APABILA kita hidup delapan puluh dua tahun lalu saat Pemuda Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Assat dan Sukiman dan pemudi Sitti Soendari, memimpin sebuah ikrar yang kemudian kita kenang sebagai peristiwa Sumpah Pemuda, maka akan kita rasakan bahwa semangat zaman dan suasana mental yang tumbuh dan membakar di kalangan kaum muda saat itu, bukan saja sebuah momen historis saat segenap sentimen kedaerahan dan tendensi provisionalisme berubah menjadi kesadaran untuk menyatu dan terikat dalam komunitas impian bersama: bangsa Indonesia.
Namun, lebih dari kesadaran untuk bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia, yang lebih membanggakan lagi bagi kaum pemuda pelajar yang hidup sebagai kaum terjajah adalah untuk pertama kalinya zaman itu dihayati sebagai Zaman Kemenangan! Saat sekumpulan kaum muda yang sering dijuluki inlander, atau bahkan Minke atau Monkey (dalam penuturan dari Pramoedya Ananta Toer) berhasil memenangkan gagasan tentang Indonesia dalam pertarungan di ruang publik kolonial Hindia Belanda.
Seperti dituturkan oleh R.E. Elson dalam karya magnum opusnya The Idea of Indonesia, menginjak akhir era 1920-an, term Indonesia menjadi sebuah teks hegemonik terutama di kalangan aktivis politik, dimana orang-orang Belanda sendiri mengakui bahwa pada saat itu gagasan tentang Indonesia semakin diterima di tanah jajahan oleh kaum Bumiputera. Sebuah perjuangan atas nama sebuah kata sebagai perekat impian bersama, meja statis yang mempersatukan segenap kolektivitas perlawanan terhadap kolonial dan menjadi leitstar (bintang penunjuk jalan) bagi arah masa depan himpunan kolektivitas ini adalah sebuah perjalanan politik heroik yang panjang.
Mengikuti trajektori visioner dari gerakan politik yang ditorehkan oleh Antonio Gramsci (1971) dalam Prison Notebooks, kemenangan politik sebuah gerakan kerakyatan ditentukan oleh keberhasilannya dalam mengawal tiga fase ranah pergerakan, yaitu level pertama saat mereka yang tertindas dan dilumpuhkan sadar akan kondisinya dan berusaha mengorganisir diri untuk menuju level kedua, yaitu fase saat mereka menyadari kepentingannya dan berani untuk memperjuangkan kepentingan partikular mereka melalui arena politik dan kultural. Ketiga, momen historical block (blok sejarah), saat segenap kepentingan-kepentingan partikular yang memperjuangkan diri dalam arena politik mampu melampaui segenap kepentingan partikular mereka dan membangun blok perlawanan bersama atas nama memperjuangkan kepentingan kolektif. Saat momen ketiga ini tercapai maka sebuah pergerakan berbasis kerakyatan telah mendekat satu langkah menuju momen hegemonik.
Apa yang berlangsung dalam sejarah pergerakan modern Indonesia, mengikuti trajektori politik yang dikembangkan Gramsci. Pada awalnya, kebangkitan Boedi Oetomo adalah kebangkitan awal bagi rakyat jajahan dimana mereka mulai menyadari bahwa mereka harus bangkit dan berorganisasi untuk menunjukkan diri dan identitas, meski fase ini hadir masih dalam bentuk sentimen provisionalisme berbasis kebangsaan Jawa. Dalam sejarah selanjutnya, masuknya pergerakan kaum nasionalis dalam arena politik dan memperjuangkan kepentingannya muncul dalam bentuk sentimen nasionalisme religius dan kesadaran politik berbasis kelas. Pada fase ini gerakan kebangsaan mulai belajar memperjuangkan kepentingannya dalam arena politik. Sebuah mitos tengah dihancurkan bahwa rakyat Bumiputera selalu berada pada posisi inferior dihadapan kolonialisme Belanda. Pada fase ini kesadaran tentang kemampuan rakyat untuk memperjuangkan tanah air di masa depan dan membentuk sebuah komunitas politik mulai diperkenalkan. Saat ini ditandai ketika Tjipto Mangoenkoesomo untuk pertama kalinya menggunakan istilah Indonesia secara kultural pada tahun 1918 dan menggunakannya dalam artikulasi politik pada pidato Volksraad setahun setelahnya.
Momen pembentukan historical block hadir saat segenap kepentingan partikular mulai saling bertemu untuk membangun sebuah kesadaran politik bersama yang melampaui segenap kepentingan partikular bersemi semenjak Juli 1927. Pada saat itu terjadi proses transformasi radikal dalam aras kebangsaan Indonesia, ketika pasang surut perjuangan nasionalisme berbasis agama dan kelas terjadi, dan muncul manifesto kebangsaan baru berbasiskan kewargaan terbuka (inclusive citizenship) dengan lahirnya PNI di bawah pimpinan Soekarno. Tahun 1927-1928 adalah momen yang sangat bergejolak, sebagai kawah candradimuka dari penguatan formasi front bersama kaum nasionalis Indonesia. Dimana artikulasi kebangsaan baru yang melampaui sentimen kedaerahan, agama dan kelas muncul dan menegaskan dirinya dalam mencapai momen kemenangan menambatkan istilah Indonesia sebagai sebuah istilah bersama bagi rakyat Indonesia dalam peristiwa Sumpah Pemuda.
Setidaknya ada tiga hal penting yang dapat kita elaborasi dalam peneguhan Sumpah Pemuda sebagai momen kemenangan bagi pergerakan kaum muda Indonesia pada waktu itu. Pertama, bersamaan dengan disepakatinya Indonesia sebagai sebuah term politik bersama maka sejak saat itulah cita-cita republikanisme hadir sebagai ideologi politik kaum muda. Sebuah cita-cita politik yang berusaha merumuskan solidaritas sosial-politik untuk melayani kepentingan umum dan mengintegrasikan seluruh daya juang dan komitmen kebersamaan untuk membentuk sebuah komitmen, yang oleh Soekarno pada tahun 1945, ia uraikan dalam pidato monumental Lahirnja Pantjasila:
“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”
Suatu komitmen yang mengabdi pada kepentingan publik, kepentingan Res-Publica ketika ranah politik adalah ranah pergulatan, ketegangan dan dialog untuk merumuskan apa yang baik bagi bersama dan bukan apa yang baik untuk kepentingan kelompok, golongan atau orang-orang kaya saja.
Kedua, momentum Sumpah Pemuda sebagai sebuah momentum politik lahirnya dengan disepakatinya Bahasa Indonesia sebagai sebuah bahasa persatuan. Melalui penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, maka kaum muda republiken pada saat itu berhasil menempatkan dua posisi penting dalam perjuangan nasionalisme politik. Pertama, keberanian untuk melakukan distingsi dan pemisahan diri dengan konstruksi politik kolonialisme Belanda sebagai sebuah kekuatan politik yang akan mereka lawan dengan segenap daya intelektual dan aksi pengorganisiran politik kerakyatan. Ketika memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi bersama, bukan bahasa Belanda sebagai bahasa komunikasi intelektual mereka, maka kaum muda pergerakan Indonesia telah berhasil menarik batas simbolik dan pemisahan antara kaum penjajah dan kaum terjajah.
Sementara mengapa bukan bahasa Jawa yang digunakan sebagai bahasa persatuan? Dengan menolak struktur hierarkhis yang terkandung dalam bahasa Jawa, kaum muda pergerakan yang sebagian besar berasal dari kaum priyayi kelas dua ini mampu menarik garis pembatas dan pemisah antara kenangan masa lalu kolonialisme yang oleh Abdul Rivai (1902) ia simbolisasikan sebagai era bangsawan oesoel, dengan era baru yaitu era bangsawan fikiran yang menempatkan intelektualitas dan komitmen kepada daya hidup rakyat sebagai parameter baru dalam memandang kehormatan dan status seseorang.
Ketiga, melalui ikrar Sumpah Pemuda maka kaum republikan Indonesia berhasil melakukan proses desakralisasi terhadap komitmen-komitmen pra-politik (simbol kedaerahan, agama dan ras), yang pada awalnya melingkupi imajinasi mereka tentang kolektivitas hidup bersama menuju sebuah kesadaran politik baru nasionalisme teritorial berbasis tanah-air dan bangsa Indonesia. Seperti diutarakan oleh Hannah Arendt (1958) dalam The Human Condition, sebuah tatanan politik republik yang memajukan keadaban publik lahir saat suasana mental, kondisi kultural dan struktur politik yang ada di dalamnya mampu melakukan proses detachment dari kondisi pra-politik menuju era politik. Saat tujuan untuk menghadirkan kebaikan publik lahir dari kesepakatan manusia-manusia merdeka yang berkomitmen untuk membangun kontrak politik bersama berdasarkan kesetaraan yang inklusif.
Membangun Politik Utopia
Salah satu hikmah paling penting dari tebaran hikmah peristiwa Sumpah Pemuda yang patut kita kenang dan menjadi inspirasi bagi kita bersama, bahwa pada tahun 1928 kaum muda Indonesia mampu untuk merawat dan memperjuangkan sebuah politik utopia, sebuah kesadaran melalui kerja keras dan semangat intelektual yang menyala-nyala, mereka sematkan sebuah kesadaran pada publik bahwa masa depan akan lebih baik dari hari ini. Bahwa kita mampu membuat sebuah perubahan mendasar dan melampaui kemunduran dan ketertinggalan kita dalam kondisi kita sekarang. Atau dalam bahasa agama, orang akan mendapatkan keuntungan ketika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini.
Seperti diutarakan salah seorang intelektual new-left asal Amerika Serikat Russel Jacoby, daya hidup suatu bangsa ditentukan oleh kesadaran kaum mudanya yang tetap kokoh dan memiliki utopia politik akan masa depan yang lebih baik bagi bangsanya. Dalam konteks kehidupan Indonesia sekarang, saat neoliberalisme menghunjam dan memiskinkan kondisi material rakyat Indonesia dalam arena sosial-ekonomi, mengasingkan kesadaran republik dalam arena politik, dan mendorong nafsu untuk terus mengkonsumsi dan menilai hubungan antara manusia dalam relasi transaksional dalam wilayah budaya, maka politik utopia ini semakin dirasakan kebutuhannya. Kita, kaum muda republik Indonesia, tertantang untuk membangun sebuah utopia bersama berbasis spirit republikanisme.
Dalam pancaran sinar kesadaran itu, penting mengenang pernyataan intelektual aktivis asal Polandia Adam Mitchnik, ketika ia membangkitkan kesadaran politik demokratik pada warga Polandia yang tertindas oleh rejim totalitarianisme komunis di sana, dengan berseru “menjadi realis adalah berani untuk membayangkan dan memperjuangkan apa yang terlihat mustahil untuk dilakukan!”***
Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga