SEBUAH malam Minggu di pengujung Maret 2010. Di gedung bekas pengadilan kolonial yang berlokasi di Jl. Perintis Kemerdekaan 5 Bandung, para pemuda dan sosok-sosok renta duduk bersama terlibat percakapan soal sastra, politik dan kehidupan. Sekarang dan masa lalu. Ada Saut Sitomorang, sastrawan yang menerbitkan buku Politik Sastra, mengkritisi bagaimana sastra dipolitisasi sedemikian rupa dari jaman ke jaman. Budayawan Jacob Soemardjo bicara soal idealisme karya sastra. Pemandu acara malam itu Yopi Setia Umbara, penyair muda dari Universitas Pendidikan Indonesia.
“Penyair di Indonesia tidak lepas dari politik, di luar politik tidak ada apa-apa,” ujar Saut membuka percakapan.
Sementara Jacob membuka ceramahnya dengan berkata; “Keinginan manusia dari dulu sampai sekarang sama, cara mencapai keinginan itu yang berbeda. Sebuah karya sastra mesti bisa diterima oleh berbagai kalangan ideologi.”
Saut Sitomorang gigih bicara soal politik kanon dalam sastra Indonesia. Ia lalu menjelaskan sekilas tentang sejarah pembentukan kanon sastra, yang telah dimulai sejak zaman kolonial. Balai Pustaka sebagai institusi formal sastra pertama yang melakukan itu. Ia membuat aturan bahwa karya sastra yang tidak masuk dalam kategorinya termasuk Bacaan Liar. Lebih jauh soal kanon, Saut menjelaskan, istilah “kanon” atau “canon” dalam bahasa Inggrisnya berasal dari kata bahasa Yunani kuno, yaitu kanon yang berarti sebuah “buluh” atau “tongkat” yang dipakai sebagai alat pengukur. Belakangan istilah ini memiliki makna tambahan yaitu “peraturan” atau “hukum”. Sejak abad ke IV kanon memiliki arti sebagai sebuah prinsip seleksi atas pengarang-pengarang tertentu mana atau teks mana yang pantas untuk dilestarikan dibanding yang lainnya, dengan merujuk pada daftar teks atau pengarang, khususnya buku-buku yang akhirnya menjadi kitab suci agama Kristen yaitu Alkitab atau Bibel.
Kemunculan Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada 1963, menurut Saut tetap melestarikan politik kanonisasi ini. Saat itu sasarannya adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang ketika itu sedang berupaya memajukan kebudayaan rakyat dan pembebasan kaum tertindas; petani dan buruh. Bersamaan dengan itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang berada di tengah massa pendukung dan menjadi terbesar di Indonesia.
“Tinggi mutu ideologi, tinggi mutu artistik” demikian slogan Lekra yang mengusung seni realis.
Manikebu muncul dengan sebuah konsep kebudayaan yang menentang prinsip Lekra “Politik sebagai Panglima”. Goenawan Mohamad dalam bukunya Kesusastraan dan Kekuasaan yang terbit pada 1993, menulis “Tampaknya asumsi Jassin (H.B. Jassin) adalah bahwa para penulis Lekra dan para pengikut mereka ingin medesakkan ide mereka tentang sastra sebagai bagian dari pekerjaan propaganda.” H.B. Jassin dan Goenawan Mohamad adalah dua di antara banyak pengarang yang menandatangani Manifes Kebudayaan.
Dalam buku yang sama, Goenawan Mohamad mengutip tulisan H.B. Jassin; “Kami tidak masuk partai kiri atau kanan, itu bukan berarti bahwa kami tidak punya pendirian, tetapi karena baik partai kiri atau kanan ada kekurangan-kekurangannya yang tetap harus kami hadapi dengan kritis.”
Seorang Lekra angkat bicara. Dia Sutikno penyair yang bukunya terbit dalam judul Nyanyian dalam Kelam. “Landasan berkreativitas tinggi ideologi adalah memuliakan manusia sama dengan memuliakan hidup. Pedoman itulah yang menjadi landasan orang-orang Lekra.” tandasnya di sela-sela diskusi.
“Marilah kita lawan segala bentuk penistaan manusia,” ujar Sutikno mengakhiri percakapan dengan lantang.
Putu Oka Sukanta salah seorang Lekra lainnya, memberikan penjelasan soal Lekra untuk merespon Saut Situmorang yang mempertanyakan keberadaan dokumen-dokumen penting mengenai Lekra yang sulit dicari, terutama Muqadimah Lekra yang sengaja dihilangkan oleh kekuasaan Orde Baru. Dalam penjelasan itu terungkap; Lekra didirikan karena ada dominasi kebudayaan feodal. Lekra mengembangkan seni untuk rakyat. Siapa rakyat? Rakyat adalah kekuatan anti feodal dan anti kapitalisme. Slogan “Politik sebagai Panglima” yang diemban Lekra adalah upaya survival untuk mempertahankan hidup, bukan semata-mata membebek kebijakan partai.
“Lekra dan PKI secara organisasi terpisah, tapi mempunyai tujuan yang sama,” kata Putu, tegas. Putu Oka Sukanta oleh rejim Orde Baru diasingkan ke Pulau Buru dan menjadi pekerja paksa di sana bersama-sama dengan sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer.
Setelah Peristiwa G30S 1965, para seniman Lekra dihabisi oleh algojo-algojo Orde Baru. Mereka ada yang dibunuh, dipenjara tanpa proses peradilan dan dijadikan budak di pulau pembuangan Pulau Buru. Bebas dari tahanan bukan berarti bebas berkarya dan berorganisasi. Hambatan dan larangan lain bermunculan, dari stigma hingga pentungan. Misalnya, pemerintah tangan besi Ode Baru melarang mereka menulis dan berkarya seperti yang diakui oleh Putu Oka Sukanta. Buku-buku karya pengarang Lekra pun dilarang terbit dan diharamkan untuk dibaca.
“Buku-buku mereka lenyap dari sejarah sastra Indonesia,” kata Asep Sambodja, pengamat sastra dalam pengantar Puisi-Puisi dari Penjara.
“….Tak ada lagi desakan untuk menulis tentang revolusi dan sebagainya, Suasana totaliter menyingkir, tapi kecenderungan represif tidak. Dalam bentuk yang lebih keras, kini antara lain giliran para seniman Lekra yang menjadi sasaran,” kata Goenawan Mohamad dalam buku Kesusastraan dan Kekuasaan.
Bilven Rivaldo Gultom, pengelola toko buku Ultimus yang juga menerbitkan ketiga buku karya sastrawan Lekra itu merasa penting menerbitkan karya-karya sastrawan Lekra. Buku-buku yang terbit itu adalah Puisi-Puisi dari Penjara karya S. Anantaguna, Nyayian dalam Kelam karya Sutikno W.S. dan Aku Hadir di Hari ini karya Hr. Bandaharo. Ada juga Gelora Api 26 kumpulan cerpen Chalik Hamid dkk dan Pelita Keajaiban Dunia kumpulan puisi Nurdiana jilid 2.
“Itu buku penting, itu bagian dari sejarah sastra di Indonesia yang dihilangkan oleh kekuasaan yg berdarah-darah,” katanya.
Selain itu, penerbitan buku karya seniman Lekra ini dimaksudkan agar sastrawan generasi baru bisa memetik pelajaran dari karya-karya yang sempat dihilangkan itu. Bagi Bilven, syair-syair karya sastrawan Lekra mudah dipahami karena berbasis dari realitas sosial sejarah masyarakat Indonesia.
“Karya para sastrawan Lekra memperlihatkan keberpihakannya kepada kaum yang punya masa depan. Mereka itu adalah rakyat jelata,” ujar Bilven.
Malam itu 20 Maret 2010. Gedung Indonesia Menggugat ramai. Sesekali dalam sekejap sunyi, hanya hentakan suara para penyair muda menggema, menggebrak lantai saat pusi-puisi tentang suara rakyat dibacakan. Dulu, sebelum republik ini lahir, gedung itu adalah Pengadilan Negeri Hindia Belanda (Landraad). Di sanalah para pemuda yang anti terhadap pemerintahan kolonial diadili. Mereka antara lain Maskoen, Gatot Mangkoepradja, Soepriadinata, Sastromoeljono, dan Sartono pada tahun 1930. Yang paling terkenal tentu saja adalah Soekarno. Di tempat itu, si Bung membacakan pledoinya yang sangat masyhur, Indonesia Menggugat. Judul pidatonya itu kemudian diabadikan sebagai nama gedung itu sekarang.***
Mulyani Hasan, Kontributor IndoPROGRESS.