Mengenang Kawan Fauzi “Oji” Abdullah
SEBELUM subuh di Berkeley, aku terjaga — di luar, hanya terlihat gulita dan gerimis musim dingin. HP Jakartaku bunyi: ada SMS masuk, membawa berita yang ternyata sudah kutunggu, entah bagaimana. Antara alam hidup dan mati kadang batasannya tak sejelas yang kita bayangkan dengan rasio ketat. Kawanku—kawan kita—telah berangkat lebih dulu. Mungkin sesuai dengan naluri dan sifatnya, karena dalam berbagai hal yang penting, ternyata Oji berangkat lebih dulu: dalam nurani, dalam pikiran, dalam upaya.
Tahun 1974, ketika kampus UI Salemba sedang diobrak-abrik, Oji mendapat tugas membawa setumpuk stensilan kepada anggota dewan yang masih bertahan di dalam gedung. Tak lama kemudian, ia kembali ke tempat kami berkumpul, melapor bahwa tugasnya tak berhasil: begitu melihat orang datang membawa setumpuk stensilan, massa—entah dari mana—datang menyerbu. “Gue dudukin aja,” tuturnya dengan suara agak gemetar antara tegang dan tawa (pada Oji keduanya sangat akrab), “tapi massa semakin banyak — akhirnya gue tinggalin aja. Daripada babak belur, mending gue pergi duluan, gue lari.” Tawa meletus di ruang sempit, membayangkan Oji—yang ketika itu masih langsing dan lincah—lari tunggang-langgang. Tetapi di balik tawa itu, ada sesuatu yang mencekam: keputusan Oji untuk “pergi dulu” itu menjadi tanda bahwa keadaan semakin membahayakan, bahwa suara mahasiswa dibungkam tidak hanya melalui ancaman kekerasan aparat, tetapi melalui mobilisasi massa besar-besaran, mencipta kondisi untuk pecahnya kekerasan horisontal.
Dunia kampus kemudian mengalami perubahan mendasar. Oji masih bertahan di Fakultas Sastra. Memang, walau pikirannya mengenai karya-karya sastra cemerlang dan imajinatif, dalam hal menyelesaikan skripsinya Oji memang tidak “duluan”, alias terlambat dan hampir terancam status hangus. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena suasana intelektual di kampus tidak menunjang orang yang “duluan” dalam pikiran. Oji begitu mencintai puisi. Di antara penyair kesayangannya: William Blake, penyair Inggris dalam kancah revolusi industri yang menggabungkan visi mistis-religius dengan realitas pemiskinan yang merebak di sekitarnya dalam puisi. Membaca Blake, Oji mendapatkan kawan komunikasi bagi sebuah dialog yang tak menemukan kata yang “pas” untuk memenuhi persyaratan birokrasi akademis.
Akhirnya, dengan dorongan berbagai kawan, selesai juga skripsi tersebut. Dan walau ia berhasil menggondol predikat Sarjana Sastra, pikiran Oji sudah jauh melangkah lebih dulu meninggalkan kampus yang steril baginya. Jalan baru ia rintis dengan menapaki lorong-lorong di pinggiran kota Jakarta, yang hampir tak terjangkau oleh peta imajinasi intelektual kampus: Kawasan-kawasan industri baru, eksploitasi lama dengan wajah dan kata-kata baru. Dari dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH), ia mendorong perubahan yang kemudian menjadi semangat LBH: bantuan hukum yang tidak sekedar membungkus hukum dan keadilan sebagai jasa sekelompok pengacara dan ahli hukum untuk dihibahkan kepada kaum miskin. Bagi Oji, keadilan bukan hadiah melainkan hak yang senantiasa harus diperjuangkan. Dan bagi Oji, bagian inti dari perjuangan itu adalah belajar bersama antara “praktisi” hukum, aktivis dan buruh menuju kesadaran bersama mengenai hukum, mengenai hak, mengenai keadilan. Perubahan itu membawa berbagai risiko baginya, tetapi ia juga lebih dulu tidak peduli dengan risiko yang ternyata hadir bahkan di dalam tubuh lembaga non-pemerintah.
Oji yang lebih dulu menapaki jalan yang—secara harafiah dan simbolik—sulit dan berlumpur, menenteng kantong kresek berisi obat-obatan sederhana, bahan pangan, kue dan buku tulis untuk anak-anak pekerja pabrik. Sekaligus membawa hati dan perasaan yang diilhami tekad untuk belajar dari mereka yang paling tahu karena mengalami eksploitasi di pinggiran imajinasi. Berapa banyak sandal Oji yang putus atau hilang ditelan lumpur, betapa banyak celananya yang sobek kena paku, duri atau pintu angkot? Entah… yang pasti, cukup banyak, walau antara sandal butut, celana sobek dan Oji ada relasi romantis yang tak kan pudar… Itu juga bagian dari puisi Oji. Karena Oji—pada akhirnya—adalah penyair mistik yang terjun ke dalam kancah perjuangan, dengan utuh. Memang, ia mendahului kita. Sejak dulu.***
Berkeley, 27 November 2009.
Sylvia Tiwon, Associate Profesor di University of California, Berkeley, AS.