“IQRA (Baca)!” Seru Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, pada suatu hari bertempat di gua Hira. Diriwayatkan, Nabi gemetar menerima perintah tersebut. Ia sendiri tidak dapat membaca dan menulis. Perintah pertama ini menunjukkan, agar umat Muhammad mempunyai akses kepada pengetahuan lain yang lebih. Ia mendukung adanya kemajuan berpikir.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad berkata kepada seorang sahabat: “Bila manusia risau, mintalah nasehat pada hatimu. Tanyakan sendiri pada dirimu!”. Tidak semata pada dogma, namun pada manusia yang begitu beragam, petunjuk itu ada. Kecairan, bukan kebakuan yang kaku yang ditekankan dari kedua kejadian ini.
Namun, justru kecairan inilah yang dimusuhi saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Undang-undang penodaan agama tetap berlaku. Dengan demikian, manusia dengan penafsiran yang dianggap menyimpang dari dogma dapat diganjar hukuman.
Resmilah sudah: Ketersinggungan dan rasa amarah pihak kuat yang suka main kekerasan menjadi lebih penting daripada hak-hak dan kebebasan warga negara pada umumnya. Lihatlah yang mendukung Undang-undang ini, kebanyakan datang dari kelompok garis keras, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir.
Padahal dengan adanya Undang-undang ini, pembakaran Gereja masih belum ditangani, peneroran Jemaah Ahmadiyah dibiarkan dan cercaan terhadap kaum Eden malah mendapat dukungan dari yang berwajib. Lia Eden bahkan dikenai hukuman dua tahun penjara.
Mengapa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keras ini tidak diganjar dengan undang-undang penodaan agama? Fatwa telah dipakai orang-orang tersebut untuk melarang, menista dan menghukum yang lain. Padahal arti fatwa dalam bahasa Arab adalah anjuran atau pendapat, jadi bila tidak dituruti, seharusnya tidak ada sangsi. Mengapa mereka-mereka ini tidak dianggap menyelewengkan agama? Orang-orang ini juga yang dengan lantang memaki yang lain dan bahkan tidak segan menggunakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan menggunakan kata jihad? Padahal, jihad menurut beberapa tafsir adalah pertarungan habis-habisan dengan diri dan batin sendiri, bukan dengan orang lain.
Hal yang mungkin sering dilupakan adalah: Dalam ayat-ayat Kitab Suci, sering disebutkan bahwa Iblis itu amat pandai menyamar. Mereka bisa tampak suci namun memangsa.
Di Eropa, pada tahun 1480 sampai 1700, diperkirakan sekitar 40 ribu hingga 100 ribu perempuan dikorbankan hanya karena dituduh menodai agama, hanya karena mereka mempunyai kucing hitam atau mempunyai tahi lalat di tempat yang salah. Dan di Indonesia, lebih dari 2 juta orang digorok pada awal masa Orde Baru, karena mereka dituduh sebagai komunis atau orang-orang yang telah menodai agama. Berapa banyaknya korban tak bersalah yang sudah dikorbankan hanya karena mereka dianggap menodai agama dan Tuhan?
Masih ingat masa Orde Baru yang memopulerkan kata asbun (asal bunyi)? Kebebasan bersuara, menurut mereka boleh-boleh saja, tapi yang menentukan seberapa bebasnya adalah sang penguasa. Bila ada yang bersuara mengritik pemerintah maka ini dinamakan asal bunyi. Orde Baru juga yang begitu getol dengan istilah SARA (suku, agama, dan ras). Apa saja yang tidak sesuai dengan kehendak pemerintah disebut SARA. Bila ada diskusi tentang agama atau etnis, disebut SARA. Padahal yang SARA adalah pemerintah sendiri Tapi, justru inilah enaknya pihak yang berkuasa: Bisa menjadi maling yang berteriak maling. Setan yang berteriak setan.
Padahal, bagi mereka yang menganut kepercayaan terhadap Tuhan dan teori penciptaan, manusia diadakan dengan begitu berbeda dan variasi yang tak berhingga. Karena itulah, keyakinan mereka juga tak berhingga. Akibatnya, kebebasan agama tidak bisa dibatasi hanya karena interpretasi yang berbeda dari yang lain. Justru kelanjutan hukum UU penodaan agama ini akan melanggar hak mereka sebagai manusia, dan bahkan melanggar prinsip penciptaan itu sendiri.
Dan bila mereka percaya pada Tuhan: Tidakkah mereka mulai bertanya bahwa kata “Tuhan” bisa berarti “Setan yang menyaru”? Bukankah Tuhan yang maha tinggi seharusnya adalah zat yang tidak dapat dimengerti? Jadi, bila Ia tidak dapat dimengerti, maka bisa saja dengan mudah manusia menyebut nama “Tuhan” saat ia sebenarnya beriman pada Setan. Dan mungkin, “Setan yang menyaru” inilah yang membuat hal ini terjadi di Indonesia: Bila kelompok mayoritas tersinggung sedikit saja, mereka mendapat angin untuk menindas dan bahkan menyerang kebebasan kelompok minoritas, dengan alasan si minoritas tersebutlah yang menyimpang penafsiran agamanya atau mereka telah melanggar tafsir agama si penyerang.
Padahal, semua agama di Indonesia saat ini tumbuh sebagai interpretasi yang berbeda dari agama sebelumnya – bukankah Kristen adalah interpretasi dan bahkan kritik dari agama Judaisme? Begitu juga Buddha, yang memberi interpretasi lain dari agama Hindu, sehingga kasta-kasta dihapuskan. Dan agama-agama modern di Indonesia saat ini kebanyakan adalah produk impor, yang menggantikan agama-agama lokal di Nusantara, dan bahkan mengritik interpretasi agama lokal yang kebanyakan berdasarkan pada animisme, pantheisme dan politeisme. Bila Undang-undang ini secara konsekuen diterapkan, berarti semua umat beragama di Indonesia bisa dituntut karena telah melanggar pasal 1.
Memang, evolusi agama, kebenaran dan moralitas adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Karena pengetahuan tidak pernah mati. Namun, anjuran Iqra, untuk membaca, untuk menggali dan mencari sudah ditiadakan oleh orang-orang yang merasa berpegang pada dogma yang benar.
Karena itu, seharusnya kita mulai mempertanyakan para ulama yang begitu ngotot mempertahankan kebakuan, yang ingin menghentikan putaran semesta pada sebuah titik yang selalu sama, yang memaksakan kehendak mereka dan menghujat kelompok lain atas nama Tuhan. Sudah saatnya umat beragama pun bertanya: Siapa sebenarnya mereka?***
Soe Tjen Marching, PhD dari Monash University, Australia dan Pendiri Majalah non-profit Bhineka