TAK lama lagi, kita akan bertemu dengan tanggal 21 Mei. Pada tanggal itu, 12 tahun lalu, gerakan massa besar-besaran yang bertemu dengan momentum krisis ekonomi, konflik terbuka di tingkat elite, sukses menjatuhkan rejim diktator paling berdarah dalam sejarah politik Indonesia modern.
Setelah itu, seiring dengan makin terkonsolidasikannya rejim demokrasi elektoral, tanggal 21 Mei perlahan-lahan tinggal sebagai memori yang rutin hampir menjemukan. Politik di negeri ini lantas menjadi ajang pesta pora, dan bagi-bagi jatah kekuasaan di antara para elite warisan rejim kediktatoran orde baru, yang sanggup merestorasi kembali kekuasaannya. Akibatnya, mirip dengan hari-hari bersejarah lainnya dalam sejarah negeri ini, 21 Mei dirayakan penuh gebyar tapi kehilangan esensinya: pembebasan dari penindasan dalam segala wujud.
Untuk itu, dalam kesempatan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk melihat dan merenungkan kembali hal-hal apa saja yang telah kita menangkan dan pekerjaan apa yang masih harus dilanjutkan.
Yang berhasil dimenangkan
Saya mulai dengan mengutip Progress, media terbitan kaum pergerakan di penghujung dekade 1980an. Lima tahun mendahului Peristiwa 21 Mei, Progress menulis, “Ada 6 pintu demokrasi yang telah dibuka. Pertama, isu-isu yang relevan dengan rakyat mulai terangkat dalam masyarakat. Kebudayaan (lama) bisu sedang dihancurkan oleh rakyat sendiri. Sekarang, banyak orang mulai bicara tentang persoalan-persoalan rakyat. Kedua, militansi di kalangan rakyat semakin tinggi. Sekarang, banyak, banyak sekali aksi massa, baik yang terorganisir maupun yang tidak. Ketiga, kerja-kerja propaganda dan agitasi mahasiswa telah berhasil; itu tercermin dari meluasnya pengakuan oleh rakyat bahwa pemerintah sudah bangkrut dan menginginkan alternatifnya. Keempat, perjuangan telah membuahkan hasilnya dalam bentuk didirikannya lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi alternatif yang tak bisa dikendalikan lagi oleh rejim. Kelima, rakyat, buruh dan petani, mulai sadar akan hak-haknya. Keenam, pada tingkat individual, kini lebih banyak lagi orang, mayoritas dalam gerakan, yang memiliki pandangan alternatif yang lebih radikal”. [Progres, Vol. 3, No. 1, 1993, hal. 21].
Enam pintu gerbang demokrasi yang mulai terbuka dan disimpulkan pada tahun 1993 itu, memang berbuah penjatuhan kediktatoran Soeharto 21 Mei 1998. Dan kediktatoran bukan sekadar jatuh, tetapi dijatuhkan, oleh puluhan sampai puluhan ribuan aksi massa dari penghujung 80-an hingga memuncak jutaan di 21 Mei 1998. Oleh karena itu, 21 Mei menjadi tonggak peringatan bahwa gerakan massa (mahasiswa dan rakyat) lah yang sanggup menjatuhkan kediktatoran Soeharto.
Aksi massa, rapat-rapat umum, selebaran-selebaran, organisasi-organisasi massa, akhirnya berhasil dikembalikan menjadi metode dan alat politik rakyat, seperti yang terjadi pada masa pergerakan nasional; senjata utama melawan kolonialisme. Inilah pencapaian terbesar reformasi yang menjadi modal bagi perjuangan perubahan Indonesia selanjutnya. Sehingga menjadi gegabah jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada perubahan berarti dari perjuangan reformasi.
Yang belum berhasil dimenangkan
Gerakan massa memang berhasil menjatuhkan Soeharto dan politik massa mengambang yang menjadi jantung dari sistem kediktatorannya. Tetapi gerakan, mengutip Pram, belum berhasil menggulung orde baru sampai ke akar-akarnya, sebagai sebuah sistem pemerintahan, partai-partainya, bisnis-bisnisnya, kroni-kroninya dan budaya-budayanya.
Empat hari setelah 21 Mei 1998, pernyataan sikap Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) menyatakan, kekuasaan yang diberikan kepada Habibie menjadi tanda bahwa kroni-kroni Soeharto masih selamat; para tentara pendukungnya masih loyal (Wiranto adalah yang terdepan); para pebisnis kroni masih tetap menguasai aset-aset terpenting negeri ini; demikian juga partai-partai warisan orde baru masih tetap berlaga dalam gelanggang demokrasi elektoral.
Melihat kenyataan politik itu, KPP-PRD pada pernyataan sikapnya bertanggal 25 Mei 1998, mengajukan tiga tuntutan, yang saya anggap masih relevan hingga saat ini: (1) menuntaskan dwi fungsi ABRI (Komando Teritorial TNI masih ada sampai saat ini; (2) pengadilan Soeharto; (3) penyitaan harta Soeharto, kroni-kroninya, dan pejabat-pejabat korup lainnya. Tuntutan-tuntutan tersebutlah yang menjadi bagian dari tuntutan Reformasi Total.
Tuntutan-tuntutan tersebut sebetulnya mendapatkan momentumnya di tahun 2001, ketika kantor-kantor Golkar di beberapa daerah diserbu oleh massa. Tuntutan terhadap partai berlambang beringin itu bervariasi, dari pertanggungjawabannya di pengadilan atas dukungannya tanpa syarat terhadap orde baru, hingga pembubarannya sebagai partai mesin Orde Baru. Sayang, gerakan demokratik tak satu hati menggulingkan Golkar dan tentara ketika itu. Dan dasar watak elite (borjuasi) Indonesia yang pengecut dan oportunis, mereka kembali takluk di kaki Golkar dan tentara: lebih mau menjadi alas kaki mereka ketimbang mendukung gertakan Gus Dur untuk menggulung Golkar dan tentara. Watak elite yang oportunis dan pengecut semacam itulah yang dengan kasat mata kita saksikan setiap hari di berbagai media dan layar kaca sekarang.
Hasilnya: Golkar akhirnya menempatkan dirinya di jejeran dua besar dalam setiap pemilu pasca reformasi; tak satupun jenderal pelanggar HAM masuk jeruji besi (malah jadi pahlawan dan calon Presiden/Wakil Presiden); tak sepeserpun harta Soeharto dijadikan sekolah-sekolah atau infrastruktur di desa; dan tak satupun kasus pelanggaran HAM besar berhasil dimenangkan. Pendeknya, restorasi Orde Baru sudah sukses sejak Megawati naik jadi presiden tahun 2001 dengan menggandeng tentara dan melupakan peristiwa 27 Juli 1996.
Reformasi 1998 hanya pembuka jalan
Reformasi 1998 telah memberikan pada rakyat senjatanya yang paling ampuh: organisasi, aksi massa dan alat-alat propaganda. Bahkan musuh-musuh rakyat pun menggunakan senjata ini, dan celakanya merekalah pemilik terkuat alat-alat propaganda utama: televisi, koran, radio, dll. Oleh sebab itulah demokrasi yang didapatkan tahun 1998 masih lebih banyak menguntungkan elite politik musuh-musuh rakyat, ketimbang rakyat.
Namun, seperti kata Marx dalam Manifesto Partai Komunis: “apa yang dihasilkan oleh borjuasi ialah, terutama sekali, penggali-penggali liang kuburnya sendiri… Tetapi tidak saja borjuasi itu menempa senjata-senjata yang mendatangkan mautnya sendiri; ia juga telah melahirkan manusia-manusia yang akan menggunakan senjata-senjata itu—kelas buruh modern—kaum proletar”.
Dengan ini saya mau mengatakan, walaupun ruang demokrasi saat ini relatif dikuasai oleh elite, tapi ruang yang lebih terbuka ketimbang era kediktatoran ini telah juga membuat rakyat melihat dan belajar langsung bagaimana cara melawan dan siapa yang harus dilawan. Walau masih spontan dan berserakan, perlawanan rakyat tidak berhenti, dan kebencian mereka pada elit politik terus meningkat, dan kelas buruh modern juga ambil bagian.
Saya berpendapat, ke depan bara api perlawanan akan semakin berkobar. Sebabnnya, seluruh kekuatan politik musuh rakyat (pemerintah pro kapitalisme, sisa orba, tentara dan reformis gadungan) tak punya jawaban terhadap seluruh kesengsaraan yang diderita rakyat saat ini. Satu-satunya cara yang mampu mereka lakukan adalah sebisa dan sejauh mungkin menahan laju radikalisasi rakyat. Dan sejauh ini, yang paling efektif untuk mengkanalisasi sekaligus meredam radikalisasi politik rakyat adalah melalui institusionalisasi demokrasi elektoral. Melalui pemilihan umum, rakyat diiming-imingi kedaulatan untuk kemudian dikebiri begitu hasil pemilu telah diumumkan. Agar tampak professional dan reformis, maka kosakata seperti reformasi tata-kelola pemerintahan atau good governance, ramai dibincangkan tapi enggan untuk dipraktekkan.
Hasilnya, dalam 12 tahun reformasi ini, muncul penyakit baru, yang saya sebut, penyakit memanfaatkan, mereformasi, dan memaksimalkan peran institusi-institusi “demokrasi”. Penyakit baru ini telah mematikan potensi kekuatan rakyat untuk mengatur dirinya sendiri melalui demokrasi langsung; partisipasi langsung. 12 tahun reformasi, kita melihat inisiatif dan kesadaran rakyat untuk berorganisasi dan mengajukan tuntutan-tuntutannya secara independen makin melemah. Sebaliknya, para elite warisan orde baru bebas mendirikan organisasi yang memperjuangkan kepentingannya, dari bentuk partai, organisasi massa, lembaga think-tank, hingga LSM.
Dua belas tahun reformasi memberi pelajaran pahit tentang pengkhianatan, kepengecutan, ilusi-ilusi demokrasi, yang terus menempatkan rakyat sebagai objek tanpa kuasa atas hak-haknya. Apakah kita masih butuh 12 tahun lagi untuk memperbaiki atau menyempurnakan reformasi ini? Atau 20-30 tahun lagi? Saya menjawabnya: Tidak.***
Zely Ariane, Juru Bicara KPRM-Partai Rakyat Demokratik