SALAH satu warisan penting dari Pemilu 2009, adalah sentimen anti-neoliberalisme yang mewabah. Hingga saat ini, kesadaran anti-neoliberalisme ini tak bisa lagi dipukul mundur. Kasus bailout Bank Century, misalnya, dipandang tidak lagi sekadar perilaku buruk pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya, tapi sebagai konsekuensi dari dianutnya kebijakan neoliberal oleh penyelenggara negara dan otoritas keuangan nasional.
Tetapi, kalau kita perhatikan lebih serius, ada hal yang mesti didiskusikan secara serius dari kritik atas neoliberalisme tersebut. Ajakan untuk mendiskusikan kritik itu secara serius bukan karena kritik tersebut keliru,tapi lebih pada konsekuensinya terhadap pembangunan gerakan progresif di Indonesia.
Seperti yang sudah tepat dikritik selama ini, neoliberalisme adalah sebuah ajaran filosofis yang menekankan pada individualisme ekstrim. Menurut paham ini, percuma kita memperjuangkan kebebasan jika itu tidak berujung pada kebebasan individu. Individu adalah awal dan akhir. Dalam bidang kebijakan ekonomi, neoliberalisme menekankan pada aspek kebebasan bergerak modal dan barang ke seantero pelosok dunia. Pokok-pokok kebijakan tersebut meliputi deregulasi, liberalisasi perdagangan dan investasi, serta privatisasi, serta hubungan kerja yang fleksibel. Menurut kebijakan ini, negara yang baik adalah yang tidak turut campur dalam aktivitas mekanisme pasar, kecuali dalam rangka memfasilitasi bekerjanya mekanisme pasar tersebut.
Secara historis, neoliberalisme muncul sebagai kritik terhadap kebijakan ekonomi Keynesian, sosial-demokrasi, dan juga sosialisme-komunisme, yang marak pasca Perang Dunia II. Seluruh kebijakan sebelumnya ini, dengan derajat yang berbeda-beda, berusaha mengontrol pergerakan kapital, mengakomodasi kepentingan kelas pekerja, dan membolehkan negara terlibat dalam mekanisme pasar.
Dengan wataknya seperti itu, maka solusi yang ditawarkan oleh para kritikus neoliberalisme, mengambil bentuk: tolak privatisasi, tolak liberalisme, dan mengembalikan peran negara sebagai agen redistribusi kemakmuran. Dengan kritik seperti ini, secara paradigmatik solusi yang dikemukakan dekat-dekat dengan solusi neo-keynesianisme, negara-kesejahteraan, atau kapitalisme-negara ala Korea Selatan atau bahkan Cina.
Secara politik, solusi terhadap neoliberalisme tampak dalam program pendalaman demokrasi dan promosi keterlibatan kelompok berbasis identitas dan lingkungan yang luas dalam percaturan politik. Melalui ini, mereka tidak terlalu tertarik dengan pengambilalihan kekuasaan negara, dan pada adanya satu kelompok yang memiliki privilese dalam memperjuangkan kepentingan mayoritas. Gerakan ini menyebut dirinya sebagai “globalization from below” dengan pelopor utamanya adalah kelompok Zapaista yang berbasis di Meksiko dan kemudian memuncak pada apa yang terkenal dengan sebutan “Forum Sosial Dunia/WSF.
Kritik kapitalisme-neoliberal
Kritik lain terhadap neoliberalisme bertolak dari pandangan bahwa neoliberalisme adalah tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Menurut kalangan ini, penyebab utama keterbelakangan, kemiskinan, represi terhadap hak-hak rakyat miskin, dan kerusakan lingkungan adalah akibat dominasi dari sistem produksi sosial kapitalisme yang kini berwujud kapitalisme-neoliberal.
Lebih lanjut kelompok ini mengatakan, sebagai bagian dari kapitalisme maka neoliberalisme sebenarnya merupakan kritik dan koreksi internal terhadap kapitalisme. Seluruh muara dari kebijakannya ditujukan untuk membuat kapitalisme semakin tangguh, dan kekuasaan para oligarki-finans semakin kuat di hadapan rakyat pekerja.
Konsekuensinya, menurut pendekatan ini gerakan anti-neoliberalisme tidaklah cukup untuk melawan agenda-agenda neoliberal, karena neoliberalisme itu sendiri hanyalah satu fase dari serangkaian fase perkembangan kapitalisme yang muncul pada pertengahan 1960an dan akhir 1970an. Jika kelompok anti-neoliberalisme yang kini sedang bergairah di Indonesia, hanya memfokuskan program, strategi dan taktiknya pada perlawanan terhadap neoliberalisme maka gerakan ini tak bisa bergerak lebih jauh karena terjebak pada model pembangunan kapitalisme yang dibimbing oleh negara, seperti yang menjadi pengalaman negara-negara Asia Timur. Dalam model ini, negara terlibat aktif dalam akivitas ekonomi, baik di bidang produksi dan redistribusi kemakmuran, sembari meminggirkan kekuatan rakyat pekerja. Dengan kata lain, perlawanan terhadap neoliberalisme tidak selalu berarti perlawanan terhadap kapitalisme.
Dengan bertolak dari kritik kapitalisme-neoliberal, maka fokus dari kelompok-kelompok anti-neoliberal adalah perlawanan terhadap sistem produksi sosial kapitalisme. Di sini, ada beberapa hal yang patut diperhatikan: pertama, hanya dengan menghancurkan kapitalisme, barulah kita bisa mengatasi keterbelakangan, kemiskinan, dan represi terhadap rakyat pekerja; kedua adalah kelas dan bukan identitas yang menjadi motor perjuangan ini; ketiga, rakyat pekerja tidak menjauh dari negara, bahkan sebaliknya harus berjuang untuk mengambilalih kekuasaan negara; dan terakhir rakyat pekerja dengan beragam identitasnya, merupakan kelompok yang paling berkepentingan terhadap perlawanan atas kapitalisme ini. Karena itu rakyat pekerja harus mampu membangun kekuatannya sendiri secara independen baik dalam hal organisasi, politik, dan ideologinya.***