Langkahmu cepat seperti terburu, berlomba dengan waktu
Apa yang kau cari belumkah kau dapati. Diangkuh gedung gedung tinggi
…
Lari kota Jakarta lupa kaki yang luka, Mengejek langkah kura kura
Ingin sesuatu tak ingat bebanmu, Atau itu ulahmu kota. Ramaikan … mimpi indah penghuni
(Iwan Fals, Berkacalah Jakarta)
22 Juni ini, kota Jakarta merayakan ulang tahunnya yang ke 483. Usia Jakarta ditetapkan lebih tua dari usia Republik Indonesia, karena umurnya dihitung semenjak tahun 1527. Pada tahun itu, Fatahilah, kelak lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Djati, menantu Sultan Demak, mengubah nama pelabuhan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Nama baru ini memiliki arti “kota kemenangan” sebagai tanda keberhasilan pasukan aliansi — kerajaan Demak dan Cirebon — memenangkan pertempuran merebut kota pelabuhan tersebut dari kerajaan Sunda yang turut didukung pasukan laut Portugis, yang secara khusus diperintahkan bergerak dari daerah kekuasaan mereka di Maluku.
Pergerakan nasib pelabuhan itu terus menapak sebagai area yang menarik minat strategis berbagai bangsa – bukan cuma dari negeri-negeri di nusantara tapi juga dari bangsa-bangsa Eropa, seperti Inggris dan Belanda — yang menempatkan pos perdagangan mereka. Pergerakan orang dan modal terus menjadi kisah yang menyertai perjalanan kota – yang sempat berganti nama Batavia – hingga sekarang. Pergerakan yang seperti dilgambarkan Iwan Fals dalam lirik lagunya: cepat seperti terburu, sembari menyeret luka yang menjadi bebannya, dan tak jelas orientasi.
Jakarta, kini telah menjadi kota yang multifungsi. Selain sebagai ibukota negara Republik Indonesia, kota ini juga berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan, lokasi konsentrasi modal dan perputaran uang terbesar di Indonesia. Tak kurang dari 50 persen dari total jumlah dana nasabah perbankan di Indonesia yang berjumlah Rp. 1.973 triliun terkonsentrasi di Jakarta. Sekitar 70-80 persen uang berputar yang dimiliki negeri ini pun adanya di Jakarta. Konsentrasi alias kepadatan dan perputaran alias pergerakan bukan cuma dalam hal kapital. Jakarta adalah juga kota dengan jumlah penduduk terbesar dan terpadat di Indonesia. Situs pemerintah provinsi DKI Jakarta mencatat, jumlah penduduk tahun 2002 sekitar 8,50 juta jiwa, tahun 2006 meningkat menjadi 8,96 juta jiwa, dan dalam lima tahun ke depan jumlahnya diperkirakan mencapai 9,1 juta orang. Sementara itu prediksi BPS dari penghitungan sementara dalam sensus 2010, penduduk Jakarta malah mencapai 9,5 juta . Kepadatan penduduk pada tahun 2002 mencapai 12.664 penduduk per km2, tahun 2006 mencapai 13.545 penduduk per km2 dan diperkirakan dalam lima tahun ke depan mencapai 13.756 penduduk per km2.
Lihat pula data berikut yang menunjukkan bahwa kehidupan sosial di Jakarta, membutuhkan tingginya angka perjalanan yang mencapai 20 juta per hari. Angka itu berasal dari kendaraan pribadi yang ditaksir mencapai 2.115.786 unit roda empat, sepeda motor yang berjumlah 7.516.556 unit dan 859.692 armada angkutan umum. Perputaran alias pertumbuhan juga tampak jelas bila kita membandingkan data tahun 2009 di atas dengan tahun sebelumnya, yang sudah mencatat jumlah sepeda motor sebanyak 6.765.723 unit, angkutan umum 847.259 unit dan kendaraan pribadi sebanyak 2.034.943 unit. Proporsi antara kendaraan pribadi dan angkutan umum sangat jomplang, dimana hanya ada 2 persen kendaraan umum yang harus mengangkut 50,3 persen penumpang dari total 17 juta orang yang melakukan perjalanan setiap hari. Sebuah gambaran kontras yang mengandung informasi mengenai bekerjanya Neoliberalisme dalam keseharian kota ini: pertumbuhan terus menerus barang yang privat berkompetisi keras dan menekan barang yang publik (public goods yang dikonsumpsi secara kolektif).
Kepadatan penduduk dan juga komuternya, serta tingginya angka perjalanan dan volume kendaraan pribadi, harus dihubungkan dengan fakta pertumbuhan ekonomi Jakarta yang ditopang oleh beberapa sektor utama yang menyumbang seperti, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor bangunan, keuangan-real estate-jasa perusahaan, serta sektor industri pengolahan. Tingginya angka perjalanan tidak hanya disumbang dari jumlah warga yang bermukim di kota ini saja. Menurut sensus, ada sekitar 4 juta warga komuter yang datang dari kota-kota sekeliling Jakarta di siang hari karena pertumbuhan ekonomi dari sektor-sektor ekonomi utama tersebut. Situasi pergerakan penduduk menuju kota, ini sesungguhnya telah berlangsung juga di zaman Batavia. Konsentrasi modal yang menghasilkan akumulasi modal, telah mengakibatkan perluasan wilayah kota dari yang awalnya sekedar kota pelabuhan. Di era paska kolonial dewasa ini, fenomena pertumbuhan semakin pesat dan semakin terburu, menghasilkan situasi lapar lahan yang terus mendorong penggusuran dan spekulasi sektor property. Ini menjelaskan mengapa sektor real estate dan konstruksi menjadi salah satu sektor utama ekonomi kota ini.
Penjelasan ekonomi politik perkotaan mengenai perrtumbuhan kota dapat kita rujuk pada teori “mesin pertumbuhan” (growth machine) yang — walau pun sudah lawas (Logan dan Molotch, 1987) — masih relevan untuk menjelaskan fenomena Jakarta. Teori ini berpendapat, pembaharuan kota (urban renewal) digunakan sebagai kendaraan untuk mesin pertumbuhan kota. Mesin pertumbuhan kota berisikan elit-elit lokal yang terdiri dari: para pengembang, modal asing yang berinvestasi, dan juga pemerintah kota yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi melalui kontrol atas lahan. Seluruh unsur mesin pertumbuhan dianggap berhasil bila mereka sukses mengundang korporasi untuk membangun bangunan dan perkantoran, mengembangkan bisnis ritel dan aktivitas komersial lain, yang mengakumulasi modal. Kita melihat, dalam beberapa tahun terakhir pembangunan sektor properti terus berkembang, bahkan setelah negara-negara barat dihantam krisis sektor properti. Pembangunan pemukiman di dalam kota kini menjadi tren pertumbuhan. Meningkatnya kelas menengah di Jakarta yang menikmati kesejahteraan dari ekonomi yang semakin liberal, membuat kebutuhan akan rumah yang cocok dengan impian mereka terus meningkat. Mereka perlu hunian seperti rusun atau apartemen yang dekat dengan kantor dan atau lokasi yang memungkinkan mereka relatif terbebas dari kemacetan yang sudah tak terkendali.
Konsentrasi uang dan perputarannya yang sangat kuat di Jakarta, memungkinkan mimpi-mimpi kelas menengah atas dapat difasilitasi oleh mesin pertumbuhan. Perkawinan kepentingan antara mimpi indah kelas menengah untuk menikmati Jakarta dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi, pada gilirannya mengutamakan relasi sosial yang mementingkan maksimalisasi kepuasan dari para pemilik properti pribadi. Kita sudah ungkapkan dalam data di bagian awal tulisan, bagaimana prioritas dan kemudahan diberikan bagi para pengguna kendaraan pribadi, yang merupakan mayoritas moda transportasi di Jakarta. Logika pertumbuhan berorientasi privat sangat berbenturan dengan kepentingan konsumsi barang publik –termasuk alat transportasi dan sarananya — secara kolektif. Bahkan, di Jakarta (dan hampir semua kota besar di Indonesia), yang dimaksud angkutan publik pun sebetulnya adalah pelayanan publik oleh sektor swasta.
Pertumbuhan ekonomi ini juga ditopang oleh kemudahan kredit, yang memungkinkan permintaan efektif secara agregat meningkat. Kemudahan kredit ini yang memacu peningkatan kepemilikan pribadi atas alat transportasi di Jakarta. Jalan-jalan dipenuhi oleh sepeda motor yang semakin menyemut yang tumbuh dan berkembang tanpa kendali. Angkutan publik dikuasai oleh sektor swasta yang juga memanfaatkan kredit untuk menambah armadanya – yang umumnya dikomodifikasikan kembali dengan menyewakannya kepada para supir yang bertaruh mengejar selisih yang mungkin dari setoran yang harus dibayarkan sebagai nilai sewa. Mayoritas warga Jakarta, mau tak mau, beroperasi mencontoh mesin pertumbuhan walau dengan kapasitas dan tanggungan konsekwensi yang berbeda. Akibatnya, kemacetan lalu lintas dan hancurnya fasilitas publik – sehingga banjir semakin kerap melanda kota besar ini — jadi masalah yang nyaris tak diketahui bagaiman solusi praktisnya. Kompetisi dan perlombaan terjadi tiap hari di jalan raya, karena semua terdorong oleh kondisi material yang mengondisikan relasi sosial sebagai mesin pertumbuhan, Bukan sebaliknya, mengembangkan relasi sosial yang mengutamakan kepentingan dan keadilan sosial sebagai prioritas nilai kehidupan warga kota.
Hidup di Jakarta yang berkeadilan, masuk akal, dan nyaman akan terus jadi mimpi-mimpi yang mengawang-awang, selama warga kota Jakarta yang sadar tidak mampu memaksa mayoritas warga kota ini berkaca untuk mengenali akar-akar masalah kota ini. Bukan kota dalam pengertian abstrak. Bukan juga birokrasi pemerintah kota yang harus berkaca di ulang tahun Jakarta.
Justru, pada usianya yang ke-483 ini, kepentingan terbesar terletak di pundak warga kota yang sadar dan punya mimpi tentang Jakarta yang lebih berkeadilan dan nyaman. Mereka ini harus memiliki kesadaran dan kemampuan untuk berjuang secara kolektif melawan mesin pertumbuhan dan para pendukungnya yang telah dan akan terus menyeret kota ini ke arah kemacetan dan hilangnya orientasi akan kepentingan bersama. Berkacalah (Warga) Jakarta.***
Kepustakaan:
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/06/01/19350/Penduduk-DKI-Sementara-9-5-Juta
http://www.jakarta.go.id/v70/index.php/en/tentang-jakarta/demografi-jakarta
http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/05/19/kurangi-jumlah-kendaraan