PADA tahun 2008, rakyat Amerika Serikat (AS) dan dunia, menyaksikan dua kejadian bersejarah dan monumental. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarahnya, rakyat AS memilih seorang warga keturunan kulit hitam,sebagai presiden di negara adikuasa itu. Pada saat bersamaan, rakyat AS dan dunia juga mengalami krisis ekonomi terparah sejak Depresi Ekonomi 1930an. Kedua peristiwa ini, di satu sisi menimbulkan harapan, di sisi lain menerbitkan kegelisahan dan ketakutan yang akut. Krisis ekonomi 2008, telah mengubur mantra-mantra kebijakan neoliberal yang diusung dan dipopulerkan oleh penganut ekonomi mazhab neo-klasik yang dominan sejak dekade 1970an.
Di AS, krisis ekonomi yang parah ini telah melahirkan perdebatan teoritik-ilmiah juga sumpah serapah. Bagaimana dengan Indonesia, khususnya kaum progresif memandang krisis ini? Untuk mengetahuinya, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS melakukan perbincangan dengan Rudi Hartono dari Partai Persatuan Pembebasan Nasional/Partai Rakyat Demokratik (Papernas/PRD), Anwar Ma’ruf dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dan Wahyu Susilo dari International NGO on Indonesia (INFID). Pada bagian kedua ini, kami turunkan perbincangan bersama Anwar Ma’ruf. Berikut petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Menurut anda, apa penyebab krisis ekonomi yang dimulai pada 2008 kemarin?
Anwar Ma’ruf (AM): ”Tak mungkin sistem kapitalisme tanpa krisis.” Ini mungkin pernyataan yang paling tepat untuk menggambarkan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008. Kapitalisme memang sebuah sistem yang absurd. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang unsur-unsurnya saling membutuhkan dan melengkapi, tetapi cara kerjanya didasarkan pada pencarian keuntungan pribadi dan persaingan. Itulah kenapa sistem ini mengandung kontradiksi-kontradiksi, yang bisa melahirkan krisis.
Satu kontradiksi utama dalam struktur kapitalisme yang terkait dengan krisis tahun ini adalah kontradiksi antara peningkatan produktivitas dengan jatuhnya profitabilitas. Dalam mengejar keuntungan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan pengusaha, yaitu memperpanjang jam kerja, mengurangi upah atau meningkatkan produktivitas. Karena gerakan buruh sekarang ini sudah cukup kuat, apalagi para leluhur kelas buruh telah berhasil memperjuangkan 8 jam kerja sebagai standar internasional, maka sulit bagi pengusaha untuk memperpanjang jam kerja atau mengurangi upah. Yang paling mudah dilakukan adalah meningkatkan produktivitas melalui mekanisasi. Tetapi di sinilah kontradiksi terjadi, karena mekanisasi akan meningkatkan jumlah alat-alat produksi dibandingkan dengan tenaga kerja.
Sudah ada 23 krisis ekonomi selama 1810-1975. Ini belum menyebutkan krisis-krisis yang terjadi pasca 1975 seperti 1998 dan tentu saja krisis yang terjadi di tahun 2008-2009. Untuk memulihkan dari krisis jatuhnya tingkat keuntungan di tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, salah satu yang dipraktekkan oleh kapitalisme dengan menekan upah. Inilah alasan sistemik di balik beberapa fenomena neoliberal, seperti sistem kerja kontrak dan outsourcing, yang sebenarnya merupakan strategi untuk menekan upah, termasuk “upah sosial” buruh (asuransi kesehatan dan sebagainya). Pasar bebas, yang menghancurkan nilai tukar petani juga ikut memenuhi fungsi menekan upah, karena ketika petani berhenti menjadi petani dan pindah ke kota, maka mereka akan meningkatkan penawaran tenaga kerja, yang menekan upah buruh untuk turun.
Dampaknya adalah kesenjangan sosial yang tinggi. Di satu sisi, pendapatan pekerja hancur, sementara di sisi lain kekayaan menjadi terpusat di sedikit orang. Selama 1973-2000, misalnya pendapatan riil rata-rata 90 persen rakyat AS yang berada di lapisan bawah turun sebanyak 9 persen, sementara pendapatan 1 persen yang berada di tingkat atas meningkat sebesar 101 persen. Peningkatan pendapatan 0,1% rakyat AS yang berada di lapisan atas lebih mengerikan lagi, yaitu sebesar 227 persen (McNally, 2008).
Fenomena ini menimbulkan permintaan akan kredit dari pekerja, yang daya belinya hancur sangat tinggi. Hal ini kemudian disambut oleh para pemodal dengan berinvestasi pada instrumen-instrumen keuangan. Inilah alasan sistemik dari munculnya “sekuritas utang” dan menjamurnya instrument spekulasi, yang ikut mendorong krisis yang terjadi sekarang ini.
Berdasarkan uraian di atas, kita lihat bahwa sekalipun krisis 2008-2009 ini didorong oleh karena terlalu banyak instrumen yang muncul akibat daya beli buruh yang hancur karena tekanan atas upah, merupakan upaya kapitalisme untuk memulihkan dirinya dari krisis kejatuhan tingkat keuntungan di tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an. Secara singkat, krisis yang terjadi pada tahun 2008 adalah akibat dari upaya kapitalisme untuk keluar dari krisis sebelumnya. Krisis berusaha ditambal dengan sesuatu yang kemudian meledak lagi dalam bentuk krisis. Tetapi inilah kapitalisme, sebuah sistem yang penuh kontradiksi dan selalu sakit.
IP: Mengapa krisis yang dipicu oleh krisis sektor perumahan itu bisa menyebabkan krisis ekonomi yang lebih parah?
AM: Yang tidak dikemukakan oleh media massa dan para analis borjuis di Indonesia bahwa krisis yang melanda pasar keuangan AS pada tahun 2008 lalu, sebenarnya merupakan kelanjutan dari krisis keuangan yang diakibatkan oleh jatuhnya nilai saham perusahaan-perusahaan teknologi informasi (krisis yang sering disebut dotcom bubble burst) di akhir tahun 2000. Hal ini dimulai ketika AS ingin mengatasi krisis keuangan yang timbul akibatnya jatuhnya nilai saham dotcom, bank sentral AS (“The Fed”) memangkas suku bunga kredit dari 6,5 persen menjadi 3,5 persen. Pasca 11 September, The Fed memangkas lagi suku bunga kredit menjadi hanya sebesar 1 persen. Selama 31 bulan berturut-turut, suku bunga kredit jangka pendek mencapai nilai minus. (Bayangkan, ada kredit dengan suku bunga minus!)
Harga uang yang murah (bahkan dapat disebut “gratis” karena suku bunganya minus) ini lalu di lempar ke pasar kredit perumahan, karena sektor inilah yang relatif masih sehat waktu itu dan masih bisa berkembang dengan pesat. Tapi, kelebihan pasokan uang ini menyebabkan para bankir harus bisa mengubah syarat-syarat kredit yang mudah sehingga akan mendongkrak jumlah akad kredit yang ditandatangani. Lahirlah model hipotek subprime, pinjaman yang diberikan pada orang-orang yang rekam jejak pengembalian hutangnya jelek atau tanpa syarat sama sekali. Pada titik ekstrimnya, kredit juga diberikan pada peminjam berkategori “ninja”–yang tidak punya pekerjaan tetap, tidak punya penghasilan tetap, tidak punya asset.
Kemudahan kredit rumah dan kredit dengan jaminan rumah ini membuat kredit rumah menjadi bahan spekulasi. Begitu sudah menjadi bahan spekulasi, tinggal menunggu waktu saja spekulasi ini berlangsung tak terkendali. Apalagi, dalam pasar keuangan, ada mekanisme “derivatif” di mana resiko kredit bisa diasuransikan, lalu direasuransi, dan seterusnya. Melalui surat hutang terkolateralisasi (Collateralized Debt Obligation–CDO), bank kreditor dapat “menjual” resikonya pada bank lain. Dengan pat-gulipat, CDO ini dapat dikolateralisasi lagi sampai CDO tingkat ketiga. CDO ini masih bisa diasuransikan lagi dengan mekanisme yang disebut jaminan kredit jatuh tempo (Credit Default Swap–CDS). Dengan CDS, surat hutang dijaminkan ke bank lain tanpa sepengetahuan si penghutang. Nilai transaksi CDS di tahun 2008 ini mencapai USD 42,6 triliun, setara dengan nilai kekayaan seluruh rumah tangga di seantero Amerika Serikat. Permainan lempar-lemparan resiko inilah yang membuat pasar menjadi rentan–dan, yang jelas, tidak ada satu pelaku pasar pun yang sanggup menanggung resiko ketika pasar terguncang.
Kapitalisme selalu mengatasi satu krisis dengan menumbuhkan krisis lainnya. Dan pada akhirnya, beban krisis itu harus ditanggung lagi oleh rakyat pekerja. Rencana bail-out (penalangan) oleh pemerintah dan bank sentral AS, senilai USD 700 milyar, menunjukkan bahwa, pada akhirnya, pasar keuangan toh terbukti tidak sanggup menstabilkan dirinya sendiri, dan harus mengemis pada pemerintah untuk diselamatkan. Dan pemerintah AS menggunakan uang pajak, uang rakyat, untuk penalangan itu, sebagaimana yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam hal krisis BLBI. Para pembela kapitalisme selalu mengatakan: menyelamatkan pasar keuangan penting karena, jika tidak diselamatkan, perekonomian akan hancur. Yang selalu mereka lupakan juga adalah jika pasar keuangan sedang kuat mereka akan mengatakan: pemerintah jangan campur-tangan ke dalam pasar, pajak harus dipotong, peraturan harus diliberalisasi.
IP: Mengapa krisis ini bisa meluas secara global? Faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?
AM: Bangkrutnya pasar subprime mortgage AS sebesar $400 miliar, memicu kerugian korporasi-korporasi keuangan, bahkan hingga bangkrut. Rubuhnya beberapa korporasi besar – mulai dari Halifax di Inggris hingga yang terakhir AIG (perusahaan asuransi raksasa AS), mengguncang pasar saham di AS dan mengguncang bursa-bursa saham seluruh dunia sehingga hampir semua mengalami kerugian.
Krisis energi juga menjadi salah satu sektor yang mengalami dampaknya. Harga minyak melambung tinggi dari di bawah $ 25 per barrel sebelum perang Irak (2001) menjadi $ 127 per barrel. Naiknya harga-harga komoditas pangan, seperti beras naik 217 persen, gandum 140 persen, jagung 125 persen dan kedelai 110 persen juga menyebabkan krisis pangan. Selain itu juga terjadi krisis dollar AS akibat jatuhnya $ terhadap Euro. Hal ini lebih disebabkan menggilanya pasar spekulasi keuangan yang tak terkontrol (bubble economy) sementara pasar riil stagnan.
IP: Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia dengan adanya krisis ini?
AM: Indonesia juga akhirnya terkena imbas dari krisis ekonomi tersebut. Krisis ekonomi tahun 97 lalu dapat dipastikan belum pulih dan sudah dihantam lagi dengan krisis 2008. Ukuran sederhananya (secara kanan) adalah anjloknya nilai rupiah yang sangat jauh dari mata uang asing khususnya US $ bandingkan dengan sebelum krisis. Kemudian yang terjadi sampai sekarang, naiknya harga kebutuhan bahan pokok akhirnya menyebabkan krisis harga pangan. Naiknya harga BBM juga menyebabkan krisis energi. Ketergantungan Indonesia terhadap negara asing juga membuat ekonomi (ekspor dan impor terpukul akibat krisis keuangan AS.
Kita bisa melihat bagaimana rejim neoliberal SBY-JK yang dilanjutkan dengan SBY – Bud terus melakukan liberalisasi ekonomi. Tentu ini tidaklah berdiri sendiri, sudah pasti ada dorongan dari kapitalisme global dimana upaya pemulihan melalui KTT G20 akan membutuhkan sarana penyelamatan bagi krisis global, dan Indonesialah salah satu negara yang dapat dimanfaatkan untuk sasaran penyelamatan krisis. Juga ketika kita melihat krisis politik yang terkuak akhir-akhir ini, dimana praktek ”demokrasi” ternyata marak dengan kebusukan macam penilepan uang negara dengan berbagai cara seperti yang terkuak dalam skandal Century. Sudah pasti, masih banyak lagi skandal yang lebih besar namun sulit atau belum terungkap hingga hari ini. Lebih jahatnya lagi, krisis dijadikan ruang pencurian (korupsi) bagi kepentingan pemenangan politik melalui Pemilu dan mungkin Pilkada (pemilihan kepala daerah).
Sampai hari ini, dapat dikatakan, Indonesia belumlah keluar dari krisis, dimana perekonomian negara ini masih ditopang dengan utang dan penerbitan atau penjualan obligasi dan SUN. Apalagi terus diperparah dengan adanya korupsi dari berbagai lini. Upaya pemulihan juga tidak dilakukan bahkan yang terjadi adalah penjualan aset-aset strategis atau upaya privatisasi terus dilakukan. Dengan demikian kemandirian ekonomi bangsa akan semakin jauh, itu juga berarti rakyat akan semakin jauh dari sejahtera. Ditambah dengan liberalisasi melalui national summit dan terakhir FTA ASEAN – China, yang sudah pasti akan menghancurkan sendi-sendi perekonomian rakyat pekerja. Di mana lapangan kerja terancam, alat produksi bagi petani (tanah) akan terus digusur, laut dikapling, pendidikan dan kesehatan mahal dan tidak ada penegakan hukum dan HAM. Maka sudah pasti sejak ORBA – Reformasi 98 sampai pada 5 tahun 100 hari pemerintahan SBY, rakyat pekerja terus dikorbankan.
IP: Apa jalan keluar yang organisasi anda tawarkan untuk mengatasi krisis ini?
AM: Pertama, Seharusnya sistem ekonomi kapitalisme yang sudah terbukti gagal ini segera dihentikan dan digantikan dengan sistem sosialisme. Namun, tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kita tahu, meskipun perekonomian Indonesia rapuh, kaki-kaki kekuasaannya masih gagah berdiri dengan warisan hegemoni yang canggih sejak jaman orde baru. Seharusnya rakyat pekerja harus mulai sadar, seminimalnya membaca konstitusi negara ini dengan tafsir yang sosialistik. Artinya, secara ”believe” harus mulai bergeser ketika melihat fakta kehancuran kapitalisme. Maka propaganda dari gerakan yang progresif harus lebih masif lagi masuk pada tataran akar rumput yang saat ini sedang mengalami krisis kepercayaan politik terhadap rejim yang berkuasa. Kemudian pada pelosok-pelosok tanah air yang saat ini masih terilusi oleh propaganda rejim, harus lebih dijelaskan sampai terjadi pencerahan baru yang lebih bersegi hari depan.
Kedua, gerakan kontrol rakyat harus dibangun dan diarahkan pada jantung-jantung kekuasaan alat produksi. Sebagai contoh perusahaan-perusahaan negara (BUMN) yang saaat ini sedang atau sudah dalam proyek privatisasi harus terus dilawan dengan kekuatan bersama. Juga gerakan pengambilalihan pabrik, reclaiming tanah oleh petani dan lain-lain harus dimajukan pada perespektif pembagunan basis produksi secara kolekif oleh rakyat pekerja. meskipun saat ini terus dimoderasi dan diperlemah dengan berbagai cara.
Mengontrol di sini, maksud saya, tidak hanya mengawasi tetapi lebih pro-aktif masuk dalam penyelamatan dan penyehatan untuk kepentingan yang lebih besar. Selain itu, perluanya masuk dalam perencanaan pembangunan dengan membangun Dewan-Dewan Rakyat. Di sektor industri perlu adanya Dewan Industrialisasi Nasional, di sektor Agraria perlu adanya Dewan Keadilan Agraria. Disana perwakilan kelas buruh dan tani harus dominan dalam menentukan arah kebijakan yang berpihak pada rakyat pekerja. Untuk menjalankan hal ini sudah pasti tidak mudah, butuh gerakan yang massif dan radikal di semua lini.
Ketiga, dua hal di atas tentu tidak akan dapat berjalan jika tanpa organisasi rakyat yang kuat, yakni partai politik kelas pekerja dan ormas-ormas progresif seperti serikat buruh, serikat tani, nelayan dan serikat-serikat rakyat lainnya. Harus disadari bersama mungkin kita belum memiliki semuanya saat ini, namun minimal sudah ada organisasi politik yang berperspektif perjuangan kelas dan serikat-serikat yang progresif. Maka sebaiknya kelompok atau organisasi yang progresif yang saat ini berceceran atau terkotak-kotak selayaknya segera membangun persatuan. Sebelum dapat menyatu-padu bergabunglah dalam satu aliansi taktis dan tingkatkan dalam aliansi yang programatis, kemudian terus didorong menuju front persatuan untuk kemudian membangun partai politik.
Tentu kehadiran partai politik tidaklah mudah kalau semua disatukan. Disitulah partai front atau partai payung difungsikan dan harus berani bertarung secara terbuka dengan rejim yang berkuasa. Dan terus menerus melakukan kerja-kerja politik untuk kepentingan rakyat pekerja yang hari ini ditindas dan dihisap.***