PADA hari Sabtu, 27 November lalu, Dublin, ibukota Irlandia, diguncang demonstrasi massal. Sekitar 50 sampai 100 ribu orang turun ke jalan, memrotes paket dana talangan besar-besaran terhadap perbankan yang tengah mengalami krisis. Dana talangan terhadap perbankan itu, dianggap tidak adil karena justru yang paling membutuhkan adalah rakyat pekerja, sebab merekalah yang paling menderita akibat krisis. Ya, dalam beberapa pekan terakhir ini, negara kecil yang bersebelahan dengan Inggris itu, telah menarik perhatian dunia karena krisis ekonomi yang menderanya.
Krisis Irlandia ini memberi pertanda bahwa krisis ekonomi Eropa belum pulih, bahkan cenderung meluas ke negara-negara Eropa Timur. Dan seperti biasanya, IMF, Bank Dunia, dan negara-negara Eropa Barat memandang krisis ini sekadar krisis likuiditas keuangan, sehingga obat pencegahnya adalah kucuran dana talangan (bailout) sebesar $112 miliyar. Dan seperti biasanya pula, jangan berpikir bahwa dana sebesar itu akan dirasakan manfaatnya oleh rakyat pekerja, terutama bagi 400 ribu pengangguran. Bahkan sebaliknya, sebagai imbalan dari dana “penyelamatan” ini, rakyat Irlandia diharuskan untuk berhemat di segala sisi. Misalnya, jaminan kesejahteraan sosial dipotong sebesar 4 persen, pembiayaan sektor publik dipotong sebesar 16 persen, dan pemaksaan upah minimum dan pajak retribusi kepada rakyat pekerja.
Bagaimana ceritanya Irlandia terjatuh ke dalam krisis ini? Pelajaran apa lagi yang diberikannya kepada kita?
Bangkrutnya Celtic Tiger
Dalam periode 1995-2007, ekonomi Irlandia mengalami jaman keemasannya. Pada masa itu, ekonominya bertumbuh antara 6 – 11 persen selama 2001 hingga awal 2007. Pertumbuhan domestik kotor (GDP) juga bertumbuh pesat hingga sejajar atau bahkan melampaui negara-negara Eropa Barat lainnya. Periode ini, dalam sejarah ekonomi Irlandia, dikenal dengan nama Celtic Tiger, seperti ketika negara-negara Asia macam Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura di masa kejayaannya yang dikenal dengan sebutan East Asian Tiger.
Kita tahu bahwa periode ini merupakan masa dimana neoliberalisme menjadi ideologi yang tak tertandingi pengaruhnya. Dan Irlandia, menjadi salah satu negara yang secara sengaja mengadopsi kebijakan neoliberalisme tesebut. Menurut ekonom Terrence McDonough, dalam artikenya The Irish Crash in the Global Context, sejarah terintegrasinya ekonomi Irlandia ke dalam sirkuit kapitalisme global bisa dilacak hingga ke dekade 1950an. Ketika itu, pondasi ekonomi berorientasi ekspor ditetakkan, dimana investasi asing langsung diundang masuk dengan rangsangan pajak yang sangat rendah.
Pada dekade 1960an, dengan promosi pemerintah yang besar, melalui lembaga Industrial Development Authority (IDA), investasi asing langsung yang masuk ke Irlandia makin besar. Ketika Thatcherisme secara politik mengadopsi neoliberalisme, maka integrasi Irlandia menjadi sempurna. Pada masa ini, pemerintah melalui Enterprise Ireland Agency terus berusaha agar korporasi domestik semakin terkait dengan korporasi transnasional. Serangkaian kebijakan ekonomi kemudian diadopsi oleh pemerintah Irlandia, seperti mengamandemen the Singel European Act pada 1987, deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi pasar barang, jasa dan keuangan. Hasilnya, pada 1987 investasi asing langsung meningkat lebih dari 700 persen, kemudian bertambah dua kali lipat pada 1990 dan kembali naik dua kali lipat pada 1990 hingga mencapai €2.62 milyar, dan tiba di puncaknya pada 2002 menjadi sekitar €30 milyar. Ekspor Irlandia juga terus meningkat setelah 1990 dimana pertumbuhannya sebesar 56.7 persen dari GDP dan puncaknya bertumbuh sebesar 100 persen dari GDP pada 2001.
Privatisasi yang dimulai pada 1991, dengan tujuan menghapuskan peran pemerintah dalam pasar juga sukses mendatangkan dana dari luar negeri. Privatisasi paling besar dan sukses adalah keberhasilan menjual perusahaan telekomunikasi milik negara yang terbesar Eircom. Selain itu juga, neoliberalisme sukses memaksa pemerintah untuk menurunkan tingkat pajak, dimana persentasi pendapatan Irlandia dari pajak hanya setingkat lebih baik dari negara-negara miskin di Eropa, seperti Lativa, Slovakia, Lithuania, dan Romania.
Tetapi, kebijakan neoliberalisme tidak bisa sesukses itu jika serikat buruhnya kuat dan terorganisasi. Itu sebabnya, sebelum serangkaian kebijakan privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi dipaksakan, target pertama yang harus dilumpuhkan oleh rejim neoliberal adalah serikat buruh terorganisir. Paralel dengan kondisi serikat buruh di negara-negara lainnya yang mengadopsi kebijakan neoliberal, serikat buruh Irlandia terus melemah seiring dengan perubahan hubungan industrial yang terjadi. Melalui mekanisme kerja kontrak dan pasar kerja yang fleksibel, keanggotaan serikat buruh terus menurun, dari 251 ribu pada 2001 menjadi 223.400 pada 2007.
Namun demikian, ada yang unik dari hubungan buruh-kapital di Irlandia. Bercermin dari kasus Inggris di bawah perdana menteri Margareth Thatcher, buruh dan kapital di Irlandia kemudian sepakat membentuk pakta kerjasama sosial (social partnership pact). Inti dari pakta ini adalah membatasi peningkatan upah buruh dan sebagai kompensasinya perusahan mengurangi tingkat pajak personal buruh.
Pakta kerjasama sosial ini, telah memberikan sumbangan besar pada pertumbuhan ekonomi Irlandia yang dijuluki Celtic Tiger. Korporasi-korporasi internasional dengan leluasa dan aman mengoperasikan bisnisnya. Dengan pertumbuhan yang tinggi, walaupun tingkat upah stagnan, secara rata-rata pendapatan buruh meningkat dua kali lipat. Tetapi, kita juga telah melihat bahwa pakta ini tidak sanggup melindungi buruh dari tindakan pemecatan, ketika pertumbuhan ekonomi mengalami masa surut. Pada akhir periode Celtic Tiger, hanya sekitar 25 persen dari seluruh korporasi memiliki serikat buruh yang terorganisir. Selain itu, pakta kerjasama sosial ini juga gagal menghambat melebarnya jurang kaya miskin.
Demikianlah, ketika krisis ekonomi terjadi pada 2007 lalu di Amerika Serikat dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, ekonomi Eropa dan Irlandia pada khususnya ikut terguncang. Dengan integrasi ekonomi yang begitu dalam, terutama sektor keuangan yang selama ini menjadi mesin utama pelumas dan perekat ekonomi Irlandia, maka krisis ini hanya menunggu waktunya saja untuk meledak.
Penutup
Dari paparan singkat di atas, kita bisa mengambil beberapa pelajaran dari kasus Irlandia, pelajaran yang bukan baru sama sekali:
Pertama, berbeda dengan propaganda para proponen neoliberalisme selama ini, integrasi ekonomi ke dalam sirkuit kapitalisme global ternyata hanya menguntungkan negara-negara kapitalis maju. Sementara bagi negara-negara miskin integrasi ekonomi itu hanya menyebabkan ketergantungan yang semakin dalam pada modal, teknologi, dan pasar negara-negara maju. Pasar dalam negeri sendiri merosot karena lemahnya daya beli penduduknya, akibat pemecatan, pencabutan beragam paket subsidi, pemotongan anggaran belanja publik, dan tidak adanya jaminan kerja yang tetap;
Kedua, dalam situasi krisis ekonomi inisiatif pertama yang ditempuh rejim neoliberal adalah menalangi kerugian yang dialami oleh korporasi. Pada saat yang sama, mereka memaksa rakyat pekerja untuk memanggul beban ganda: menanggung dampak buruk dari krisis tersebut di satu sisi, dan di sisi lain membayar kembali dana talangan tersebut melalui paket pengetatan ekonomi di segala sektor;
Ketiga, gerakan rakyat pekerja yang teorganisir dan radikal adalah kunci untuk membendung agresi kebijakan neoliberal di segala sektor kehidupan. Pengalaman Irlandia menunjukkan, taktik kolaborasi dengan rejim neoliberal, gagal membendung terjadinya krisis ekonomi. Adalah benar ketika ekonomi secara keseluruhan bertumbuh pesat, rakyat pekerja juga bisa menikmati kue pertumbuhan itu walaupun hanya recehan. Tetapi kenikmatan itu harus dibayar dengan tingkat produktivitas yang semakin tinggi. Sementara ketika krisis ekonomi terjadi, rakyat pekerja merupakan korbannya yang pertama dan paling menderita: kehilangan pekerjaan, perumahan, naiknya tingkat pajak, biaya kesehatan dan pendidikan yang tak terjangkau, hilangnya jaminan hari tua, dsb.***
Coen Husain Pontoh, Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)