CERITA PENDEK
“Aha, Sobat. Ada yang mengganggu ketenangan kita rupanya.”
“Ini perkara serius. Permintaannya sungguh terasa menarik-narik. Panggilannya seakan-akan nirtolak. Baiklah. Mungkin kita harus sekali lagi melakukan kegiatan yang sia-sia untuk kebanyakan orang ini.”
Terpaksa, dan sangat terpaksa, kupanggil keduanya yang mungkin sedang bersenang-senang atau berleha-leha atau beraktifitas apa saja yang tak aku pahami, di suatu tempat yang entah. Terus terang, aku sering memanggil salah satu atau salah dua mungkin pula lebih dari mereka untuk sekadar menemani aktifitas sore, terkadang pagi, yang menjemukan; menanak air, membiarkan serbuk kopi berkelindan bersama gula, lantas meniadakan bentuk awal mereka dalam buih air mendidih.
Maka terjadilah. Sore itu, di sebuah sudut Jakarta Pusat yang pengap, aku ditemani keduanya minum kopi. Oh tidak. Mereka tak minum kopi. Yang satu membawa sendiri vodga, yang katanya diperkenalkan pertama kali padanya oleh seorang pemuda di New York yang mengaku diri sebagai murid sejati pemikiran Chernyshevsky, sebelum lelaki ini pada akhirnya terdampar kesepian di Casabalanca dalam labirin keramaian café-nya. Sedangkan yang satunya lagi lebih memilih mencuri sebagian energi listrik yang ada di rumahku. Dia mengeluh soal arusnya yang tidak stabil dan energinya yang tidak sehat untuk tubuhnya.
Peminum Vodga sedikit melirik, lantas membolak-balik sebuah bukuku yang bersampul kombinasi warna coklat muda dan tua.
“Ah, bahasa kalian tak kupahami. Hanya judulnya mengingatkanku pada seorang pengurus bandara di Casabalanca, seorang blasteran Afrika-Yunani.”
“Semuanya terekam di sini. Bila diinginkan, segala informasi tentang benda itu akan kudapatkan.” Dengan suara soprannya yang datar, Sang Pencuri Energi Listrik berkata lantas memencet beberapa tombol di dalam rongga persegi empat lengan kanannya, ketika kulitnya yang putih pualam tiba-tiba membuka secara tiba-tiba.
“Muncul di pertengahan 2009 dalam jumlah….’
“Ssst, sudahlah. Kawan kita makhlum semata apa kelebihanmu.”
Sebenarnya, aku tak tahu pasti apa yang hendak aku perbincangkan bersama mereka. Kau terkadang memang tak perlu memikirkan apa yang harus akan kau perbincangkan dengan lawan bicaramu. Tentu saja lawan bicara yang tidak sembarangan. Tak mungkin kau berharap hal seperti itu terjadi pada lawan bicara yang datang padamu dengan beberapa maksud tertentu. Percayalah. Lawan bicara yang ini akan menyetirmu ke arah perbincangan yang diinginkannya.
Berdeda dengan dua tamuku sore ini yang datang begitu saja tanpa tahu untuk apa diundang bagaikan seorang kakek tua yang masih segar bugar tetapi tak tahu harus melakukan apa lagi di dunia ini yang rutin mendatangi sahabat sepantarannya dan lantas berbincang-bincang tentang apa saja. Itu pun saya kira masih menyisahkan sedikit tujuan yang hendak dicapainya yakni keinginan untuk membunuh waktu yang malu berlalunya.
Berbeda dengan dua tamuku sore ini yang datang begitu saja tanpa tahu untuk apa diundang. Tetapi kita masih bisa mengatakan bahwa mereka datang untuk mendengarkan apa saja yang hendak aku katakan atau hendak membantuku untuk menemukan arah apa saja yang nanti akan terbentuk begitu saja dalam perbincangan kami. Jadi, kesimpulan kita adalah tak ada lawan bicara yang datang tanpa maksud tertentu dalam sebuah pembicaraan.
Tapi sudahlah. Kita lupakan sejenak perkara itu.
Kurasakan kesepihan yang absurd dan aneh ketika dua hari belakangan ini, teman teleponku tak lagi menghubungiku. Yah, aku menyebutnya teman telepon karena memang hanya lewat teleponlah kami berteman, berinteraksi, dan berbagi cerita apa saja. Semuanya berawal dari kesalahan jariku menyalin nomor telepon. Sebuah pesan singkat yang sejatinya kualamatkan untuk seseorang yang berada beberapa ratus meter ke selatan dari tempatku, tiba-tba nyasar lantas, hampir tanpa kendali, membangun sebuah hubungan rahasia yang aneh dengan seseorang yang berada berpuluh-puluh kilo meter jauhnya ke barat dari tempatku.
Itulah awalnya, Saudara. Beberapa minggu berlalu dengan pesan-pesan singkat yang saling mengunjungi dan pembicaraan hangat, penuh cerita, keluh-kesah, sedikit janji-janji, sedikit umpatan kesal, sedikit merajuk, segenggam hasrat, secuil suka cita, secubit cemburu, secicip ketakpercayaan, sebuku cinta, serta masih banyak lagi yang bergejolak menjadi satu dalam gelombang-gelombang cahaya yang mencari salurannya sendiri dalam sengkarut udara yang laknat. Bermalam-malam, gumpalan-gumpalan kisah kami ini, sadar atau tak sadar, tertampung dan tak mau pergi dari kamar sewaanku—ditambah lagi dengan kamar sebuah rumah di kawasan padat Jakarta yang sirkulasi udaranya jauh dari menyehatkan. Ia bergelantungan nyangkut di jaring laba-laba yang lama tak dibersihkan, mengendap dalam perut-perut cicak lapar di balik lemari tua, bersembunyi dalam kantong celana dan kemeja yang menunggu antrian masuk ke larutan deterjen, nyasar dalam lipatan-lipatan halaman buku, menempel di sprei, semuanya memenuhi kamarku, memengapkan kamarku, membuatku mabuk, ketagihan, ketergantungan, dan keracunan. Gumpalan-gumpalan itu, entah dengan cara apa, membawaku pada suatu kepercayaan yang mengerikan; sang teman telepon itulah temanku yang sebenarnya.
Maka, janganlah kau heran bila kamar ini terasa muram dan begitu menyebalkannya. Bila matamu sedikit lebih awas dari sekarang, engkau pasti bisa melihat bagaimana gumpalan-gumpalan itu terus beriak-riak dan beterbangan di sekitarku, menunggu dengan teramat sangat keluarnya sebuah gumpalan baru dari ubun-ubun kepalaku, untuk selanjutnya ditempatkan mereka di salah satu bagian kamar ini yang tak bisa kita prediksikan sebelumnya. Tapi, gumpalan baru itu tak datang juga; tak akan pernah bisa bila teman teleponku tadi tak lagi meneleponku. Dan aku hampir yakin, dia akan meninggalkanku tanpa khabar, seperti ketika aku mengunjunginya tanpa pemberitahuan kala itu. Satu yang perlu kutekankan agar kalian mengerti, teman teleponku itu meninggalkanku dalam keterasingan dan rasa kehilangan yang absurd dan mengerikan sakitnya. Tak perlulah aku jelaskan kenapa demikian, tinggal kalian pecahkan gumpalan-gumpalan itu dan segalanya akan kalian dapatkan di situ.
Aku menyebut persahabatan ini dengan Ketersambungan yang Aneh. Aneh karena ia hanya dimungkinkan oleh gelombang suara. Itu pun bukanlah suara yang benar-benar asli, kukira. Engkau tentu saja tahu, suara yang keluar lewat speaker ke telinga kita, sesedikit-sedikitnya, pasti telah berubah dari suara asli hasil getaran pita-pita suaranya. Sesedikit-sedikitnya, pasti suara itu berubah. Kita tak bisa dan tak boleh percaya begitu saja bahwa itu suara aslinya.
Memang terkadang, kita langsung bisa menebak siapa yang berbicara di sebelah sana, walau pun dia belum menyebut identitasnya, walau pun dia belum pernah menelepon kita menggunakan nomor telepon yang digunakan saat itu, sehingga namanya tak terdektesi di layar handphone kita.
Tentu saja kita tak bisa serta merta mengatakan bahwa hal itu diakibatkan oleh kebetulan di saat itu speaker handphone kita tengah bekerja dengan sangat baiknya, dalam kinerjanya yang puncak dan maksimal sehingga keluarlah seberkas suara yang sangat asli sekali. Lebih menghibur bila kita yakini bahwa hal itu dikarenakan lawan bicara kita kali ini adalah orang yang cukup kuat terpateri dalam memori kita. Karena itulah maka, kita bisa pula sekalian menerima bahwasanya di saat kita langsung bisa mengidentivikasi sang lawan bicara, di saat itu juga kita bisa membayangkan gerak mulutnya, lekak lekuk bibirnya (yang terkadang dengan nakal kita kombinasikan dengan gambaran aktivitas berciuman dengannya, hanya kadang-kadang), dan barangkali lebih jauh lagi, kostum apa yang sedang dikenakannya.
Pernah aku keluhkan perkara tak tahu sama sekalinya aku akan wajah dan postur tubuh teman teleponku itu.
“Ah, untuk apa kita mengetahui hal-hal seperti itu bila pada akhirnya hanya menimbulkan kegamangan di ujung pembicaraan?” Itu katanya ketika itu, ketika kesekian kalinya kami berbagi cerita yang harus diakui tak seratus persen kebenarannya.
Seakan-akan, dengan suara saja, kami sudah bisa saling memahami satu dengan yang lainnya. Padahal, kita semua tahu, kelima indera kita butuh referensi untuk menentukan seseorang patut dijadikan sahabat atau tidak.
Teleponlah atau tepatnya handphone-lah saudara. Yah, benda kecil hasil evolusi semenjak Graham Bell pertama kali mencetuskan idenya. Ia-lah yang menciptakan kegamangan itu dan menimbulkan buih ketakmengertian di benakku.
“Mungkin kau harus tahu, bahwa aku iri dengan zamanmu. Bahwa kalian bisa berbagi informasi dengan sesamamu dengan begitu bebasnya dan tanpa satu pun masalah yang patut dipertimbangkan.”
“Bukan seperti itu, Rich. Ketika ceritamu sampai pada generasi mereka, mereka memang menertawakan masamu yang begitu miskin teknologinya. Aku katakan, ada juga yang iri dengan keadaan masamu. Tak ada keterkejutan-keterkejutan yang berarti seperti keterkejutanmu ketika As Time Goes By dimainkan Sam kala itu.
“Mungkin kalian lupa, bahwa manusia cukup senang dengan akhir permainan yang tak pasti dalam hidupnya. Ketika Piala Dunia sepak bola diadakan di Nepal, hampir tak ada penonton yang menyaksikannya. Entah di stadion, entah di depan layar televisi. Karena apa? Yah, karena ketika teknologi begitu menginterfensi sepak bola, segala prediksi sudah tercipta. Bahkan, simulasi pertandingan yang akan terjadi seperti apa pun sudah bisa engkau dapatkan. Dan 100%, yah 100% kebenarannya dapat kau pegang. Siapa lagi perlu menonton? Ketika menonton sebuah siaran langsung pertandingan sepak bola sama dengan menonton tayangan ulangnya, sedangkan menonton simulasi prediksinya adalah menonton siaran langsungnya itu sendiri?”
“Siaran langsung? Maksudmu?”
“Mereka tertipu. Mereka tertipu? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa di suatu ketika manusia akan begitu benar-benar tertipu?”
“Di saat yang bersamaan, mereka tertipu sekaligus tidak tertipu. Semoga kau mengerti maksudku.” Seakan tak mau melanjutkan penjelasannya, makhluk putih pualam itu mencopot kepalanya dan memeriksa beberapa komponen yang menempel di kepalanya.
“Baiklah. Aku memang tengah mencoba memahami pembicaraan kalian. Tapi mari kita kembali dulu pada permasalahan tadi; irinya aku pada kemudahan yang diberikan zamanmu pada generasimu.” Ia meneguk vodga-nya lagi. Lalu dikeluarkannya cerutu yang disimpannya di kantong balik jas-nya, membakarnya perlahan, lantas menghisapnya dengan gaya bajingan tengik di jalanan New York 1900-an. Ia terbatuk sejenak.
“Begini. Mungkin kalian, terlebih engkau, sambil menunjuk mukaku dengan ujung memerah cerutunya, sementara itu makhluk putih pualam telah memasang kembali kepalanya ke tempatnya, bukan memasang tetapi semacam ‘membiarkan terapung’ di atas pangkal lehernya, kita boleh menghiraukan Eve untuk hal ini.” Ia terbatuk lagi, menyenderkan tubuhnya ke bangku rotan, seakan-akan kelelahan yang amat sangat baru mulai menghantuinya.
“Ah, tembakau. Menikmatinya adalah menghadapi dua pilihan yang sama-sama penting dan sulit. Terbatuk lagi; bagaimana pun juga waktu membuatnya menjadi lebih tua dari yang kubayangkan. Ternyata waktu bekerja dalam seberkas hukum yang tak mampu aku pahami. Mungkin engkau tak memahami dan menghayati perpisahan sebagai sebuah perpisahan yang sesungguhnya. Sebuah perpisahan yang sesungguhnya. Yah, perpisahan yang sesungguhnya.”
“Aku bukan jenis manusia yang tak butuh orang lain dan semua manusia seperti itu saya kira. Dengan kata lain, perpisahan adalah kelumrahan dalam hidup manusia. Tentu aku paham perpisahan, tentu aku menghayati perpisahan.”
“Seperti apa perpisahanmu?”
“Yah, sebuah kehilangan tanpa tahu kapan dimiliki kembali.”
“Mari beranjak pada sebuah contoh. Engkau berpisah, kalau tak salah beberapa tahun lalu, dengan seorang gadis yang benar-benar telah mencuri hatimu. Engkau pernah mendendangkannya dengan, ‘cahaya telah diambil dari hidupku, kegelapan belum juga terberikan’.”
“Yah, ketika masih terlalu melankolis dalam cinta remaja, kukira.”
“Tapi engkau tak benar-benar berpisah. Engkau masih bisa tahu, setidak-tidaknya, apa aktifitasnya setelah perpisahan itu. Bukan karena engkau diberi tahu olehnya, tetapi karena engkau mencari-tahunya dengan cara yang, maaf, bisa kusamakan dengan kerjaan para koboi bejat yang mencuri binatang-binatang di peternakan-peternakan kecil.”
“Kita harus meluruskan hal itu dulu, sobat. Sedikit pengecut iya, tetapi bukan mencuri. Aku mengakses apa yang boleh diakses siapa pun.”
“Bagaimana dengan telepon genggam keluaran-terbaru-berteknologi-canggihmu yang mampu mengintip di mana gadis itu berada?”
“Ia berizin. Penggunaannya diatur undang-undang resmi negara ini.”
“Apakah engkau pernah bertanya padanya, hei, maukah engkau kuketahui keberadaanmu? Tidak pernah bukan?”
“Jadi maksudmu Rich, apa yang aku miliki saat ini merupakan sebuah cidra besar dalam hidup kaummu? Tentu engkau sudah tahu bahwa siapa pun yang kuinginkan informasi apa pun tentangnya, akan kuketahui seketika itu juga.” Makhluk Putih Pualam mulai nimbrung dalam pembicaraan itu.
“Bisa dikatakan demikian. Tapi aku tak menyalahkanmu untuk hal itu Sobat. Bagaimana pun juga kita sudah bersahabat sejak lama. Yang patut disalahkan adalah mereka-mereka yang pertama kali berpikir tentang kemungkinan keberadaanmu.”
“Engkau menarik masalahnya jauh ke belakang, pada para pemimpi di masa lalu. Mimpi tentang Ikarus, mimpi Verne, Nostradamus….”
“Jika mereka salah, kalian tak akan pernah bersahabat. Maksudku, bila mereka tak pernah memimpikan itu.”
“Yah yah, aku paham keberatan kalian. Tapi mari lepaskan sejenak masalah persahabatan kita dengan masalah kegiatan mencuri tak termaafkan yang kubicarakan tadi.
“Setujukah kaliah bila kukatakan bahwa teknologi tak menyimpan sebersit pun perasaan halus dalam dirinya? Senjata dan mesiu misalnya, tak memerikan sedikit pun kebaikan dalam dirinya. Segala kekacauan akibat perang, adalah akibat kemungkinan membunuh dengan evektif yang diberikan teknologi senjata pada manusia. Begitu pula kesakit-hatianmu yang sungguh menyiksa namun tak terpahami itu.”
“Bila demikian, bagaimana kau bisa menjelaskan kisah cintaku dengan Wall E, Rich? Bukankah kau masih sering menyaksikan kami berkasih-kasihan di sana?”
Rich terbatuk-batuk. Ia mematikan rokok, berdiri dan merenggangkan tubuhnya, lantas menenggak lagi vodganya.
Sampai di sini, aku pun melihat kebuntuan pembicaraan kami. Aku pun kembali menghirup kopiku. Ketika hendak menghunus sebatang rokok untuk menandingi Rich yang tengah menikmati cerutu, kusadari persediaan rokokku telah habis. Aku pun memohon diri pada kedua tamuku untuk meninggalkan mereka sejenak.
Bukankah apa yang kulakukan ini tak evektif? Bagaimana mungkin menyelesaikan sebuah ketakmengertian dengan mengundang ketakmengertian itu sendiri? Perkara teman teleponku tadi memang cukup memusingkan kepala, tetapi perkara kecemburuan Rich akan jamanku dan perkara cinta Eve dengan Wall E ternyata lebih memusingkan kepalaku. Hah, adakah sebuah jawaban yang bisa merangkumkan ketiga perkara ini dalam sebuah tarikan nafas saja? Ya, ya, aku tahu itu tak mungkin. Sebuah perkara memang harus kita hadapi dengan penuh keberanian dan tekad kuat untuk menyelesaikannya.
Setengah bungkus rokok telah kukantongi kini. Jalanan telah menunjukkan dampak keegoisan manusia atasnya; macet yang seakan niscaya bagaikan siang dan malam itu telah berlaku lagi. Kapankah jalanan menjadi ramah di kota ini? Kapankah jalanan menjadi semulus kulit Miss Universe asal Rusia?
Aku melangkah kini ke dalam gang-gang. Mungkin kedua tamuku sudah terlalu lama menunggu. Aha, satu kalimat yang berasal dari sebuah sumber yang kebetulan kulupa tiba-tiba saja ternginag, “manusia adalah alien untuk sesamanya”. Hem, mungkin ini jawaban untuk perkara aku dan teman teleponku. Rich dan Eve harus membantuku mengelaborasinya lebih jauh.
Kubuka pintu rumah. Rich dan Eve tak kulihat di sana. Ah, mungkin mereka ada di kamarku, tengah membedah perut gumpalan-gumpalan itu. Kamarku lengang saja, kecuali gumpalan-gumpalan itu yang mulai menyusut, mengecil perlahan-lahan. Mungkinkah ulah keduanya? Aku tak tahu pasti.
Mungkin ini saatnya kita memikirkan hal lain, mengerjakan hal lain, atau mencari persahabatan aneh lainnya.***
Gang Kabel Atas, Juni-Juli 2009
Cerpen ini sebelumnya telah dimuat di Problem Filsafat. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan
Berto Tukan, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta