ANALISA EKONOMI POLITIK
“RABU tanggal 5 Mei 2010 LMND, SRMI dan warga kecamatan Talaga Raya yang berasal dari 5 desa …… dengan jumlah massa kurang lebih dari 1000 orang melakukan aksi di kantor PT. AMI di Desa Wulu. Massa menuntut PT. AMI [Arga Morini Indah] mengganti rugi [tanah] yang layak tidak berupa beras RASKIN. Namun mereka diteror 42 orang preman dilengkapi senjata tajam. satu orang memegang senjata api jenis revolver. Para preman ini sengaja didatangkan oleh pihak PT. AMI dari kota Bau-bau” (Media Sultra, 21/5/2010)
“……masyarakat Talaga yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan pembudidaya dan nelayan tangkap mengalami masalah yang sangat berat. Betapa tidak, jika mereka hendak berkebun, lahan-lahan pertanian mereka sudah dikuasai oleh PT. AMI dengan sokongan penuh Pemerintah Daerah dan aparat keamanan, sementara jika mereka hendak membudidaya, laut sudah dipenuhi dengan lumpur-lumpur pertambangan” (www.walhi.or.id, 21/5/2010 & Berdikari Online, 5/5/2010).
***
Akumulasi modal adalah jantung pertumbuhan (ekonomi) di bawah kapitalisme. Karenanya sistem ini sangat berwatak ekspansionis. Sseperti “tangga berjalan”, akumulasi harus berlangsung terus-menerus tanpa batas. Oleh karena itu, tugas sejarah kaum borjuis, ujar Marx adalah “accumulation for accumulation’s sake and production for production’s sake”. Dan secara teori, akumulasi tergantung kepada: (1) tersedianya surplus tenaga kerja, atau lazim dikenal dengan “industrial reserve army/tenaga kerja cadangan” yang dapat memicu ekspansi modal; (2) tersedia peluang untuk memperoleh alat-alat produksi di pasar supaya melicinkan jalan ekspansi modal; dan (3) adanya pasar yang harus menampung hasil produksi komoditi yang terus-menerus meningkat.
Catatan ringkas ini tidak bermaksud mengurai semua itu. Saya membatasi pada satu soal mendasar, yaitu alat-alat produksi. Inipun masih terlalu luas, oleh karena itu, perhatian akan ditekankan pada mekanisme, cara, atau metode memperolehnya. Untuk itu, tulisan ini menekankan relevansi konsep “the enclosure of common” (selanjutnya “enclosure”) yang ditulis Marx dalam Capital Volume I. Untuk menunjukkan itu, saya akan memberikan beberapa contoh yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam 12 tahun terakhir periode kejayaan demokrasi borjuis. Kutipan dua penggalan berita di depan adalah contoh “enclosure”, pengalaman berulang selama reformasi, ketika ruang hajat hidup banyak orang dialihkan menjadi ruang produksi kapitalis.
***
MARX membahas soal “enclosure” dalam bab 27 tentang akumulasi primitif di Capital Volume I. Singkatnya, boleh dikata, “enclosure” adalah salah satu metode penting dalam akumulasi primitif. Ringkasnya: rampas tanah petani, lantas karena sudah tidak memiliki alat produksi, maka mereka harus menjual tenaga kerjanya secara bebas kepada kelas kapitalis untuk dihisap. Sudah jatuh, ditimpa tangga pula.
Secara sederhana “enclosure” bisa diterjemahkan sebagai pemagaran atas tanah-tanah milik bersama atau kawasan yang terbuka untuk siapa saja. Ini terjadi dalam sejarah awal pertumbuhan kapitalisme di daerah-daerah pedesaan Inggris. Tetapi, bagi ahli ilmu politik Ellen Meksins Wood, dalam bukunya The Origin of Capitalism, pengertian “enclosure” tidak boleh dipandang sebagai pemagaran fisik. Jauh lebih mendasar, “enclosure” adalah penjungkir-balikkan, penghancuran, dan penghilangan hak-hak milik bersama dan atau hak-hak untuk menggunakan secara adat atas tanah atau sumber daya alam, di mana penduduk menggantungkan hidupnya. Di atas tumbangnya hak-hak itu kapitalisme akan tumbuh. Dengan demikian, “enclosure” adalah proses paling awal dan menentukan di mana kapitalisme diperkenalkan.
Dalam sejarah, “enclosure” kadang berlangsung atau melalui perjanjian dengan para petani kecil dan tidak selalu mengancam kehidupan mereka. Tetapi, seperti di Inggris, gelombang besar pertama “enclosure” yang paling mengganggu secara sosial terjadi di abad ke-16, ketika pemilik-pemilik tanah luas mengusir para petani dari tanah-tanah yang kemungkinan mendatangkan keuntungan untuk digunakan sebagai tempat penggembalaan bagi peternakan biri-biri yang menguntungkan. “Enclosure” lantas berkembang menjadi sumber konflik paling utama dalam perkembangan sejarah awal modernisasi di Inggris, baik untuk peternakan atau untuk lahan-lahan pertanian yang menguntungkan. Kerusuhan-kerusuhan karena “enclosure” meletus luas pada abad ke-16 dan ke-17. Lalu, “enclosure” pula yang menjadi satu alasan utama dalam perang sipil di Inggris. Kemudian, intervensi negara dalam proses “enclosure” terjadi pada abad ke-18 melalui apa yang lazim dikenal dengan “parliamentary enclosures”. Di sini, pemusnahan hak-hak kepemilikan dengan efek besar terhadap petani kecil terjadi melalui undang-undang yang dikeluarkan parlemen. Singkatnya, “enclosure” pada umumnya terjadi melalui dua cara: (1) kekerasan secara langsung; dan (2) undang-undang secara legal.
Dewasa ini, studi-studi tentang “enclosure” dikembangkan sedemikian maju oleh para ilmuwan sosial dari beragam disiplin. Di antaranya adalah ahli ekonomi politik Massimo De Angelis, yang melihat tipe-tipenya dalam dua bentuk: pertama, “enclosure” sebagai hasil dari “power-over”. Umpamanya, strategi privatisasi dan promosi ekspor yang dilakukan oleh pemerintah. Menurutnya, undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen di Inggris pada abad ke-18 adalah contoh dari model ini. Kedua, “enclosure” sebagai “by-product” dari proses akumulasi, lazim disebut “negative externalities”. Polusi merupakan salah contoh yang menyebabkan para produsen – misalnya petani – tidak dapat berproduksi lagi. Intinya, kegiatan-kegiatan industri yang menurunkan atau merusak lingkungan hidup sehingga menimbulkan kebangkrutan usaha para produsen independen, seperti petani masyarakat adat dan petani lainnya. Bencana buatan (man-made disaster) seperti lumpur Lapindo yang melumpuhkan persawahan dan perkebunan milik petani-petani kecil atau produsen independen di Sidoarjo, adalah contoh tepat. Dengan kata lain, kerusakan lingkungan akibat ekspansi kapital, oleh karena itu, merupakan alat “enclosure”.
Saat ini, “enclosure” dipercakapkan para ahli dengan cakupan sangat luas. Saya tidak bermaksud mengurainya panjang lebar di sini. Tetapi, secara singkat, di luar kebijakan-kebijakan negara dalam pengambilan lahan atau sumber daya alam lainnya, privatisasi air, misalnya, merupakan contoh lain. Sebuah daftar bisa dibuat; di perkotaan, itu dilakukan melalui rancangan tata ruang kota, pembangunan jalan dan infrastruktur lain; Juga melalui penghilangan “social common” atau tanggung jawab negara dalam menyediakan pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan sebagainya; Pemberlakuan hak-hak milik intelektual adalah contoh lain, dengan mengabaikan pengetahuan sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial dan historis.
***
Bagaimana dengan Indonesia? Di sini “enclosure” punya akar sejarah panjang, sejak pertumbuhan kapitalisme dari jaman kolonial, dengan sejarah perkebunan besar (karet, lada, gambir, tembakau, kopi, tebu, dan teh) dan pertambangan (timah, perak, emas, dan batubara). Fokus catatan ini adalah era sejak Orde Baru, khusus sejak reformasi 98: periode di mana kapitalisme paska kolonial tumbuh secara berdarah-darah. Pertama, sebagai “power-over”, “enclosure” terjadi melalui aneka undang-undang yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam yang dikeluarkan pemerintahan Suharto. Kendati UU Pokok Agraria (1960) menghormati hak adat atas tanah, tetapi di lapangan UU ini hanya macan kertas saja. Sepanjang Orde Baru, UU pertambangan, kehutanan, dan konservasi, misalnya, menjadi senjata ampuh “enclosure”. Dengan aneka UU itu, jutaan warga kehilangan hak untuk bercocok tanam sebagai produsen bebas dan kehilangan akses ke sumber daya alam yang sebelumnya diakses semua orang. Sudah ribuan laporan menjelaskan bagaimana proses itu terjadi yang disertai dengan kekerasan dalam kasus pertambangan, hak pengusahaan hutan (HPH) dan perkebunan besar dari seluruh penjuru nusantara. Ringkasnya, terjadi berbagai bentuk tindak kekerasan – pembunuhan, penyiksaan, penculikan, teror – terhadap para petani. Mereka juga dikriminalisasi sebagai penyerobot, perambah, dan memperoleh stigma PKI, anti pembangunan dan sejenisnya. Kekerasan-kekerasan itu dilakukan aparat kekerasan bersenjata, dan kadang oleh kelompok sipil yang didukungnya.
“Enclosure” melalui “power-over” yang berlangsung gila-gilaan terjadi justru setelah tumbangnya Suharto. Kapitalisme yang tengah mengalami krisis melihat bahwa kekuasaan Suharto telah menjadi penghalang untuk pemulihan, karena itu tak ada lagi manfaatnya untuk terus mendukungnya.Seperti sudah teruji dalam sejarahnya, kapitalisme harus diselamatkan dengan melakukan ekspansi spatial (ruang) secara progresif, dengan mencari dan menciptakan ruang baru di mana eksploitasi terhadap buruh dan sumber daya alam masih mungkin dan menguntungkan. Sejak 1998, di bawah fatwa-fatwa neoliberalisme proses-proses “enclosure” menjadi senjata ampuh. Berkendaraan politik liberal, keluarlah aneka UU: Sumber Daya Air, Perkebunan, Kehutanan, Penanaman Modal Asing, Mineral dan Batubara, dan lainnya. Semuanya memiliki satu semangat: rampas dengan cepat.
Selain rampas untuk eksploitasi kapitalis secara langsung, “enclosure” juga bertameng di bawah kebijakan perlindungan alam. Penetapan kawasan semacam membersihkan para petani dari akses mereka ke sumber daya. Negara yang “seolah” mengontrol sumber daya yang sebelumnya dapat diakses melalui beragam bentuk klaim kepemilikan oleh penduduk lokal, sesungguhnya tunduk kepada rejim “global governance” dengan “dagangan” perlindungan alam, di mana kepentingan banyak aktor internasional – NGO, peneliti, perusahaan-perusahaan transnasional – diberi hak eksklusif untuk menarik keuntungan (komersial) dari kawasan-kawasan itu. Sementara menggunting akses masyarakat, pemerintah justru baru saja mengijinkan aktivitas penambangan (di bawah tanah) di kawasan Hutan Lindung, serta untuk pembangunan infrastruktur. Berapa angka yang pasti dari kawasan Hutan Lindung yang boleh dipakai untuk aktivitas pertambangan belum jelas. Tetapi data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2002 menyebut lebih dari 8,5 juta hektar Hutan Lindung dan hampir 3 juta hektar kawasan konservasi adalah areal yang sudah diperuntukkan bagi kegiatan pertambangan.
Hal penting lainnya, “enclosure” yang kian laju dalam 12 tahun ini bukan soal yang berdiri sendiri di dalam batas wilayah nasional, tetapi bertautan erat dengan dinamika mutakhir kapitalisme global. Banyak segi bisa dijelaskan, tetapi salah satu yang pokok dan sangat menentukan adalah kian dominannya pengaruh industri keuangan, yang dalam Capital Volume III Marx sebut sebagai “money-dealing capital”. Industri-industri ekstraktif – terutama pertambangan dan perkebunan – tumbuh subur di tanah air berkat apa yang belakangan lazim dikenal dengan istilah “finansialisasi”: kedigdayaan institusi dan instrumen-instrumen keuangan dalam menghisap semua pelaku ekonomi ke dalam pusaran pasar keuangan. Ekonom Marxist Gerard Dumenil & Dominique Levy dalam buku mereka Capital Resurgent: Roots of the neoliberal revolution menyebut finansialisasi ini sebagai roh neoliberalisme. Dalam hubungan ini, ekspansi perusahaan-perusahaan itu sangat bergantung pembiayaannya terutama dari bank-bank komersial internasional dan pasar modal. PT Bumi Resources Tbk., perusahaan pertambangan dan energi dengan saham publik sebanyak 82,13 persen melalui pasar modal mengkonfirmasi bagaimana ‘finansialisasi’ sumber daya alam berlangsung kencang sejak krisis 1997.
Tendensi sama, bank-bank komersial berbasis Belanda, Jerman, Perancis sangat berperan dalam pembiayaan proyek-proyek industri perkebunan kelapa sawit di tanah air, mendorong percepatan ‘enclosure’, yang ditandai dengan luas areal perkebunan sawit yang meningkat tajam dari 2 juta hektar (1996) menjadi 7,9 juta hektar (2008). Rabobank Belanda, misalnya, adalah salah satu bank yang mengalirkan pinjaman komersial kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia, di antaranya Wilmar. Tidak cukup itu, “enclosure” juga melibatkan Bank Dunia. Ini contohnya: tahun 2004, Wilmar Trading, perusahaan raksasa berbasis Singapura, salah satu raja yang menguasai industri kelapa sawit di Indonesia, memperoleh “quarantee” senilai USD 33,3 juta dari International Finance Coorporation (IFC), sayap bisnis dari Bank Dunia, sehingga Wilmar dapat dengan mudah memperoleh pinjaman dari bank-bank komersial untuk membiayai pengembangan eksport CPO. Dukungan IFC sebenarnya hanya ingin meyakinkan bank-bank komersial bahwa investasi di Indonesia aman. Langkah ini beralasan, karena proses “enclosure” selalu mengundang perlawanan dari warga yang tanah-tanah pertaniannya dirampas dengan kekerasan. Itulah yang terjadi dengan PT Permata Hijau Pasaman, anak perusahaan Wilmar, di tahun 2000, ketika polisi bersenjata lengkap melakukan intimidasi, menembak, dan menculik warga, supaya menyerahkan tanah mereka ke perusahaan itu. Tahun lalu, Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengumumkan penundaan komitmen IFC kepada perusahaan tersebut dengan dalih perusahaan melakukan sejumlah pelanggaran lingkungan dan sosial. Anehnya, di tahun 2004 itu, IFC telah mengeluarkan dokumen publik di bawah judul summary of project information dengan mengklasifikasikan aspek sosial dan lingkungan dari proyek yang dibiayainya itu ke dalam kategori ‘C’, yang berarti sama sekali tidak berdampak lingkungan. Inilah sebuah contoh tipu muslihat canggih di bawah mantra “good corporate governance”, hanya karena setelah diprotes oleh beberapa organisasi lingkungan hidup, tetapi sebenarnya menutup-nutupi kontradiksi mendasar dalam ekspansi kapitalisme, yakni pengrusakan lingkungan dan perampasan hak milik, dalam usaha kompetitif untuk mengeruk bahan baku industri.
Tentu, finansialisasi di pertambangan sudah berlangsung jauh lebih lama. PT Vale Inco di Sulawesi, misalnya, sebagian proyek pembangunannya pada tahap awal di tahun 1970an dibiayai melalui pinjaman dari sebuah sindikasi keuangan yang melibatkan sejumlah bank komersial internasional. Yang bakal terjadi dalam waktu dekat adalah Rio Tinto, raksasa pertambangan yang baru saja memperoleh izin usaha pertambangan untuk proyek senilai USD 2 miliar di perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Tenggara, yang bakal menjadikannya produsen nikel terbesar di dunia. Kehadiran Rio Tinto bukan saja menambah pemain baru dalam industri ini di salah satu “paha” pulau Sulawesi di Teluk Tolo itu setelah Inco dan Aneka Tambang, tetapi yang pokok menambah daftar panjang “enclosure” dan dampak-dampaknya. Ribuan keluarga petani dan nelayan di wilayah itu yang sekitar 15 tahun terakhir bertahan menolak tanah-tanahnya dijadikan areal penambangan Inco, kini bakal menghadapi “musuh” tambahan. Dalam ruang sedikit lebih luas, penduduk-penduduk yang menghuni kedua “paha” pulau Sulawesi ini tengah dan bakal menghadapi serangan “enclosure” dari berbagai penjuru, karena selain kedua perusahaan tambang raksasa dunia itu, raksasa lain yang sudah mengoyak-ngoyak wilayah itu adalah eksploitasi minyak dan gas, kerja sama antara Medco, Pertamina, dan Mitsubishi. Tentu saja, perusahaan-perusahaan itu leluasa melakukan apa saja terhadap petani dan nelayan, karena dalam lima tahun ini tentara dan polisi sudah membangun kompi-kompi pasukan tempur di kawasan itu atas nama “perang agama” Islam versus Kristen dan “perang melawan terorisme” di Poso. Sebagian di antara cerita-cerita tentang serdadu dan modal di wilayah itu telah ditulis secara terpisah oleh dua rekan saya, Lian Gogali dan George J Aditjondro, berdasarkan penelitian-penelitian lapangan keduanya.
Lalu, akibat “enclosure”? Saya mencatat paling sedikit ada tiga tiga hal mendasar. Pertama, sengketa tanah marak terjadi, karena menyingkirkan para petani secara paksa dari sumber penghidupannya. Kasus PT AMI di Buton adalah contoh terbaru dari ribuan sengketa yang tercatat sejak 1998. Sebagai ilustrasi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pernah mencatat dalam periode 1970-2001 terjadi 1753 kasus sengketa tanah struktural, dengan luas lahan yang disengketakan hampir 11 juta hektar, dengan korban lebih dari 1 juta rumah tangga. Kedua, terjadi konsentrasi alat produksi di tangan segelintir kelas kapitalis. Di luar pertambangan yang tingkat konsentrasinya paling tinggi, maka HPH adalah contoh lain: Tahun 2008, terdapat 308 pemegang izin HPH yang menguasai areal hutan lebih dari 26 juta hektar, bandingkan tahun 2004, 247 pemegang HPH menguasai lebih 21 juta hektar. Patut digaris-bawahi, konsentrasi alat produksi ke tangan segelintir kelas kapitalis bersifat transnasional ketika segelintir korporasi transnasional kini dengan leluasa melakukan ekspansi dengan berbagai cara untuk mengontrol setiap jengkal permukaan bumi guna dieksploitasi. Industri perkebunan kelapa sawit, misalnya, kini terintegrasi tuntas di bawah domain ini sejak pemerintah di bawah perintah IMF melakukan liberalisasi di sektor ini lebih 10 tahun lalu. Melalui berbagai tingkat, perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia menjadi bagian integral dari korporasi-korporasi besar dalam industri makanan dan industri keuangan global. Tentu, seperti juga industri pertambangan, semua itu berada di bawah komando kekuatan imperialis. Ketiga, “enclosure” melipat-gandakan daya rusak lingkungan. Sering dilaporkan oleh organisasi-organisasi lingkungan hidup di tanah air, laju kerusakan hutan di negeri ini mencapai 2 juta hektar pertahun, di mana HPH dan perkebunan adalah penyebab utama. Tidak heran, Indonesia dituding sebagai emiter terbesar ketiga carbon dioxida di dunia.
***
“Enclosure” merupakan satu tahap penting dari mata rantai perkembangan kapitalisme, yaitu merampas alat produksi yang sebelumnya dikuasai banyak orang, lantas mengalihkannya ke tangan segelintir. Itu juga berarti menggunting akses banyak orang atas sumber daya alam. Bisa juga, tanpa perampasan, rakyat kebanyakan tidak dapat lagi berproduksi, karena daya rusak ekologis dari aktivitas ekstraksi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan. Para petani, masyarakat adat, atau produsen kecil lainnya adalah pihak-pihak yang jadi korban dari proses-proses ini. Dengan demikian, dari kasus yang beraneka, kecil dan besar, problemnya cuma satu: kapitalisme.
Tidak ada jalan lain, kritik terhadap kasus-kasus pertambangan, HPH, dan perkebunan yang terjadi dalam 12 tahun ini harus diletakkan sebagai bagian dari kritik terhadap kapitalisme. Tanpa kritik begini, tidak saja menunjukkan krisis teori dalam mengurai apa yang sedang terjadi, tetapi juga membuat perlawanan menjadi tidak berarah jelas, atau selalu berputar di tempat yang sama. Dengan menganggap pangkal soal adalah kapitalisme, maka transformasi yang dibayangkan adalah perubahan sistem berbasis eksploitasi ini.
Akhirnya, dari merajalelanya kasus-kasus “enclosure”, saya ingin menyatakan bahwa dalam 12 tahun reformasi, politik liberal membuktikan dirinya sebagai proyek utopia untuk kemajuan bersama. Proyek ini kurang lebih adalah kendaraan untuk mengonsolidasi dan memapankan kelas yang memerintah, yaitu kelas kapitalis. Semua teori bisa saja dipakai untuk mengurai kebobrokan penyelenggara negara yang datang dan pergi, tetapi tidak ada teori yang lebih maju yang menyatakan kebalikan dari ini: “negara adalah alat kelas borjuis untuk memajukan kepentingan-kepentingannya.” Di sinilah sasaran untuk perubahan yang sebenar-benarnya.***
Anto Sangaji
Mahasiswa Doktoral di York University, Kanada