SIAPA yang patut dihukum oleh aparat dan kenapa mereka dihukum? Alasan yang biasanya digunakan untuk menghukum di Negara ini adalah: “Demi menjaga kestabilan dan meredakan keresahan masyarakat”. Seperti juga ketika menciduk Ariel dan Luna Maya; si pencuri dan penyebar video, justru tidak mendapatkan kecaman seperti Ariel dan Luna. Mengapa?
Mungkin kita bisa menyimak sebuah kisah, tentang hilangnya seorang bayi di sebuah gurun di Australia. Tersebutlah Azaria Chantel Loren Chamberlain, seorang bayi yang masih berusia sembilan minggu. Pada suatu malam, 17 Agustus 1980, bayi Azaria menghilang di sebuah perkemahan di Uluru (Ayers Rock). Tubuhnya tak pernah ditemukan. Orang tuanya, Lindy dan Michael Chamberlain mengatakan,anak mereka diambil oleh seekor dingo (anjing liar Australia).
Penyelidikan pertama mendukung cerita ini. Tapi penyelidikan selanjutnya membuat Lindy Chamberlain menjadi tertuduh dalam kasus ini. Media masa dengan “girasnya” menyambut tuduhan ini. Ini berita berita sensasional: Seorang ibu membunuh bayinya sendiri! Pengadilan Lindy adalah kasus yang paling mendapat publikasi di media Australia. Bukti-bukti yang mendukung bahwa Lindy tidak bersalah seakan dilewatkan begitu saja oleh pengadilan karena santernya media masa menyudutkan Lindy Chamberlain dengan bukti-bukti yang dibuat-buat seperti arti nama Azaria adalah korban di alam buas. Mereka juga membandingkan dingo dengan anjing peliharaan mereka sendiri, yang begitu ramah dan patuh. Jadi tidak mungkin dingo bisa membunuh bayi.
Dari asumsi-asumsi seperti ini bermunculanlah humor dan karikatur yang menggambarkan Lindy sebagai dukun pemakan bayi. Bahkan warna baju si orok yang hitam pun menjadi bahan gosip. Lindy Chamberlain dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena dituduh membunuh bayinya sendiri.
Barulah pada tahun 1986, ketika bukti-bukti baru yang menguatkan bahwa dingo memang bisa memakan bayi, Lindy dibebaskan. Tapi suara massa sempat membuat Lindy menjadi korban.
Inilah contoh dari pengadilan yang tak lagi mampu menjadi penegak hukum, karena adanya desakan publik. Akhirnya mereka harus membayar mahal, dan seorang manusia dikorbankan demi menyenangkan hati banyak orang dan mengabulkan desakan mereka.
Seperti juga keroyokan massa yang terjadi di Indonesia, yang memojokkan kelompok minoritas. Dan para aparat malas menyelesaikan kasus seperti ini. Buat apa menentang massa? Apa untungnya? Akibatnya, bukan sang kriminal yang dijaring, namun sang korbanlah yang menjadi tumbal.
Histeria publik dan media massa yang butuh oplah, bisa menjadi kombinasi yang fatal untuk beberapa orang. Undang-undang anti pornografi yang mengikutsertakan peran masyarakat bahkan diresmikan.
Sayangnya, keresahan masyarakat bukanlah sumber keadilan. Karena sekedar menuruti keresahan tanpa penyelidikan yang teliti, hanya akan mengorbankan individu atau kelompok minoritas. Dan karena itu “kambing hitam” akan muncul: mereka hanya akan menemukan Lindy, bukan dingo.
Kambing hitam, sebutan yang berasal dari kebiasaan peradaban Syria kuno yang mengorbankan kambing bila terjadi bencana alam atau musibah di masyarakat mereka. Korban ini menjadi pelampiasan kesalahan dan terkadang juga pengalihan perhatian dari masalah yang sulit untuk dipecahkan. Kemudian, pengambinghitaman ini tidak hanya mengorbankan binatang, tapi juga manusia. Apalagi bila si manusia bisa dipaksa dan didesak sedemikian rupa sehingga mengamini kelayakan dirinya sebagai kambing hitam.
Karena itu, keresahan masyarakat tidak seharusnya dipakai sebagai barometer kebijakan. Tapi, di Indonesia ini justru keresahan masyarakat menjadi alat, kunci, sekaligus jalan keluar bila para petinggi politik kita sedang mengalami kesulitan.
Pelarangan buku dikibarkan, pembredelan sejumlah majalah, organisasi-organisasi yang dianggap menyimpang ditindas dengan alasan menjaga kestabilan dan meredam keresahan masyarakat. Sedangkan hal-hal yang lebih besar dan merugikan masyarakat tidak diusut, tapi masalah sepele yang menyangkut pribadi tertentu terus menerus dibikin sensasi.
Artinya, carilah terus kambing hitam supaya para petinggi negara mempunyai kesempatan untuk memalingkan perhatian dari korupsi besar-besaran, dan yang berwajib mempunyai kesempatan berbuat hal yang dinilai hebat dan bermoral oleh publik yang tidak lagi berpikir tapi dipenuhi oleh ego dan nafsu. Penciptaan kambing hitam adalah hal yang terus menerus dipertahankan di Negara ini, dengan dukungan beberapa media massa yang bias dan histeria publik. Dan untuk mendapat kambing hitam yang sesuai dengan tujuan pembesar kita, keresahan masyarakat biasanya diciptakan terlebih dulu. Diskusi tentang seks dibikin tabu sehingga masyarakat resah dengan apa saja yang berbau seks (walaupun semua manusia tidak bisa ada tanpa seks) disebut mesum atau porno. Lalu, setelah seks menjadi momok, dicarilah kambing hitam itu. Hukum kita bukan sibuk mencari kriminal, tapi merekayasa kasus untuk kemudian mendapat kambing yang diharapkan.
Seks, yang semestinya adalah hak pribadi seseorang dijadikan urusan Negara, dengan cekokan moralitas yang dogmatis dan baku. Sehingga yang terjadi adalah mencari-cari alasan berdasarkan “kepantasan”. Bukankah ini yang telah terjadi di Australia juga – karena dianggap tidak pantas memberi baju warna hitam pada sang bayi, hal ini kemudian menjadi bukti pembunuhan yang dilakukan Lindy, ibunya sendiri. Dan karena “kepantasan” ini, bukti-bukti lain yang lebih relevan tidak dihiraukan. Dalam sistem seperti ini, apa yang pantas atau patut dilihat dan didengar orang, dan apa yang tidak menjadi lebih penting daripada manusia itu sendiri.
Mereka menciptakan Lindy-Lindy Chamberlain, sehingga paling tidak, ada suatu saat di mana mereka bisa berteriak melampiaskan kemarahan pada keadaan yang tak menentu dan ekonomi yang kian parah. Dalam hidup yang dirasa susah, paling tidak mereka bisa merasa lebih bermoral dengan menggelengkan kepala dan merendahkan kambing hitam ini bersama-sama, dalam korus yang dahsyat. Pada saat yang sama, tipu muslihat para pejabat tinggi lepas dari perhatian rakyat.***