ANALISA EKONOMI POLITIK
IDEOLOGI menjadi salah satu sentral Pidato Politik Megawati Soekarnoputri, pada pembukaan Kongres II PDI Perjuangan (PDIP) di Bali beberapa waktu lalu. Pidato itu, mengejutkan sekaligus mengundang pujian banyak pihak. Para komentator memuji karena Mega melakukan kritik terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, otokritik terhadap PDI Perjuangan, dan paling mendasar adalah pernyataan yang menegaskan Pancasila sebagai ideologi partai.
Pidatonya menjadi menarik karena Mega seperti menyadari kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Saat memegang kekuasaan, Megawati justru menjalankan kebijakan-kebijakan neoliberal, seperti semua pemerintahan yang terbentuk setelah reformasi 1998. Dengan kata lain, Megawati menghianati ideologi “wong cilik” yang diusungnya sendiri ketika berada di bawah tekanan Orde Baru.
***
Pancasila, sebagai ideologi, penting dilihat sebagai hasil dari imajinasi dan penafsiran bersama berdasarkan pengalaman sejarah yang nyata. Para perumus Pancasila tidak menyusunnya berdasarkan wahyu dari langit, tetapi melalui pergumulan pikiran yang bersumber dari pengalaman bersama secara materiil karena penjajahan dan revolusi menentangnya. Pancasila, oleh karena itu, harus dilihat sebagai ideologi tandingan terhadap tatanan kolonialisme dan pembimbing menuju struktur sosial, politik, dan ekonomi baru yang egaliter dan independen.
Di tengah perjalanan, kendati Pancasila sudah dirayakan sedemikian rupa sebagai simbol idealisasi politik, ternyata secara praktis ideologi ini tidak lebih atau kurang, hanya menjadi macan kertas saja. Usaha-usaha kontra-revolusi di bidang ekonomi dan politik yang dilakukan setelah kemerdekaan, yang berpuncak pada kenaikan Suharto ke kekuasaan paska Gerakan 30 September (G30S), mengajarkan kita bahwa Pancasila cukup dipandang sebagai hiasan, bukan sesuatu yang dipraktikkan. Kendati kerap menggunakan retorika Pancasila sebagai tameng dalam menghadapi para pengritiknya, Suharto mungkin patut dianggap sebagai seseorang yang anti-Pancasila.
Kenapa? Pertama, dengan membuka pintu kembali ke rejim kapitalisme di akhir tahun 1960an, Suharto sebenarnya telah membawa kembali bangsa Indonesia ke dalam sistem ekonomi zaman kolonial. Liberalisasi ekonomi yang diperkenalkan Suharto, hanya merupakan kelanjutan saja dari praktik yang sama di zaman kolonial. Kedua, Di bidang politik, dengan tangannya yang berdarah-darah dalam mengelola kekuasaan, Suharto telah menginjak semangat yang terkandung dalam Pancasila. Seperti rejim kolonial Belanda yang suka teror, perang, kontrol terhadap aktivitas politik rakyat, Suharto juga mengulanginya.
***
Kapitalisme, sebagai ideologi dominan, adalah kata kunci dari masalah. Sebagai sebuah sistem global, kapitalisme memang tumbuh dan mengembangkan diri melintasi batas-batas negara. Ketika sebuah negara dan teritori terintegrasi ke dalam sistem ini, serta-merta semua sistem sosial, politik, dan lainnya secara perlahan atau cepat ikut tertelan ke dalamnya. Kemampuan sistem ini adalah kemampuannya untuk menghancurkan semua tatanan sosial yang sudah hidup sebelumnya dan menggantikannya dengan sebuah tatanan baru. Inilah dasar mengapa ekonom Joseph Schumpeter menyebutkan kapitalisme sebuah sistem yang memiliki kemampuan merusak secara kreatif.
Pancasila memang ideologi yang diucapkan, disakralkan, dan dibela mati-matian. Tetapi, dalam hubungan ini, Pancasila bukan ideologi yang operasional. Ideologi yang bekerja adalah kapitalisme, dan Pancasila bertekuk lutut di sana. Bagaimana bisa terjadi? Karena kapitalisme benar-benar telah merasuk ke dalam kesadaran. Antonio Gramsci menyebutnya Hegemoni. Yaitu, sebuah ‘common sense’ yang sangat menonjol membentuk budaya, disebarkan oleh lembaga-lembaga di masyarakat, dengan fungsi menjaga nilai, adat dan tata krama, mimpi-mimpi ideal, dan memengaruhi kesadaran spontan untuk tunduk kepada tatanan mapan atau dominan. Gramsci menyebut [hegemoni] juga meliputi perilaku ekonomi. Katanya, rasionalitas ekonomi muncul sebagai tanggapan terhadap kebutuhan material, membentuk sebuah bangunan sistem kepercayaan, di mana harapan-harapan sosial konkrit menjadi sebagai sebuah kesadaran kolektif. Dengan kata lain, melalui hegemoni, kapitalisme telah meresap sampai ke tingkat paling dasar dari kesadaran bersama di dalam masyarakat.
Karena kapitalisme adalah sebuah sistem global, di mana neoliberalisme adalah seksi ideologinya paling progresif, maka boleh disebut ideologi global saat ini adalah kapitalisme-neoliberal. Ideologi ini secara praktis bekerja melalui: (1) menyunat keterlibatan negara dalam urusan-urusan ekonomi; (2) mencegah pasar dari beban yang tidak perlu melalui deregulasi terhadap pasar tenaga kerja dan keuangan; (3) memutar roda perdagangan dan investasi secara progresif dengan memangkas semua wujud hambatan pergerakan modal, tenaga kerja, barang dan jasa; (4) mengurangi peran dan tanggung jawab negara dalam urusan-urusan sosial dan harus berbagi pekerjaan dalam semangat kemitraan dengan aktor-aktor non-negara.
Di lapangan politik, kapitalisme-neoliberal kerap berjalan seiring dengan penerapan demokrasi liberal, tetapi bukan suatu keharusan. Karena sejarah kapitalisme juga dipertahankan melalui regim kediktatoran politik. Ambil Orde Baru sebagai contoh, sistem yang kapitalistik dikembangkan dengan keharusan dukungan melalui kediktatoran Suharto selama 32 tahun. Setelah kejatuhan Suharto, model demokrasi liberal yang diperkenalkan untuk menunjang jalannya sistem kapitalisme-neoliberal ini. Sementara konsolidasi institusi-institusi demokrasi liberal berada di bawah dukungan kuat negara-negara barat, institusi-institusi ekonomi neoliberal dikembangkan melalui arahan IMF/World Bank.
***
Partai-partai politik yang ada saat ini, pada umumnya mencatumkan Pancasila sebagai ideologi. Tetapi, kalau kita perhatikan lebih teliti, kita tidak menemukan perbedaan penting di antara mereka. Tidak ada satu partaipun yang menolak kapitalisme-neoliberal, kendati dalam retorika saling mengkambing-hitamkan dengan menunggangi isme ini. Yang berbeda di antara partai-partai itu, justru soal-soal identitas, di mana ada partai yang membangun konstituennya berdasarkan sentimen sosio-keagamaan, dan partai-partai yang menonjolkan identitas kebangsaan. Kata lain, tanpa menolak kapitalisme-neoliberal, parpol telah menghindar politik kelas dan dalam tingkat tertentu mengeksploitasi sentimen identitas. Selebihnya berwatak pragmatis.
Celakanya, karena ribut dengan soal-soal identitas ini, sampai kita lupa menyoal hal yang lebih mendasar, kapitalisme-neoliberal itu sendiri. Padahal, lebih menyedihkan lagi, penerapan kapitalisme-neoliberal bukan saja memperlebar jurang secara kelas, tetapi memicu merajalelanya semangat identitas rasial. Jangan heran, banyak masalah sebenarnya bersumber kelas, tetapi kemudian diselesaikan melalui sentimen identitas. Warga-warga yang kerap terlibat dalam kekerasan bertopeng agama, misalnya, adalah contoh paling tepat. Tidak ada usaha sungguh-sungguh menjelaskan para pelaku itu, misalnya, karena proses-proses penyingkiran yang berlangsung di perkotaan, menyusul neoliberalisasi ruang yang berlangsung agresif untuk kepentingan efisiensi akumulasi kapital. Berbagai peraturan daerah yang melarang praktik-praktik komersialisasi seks di perkotaan adalah contoh lain, di mana semua hal disederhanakan sebagai perkara surga dan neraka. Tidak ada sedikitpun usaha untuk mempersoalkan kompleksitas proses-proses politik ekonomi yang menjadi penyebab tingginya pekerja seks komersial di kalangan kelas bawah.
Lalu, dengan hegemoni kapitalisme-neoliberal yang begitu kuat maka apakah sebuah alternatif Indonesia yang demokratis adalah mungkin? Tentu saja. Dalam sejarah Yunani kuno, perjuangan untuk menegakkan demokrasi dimulai dari perjuangan kaum miskin menentang ketidakadilan sosial dan ekonomi yang kian meluas. Di mata ahli ekonomi-politik David McNally, pertumbuhan paham demokrasi liberal adalah sejarah lebih baru, berbarengan dengan tumbuhnya kapitalisme, di mana demokrasi yang dirayakan hari ini berwatak anti kepentingan rakyat kebanyakan. Di sini, masalah mendasarnya bukan terletak pada perilaku para politisi borjuis yang lebih licin dari belut, tetapi merupakan soal sistemik di dalam sistem kapitalisme, di mana politik adalah arena perang untuk mempertahankan sistem kepemilikan kapital. Olehnya, jawaban terhadap itu adalah demokrasi popular, demokrasinya kaum miskin, demokrasi sejati, yang bertujuan menghancurkan kapitalisme.
Jika demokrasi popular adalah pesan yang ingin disampaikan Mega dalam pidatonya, maka dia bukan saja kembali ke politik ideologi “wong cilik”. Lebih dari itu dia mengingatkan bagaimana Pancasila dimaksudkan menjadi ideologi alternatif terhadap tatanan kolonialisme saat kelahirannya dan relevansinya menghadapi kediktatoran neoliberal saat ini. Tetapi, kekuatan kata-kata bukan terletak di tenggorokan, tetapi dalam praktik.
Kita lihat. ***
Anto Sangaji
Mahasiswa doktoral di York University, Kanada