaliknya; kedua, penerimaan negara dalam bentuk dividen dari Indosat juga menurun sehingga APBN semakin lemah, yang berarti akan semakin defisit dan digunakan sebagai alasan untuk menjual lebih lanjut BUMN yang lain untuk menutup defisit; ketiga, dengan pertimbangan menjaga rahasia negara dan kedaulatan serta perhitungan untung-rugi, konon pemerintah RI kini berhasrat membeli kembali saham Indosat dari tangan Temasek. Kabarnya Temasek minta harga yang berlipat-lipat dari harga belinya dulu, sehingga sulit direalisasikan.23
Begitu pula, dalam kasus kerugian yang menimpa operator swasta seperti XL, kita tidak melihat peran negara untuk menyelematkannya atas nama “nasionalisme ekonomi,” termasuk mencegahnya dari akuisi oleh Axiata Investments Sdn. Berhad, perusahaan Malaysia, dengan jumlah nilai saham sebesar Rp. 5,674 triliyun dan Etisalat, perusahaan Uni Emirat Arab, dengan jumlah nilai saham sebesar Rp. 1,132 triliyun.24
Sekali lagi, di sini kita menemukan kejanggalan. Jika kali ini pemerintah ngotot menyelamatkan mayoritas kapitalis asing di balik para operator yang ada, tentu saja hal ini bisa disebut pembohongan publik. Sebab bagaimana logiknya, jika kepentingan kapitalis ini dinamakan sebagai kepentingan rakyat dan/atau negara Indonesia? Kemudian, saat Tifatul merujuk pada UU Telekomunikasi, itu bukan berarti RIM harus tunduk hanya pada aturan-aturan perundang-undangan Indonesia belaka atau menghormatik kedaulatan Indonesia. Karena UU itu sendiri dalam Penjelasan Umumnya merujuk bahwa sistem layanan pertelekomunikasian di Indonesia haruslah tunduk pada prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif. Hukum pertelekomunikasian Indonesia, haruslah sesuai dengan General Agreement on Trade and Services (GATS). Ini berarti bagaimana Pemerintah menerapkan rezim surveiller/pengawasan dengan menjadikan GATS dan aturan turunannya yang dinegosiasikan serta diputuskan di WTO, sebagai standar “normalitas” dalam pertelekomunikasian di Indonesia.
Lebih lanjut, kita dapat melihat nalar marchandiser yang dianut oleh UU Telekomunikasi (yang dirujuk oleh Tifatul), dalam rangka penerapan asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif sesuai GATS, dalam tiga prinsip besar berikut: pertama, prinsip Most-Favoured-Nation (MFN) Treatment diatur dalam Pasal II GATS, yang mewajibkan negara anggota WTO untuk memperlakukan perusahaan suatu negara asing (anggota WTO lainnya) sama dengan perusahaan negara asing lainnya. Di sini, setiap perusahaan atau kapitalis asing harus diperlakukan sama, tidak dibedakan apakah ia berasal dari Eropa, Amerika Utara, Asia atau dari Afrika. Dalam konteks kontroversi RIM ini, Pemerintah melalui Kemkoninfo berusaha menerapkan prinsip ini dengan baik, dengan tidak membedakan RIM – perusahaan/kapitalis dari Kanada dengan QTel – perusahaan/kapitalis dari Qatar, Axiata Investments Sdn. Berhad – perusahaan/kapitalis dari Malaysia, Etisalat – perusahaan/kapitalis dari Uni Emirat Arab, STC – perusahaan/kapitalis dari Arab Saudi, SingTel – perusahaan/kapitalis dari Singapura, dan seterusnya.
Kedua, prinsip Market Access, berdasarkan Pasal XVI GATS, mencakup larangan untuk membatasi jumlah penyedia jasa, nilai transaksi atau aset jasa, jumlah operasi atau kuantitas output, jumlah orang yang menyediakan jasa, tipe entitas hukum atau joint venture dan partisipasi dari kapital asing. Dalam hal ini, Pemerintah juga tampak sangat mematuhinya dengan baik; dan ketiga, prinsip National Treatment (NT) berdasarkan Pasal XVII GATS, yang mewajibkan penghapusan setiap bentuk dan penerapan diskriminatif yang dapat merubah kondisi-kondisi kompetisi menjadi merugikan pemodal asing atau penyedia jasa dari luar negeri, larangan ini termasuk subsidi diskriminatif, perhitungan pajak, persyaratan kependudukan, dan sebagainya. Kewajiban national treatment ini diterapkan tanpa melihat apakah sebuah perusahaan penyedia jasa itu dari dalam negeri atau luar negeri, atau dengan kata lain perusahaan asing harus diperlakukan secara formal identik dengan perusahaan nasional. Dalam prinsip ini yang penting adalah bagaimana perusahaan-perusahaan dan/atau penyedia jasa itu (entah nasional/dalam negeri atau asing/luar negeri) memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing. Dalam kasus ini, Pemerintah pun juga tampak memenuhinya dengan baik, dengan tidak membedakan antara RIM dan/atau perusahaan asing dengan perusahaan-perusahaan nasional. Di sini pula didasarkan Pasal XV GATS, subsidi atas nama nasionalisme ekonomi bagi PT. Telkomsel (yang saham mayoritasnya dimiliki oleh negara), PT. Smart Telecom dan PT. Bakrie Telecom pun menjadi tabu atau terkutuk, karena dinilai memiliki “distortive effects.”
Singkatnya, pemerintah Indonesia harus memperlakukan secara sama antara korporasi asing dan korporasi nasional. Korporasi asing suatu negara tertentu, harus diperlakukan sama dengan korporasi negara asing lainnya. Di sini tidak dibedakan, apakah korporasi asing atau nasional itu memiliki perbedaan kapital atau teknologi. Peraturan ini tentu saja memberikan keuntungan terbesar kepada korporasi yang memiliki kapital yang besar atau lebih besar. Pada keadaan seperti ini, akumulasi kapital secara eksponensial akan terjadi. Pembedaan operator telekom menurut pasal 8 ayat (1) UU Telekomunikasi menjadi 4 kategori (BUMN, BUMD, Badan usaha swasta dan Koperasi), menjadi tiada artinya lagi dalam penerapan asas ini. Begitu pula, dalil dan/atau nasionalisme ekonomi apalagi kesejahteraan rakyat Indonesia dalam kondisi penerapan asas dan nalar marchandiser ini, hanyalah mitos, jika tak ingin disebut bualan.25
Logika malak Tifatul
Jika dianalisa lebih jauh, sebenarnya Tifatul dan/atau Kemkoinfo tidak sepenuhnya mengerti akan RIM.26 Patut diduga pula, Tifatul tidak mengerti apakah RIM itu termasuk dalam Mode 1 (Cross border trade), Mode 2 (Consumption abroad), Mode 3 (Commercial presence) atau Mode 4 (Presence of natural persons) sebagaimana yang dimaksud dalama Pasal 1 ayat (2) GATS. Karena ketidakmengertian ini, yang dilegitimasi dengan dengan logika “malak,” Tifatul dan/atau Kemkoninfo hanya berpikir bahwa keuntungan dalam perdagangan global di bidang jasa hanya diperoleh dalam bentuk Mode 3 (Commercial presence) – kehadiran secara komersial suatu perusahaan di Indonesia, termasuk RIM. Logika malak ini dapat kita baca dalam kicauan Tifatul berikut, “Salahkah kita meminta “JATAH” buat NKRI” dan lebih jelas lagi dalam pernyataan Didin Pataka berikut, “Kalau kerugian itu pasti ada, selama RIM tidak dianggap sebagai operator, kita tidak bisa malaki mereka. Suatu negara bila ada suatu lembaga bisnis boleh-boleh saja mendapatkan untung besar. Tapi kita sebagai negara berdaulat ingin agar sebesar mungkin keuntungan itu dimanfaatkan di dalam negeri.”27
Dengan logika malak ini, Tifatul, Didin dan/atau Kemkoninfo berkeyakinan Indonesia akan mendapatkan keuntungan saat mendesak RIM untuk membuka perwakilan di Indonesia, membuka service center di Indonesia, membayar pajak di Indonesia, merekrut dan menyerap tenaga kerja Indonesia secara layak dan proporsional, menggunakan konten lokal dan memberlakukan Corporate Social Responsability – tanggung jawab sosial korporasi (termasuk di dalamnya memberikan bantuan bagi korban bencana alam Merapi, Wasior dan lain-lain). Jika kita analisa lebih jauh, secara sederhana, tuntutan Tifatul kepada RIM cuma satu: RIM berinvestasi langsung di Indonesia!
Hal yang menjadi lucu sekaligus memalukan, saat sebuah perusahaan asing dipaksa diiringi dengan ancaman (diblokir usahanya) untuk berinvestasi langsung di sebuah negara. Bisa jadi, ini pertama kali dalam sejarah, karena biasanya, kita justru melihat sebuah fenomena di mana negara-negara berlomba-lomba menarik perusahaan-perusahaan asing berinvestasi langsung bukan dengan paksaan, melainkan dengan tawaran (baca: godaan) seperti insentif pajak (tax heaven), buruh murah, infrastruktur yang bagus, nilai mata uang yang lebih rendah dibandingkan negara asal, akses bahan baku dan pasar yang lebih menguntungkan. Di sini, sekali lagi, kita melihat bagaimana Tifatul dengan menggunakan nalar marchandiser mengasumsikan bahwa investasi langsung perusahaan asing di Indonesia, akan sangat bermanfaat sebagai suatu kapital ekstra, suatu kontribusi bagi neraca eksternal yang sehat, sebuah dasar untuk meningkatkan produktivitas, penambahan lapangan kerja, menciptakan kompetisi efektif, transfer teknologi, produksi rasional, dan sumber manajerial suatu keahlian (know-how).28
Namun, jika dipelajari kembali, investasi langsung perusahaan asing yang produknya (barang dan/atau jasa) ditujukan untuk pasar dalam negeri Indonesia, dalam hal ini termasuk RIM, dinilai menguntungkan apabila keuntungan yang diperoleh diinvestasikan kembali sepenuhnya di Indonesia. Namun kasus non-repatriasi keuntungan ke negara asal ini, lebih tepat disebut sebagai derma atau sedekah (philanthropy) daripada investasi.29 Kenyataannya, perusahaan-perusahan dan para pemodal asing yang memutuskan untuk berinvestasi langsung ke suatu negara yang nilai tukar mata uangnya lebih rendah daripada negara asal mereka, bukanlah para dermawan (philanthropist). Tujuan dari para kapitalis ini tentu saja bukan untuk memperbaiki atau menunjang evolusi ekonomi negara di mana mereka berinvestasi, tetapi mencari untung. Obyektif mereka sesungguhnya ada dua: mengamankan kapital finansial mereka dan merealisasikan keuntungan substansial.30
Begitu pula saat RIM menegaskan komitmennya untuk berinvestasi di Indonesia,31 sesungguhnya untuk meraih obyektif ganda ini. Fakta menunjukkan, jauh sebelum polemik ini muncul, RIM sesungguhnya sudah memenuhi tuntutan-tuntutan Tifatul sebelum diminta, seperti meresmikan PT. Research In Motion Indonesia yang sudah disetujui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 9 November 2010, berkomitmen membuka 36 pusat layanan resmi BlackBerry di Indonesia sampai akhir tahun lalu dan akan terus ditambah, menyerap tenaga kerja Indonesia, dan memanfaatkan konten lokal.32 Oleh sebab itu pula, dalam kontreversi ini, RIM pada akhirrnya menyatakan akan tunduk kepada Pemerintah,33 selain sebagai bentuk soft power juga mengingat bahwa kesepakatan dengan Pemerintah, justru memberikan keuntungan sekaligus legitimasi untuk meraup keuntungan lebih banyak di Indonesia.
Tentu adalah sangat naif, jika mengasumsikan RIM seperti Bunda Theresa apalagi Rasulullah Muhammad saw, yang bersedia memberikan kebaikan secara cuma-cuma, tanpa pamrih dan hanya mengharap ridha Tuhan. Saat RIM membuka perwakilan di Indonesia dan kemudian membayar pajak, sebenarnya ini adalah hal yang lumrah. Karena bila sebaliknya, RIM Indonesia tidak membayar pajak, maka sesungguhnya ia lebih tepat disebut penumpang gelap (free rider) dari pembangunan ekonomi Indonesia, yang telah menikmati beragam fasilitas dan infrastruktur yang didanai dari biaya yang dikumpulkan oleh para wajib pajak atau rakyat Indonesia, seperti jalan, jaringan telekomunikasi, listrik, para WNI yang bekerja di RIM yang meraih pendidikan di sekolah-sekolah dan/atau perguruan tinggi negeri. Jadi adalah kurang tepat, jika pajak yang dibayarkan oleh RIM dinilai sebagai keuntungan negara.
Begitu pula saat RIM memberlakukan CSR, sesungguhnya itu merupakan upaya RIM untuk meraih keuntungan dengan menggunakan soft power – seperti yang telah kita bahas di atas. Di samping itu, seperti yang ditulis oleh Fahmi Panimbang, CSR sering kali digunakan oleh perusahaan-perusahaan untuk menghegemoni (baca: menjinakkan) kekuatan-kekuatan sosial yang kritis, termasuk di dalamnya buruh dan masyarakat sekitar perusahaan.34
Saat RIM dipaksa berinvestasi langsung dan dinilai serta diperlakukan sama seperti para operator telekom dalam bingkai nalar marchandiser menurut prinsip-prinsip dan aturan-aturan GATS, sesungguhnya Tifatul secara tidak sadar berniat menghancurkan perusahaan nasional (BUMN dan/atau Badan usaha swasta nasional) untuk berkembang dan/atau membuat perusahaan nasional mati prematur dalam persaingan global.
Hal ini akan semakin parah, jika dalam jangka waktu yang panjang RIM ternyata melakukan repatriasi keuntungan seperti para operator telekom lainnya yang sahamnya dikuasai oleh para kapitalis asing. Saat keuntungan besar RIM itu kembali ke Kanada, diiringi pula oleh QTel, Axiata, SingTel, SCT, dan para operator lainnya, justru menimbulkan potensi kehancuran daya beli riil rakyat, inflasi yang tak seimbang serta disintegrasi sosial. Pada keadaan seperti inilah, investasi langsung asing, termasuk RIM, akan bernilai lebih berbahaya daripada kekuatan militer.35
Kemudian, saat Tifatul memaksa RIM untuk berinvestasi langsung di Indonesia dan diperlakukan sama seperti operator telekom lainnya, sama halnya dengan menambah jumlah dominasi asing dalam pertelekomunikasian Indonesia. Dengan membiarkan, mempersilahkan bahkan memaksakan agar dominasi kapitalis asing atas salah satu sektor produksi yang penting, menguasai hajat hidup orang banyak dan seharusnya dikuasai oleh Negara, menurut Pasal 33 UUD 1945 juncto Pasal 4 ayat (1) UU Telekomunikasi, maka apa yang dilakukan Tifatul jelas melanggar konstitusi (inkonstitusional) dan UU (ilegal).
Akhirnya kita tahu, bahwa apa yang dilakukan oleh Tifatul, telah mengkhianati para founding-fathers kita, Soekarno-Hatta, yang sejak dulu tidak menghendaki investasi asing mendominasi, mengendalikan (beheersen), apalagi mengangkangi (overheersen) ekonomi nasional.36 Artinya pula, Tifatul, dengan mengatasnamakan negara, telah menggadaikan kemerdekaan dan kedaulatan sejati bangsa ini kepada para komprador, oligopoli kapitalis asing. Sampai di titik ini, kita hanya mampu bergumam, “Pengkhianatan apalagi yang lebih mengerikan daripada menjual murah (marchandiser) negara dan saudara sebangsanya untuk dijajah kembali?”***
Mahmud Syaltout, PhD in International, European and Comparative Law, University of Paris 5
Catatan kaki:
1Republika, “Pilih BlackBerry atau Kedaulatan Negara?” Disponible sur: (consulté 16 January 2011). Baca pula tulisan Nonot Harsono, Staf Badan Regulasi Telekom Indonesia (BRTI) di Nonot HARSONO, “Rumor BlackBery di Indonesia: “Kajian tentang penyelenggaraan TIK lintas-negara” (menyoal batas wilayah NKRI dalam dunia maya),” Dans: Dhoto’s Homepage, éd. par Stritrusta SUKARIDHOTO. Disponible sur:, (consulté 16 January 2011).
2Baca Kompas, “Data Center” BlackBerry Juga atas Desakan Operator” Disponible sur: (consulté 15 January 2011); Kompas, “Operator yang Minta Filter Pornografi di BlackBerry” Disponible sur: (consulté 15 January 2011).
3Joseph S. NYE. “Soft Power: The Means to Success in World Politics,” New York: PublicAffairs, 2004, p. 5.
4Ibid., p. 7.
5Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, « Siaran Pers No. 154/DJPT.1/KOMINFO/9/2007: Richardus Eko Indrajit dan Muhammad Salahuddien Manggalanny Telah Terpilih Sebagai Ketua dan Wakil Ketua Pimpinan Pelaksana ID-SIRTII » Disponible sur: (consulté 19 January
2011).
6Detiknewa, “Didin Pataka: Posisi Pemerintah Bukan Negosiasi, Tapi Menagih Janji” Disponible sur: (consulté 17 January 2011).
7Ibid.
8INDOSAT, “Indosat Integrated Portal – About Indosat – Corporate Profile,” Disponible sur: (consulté 16 January 2011).
9XL AXIATA, “Sekilas XL,” Disponible sur: (consulté 16 January 2011).
10HUTCHISON CP TELECOMMUNICATIONS, “Who Is 3?” Disponible sur: (consulté 16 January 2011).
11NATRINDO TELEPON SELULER, “Tentang Axis: Siapa Kami,” Disponible sur: (consulté 16 January 2011).
12SMART TELECOM, “Smart Telecom: Profil Perusahaan,” Disponible sur: (consulté 16 January 2011).
13Catatan: Negara Republik Indonesia hanya menguasai 51,19% saham dari PT. Telkomsel.
14TELKOMSEL, “Telkomsel: About Corporate – Profile and Shares,” Disponible sur: (consulté 16 January 2011).
15Lebih jelasnya, baca Eliyahu M. GOLDRATT et Jeff COX. “The Goal: A Process of Ongoing Improvement,” 3ème. Hants: Gower, 2004, p. 61.
16Lebih lanjut, baca Kompas, “Pemblokiran BlackBerry Ancam Bisnis Operator,” Disponible sur: (consulté 19 January 2011).
17Ibid.
18Cf. Supra note 6.
19Untuk lebih jelasnya, baca Samir AMIN. “La crise : sortir de la crise du capitalisme ou sortir du capitalisme en crise, Pantin: Le temps des cerises, 2009; Samir AMIN. “Marx n’a jamais été aussi utile.” Marianne2, Paris, 25 juillet 2009.
20Budi RAHARDJO, “Salah (dalam menyalahkan RIM/BlackBerry),” Dans: Padepokan Budi Rahardjo, éd. par Budi RAHARDJO. Disponible sur: , (consulté 15 January 2011)
21Lebih jelasnya, Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU Telekomunikasi menyebutkan secara rinci sebagai berikut: “Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi nasional. Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan atau teknis operasional yang antara lain, tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan bimbingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk pengawasan terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan frekuensi dan orbit satelit, serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi.”
22Untuk lebih jelasnya, lihat Rémy HERRERA. “Un autre capitalisme n’est pas possible,” Paris: Syllepse, 2010, p. 18-20.
23Fuad BAWAZIER. “Kepemilikan Asing di Indonesia.” Republika, Jakarta, 27 Nopember 2006.
24Detiknews, “Ganti Nama, XL Ingin Terdepan,” Disponible sur: (consulté 17 January 2011).
25Mengenai mitos asas perdagangan bebas, baca Paul BAIROCH. “Mythes et paradoxes de l’histoire économique,” Paris: La Découverte, 1999.
26Kompas, “Tifatul Kebingungan Ditanya RIM itu Apa,” Disponible sur: (consulté 17 January 2011).
27Cf. Supra note 6.
28Willy DE CLERCQ, “The End of History for Free Trade? The Uruguay Round and Beyond – Essays in Honour of Arthur Dunkel”/ éd. par Jagdish BHAGWATI et M HIRSCH, Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1996, p.196.
29Elie SADIGH et al. “Organisation Mondiale du Commerce: La supercherie,” Paris: L’Harmattan, 2007, p. 48.
30Lebih jauh, baca Elie SADIGH. “Étude économique et géopolitique du développement,” Paris: L’Harmattan, 2003.
31Kompas, “RIM Tegaskan Komitmen Investasi di Indonesia,” Disponible sur: (consulté 17 January 2011).
32Kompas, “Empat Tuntutan Tifatul Sudah Dipenuhi RIM,” Disponible sur: (consulté 17 January 2011).
33Kompas, “RIM Nyatakan Tunduk kepada Pemerintah,” Disponible sur: (consulté 17 January 2011).
34Fahmi PANIMBANG, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Sebuah Kritik,” Dans: IndoPROGRESS, éd. par Coen Husain PONTOH. Disponible sur , (consulté 18 January 2011)
35Lebih lanjut mengenai hal ini, baca Ha-Joon CHANG. “Bad Samaritans: Rich Nations, Poor Policies, and the Threat to Developing World,” Londres: Random House Business Books, 2007, p. 78-82.
36Dikutip dari Harian Pelita, “Sri-Edi: Investasi Asing Jangan Dominasi Ekonomi Nasional,” Disponible sur: (consulté 15 January 2011).