ANALISA EKONOMI POLITIK
KONFLIK politik yang terjadi di Thailand, saat ini sedang memasuki masa-masa yang panas membara. Ribuan demonstran yang menamakan dirinya “Kaus Merah,” yang telah hampir dua bulan ini bertahan di jalan-jalan kota Bangkok, terlibat bentrok berdarah dengan pasukan militer dan polisi Thailand bersenjata senapan otomatis M16, pasukan tank, dan mobil penyemprot gas air mata.
Laporan resmi terakhir menyebutkan, akibat bentrokan itu sekitar 16 orang tewas dan 140 lainnya terluka. Jika ditambah dengan korban tewas sejak demonstrasi meletus pada pertengahan Maret lalu, jumlahnya mencapai 46 orang. Sementara jumlah korban luka-luka lebih dari 1400 orang. Dengan belum dicapainya jalan keluar dari konflik ini, kemungkinan jumlah korban jatuh akan terus bertambah.
Dihadapkan pada situasi ini, rakyat Thailand terbelah atas tiga kelompok: pertama, mereka yang pro The United Front for Democracy against Dictatorship (UDD), yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Kaus Merah’; kedua mereka yang mendukung kelompok elite royalis (istana, pemerintahan Abhisit Vejjajiva yang didukung oleh militer, media massa mainstream dan sebagian LSM); dan kelompok ketiga adalah mereka yang memilih bersikap netral yang muncul dari kalangan menengah terdidik dan beberapa LSM.
Saya ingin mengajak anda untuk melihat sebab-sebab kemunculan kelompok Kaus Merah yang militan ini. Saya sengaja fokus pada kelompok ini, karena muncul salah paham luar biasa terhadap kelompok ini yang secara sederhana dituduh sebagai pendukung mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra. Dengan meledaknya konflik terbuka saat ini, menurut Veronai Vajinaka, editor harian berbahasa Inggris Bangkok Post, kelompok Kaus Merah ini tidak pantas lagi disebut sebagai kelompok prodemokrasi yang mengusung tuntutan-tuntutan demokratik. Mereka lebih tepat disebut kelompok pemberontak, dimana tujuan utama gerakannya adalah menjatuhkan pemerintahan yang sah. It’s an uprising. It’s a rebellion. It’s criminal, ujar Vajinaka, dan karenya mereka pantas dihukum seberat-beratnya oleh pemerintahan Vejajiva.
Di lain pihak, militansi massa miskin perkotaan dan pedesaan ini dalam melawan pemerintahan korup yang didukung militer, telah sanggup memblejeti perangai LSM Thailand yang sok netral, yang mengusung agenda dialog guna memoderasi aksi-aksi damai militan di jalanan ke meja perundingan. Sebuah sikap yang sesungguhnya ingin menutupi wataknya yang anti gerakan massa. Dengan sikapnya yang netral, para akivis LSM ini telah menempatkan massa rakyat miskin perkotaan dan pedesaan itu dalam satu nampan dengan elite korup yang bersekutu dengan militer: sama-sama tidak mau mengalah, sama-sama tukang provokasi, sama-sama busuk, sama-sama anti gerakan damai.
***
Tuduhan bahwa kelompok Kaus Merah adalah pendukung mantan PM Thaksin Shinawatra, bukan tanpa alasan. Tetapi menganggap bahwa tujuan aksi Kaus Merah ini adalah mengembalikan Thaksin ke kursi PM adalah kesalahan luar biasa. Personalisasi politik bisa memudahkan penjelasan tapi sekaligus menghina pendukung Kaus Merah sebagai massa yang bodoh dan tamak karena berjuang hanya demi uang baht hasil belas kasih Thaksin yang kini hidup mewah di tanah pengasingan, Montenegro. Ini persis sama dengan tuduhan tentara NICA yang menganggap rakyat Indonesia bangkit melawan hingga berkalang tanah karena dibodoh-bodohi oleh Sukarno.
Akar dari militansi ini adalah kemiskinan parah yang diderita oleh mayoritas rakyat Thailand. Ketika ekonomi Thailand bertumbuh di rata-rata tujuh persen per tahun sebelum dihantam krisis ekonomi 1997, rakyat Thailand, terutama lima persen terbawahnya tetap hidup berkubang kemiskinan. Setelah empat dekade pertumbuhan cepat pembangunan kapitalisme, Thailand muncul sebagai salah satu negara paling timpang di dunia, lebih buruk ketimbang tetangganya di Asia Timur dan Tenggara.
Ketika krisis menghantam pada 1997, dengan seketika ekonomi Thailand jatuh dalam krisis. Sepertiga dari kapitalis besar Thai jatuh bangkrut, ribuan perusahaan tutup, dua pertiga dari bank-bank komersial berpindah tangan, dan satu miliar buruh kehilangan pekerjaannya. Ketika kemudian Thailand masuk dalam kerangka pemulihan ekonomi ala neoliberal yang didiktekan IMF, kehidupan mayoritas rakyat Thailand semakin memburuk.
Dalam kondisi sesak seperti itulah Thaksin Shinawatra, yang berkendara partai Thai Rak Thai memenangkan pemilu pada Januari 2002. Partainya TRT memenangi 11 juta suara dan 248 kursi di parlemen. Thaksin pun dilantik sebagai perdana menteri. Untuk mengamankan kekuasaannya, salah satu kebijakan yang ditempuh Thaksin adalah meluncurkan kebijakan populis: pinjaman-mikro, bantuan uang bagi petani, akses kepada lembaga keuangan, dan pemangkasan sebesar 30 baht bagi setiap kunjungan ke rumah sakit. Ia juga membentuk the Village and Urban Community Fund, untuk membiayai sekitar 4000 komunitas perkoataan dan 7000 komunitas pedesaan di seluruh Thailand.
Dalam kondisi ekonomi yang memburuk, kebijakan populis Thaksin ini tentu saja merupakan berkah bagi penduduk pedesaan dan perkotaan miskin yang selama ini hanya menjadi penonton kue pembangunan ekonomi. Mereka yang memuja angka-angka pertumbuhan ekonomi tinggi, tentu saja mensinisi kebijakan populis seperti ini, karena dipandang cepat atau lambat akan menggerus stabilitas dan perfomance ekonomi dalam jangka panjang. Sebuah cara pandang yang ahistoris, karena menganggap krisis ekonomi Thailang adalah hasil dari kebijakan Thaksin yang populis.
Bukan berarti saya mendukung kebijakan populis Thaksin tersebut. Saya hanya ingin kita melihat, mengapa dukungan terhadapnya begitu kuat di arus bawah. Secara ekonomi politik, Thaksin tidak bergeser dari jalan kapitalisme-neoliberal, sehingga walaupun kebijakanya telah mendatangkan dukungan besar dari kaum tani tapi, sejatinya kebijakan tersebut tidak menambah tinggi tingkat pendapat kelompok tersebut. Hasil survey tahun 2002 menunjukkan, 500 ribu petani kehilangan tanahnya, 70 persen dari seluruh populasi tetap hidup di daerah pinggiran, dan 60 persen pendapatan mereka diperoleh dari pekerjaan di luar sektor pertanian. Kesenjangan regional juga tetap tinggi. Pada 2004, Bangkok dengan populasi sebanyak 17 persen dari keseluruhan populasi Thailand, menikmati 44 persen dari GDP. Di kota-kota besar lainnya, dengan 17 persen populasi menikmati 27 persen GDP. Sebaliknya, di Selatan, dengan 14 persen populasi hanya menerima 9 persen dari GDP, di pegunungan dengan 34 persen populasi hanya menerima 11 persen dari GDP. Kesenjangan antar sektor juga tinggi: pertanian dengan menampung 42 persen tenaga kerja, hanya menerima 10 persen GDP. Sementara di perkotaan dengan 21 persen tenaga kerja menerima 41 persen GDP, dan sektor jasa dengan 37 persen tenaga kerja menerima 50 persen GDP.
Dengan kompleksitas seperti ini, ketika Thaksin dikudeta militer pada 19 September 2006, para pendukungnya merasa bahwa patronnya ini telah diperlakukan tidak adil oleh para elite yang selama ini tidak berpihak pada kepentingannya. Melalui serangkaian krisis politik pasca kudeta, hingga diangkatnya teknokrat muda Abhisit Vejjajiva sebagai perdana menteri, konsolidasi di kalangan pendukung Thaksin semakin menguat.
Konsolidasi ini makin menemukan momentumnya, ketika ekonomi Thailand yang belum sepenuhnya pulih dari krisis, kembali terkena imbas dari krisis ekonomi 2008. Walaupun, krisis ini bukan disebabkan oleh masalah internal, tetapi dengan struktur ekonomi pasca krisis 1997 yang semakin terintegrasi dan tergantung pada kapitalisme internasional, maka begitu krisis meledak pada 2008, ekonomi Thailand ikut goyah.
Ekonom fakultas ekonomi universitas Chulalongkorn, Suthiphand Chirativat dan Sothitorn Mallikamas, mencatat dengan pertumbuhan ekonomi yang rata-rata hanya 2.5 persen pada 2008, ekonomi Thailand pada 2009 memperlihatkan angka pertumbuhan yang suram, dimana pada kuartal pertama angka pertumbuhannya minus 7.1 persen, dan minus 4.9 persen dan minus 2.8 persen pada kuartal kedua dan ketiga.
Daya serap angkatan kerja juga tak luput dari terpaan krisis 2008. Masih menurut Chirativat dan Mallikamas, sejak 2001 angka pertumbuhan tenaga kerja Thailand meningkat rata-rata sebesar 1.5 persen per tahun. Hingga sebelum krisis 2008, jumlah keseluruhan angkatan kerja mencapai 37.6 juta orang. Tapi memasuki kuartal terakhir 2008, jumlah tersebut menjadi negatif dan semakin memburuk hingga kuartal kedua 2009. Akibatnya, dalam waktu singkat tingkat pengangguran segera membludak dan mencapai angka tertinggi pada Januari 2009, yakni sebesar 900.000. Ekonom C.P. Chandrasekhar and Jayati Ghosh, menambahkan, posisi tawar buruh Thailand yang makin lemah juga tercermin pada tingkat upah yang hanya sebesar 5 persen lebih tinggi dibanding tahun 2001, sementara tingkat produktivitasnya mencapai angka 22 persen.
***
Dengan melihat latar belakang ekonomi politik seperti ini, bersikap netral dalam krisis politik yang saat ini berlangsung di Thailand, sungguh tidak beralasan. Perlawanan kelompok ‘Kaus Merah’ yang sebagian besar adalah pendukung Thaksin, tidak berakar pada personalisasi politik Thaksin. Sebaliknya, kita mesti melihat militansi itu sebagai hasil dari tekanan ekonomi yang terus memburuk, yang tak kunjung teratasi oleh pemerintahan yang ada.
Dari sini, ada hal penting yang patut diperhatikan, yakni anjuran beberapa LSM agar kedua belah pihak duduk satu meja dan berdialog guna mengatasi konflik politik ini. Usulan ini berarti menegosiasikan dua posisi sosial-ekonomi yang bertentangan satu sama lain secara diametral: elite dan rakyat miskin. Pengalaman di berbagai negara yang mengalami krisis ekonomi, dialog dalam posisi yang timpang pada akhirnya selalu merugikan posisi rakyat miskin.***
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)