OBITUARI
“Dia (Kelly) memperjuangkan kemiskinan di tengah hutan bersama dinginnya udara, bukan di hotel-hotel berbintang.”
Mgr. John Philip Sakli Pr, Uskup Keuskupan Timika
KELETUS Kelly Kulalok Kwalik, rakyat Papua memanggilnya Tuan Jenderal Kelly Kwalik, terbujur dalam peti mati setelah tubuhnya tertembus peluru dari senjata anggota pasukan gabungan TNI dan Kepolisian Indonesia. Pada Selasa siang (22/12), tujuh hari setelah tertembak, ratusan warga Papua mengantarkannya ke pemakaman terakhir di Timika Indah dengan duka mendalam.
Siapa sebenarnya Tuan Jenderal Kelly Kwalik? Mengapa ia sangat dihormati oleh rakyat Papua? Bagaimana masa depan Papua pasca kematian Tuan Jendral? Bagaimana nilai-nilai perjuangan seorang Jenderal Kelly Kwalik, memberikan inspirasi perjuangan Papua selanjutnya? Inilah sosok Tuan Jenderal dari masa perjuangan hingga akhir hidupnya.
Tuan Jendral lahir di Lembah Jila, Timika, pada 1955. Tanggal dan bulan kelahirannya tak diketahui karena tidak ada yang mencatatnya waktu itu. Berasal dari Suku Amungme, sebuah suku yang hidup di pegunungan, daerah operasi penambangan emas dan tembaga PT Freeport. Karena itulah, ia mengetahui dan menjadi saksi peristiwa demi peristiwa kekerasan dan ketidakadilan selama PT Freeport berdiri.
Sejak kecil, Tuan Jendral hidup seperti anak-anak Papua lainnya. Menyelesaikan Sekolah Dasar di distrik Agimuka, melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kokonau. Di SMP itu tak selesai. Kemudian, tahun 1973 melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Bawah (SGB), sekarang dikenal SPG/SMU (Sekolah Pendidikan Guru/Menengah Umum) Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik Taruna Bakti Wamena Jayapura. SGB selesai tahun 1974. Awal Januari 1975, kembali ke distrik Agimuka, dan tak melanjutkan ke Sekolah Guru Atas (SGA). Di sana hidup menjadi seorang guru selama setahun.
Bulan Desember 1976, ia bergabung ke Markas Besar Victoria Waris Kabupaten Keerom, Kabinet Pemerintahan Revolusioner 1 Juli 1971 di bawah kepemimpinan Zet Rumkorem dan Jacob Pray. Sejak itu, ia hidup dan berjuang di hutan belantara selama puluhan tahun. Ia pernah berjalan kaki lebih dari lima bulan bersama pasukannya, melalui rute Wamena, Ilaga dan sampailah ke tanah Amungsa Timika, Markas Besar Victoria Waris untuk dilantik dan dikukuhkan sebagai Wakil Panglima KODAP (Komandan Daerah Perang) III (1975-1979) bersama Bonifasius Niwilinggame, Panglima KODAP III Nemangki, Timika. Pada saat yang sama, turut dilantik panglima dari tujuh KODAP lainnya. Ia kemudian menjabat Panglima KODAP III dari tahun 1980 sampai 2007 dan terakhir menjadi Panglima Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/ Organisasi Papua Merdeka (TPN-PB/OPM).
Pada 1977, militer Indonesia melakukan operasi besar di Distrik Agimuka sampai pedalaman suku Amungme. Di tahun yang sama, militer Indonesia juga melakukan operasi ke Kabupaten Jayawijaya dan daerah-daerah di Pegunungan Tengah. Sejak itu, perjuangannya semakin keras karena menyaksikan warga Papua yang banyak menjadi korban dari operasi militer dan banyak warga yang lari dan tinggal di hutan karena terancam hidupnya kemudian mati disebabkan oleh kurangnya makanan dan obat-obatan.
Dalam situasi itu, ia tak bisa diam. Ia protes dan memimpin aksi perlawanan terbuka kepada Militer Indonesia dan PT Freeport, yaitu melakukan aksi pemotongan pipa aliran tembaga yang mengalir dari Gresbert Tembagapura ke pelabuhan Port Sait. Ia pun dengan berani melayangkan surat resmi ke pimpinan militer Indonesia, yang isinya mengajukan lokasi dan waktu perang untuk menghindari korban terhadap warga sipil. Namun, surat itu ditolak dan korban pun berjatuhan.
Nama Jendral Kelly Kwalik mencuat ke tingkat nasional dan internasional setelah menyandera Tim Ekspedisi Lorentz ‘95 di Mapenduma pada tahun 1996. Tim Ekspedisi Lorentz ‘95 adalah para peneliti dari Biological Science Club Universitas nasional Jakarta dan Emmanuel College, Cambridge University, Inggris. Mereka disandera selama sekitar enam bulan di hutan agar dunia mengakui kemerdekaan Papua Barat.
Sosok Jenderal Kelly Kwalik pun kemudian dikenal melalui kesaksian seorang peneliti yang dibebaskan, dalam sebuah buku Sandera: 130 hari terperangkap di Mapenduma (Pustaka Sinar Harapan, 1997). Kepada penulis Ray Rizal dan Nina Pane, Adinda Arimbi Saraswati menuturkan kesaksiannya hidup dan tinggal di camp persembunyian Jendral Kelly Kwalik dan para anggota TPN-PB/OPM. Penuturan Arimbi, mengungkap sosok Kelly Kwalik dengan karakter dan keunikan personal. Tak hanya terkesan sosok menakutkan, tapi Jendral yang penuh wibawa dan kadang tertutur kekocakan para peneliti terhadap pribadinya.
Setelah penyanderaan selesai, Jenderal Kelly Kwalik menjadi target operasi militer Indonesia. Bahkan, dianggap sebagai aktor utama sejumlah peristiwa penembakan dan kekerasan yang terjadi di Papua, terutama di wilayah PT Freeport, Timika. Seperti penembakan dua guru warga negara Amerika di Mile 62-63 pada 2002, dirinya dituduh sebagai aktor dibalik peristiwa itu, namun ia menolak tuduhan dan menyatakan tidak bertanggung jawab atas insiden penembakan tersebut.
Kemudian Juli 2009, sosoknya menjadi kontroversial pada peristiwa penembakan warga Australia dan beberapa orang sipil di areal konsensi PT. Freeport. Irjen FX Bagus Ekodanto, Kapolda Papua waktu itu, bertemu dengan Jenderal Kelly Kwalik dan hasil pertemuan itu diungkapkan bahwa Jendral Kelly Kwalik bukan pelakunya. Namun saat seminar yang diadakan oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Pangdam XII Cendrawasih pada saat menyampaikan materi seminar mengatakan Jendral Kelly Kwalik yang menjadi pelaku penembakan itu. Dan penembakan di bulan Oktober 2009 terjadi untuk terakhir kali tahun ini di wilayah tambang PT Freeport.
Rabu, 16 Desember 2009, jam 03.00 waktu Papua, Jenderal Kelly Kwalik tewas tertembus sekitar empat peluru oleh Tim Densus 88. Di saat itu, Jenderal Kelly Kwalik dalam kondisi yang lemah. Dalam beberapa bulan terakhir, Jenderal Kelly Kwalik sebenarnya sedang menjalani proses pengobatan. Ketika ia disergap, ia berada di sebuah rumah warga dan ditemani beberapa orang warga sipil, yang diantaranya terdapat kerabatnya, yaitu Tilda Solin yang sedang hamil dan suaminya Yohanis Kibak, Steve Mom, Jack Mom, dan Marhen Kwalik.
Pertemuan menjelang hari raya Natal itu adalah saat terakhir bagi Jenderal Kelly Kwalik. Kematiannya telah menggoreskan luka mendalam bagi rakyat Papua. Lonceng kebahagiaan Natal kali ini menjadi lonceng kematian seorang pemimpin besar dan terhormat, yang dikenal sangat humanis dan berani memperjuangkan keadilan di tanah Papua. Uskup Keuskupan Timika, Jayapura, Mgr. Philip Saklil Pr di depan jenazah mendaraskan doa dan kesaksiannya, “Dia (Kelly) memperjuangkan kemiskinan di tengah hutan bersama dinginnya udara, bukan di hotel-hotel berbintang” (Koran Tempo, 22 Desember 2009). Menurut Uskup Philip Saklil, selama 30 tahun lebih Kelly tetap konsisten memperjuangkan komitmennya melawan ketidakadilan dan perampasan hak-hak warga Papua.
Bagi rakyat Papua, kematian Tuan Jenderal itu mengukir kembali memoria passionis (ingatan penderitaan) bagi bangsa Papua. Semasa di dalam perjuangan, Jenderal Kelly Kwalik mengungkapkan sebuah doa kepada seorang pemuda aktivis Papua yang sangat dekat dengannya. Doa ini juga untuk mengantarkan ke alam keabadian dengan tenang dan damai. Seorang aktivis Papua itu menuliskan ungkapan doa Jenderal Kelly Kwalik tersebut demikian:
“Selama 34 tahun ku bertahan di hutan belantara, ku daki bukit-gunung; ku lalui lembah, rawa; ku menyeberang kali, danau, sungai dan laut, ku tahan terik panas walaupun membakar kulit, ku tahan dingin dan bekunya tubuhku karena salju abadi warisan leluhurku hanya karena satu tekat, yakni demi tegaknya keadilan, kebenaran, kasih dan perdamaian di atas tanah leluhurku.
Kini aku berseru dan berdoa sebelum kelak aku menghembuskan nafasku “Tuhanku bawalah pergi semua emas, tembaga, minyak, gas, ikan, semua tumbuhan dan hewan yang membuat pulau ini menjadi kaya. Dan berilah kami kembali hak KEMERDEKAAN itu. Orang-orang ini, mereka butuh semua yang Engkau taruh di tanah ini; tetapi semua barang ini bukanlah yang pernah, sedang atau akan minta padaMu. Bawa pergi semuanya dari tanah ini ke negeri mereka masing-masing dan berilah kami apa yang kami mintakan dari kemarin, sekarang, sampai besok juga kalau perlu.”
Semoga doa ini didengar oleh bangsa dan pemerintah Indonesia, untuk kehidupan yang damai dan tenang di tanah Papua. Selamat jalan pejuang keadilan. Selamat jalan Tuan Jenderal. Tinggallah dalam Damai, Rest in Peace! (*)
Basilius Triharyanto, adalah seorang wartawan.
*) Artikel ini semula untuk sebuah suratkabar, namun tak kunjung diturunkan karena keterbatasan kolom menjelang akhir tahun 2009, kolomnya dipakai untuk catatan akhir tahun. Artikel ini juga bisa dibaca di webblog www.duniabergerak.blogspot.com, dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.