DI SEBUAH gedung fakultas hukum suatu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur, pernah ada pencuri tertangkap basah di siang hari bolong. Seperti lazimnya, dia dipukuli beramai-ramai oleh berbagai orang, termasuk mahasiswa fakultas hukum itu. Konon tak ada yang melerai para pemukul itu atas nama asas praduga tak bersalah.
Beberapa tahun lalu, Pelapor Khusus (Special Rapporteur) Sekretaris Jenderal PBB untuk Penyiksaan, Prof. Manfred Nowak, berkunjung ke Indonesia untuk menyelidiki kasus-kasus penyiksaan terhadap tahanan polisi. Dalam kunjungannya ke salah satu pos polisi, tanpa harus minta ini-itu, Yang Mulia menyaksikan dengan mata-kepala sendiri seorang tahanan dipukuli oleh polisi di halaman pos itu.
Budaya kekerasan seperti dicontohkan dua anekdot tadi acapkali dianggap lumrah oleh banyak orang. Haruskah kita yang kritis dan mencita-citakan perubahan masyarakat menjadi yang lebih adil merasa terganggu dan berusaha mengubahnya? Mengapa kita harus terganggu? Apa yang harus dilakukan untuk mengubah budaya itu?
Anekdot fakultas hukum tadi sepatutnya membuat kita terganggu karena bukankah dalam membangun masyarakat yang adil kita seyogyanya mementingkan asas praduga tak bersalah, di mana hukuman baru bisa dijatuhkan sesudah proses hukum yang adil? Bukankah itu merupakan hak setiap orang? Namun jangan heran, tidak semua pengelola, pengajar maupun mahasiswa fakultas hukum menghayati prinsip-prinsip hak asasi manusia. Seorang pengajar mata kuliah hak asasi manusia di fakultas hukum yang sama pernah mengeluh kepada saya, bahwa mata kuliahnya pernah terancam dihapus dari kurikulum fakultasnya. Seorang pengajar senior yang tak begitu disuka di fakultas itu pernah mengritik bahwa di fakultas hukum mahasiswa tidak belajar ilmu hukum, melainkan belajar menjadi praktisi hukum. Tidak usah kita berpanjang-panjang mengomentari praktik hukum kita. Bukankah para teoretisi kekerasan memasukkan korupsi dalam budaya kekerasan juga?
Kekerasan polisi terhadap tahanan pada anekdot kedua dijelaskan para analis, dan oleh petinggi polisi sendiri, sebagai sisa-sisa budaya polisi ketika digabungkan dengan tentara dalam angkatan bersenjata. Tetapi kemudian pertanyaan kita, apakah tentara memang identik dengan kekerasan? Bagi sebagian orang pertanyaan itu terkesan aneh, tautologis bahkan.
Barangkali di situlah letak salah kaprah dalam masyarakat kita dan mungkin semua masyarakat di muka bumi: walaupun di beberapa masyarakat citra tentara sudah kurang terpuji, glorifikasi tentara masih kuat sekali. Sedikit sekali orang yang memvisikan suatu masyarakat tanpa tentara, padahal ada beberapa negara yang tidak punya tentara. Dengan berbagai variasi, ada 21 negara yang tidak mempunyai tentara, mulai dari Grenada hingga Costa Rica, Tuvalu hingga Panama.
Memang tidak ada informasi jelas apakah kekerasan kurang terjadi di negara-negara itu, dan di sana tentara digantikan oleh pasukan mirip polisi atau satuan keamanan lainnya. Mungkin yang perlu direnungkan adalah kemungkinan masyarakat-masyarakat kita kian banyak yang membubarkan tentaranya.
Tentunya tidak adil juga melemparkan semua biang keladi budaya kekerasan pada tentara. Sebelum adanya tentara modern juga sudah ada budaya kekerasan, seperti tampak dari jenis-jenis hukuman yang sangat kejam, kekerasan berbasis gender, kekerasan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Tentara dan perang mensistematikkan budaya kekerasan itu dan mengglorifikasinya. Akibatnya muncul sesuatu yang kerapkali disebut dengan militerisme, suatu ideologi yang memuliakan ketentaraan dan merendahkan kesantunan pendekatan-pendekatan yang lebih beradab dan didasarkan pada dambaan terhadap perdamaian.
Dalam perkembangan kapitalisme kita kenal perang sebagai solusi yang dikedepankan oleh para pemilik modal (melalui pemerintah-pemerintah yang dikuasainya) dalam menghadapi krisis, khususnya yang berskala besar. Perang Dunia I dan II sudah banyak dianalisis demikian. Dengan cukup jujur jenderal dan politikus seperti Dwight Eisenhower dari Amerika Serikat pun (Presiden, 1953-1961) mengakui adanya kompleks industri militer ini. Kompleks industri inilah yang diuntungkan ketika terjadi perang.
Di Indonesia kita mengalami sendiri militerisme ini mulai tahun 1950-an akhir dengan puncaknya selama pemerintahan Orde Baru, yang sisa-sisanya belum sepenuhnya pupus. Apabila kita serius mengurangi dan akhirnya menghapuskan budaya kekerasan di masyarakat kita, pengikisan militerisme, termasuk glorifikasi tentara, perlu dengan serius diusahakan. Kiranya perjalanan masih jauh, tetapi sudah dimulai oleh sebagian dari kita.***
Jakarta, 11 Agustus 2010