ANALISA EKONOMI POLITIK
AKHIR-akhir ini kata teror dan terorisme telah mengalami penyederhanaan yang luar biasa. Maknanya semata merujuk ke tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang dilabeli sebagai ‘teroris’ di dalam masyarakat. Oleh karena itu, perang melawan teror, apapun caranya, diterima secara bulat sebagai tindakan yang sah.
Padahal, kalau melihat asal-usul kata itu, sebenarnya tertanam kuat dalam Revolusi borjuis Perancis, yang dilakukan oleh negara. ‘The Reign of Terror’ diperkenalkan ketika ‘Committee of Public Safety’ (1793-4) berusaha untuk mengeliminasi elemen-elemen internalnya yang dianggap menghambat Revolusi. Hasilnya, dalam tahun 1794 saja komite tersebut mengajukan permintaan untuk melakukan eksekusi mati 2,400 di Paris dan sekitar 30,000 orang di seluruh Perancis. Angka lain menyebut sekitar 200.000 orang dieksekusi. Mereka dieksekusi karena dianggap kontrarevolusi. Ringkasnya, terror-teror itu dilakukan oleh atau didukung oleh negara.
Baru saja, Allan Nairn, seorang jurnalis investigatif dan aktivis, bikin sakit kepala pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Jakarta. Dalam wawancaranya dengan wartawan progresif Amerika Serikat Amy Goodman, yang disiarkan oleh jaringan radio dan media internet Democracy Now, dia menyatakan Kopassus terlibat dalam serangkaian pembunuhan terhadap sejumlah aktivis di Aceh pada tahun 2009. Pembunuhan ini merupakan sebuah program rahasia pemerintah yang diatur oleh pejabat berwenang di Jakarta. Pernyataan itu berekor, karena pimpinan TNI menyatakan akan menuntut Nairn di depan pengadilan. Sebaliknya, tidak mau kalah, Nairn juga menyatakan siap beradu bukti di depan pengadilan.
Februari 2009, Presidium Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, menyebarkan sebuah kronologi teror. Di sana tertulis, polisi menembak sejumlah warga di Halmahera yang berusaha menduduki kantor PT Aneka Tambang yang merampas tanah-tanah mereka. Tidak ada warga yang mati dalam insiden itu, tetapi beberapa orang dilaporkan harus dilarikan ke Rumah Sakit karena terjangan timah panas.
Kedua aksi teror semacam ini sering berulang dalam 10 tahun ini di berbagai pelosok tanah air.
Asal-usul
Untuk secara jernih melihat teror yang dilakukan negara saat ini, ada baiknya kita melacak kembali asal-muasalnya sejak zaman kolonial. Tidak untuk mengatakan bahwa tidak ada teror pada masa-masa sebelumnya, tetapi sekedar memberikan konteksnya pada teror yang dilakukan oleh sebuah negara modern di Indonesia.
Henk Nordholt (2002) dalam tulisannya ‘A Geneology of Violence’, secara ringkas membagi tahapan dari kekerasan oleh rejim kolonial di nusantara. Pertama, teror dimulai saat VOC berusaha memonopoli perdagangan di kepulauan nusantara. Untuk menancapkan pengaruhnya, secara efisien VOC, misalnya, melakukan perang dan mempraktikkan perbudakan. Kedua, ekspansi pemerintahan imperialis kolonial (1871-1910), sebuah periode di mana teror oleh negara merajalela. Ironisnya, kekerasan negara semakin menjadi-jadi dengan jumlah korban tidak sedikit, justru pada saat pemerintah kolonial memberlakukan apa yang luas dikenal dengan ‘politik etis,’ yakni politik yang digembar-gemborkan dalam literatur kolonial sebagai penghormatan terhadap pribumi dan tidak ada eksploitasi.
Dengan panji ‘politik etis’ itulah, ketika melakukan ekspansi ke luar Jawa di awal abad lalu, tangan negara kolonial benar-benar berlumuran darah. Pada masa ini perang dilancarkan di Aceh, Lombok, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, Seram, Flores, Timor, dan Bali. Korban mati terbesar dalam perang ini terjadi di Aceh, yang diperkirakan mencapai lebih dari 100.000 orang. Jumlah orang Aceh yang dibunuh serdadu kolonial diperkirakan mencapai 75.000 atau 15 persen dari total penduduk di sana. Sementara, dari sisi kolonial terdapat sekitar 25.000 kuli dan 12.500 serdadu meninggal.
Tentu saja, perang ini bukan perang antara Barat melawan Timur atau Kristen melawan Islam, tetapi perang untuk memperluas pengaruh kapitalisme. Penelitian saya tentang perang kolonial yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa sejak Belanda menaklukkan wilayah itu secara berdarah-darah (1905), maka di bawah tameng ‘politik etis’, pemerintah kolonial memaksa warga yang sudah kalah perang untuk turun dari bukit-bukit dan tinggal di kampung-kampung baru. Kepada mereka diperkenalkan sistem bercocok tanam menetap, diperkenalkan dengan pasar dan institusi negara modern, di mana surplus dari produksi panen dijual dan sebagian hasilnya untuk membayar pajak. Tetapi perluasan kapitalisme paling fundamental melalui perang itu adalah lahirnya institusi kepemilikan pribadi, di mana hak milik pribadi atas tanah dan tenaga kerja ditumbuh-kembangkan. Dengan kata lain, kapitalisme tumbuh dan disebarkan dengan teror di bawah proyek kolonial.
Kemunculan negara Orde Baru yang penuh dengan teror kurang lebih meneruskan, memperdalam, dan mencanggihkan tindak-tanduk negara kolonial. Ratusan ribu orang dibunuh dan lainnya dipenjara setelah peristiwa G30S 1965, sebagai kondisi yang diperlukan untuk melebarkan sayap kapitalisme. Institusi-institusi dasar sistem ini, yang memang sudah berakar sejak zaman kolonial, dimajukan lagi secara revolusioner. Konsesi-konsesi pertambangan dan kehutanan dalam jumlah jutaan hektar jatuh ke dalam genggaman segelintir tangan, menandai dimulainya fase enclosure paling progresif dalam sejarah kapitalisme modern Indonesia. Industri-industri dibangun di mana-mana juga dengan kepemilikan segelintir tangan. Pembangunan infrastruktur dan ruang-ruang di perkotaan diatur dan ditata untuk mendukung efisiensi dalam akumulasi kapital.
Dalam logika ini, pembunuhan, penyiksaan, dan aneka teror yang dilancarkan negara menjadi keharusan demi berlangsungnya proses akumulasi kapital. Bahkan, sebagian di antara teror-teror itu tidak secara langsung dilakukan negara, tetapi dengan meminjam tangan sesama warga, yang ironisnya sebagian di antara mereka adalah korban ekspansi kapitalisme, melalui satu dan atau lain sebab. Kita menyebut ini sebagai teror yang disponsori oleh negara. Singkat kata, tangan negara Orde Baru benar-benar berlumuran darah.
Dihajar badai krisis kapitalisme pada 1997, proses keruntuhan Orde Baru juga sarat teror. Pembantaian di Timor Leste, kerusuhan dan pemerkosaan di Jakarta, penghilangan paksa dan pembunuhan aktivis, kerusuhan-kerusahan berdalih agama dan suku di sejumlah daerah, sampai penggeledahan tempat-tempat hiburan macam diskotik, pub, dan pelacuran di sejumlah kota adalah contoh-contohnya. Langsung atau tidak, ada tangan negara di sana atau, mensponsorinya. Dua peristiwa terbaru yang disampaikan di muka, ditambah peristiwa penggrebekan FUI/FPI di Surabaya terhadap konferensi ILGA, sebenarnya mengingatkan kita, bahwa teror yang dilakukan negara tidak pernah berubah sejak reformasi 1998.
Soal sistemik
Setiap tahun Fund for Peace, sebuah organisasi riset dan pendidikan independen, berkantor di Washington, Amerika Serikat, mengeluarkan apa yang mereka sebut sebagai ‘failed states index.’ Ada 12 indikator yang digolongkan ke dalam tiga besar: sosial, ekonomi, dan politik. Setiap indikator dikasih score antara 1 (paling sehat) sampai 10 (paling tidak sehat). Negara-negara kemudian dikelompokkan ke dalam empat kategori: Berbahaya, peringatan, moderat, dan berkelanjutan.
Pada tahun 2009, dari keseluruhan negara, urutan negara paling berbahaya adalah Somalia dan yang paling nyaman adalah Norwegia di urutan 177. Indonesia masuk dalam kategori tanda peringatan, berada di urutan 62, dijepit Bosnia yang satu tingkat lebih baik dan Papua New Guenea yang satu tingkat lebih buruk. Amerika Serikat tergolong moderat, di urutan 159, setingkat lebih baik dari Perancis dan setingkat lebih buruk dari Singapura.
Saya tertarik dengan dua soal yang lumayan buruk di Indonesia. Yang pertama adalah ketimpangan sosial ekonomi. Indikatornya mencakup kesenjangan antara kelompok dalam hubungan dengan soal pendidikan, pekerjaan, dan tingkat ekonomi. Juga tingkat kemiskinan, angka kematian, tingkat pendidikan, dan berkobarnya nasionalisme komunal karena kesenjangan-kesenjangan itu. Scorenya buruk, 8,1.
Kedua, adalah aparat keamanan yang berlagak seperti ‘negara dalam negara.’ Indikatornya meliputi elit dan aparat yang bekerja di bawah impunitas; aparat keamanan yang mensponsori atau mendukung milisi-milisi untuk melakukan teror kepada lawan-lawan politiknya atau kelompok lain dalam masyarakat; ‘tentara dalam tentara’ yang melindungi kepentingan klik militer dan politik tertentu; serta milisi-milisi tandingan, gerilyawan bersenjata atau tentara sewaan yang berjuang melawan angkatan perang negara. Di sini, score Indonesia, 7,3.
Ada dua pelajaran bisa diambil dan dikembangkan dari indeks Negara Gagal ini. Kesatu, memang perlu melihat lebih jauh, melalui pendekatan ekonomi-politik yang lebih kompleks, tetapi sekurangnya, buruknya kedua indikator itu, bisa dijadikan sebagai dasar untuk mulai mengerti hubungan antara teror oleh negara dan soal sosial ekonomi dalam batas teritorinya. Kedua, kelemahan pokok dari indeks Negara Gagal, yang dikembangkan dari teori failed state ini, adalah tidak melihat teror oleh negara di luar teritorinya. Misalnya, dalam masa kapitalisme-neoliberal ini Amerika Serikat dengan penuh percaya diri dan impunitas melakukan teror di belahan penjuru dunia manapun, bahkan dengan dalih freedom dan hak asasi manusia, tetapi sebenarnya merupakan bagian dari proyek imperium kelas yang memerintah secara global: kelas kapitalis.
Dengan pengembangan dan penggalian semacam itu, kita bisa tiba pada anggapan bahwa teror oleh negara adalah soal sistemik dalam kapitalisme, bukan sebatas masalah kelakuan aparatus kekerasannya yang koruptif dan haus darah. Sebagai sistem yang berbasis pada eksploitasi, daya tahan sistem ini ditentukan oleh kemampuannya untuk melanggengkan eksploitasi itu. Dan salah satu senjatanya adalah teror oleh negara. Dengan kata lain, inilah teror negara berbasis kelas. Bisa juga disebut, bias kelas dalam teror negara.***
Anto Sangaji
Mahasiswa doktoral di York University, Kanada