BUKU Gurita Cikeas karya George J Aditjondro atau GJA mengundang reaksi keras. Para pendukung SBY, berlatar belakang akademisi dan terlebih politisi, menanggapi buku ini dengan sikap cenderung kekanak-kanakan.
Entah memakai logika apa, sebagian di antara mereka mengaku belum dan tidak tertarik membaca bukut tersebut, tetapi sudah menyimpulkan isi buku adalah sampah. Sebagian mulai memainkan kartu SARA, seperti terlihat dari spanduk-spanduk yang dibawa para demonstran ketika peluncuran buku di Doekoen Café pekan lalu.
Buat pembaca serial buku korupsi kepresidenan GJA, buku ini sebenarnya mirip buku-buku sebelumnya, yakni mengenai korupsi politik. Tepatnya, korupsi oleh sebuah oligarki, yang oleh GJA menyebutnya ”berkaki tiga”, yakni istana, tangsi, dan partai penguasa. Dia mengklaim adanya kesinambungan oligarki ini dari Soeharto sampai SBY.
Merujuk karya sosiolog William J Chambliss tentang jaringan kriminal (On the Take: From Petty Croocks to Presidents), GJA mengembangkan teori ”jejaring korupsi”, dengan aktor beragam: dari politisi, pengusaha, aparat militer, penegak hukum, pengacara, ilmuwan, wartawan, sampai preman.
Tak heran, korupsi sangat sulit diberantas lewat jalur penegakan hukum. Pasalnya, para aktornya mengendalikan lembaga-lembaga politik dan hukum, serta menguasai sumber-sumber ekonomi. Mereka juga melakukan propaganda media dengan meminjam suara para pakar/tokoh agama dan bila perlu memakai cara teror, untuk menutup- nutupi dan melestarikan korupsi.
Tidak mudah
Penelitian atau investigasi untuk mengungkap ”jejaring korupsi’ bukan hal mudah. Pertama, dengan kekuasaan yang luas di tangannya para pelaku menutup rapat informasi dan saling melindungi. Mereka ramai-ramai membantah apabila dimintai konfirmasi tentang indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Untunglah selalu ada ”orang- orang baik”, seperti William Mark Felt, dalam Skandal Watergate yang menghebohkan itu. Mereka ini yang memberi informasi dan bukti tentang korupsi di lingkungannya. Seorang peneliti atau investigator yang baik tentu saja akan melindungi whistle blower ini, yang bisa saja terancam kehilangan pekerjaan, jabatan, bahkan nyawa.
Kedua, mereka kerap memakai jalur hukum untuk menjerat siapa pun yang mencoba-coba mengungkap korupsinya. Senjata ampuh yang sering digunakan adalah tuduhan pencemaran nama baik. Bahkan, lebih dari itu, ancaman penghilangan nyawa. GJA sendiri pernah mengalami ancaman semacam ini secara berulang ketika terlibat penelitian ’jejaring korupsi’ di daerah-daerah konflik bersenjata.
Debat kusir
Banyak di antara komentator Gurita Cikeas terjebak debat kusir karena tidak memahami teori ”jejaring korupsi” yang mendasari buku ini. Bisa ”dimaklumi” bila pelakunya adalah para politisi karena kekuasaannya terganggu.
Sungguh aneh ketika sebagian pakar yang mengomentari buku ini larut dalam debat kusir. Apalagi menganggapnya tidak ilmiah penggunaan sumber sekunder dari pemberitaan media dan internet. Jangan lupa, GJA menulis disertasi doktornya di Cornell University tentang pemberitaan media massa dalam kasus Bendungan Kedungombo. Dia tahu validasi dan penggunaan sumber-sumber sekunder dan memahami aroma politik dan bisnis di balik pemberitaan media.
Di sisi lain, sudah hampir dua dekade GJA melakukan studi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping pernah mengajar sosiologi korupsi di Newcastle University, dalam belasan tahun terakhir GJA meneliti korupsi dalam spektrum luas, dari korupsi kepresidenan, korporasi swasta, hingga di daerah-daerah konflik bersenjata. Ia juga menulis beberapa buku dan menulis puluhan makalah ilmiah. Tidak bisa disangkal, GJA adalah satu dari sedikit ilmuwan sosial di Indonesia yang memiliki pengalaman riset yang panjang dan mendalam mengenai korupsi.
Atas dasar itu semua, perdebatan tentang Gurita Cikeas sebaiknya dilakukan secara akademis. Pertama, para pakar perlu menunjukkan kelemahan-kelemahan teori ”jejaring korupsi” GJA dan menyoal metodologi penelitiannya melalui tulisan-tulisan akademis. Hanya dengan cara ini selain akan memajukan teori ilmu sosial tentang korupsi, juga menyumbang setiap inisiatif memerangi korupsi di negeri ini.
Kedua, media massa perlu aktif meminta pendapat ilmuwan sosial tentang isi buku tersebut, terlebih dari ahli ilmu sosial yang terlibat dalam penelitian korupsi di mana ruang lingkup buku itu berada. Dan para jurnalis juga perlu menghindar mewawancarai ilmuwan yang sering genit menjadi komentator untuk semua hal di luar keahliannya, yang kadang ”asal berpendapat” atau ”berpendapat asal-asalan”.
Dengan demikian, media turut mendidik masyarakat dengan menyajikan percakapan para ilmuwan secara sehat.***
Arianto Sangaji, mahasiswa doktoral di York University, Toronto, Kanada.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, Rabu, 6 Januari 2010. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.