PADA 1942, terbit buku berpengaruh dari ekonom Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy. Dalam buku ini, Schumpeter menulis, kapitalisme, pertama-tama, adalah sebuah sistem yang bentuk dan metode ekonominya secara alamiah selalu berubah dan karena itu merupakan satu-satunya sistem yang tidak akan pernah bersifat tetap. Dan bagi Schumpeter, mesin penggerak perubahan itu terletak di dalam dirinya sendiri, yang disebut proses Creative Destruction (penghancuran kreatif).
Untuk menjelaskan proses penghancuran kreatif ini, Schumpeter memberi contoh tentang kompetisi di pasar sebagai esensi dari kapitalisme. Dalam kompetisi ini, hanya perusahaan yang efisien baik dari segi keuangan, manajemen, maupun penguasaan teknologi yang bisa bertahan dan unggul, sementara yang tidak efisien pasti tersingkir (destruksi). Di atas reruntuhan itu, muncul (kreasi) kompetitor lain untuk menantang perusahaan yang sebelumnya menang. Begitu seterusnya proses ini berlangsung, sehingga menurut Schumpeter, proses penghancuran kreatif ini merupakan fakta esensial kapitalisme. Dengan kata lain, jatuh-bangun, untung-rugi, baik di masa damai maupun di masa krisis adalah hal yang alamiah, sebuah proses seleksi alam.
Tetapi fakta menunjukkan, kebangkitan (kreasi) kembali kapitalisme dari depresi (destruksi) di tahun 1930an, bukan merupakan hasil dari proses internal, seperti keyakinan Schumpeter. Proses penghancuran kreatif itu, ternyata datang dari luar sistem ekonomi, yakni melalui Perang Dunia II. Penghancuran besar-besaran faktor-faktor produksi yang kemudian diiringi dengan mobilisasi sumberdaya dan sumberdana luarbiasa yang bersifat global, telah menyebabkan ekonomi AS muncul sebagai ekonomi terkuat di dunia. Demikian juga, ketika terjadi krisis ekonomi di dekade 1970an, proses penghancuran kreatif hanya bisa terjadi melalui intervensi negara dalam bentuk kebijakan neoliberal (deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi). Artinya, tanpa campur tangan negara dalam bentuk penciptaan ruang dan undang-undang yang kondusif, maka neoliberalisme tidak akan berkembang.
Secara khusus, Neil Brenner dan Nik Theodore dalam buku Spaces of Neoliberalism Urban Restructuring in North America dan Western Europe (2008), memberikan contoh proses penghancuran kreatif di era neoliberalisme: dalam kaitan dengan hubungan upah, maka momen destruktifnya (penghancuran) terjadi dalam wujud (1) penghancuran organisasi buruh dan daya tawar kolektif buruh secara nasional dalam penentuan upah; (2) penghancuran upah keluarga dan penyebaran ketidakamanan ekonomi secara umum; dan (3) dihapuskannya regulasi nasional yang menjamin kesempatan kerja yang sama, keamanan tempat kerja, dan hak-hak buruh. Adapun momen kreatifnya (penciptaan) adalah: (1) deregulasi iklim ekonomi yang kompetitif melalui renegosiasi tingkat upah dan kondisi-kondisi kerja yang lebih rendah dikombinasikan dengan pengetatan ekspansi managerial; (2) penciptaan bentuk-bentuk baru upah sosial dan pembagian kerja berdasarkan jender; dan (3) promosi bentuk-bentuk baru “fleksibilitas” kerja.
Selain itu, proses penghancuran kreatif dalam contoh Schumpeter terjadi dalam kondisi pasar persaingan sempurna dan hanya mencakup perusahaan-perusahaan dalam skala kecil. Tetapi, dalam kondisi pasar yang monopolistik dan oligopolistik yang dihuni oleh korporasi-korporasi multinasional dan melibatkan hubungan ekonomi yang sangat luas dan kompleks, teori Schumpeter tidak berlaku. Ketika terjadi krisis finansial 2008, pasar terbukti gagal meregulasi dirinya sendiri sehingga pemerintahan Bush dan Bank Sentral Amerika harus turut aktif dalam pasar untuk mencegah terjadinya kebangkrutan yang lebih luas, melalui kucuran dana talangan sebesar $700 milyar. Di sini, slogan yang digunakan adalah “too big to fail,” dimana karena perusahaan itu sudah sedemikian besar, maka membiarkannya bangkrut berdasarkan hukum kompetisi akan membahayakan struktur ekonomi keseluruhan.
Post-neoliberalisme
Karena neoliberalisme telah menjadi ideologi ekonomi yang dominan dianut hampir seluruh negara, maka krisis di satu tempat dengan segera menyebar ke tempat lain. Dengan demikian, penanganan krisis di AS sesegera mungkin, tidak hanya dimaksudkan untuk mencegah krisis domestik semakin parah, tapi juga untuk mencegah agar krisis ini tidak menyebar ke negara lain. Selain itu, proses penanggulangan krisis juga mesti melibatkan kerjasama banyak pihak melalui forum-forum global seperti forum G-20 maupun kerjasama bilateral dan regional lainnya.
Slogan “too big to fail” lalu menjadi trend negara-negara kapitalis maju dan institusi-institusi ekonomi global (Bank Dunia, IMF, dan Bank Sentral di masing-masing negara) untuk mencegah krisis ekonomi semakin memburuk. Akibatnya, terjadi praktek nasionalisasi perbankan besar-besaran melalui kebijakan dana talangan, di negara yang paling neoliberal seperti AS dan Inggris. Perusahaan-perusahaan swasta raksasa diambilalih atau diawasi pengelolaannya oleh negara.
Alasan konkret di balik campur tangan negara ini, dikemukakan oleh Chairman General Motor (GM) Rick Wagoner, di hadapan komite perbankan Senat AS pada 18 November 2008, “jika industri domestik dibiarkan bangkrut, maka ongkos sosialnya sangatlah buruk: tiga juta orang akan kehilangan pekerjaan dalam tahun pertama, pendapatan personal AS berkurang sebesar $150 milyar, dan penerimaan pajak negara berkutang lebih dari $156 milyar setelah tiga tahun… tidak untuk mengatakan penderitaan konsumen yang lebih luas serta hilangnya kepercayaan bisnis.”
Dalih inilah yang terus didengungkan ke seantero jagad, ketika negara dan institusi-institusi keungan global mengucurkan dana talangan. Ambil contoh, ketika Yunani dan Irlandia mengalami krisis, disebutkan bahwa dana talangan yang disuntikkan ke kedua negara ditujukan untuk mencegah krisis yang lebih parah dan potensi penyebaran krisis itu ke negara lain. Dalam kasus Indonesia, dana talangan yang dikucurkan pemerintah dan Bank Sentral terhadap Bank Century, juga dilandasi oleh motif pencegahan terjadinya efek menular (contagion effect) yang bisa menyebabkan krisis ekonomi yang lebih luas.
Dengan begitu besarnya campur tangan negara dalam pasar pasca krisis 2008 ini, muncul spekulasi maupun analisa bahwa era neoliberalisme telah berakhir. Di AS, dana talangan besar-besaran itu telah memunculkan istilah “socialism for the rich.” Benarkah bahwa pemerintah AS dan negara-negara Eropa Barat dan lembaga-lembaga keuangan global, telah kembali pulang ke model pembangunan Keynesianisme?
Kalau kita lihat sepintas, tampaknya benar bahwa kini Keynesianisme sedang kembali ngetrend, melalui kebijakan bailout tersebut. Tetapi, kalau diperiksa lebih lanjut, sesungguhnya bukan Keynesianisme yang dipraktekkan, melainkan apa yang disebut para ahli ekonomi-politik sebagai kebijakan Post-Neoliberalisme. Argumennya, salah satu ciri utama Keynesianisme adalah diakomodasinya serikat buruh kuat dalam hubungan buruh-kapitalis, yang tampak pada upah buruh yang tinggi, tingkat keselamatan kerja yang baik dan tidak adanya sistem buruh kontrak.
Namun demikian, dalam era post-neoliberalisme ini, kebijakan proburuh sama sekali tidak tampak. Di hampir semua negara yang memperoleh kucuran dana talangan, dimana campur tangan negara dalam pasar menguat, hal itu segera diikuti dengan kebijakan anggaran yang ketat, tingkat pajak yang tinggi, pemotongan anggaran publik besar-besaran, penerapan pasar kerja fleksibel, dan pemberlakuan sistem kontrak kerja yang massif. Dengan kata lain, kucuran dana talangan itu, sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyehatkan sistem ekonomi yang menguntungkan rakyat pekerja. Sebaliknya, prioritas utama kebijakan rejim post-neoliberalisme dimaksudkan untuk mengonsolidasikan kembali kekuasaan kelas borjuasi yang terpukul akibat krisis 2008.***
Coen Husain Pontoh, Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York