PERINGATAN Hari Antikorupsi Sedunia di Tanah Air berlangsung marak. Reaksi berlebihan SBY terhadap aksi ini dengan menganggap kemungkinan adanya politisasi, telah menunjukkan kecemasan rezim terhadap legitimasinya. Secara khusus mengundang tanda tanya tentang seberapa jauh pemerintahannya, yang baru dibentuk, terkait dengan skandal Bank Century.
Pemerintahan ini akan menghadapi krisis lebih serius, jika penanganan skandal ini dilakukan dengan modus tawar-menawar politik di antara sesama elite. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi SBY, skandal Bank Century harus dibuka selebar-lebarnya, baik secara hukum maupun politik, jika ingin pemerintahannya bisa bekerja dengan stabil.
Lepas dari hal itu, berkaitan dengan percakapan luas tentang korupsi akhir-akhir ini, tulisan ini hendak mendiskusikan pengertiannya secara mendasar dan kebutuhan perluasan gerakan antikorupsi untuk menjawabnya. Korupsi dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Karena memonopoli birokrasi, pemegang kekuasaan mengeruk keuntungan melalui penyogokan, pemerasan, penggelaspan, kecurangan, dan nepotisme. Ini terjadi melalui jalur perizinan usaha (eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam; mobilisasi barang, jasa dan orang; dan pengecekan masalah perburuhan dan lingkungan hidup dalam aneka industri), pembahasan UU dan anggaran belanja di parlemen, penerimaan pegawai dan penunjukan pejabat, bantuan bencana, pengkriminalan seseorang, dan sebagainya. Korupsi dengan demikian mengubur mitos tentang pemerintah sebagai organisasi netral yang mengabdi bagi kepentingan umum.
Dalam On Poverty, Corruption and Banality, Sullivan (2002), menganggap praktik-praktik di atas adalah korupsi dalam pengertian terbatas. Pelaku bisnis, organisasi masyarakat sipil global, seperti Transparency International, lembaga multilateral, dan negara-negara industri maju menyoal korupsi dalam pengertian ini. Lingkup korupsi ini juga mendasari pembentukan KPK.
Pengertian di atas tidak menjelaskan korupsi sebagai masalah fundamental ekonomi-politik. Mengacu ke Hegel tentang a great and general of corruption, Sullivan mengurai perkara hubungan antara politik dan ekonomi dalam sistem kapitalistik, di mana pengertian luas korupsi berada.
Pengertian ini teruji dalam penerapan neoliberalisme, paham yang menyakralkan keuniversalan sistem hak-hak milik pribadi, pasar, dan perdagangan bebas. Penganut paham ini menganggap korupsi (dalam pengertian sempit) sebagai batu sandungan akumulasi modal. Mereka menawarkan solusi reformasi, melalui disiplin anggaran belanja pemerintah, jaminan terhadap hak-hak milik pribadi, privatisasi perusahaan milik negara, dan deregulasi ekonomi.
Masalah Mendasar
Solusi ini memunculkan dua masalah mendasar. Pertama, tunduk di bawah dogma hak milik pribadi sebagai elemen dasar akumulasi modal, negara memelopori pengalihan beragam bentuk hak milik ke segelintir tangan. Meluasnya sengketa tanah dengan petani dan eksploitasi kaum buruh menyusul ekspansi modal ke seluruh Tanah Air, adalah cermin betapa dalamnya korupsi hak milik.
Dalam Capital, Marx (1990) mencatat korupsi ini melalui primitive accumulation, yang bukan saja merampas alat produksi (tanah) petani Inggris, juga melemparkan mereka menjadi tenaga kerja bebas bagi industri untuk dikonsumsi dengan murah dan sewaktu-waktu dibuang. Korupsi hak milik dapat juga dilacak ke belakang, misalnya, dalam Empire of Capital, Wood (2004) mencatat kedigdayaan Kekaisaran Romawi bertengger di atas sistem hak milik pribadi yang kuat dan militer yang berotot.
Kedua, ketidak-berdayaan negara di bawah kontrol pemilik uang yang memanipulasi proses elektoral. Mahalnya ongkos kampanye untuk membiayai kegiatan tatap muka, reklame, pembelian suara, “industri” jajak pendapat, dan sengketa hasil pemilu membuat para politisi dan partai politik bergantung kepada pemilih kaya, melakukan persekongkolan korupsi, bahkan tindakan pencucian uang. Konsekuensinya, regim elektoral yang terbentuk akan takluk baik pada lobi bisnis secara terbatas dan utamanya kepada sistem properti yang promodal. Ini adalah kontradiksi demokrasi liberal.
Gerakan antikorupsi dalam kasus KPK dan Bank Century sebenarnya mengisyaratkan luasnya ketidakpuasan terhadap berkembang biaknya ‘buaya’ dari pusat ke daerah-daerah sejak 1998. Kali ini, seperti 11 tahun lalu, gerakan menjungkir-balikkan regim Soeharto, masih didominasi kelompok terpelajar dengan latar belakang profesi beragam. Perbedaannya, 1998 yang dihadapi adalah regim otoriter korup, kini yang ditentang adalah regim elektoral korup.
Tetapi, hal mendasar yang belum berubah adalah gerakan antikorupsi masih berada dalam pengertian korupsi secara terbatas. Sebaliknya, korupsi mendasar, yang menyentuh hajat hidup banyak orang, melalui perampasan dan konsentrasi hak milik ke tangan segelintir orang yang difasilitasi negara, masih kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, pada momentum Hari Antikorupsi Sedunia ini gerakan antikorupsi perlu merambah ke kedua bukit secara berbarengan.
Ini memerlukan aliansi luas antara kaum terpelajar reformis dengan puluhan juta orang. Yakni, dengan orang-orang seperti Bu Minah, entah yang tanah-tanahnya dirampas, rentan terhadap PHK, atau yang kehilangan akses pekerjaan dan aneka pelayanan dasar, akibat penerapan neoliberalisme. Usaha ini lebih penting daripada menyerahkan penyelesaian korupsi ke regim elektoral korup.***
Arianto Sangaji, mantan Direktur Yayasan Tanah Merdeka Palu, sedang mengambil program S-3 di York University Toronto, Kanada.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Suara Pembaruan 10-12-2009 , http://www.suarapembaruan.com. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.