DALAM beberapa waktu terakhir, sektor industri kehutanan Indonesia, khususnya industri pulp di Riau, mengalami krisis. Akar penyebabnya, karena terjadi praktek illegal logging dalam pemenuhan bahan baku sektor industri tersebut.
Sebagaimana lazimnya industri dan praktek kapitalisme selama ini yang menggunakan sumberdaya alam sebagai bahan baku utama proses produksinya, produksi sektor industri kehutanan memandang alam sebagai sumber bahan baku yang tidak pernah habis. Hutan dipahami sebagai sumber bahan baku produksi, yang secara alamiah melakukan regenerasi dan hal ini menyebabkan proses produksi di sektor kehutanan juga merupakan proses destruksi. Atau tepatnya, destruksi menjadi syarat bagi terselenggaranya produksi. Ini bisa dilihat dari percepatan luas kerusakan hutan, luas konversi hutan serta luasan pemberian ijin HTI di Indonesia.
Sejak awal pencanangan sumber daya hutan sebagai obyek pembalakan komersial di tahun 1967 sampai saat sekarang, sistem pembalakan hutan dalam aras legal-formal negara adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
Sekitar 62 juta hektar kawasan hutan dialokasikan bagi 585 izin HPH. Menurut dokumen resmi pemerintah dan perusahaan, HPH-HPH tersebut menghasilkan 612 juta meter kubik kayu bulat sepanjang periode 1970-1999, atau rata-rata 20,4 juta meter kubik per tahun. Tetapi, hasil analisis pengamat dan investigasi-olah data aktivis lingkungan, diyakini sesungguhnya angka riil pembalakan oleh HPH dua kali lipat dari angka di dalam dokumen resmi tersebut.
Dengan laju kerusakan yang sangat cepat, yakni 3,8 juta hektar per tahun, total kerusakan hutan mencapai 101,73 juta hektar sampai tahun 2003. Untuk kawasan Hutan Produksi, termasuk HPH dan HTI, mengalami kerusakan seluas 44,42 juta hektar (lebih dari 70% total kawasan Hutan Produksi). Sementara kerusakan di kawasan hutan lindung sebesar 10,52 juta hektar dan kawasan hutan konservasi sebesar 4,69 juta hektar.
Salah satu industri yang sangat besar mengonsumsi kayu saat ini adalah industri pulp dan kertas. Sebagian besar industri pulp-paper dan HTI, beroperasi di Pulau Sumatera. Dari 7 pabrik pulp-paper yang operasional, 6 buah berada di Pulau Sumatera (PT Kertas Kraft/Aceh, PT Toba Pulp Lestari/Sumatera Utara, PT Indah Kiat dan PT Riau Andalan Pulp-Paper/Riau, PT Lontar Papyrus/Jambi dan PT Musi Hutan Persada/Sumatera Selatan) dan juga terdapat sekitar 47 buah HTI. Dari sisi kuantitas produksi dan luas kawasan HTI yang mereka kuasai sangatlah besar.
Total kapasitas terpasang 6 pabrik pulp-paper di Sumatera sekitar 5 juta ton/tahun, dengan kebutuhan bahan baku sekitar 20 juta meter kubik per tahun. Melihat kebutuhan bahan baku yang demikian besar, sementara kemampuan pasok hutan baik yang berasal dari hutan alam maupun HTI hanya 15,4 juta meter kubik pertahun), sudah pasti yang terjadi adalah krisis bahan baku. Hal ini terlihat dalam kasus krisis bahan baku industri pulp di Riau.
Merujuk pendapat Andre Gorz, tingkatan-tingkatan yang terjadi dalam krisis sektor industri pulp ini dapat uraikan sebagaimana berikut:
Krisis Over-Akumulasi
Dimana ketika mencapai tahap lanjut, perkembangan kapitalisme bertumpu pada proses penggantian para pekerja oleh mesin-mesin. Persoalannya, mesin-mesin tersebut ternyata membutuhkan biaya yang tinggi untuk dapat berproduksi. Investasi modal yang direpresentasikan harus menghasilkan keuntungan, yang berarti para investor mengharapkan pemasukan yang lebih besar dari biaya yang mereka keluarkan untuk memasang mesin-mesin tersebut.
Karena fungsinya untuk memproduksi surplus, mesin-mesin itu juga merupakan modal dan logika dari kapital tentu saja untuk mengejar pertumbuhan. Bertumbuh atau binasa, efisiensi mesin-mesin yang dapat menghasilkan volume produksi yang sama, tetapi membutuhkan lebih sedikit pekerja untuk mengoperasikannya (Peningkatan Produktivitas).
Dalam perhitungan biaya produksi, ongkos untuk membayar upah pekerja akan semakin kecil, sementara biaya kapitalisasi akan semakin meningkat. Atau dengan kata lain, industri akan semakin bersifat modal-intensif (memakai jumlah kapital yang lebih besar untuk memproduksi jumlah volume yang sama). Industri harus menghasilkan jumlah keuntungan yang besar untuk menggantikan atau memperbaharui mesin-mesin produksi dan pada saat yang bersamaan memberikan kompensasi atas investasi modal pada tingkat bunga yang memuaskan para kreditor.
Cepat atau lambat tingkat rata-rata keuntungan akan menurun. Modal dalam jumlah besar akan digunakan untuk menghasilkan komoditas dalam volume yang sama, semakin banyak keuntungan yang berkurang dihubungkan dengan kapital yang digunakan. Produksi tidak mungkin terus-menerus meningkat, karena suatu ketika pasti mencapai batas. Ketika tingkat keuntungan mulai menurun, keseluruhan sistem akan lumpuh dan penurunan produksi secara progresif akan menyebar.
Over-akumulasi berdasarkan terminologi yang berbeda dengan terminologi ekonomi umum menunjukkan, bagian dari modal dalam proses produksi telah menjadi sedemikian besar, komposisi organiknya demikian tinggi sehingga ia tidak dapat mereproduksi dirinya lagi pada tingkat pertumbuhan normal. Produktivitas modal mengalami penyusutan. Nilai dari modal tetap, yang tidak dapat dibuat untuk menghasilkan profit secukupnya turun ke titik nol. Modal tersebut akan musnah, implikasinya buruh-buruh akan di-PHK. Sistem mengalami krisis!
Untuk menghindari krisis tersebut perusahaan berusaha secara konsisten melawan tendensi keruntuhan tingkat keuntungan melalui, peningkatan jumlah barang-barang yang terjual atau meningkatkan kapasitas produksi, dan atau menaikkan harga barang. Ini bisa dilihat dari Volume produksi pulp Indonesia selama 1998—2002 yang meningkat signifikan. Jika pada 1998 volume produksinya 3,4 juta ton, pada 2002 sudah 5 juta ton. Hingga 2005, volume produksi pulp mencapai 5,4 juta ton. Bahkan selama 1998—2005 volume ekspornya cenderung meningkat dengan laju 9,72%.
Di sisi lain, jika pada 2000 ekspor pulp meningkat menjadi 1,3 juta ton, maka pada sisi harga terjadi kenaikan harga kertas dunia. Saat ini harga pulp mencapai US$ 600 per ton (sebelumnya US$ 300 per ton), sementara harga kertas US$ 800 per ton dan bisa naik lagi.
Perkembangan kapitalisme tentu saja berusaha menghindari jatuhnya tingkat keuntungan dan kejenuhan pasar dengan mempercepat perputaran modal. Tetapi pada saat yang bersamaan, ia malah menciptakan bentuk-bentuk kelangkaan baru, ketidakpuasan baru dan bentuk kemiskinan yang baru lagi.
Krisis bahan baku (kayu) dalam industri sektor pulp di Riau, mengungkapkan fakta bahwa perkembangan kapitalisme menciptakan kelangkaan yang bersifat absolut, ketika mencoba untuk mengatasi hambatan ekonomi untuk mengejar pertumbuhan. Kapitalisme sumberdaya alam telah memunculkan hambatan-hambatan fisik bagi dirinya sendiri.
Krisis Reproduksi
Dalam sistem kapitalisme, kelangkaan absolut biasanya terefleksikan dalam situasi harga yang membumbung tinggi, sebelum munculnya kelangkaan secara fisik. Bila mengikut pada dogma liberal/neo-klasik, pada saat harga naik maka produksipun akan dinaikkan. Tapi untuk kayu (hutan), barang tersebut tidak dapat dibuat, ia menjadi langka karena hanya tersedia dalam jumlah terbatas di alam.
Meningkatnya harga kayu hanya akan mempercepat krisis ekonomi atau justru akan membuatnya semakin buruk, karena kayu akan memberi kontribusi pada jatuhnya tingkat profit dalam dua cara. Pertama, dalam kasus kayu, ketika ia menjadi barang langka maka harus segera adalah pendaurulangan persediaan yang ada, dalam hal ini, harus dibangun atau dibuat hutan baru (misal HTI).
Kedua, kebutuhan untuk mendaur ulang kayu, mempunyai efek signifikan secara ekonomi. Ini karena beban ekonomi yang harus ditanggung, yang disebabkan oleh kebutuhan untuk memproduksi barang atau bahan baku yang dulu bisa didapat atau diperoleh dengan gratis di alam. Kebutuhan ini harus dijawab dengan membangun “kebun kayu” yang membutuhkan biaya dan dimasukkan dalam ongkos produksi yang harus ditanggung perusahaan. Sehingga industri harus mengalokasikan investasi baru untuk hal tersebut. Industri Pulp memang padat modal. Untuk membangun pabrik berkapasitas 1 juta ton, butuh investasi US$1 miliar dan waktu 7—8 tahun guna menyiapkan tanamannya hingga panen.
Konsekuensi dari itu, komposisi organik modal akan semakin tinggi. Kejenuhan dari bahan baku kayu yang dulu mudah diakses dan paling sedikit membutuhkan biaya dalam proses eksploitasinya, menjadi batasan fisik bagi kemampuan modal untuk menghasilkan keuntungan.
Penyebab dan karakteristik paradoksal dari krisis kayu yang sedang terjadi saat ini, mengesampingkan situasi over-kapasitas, turunnya tingkat keuntungan, juga resesi yang terjadi. Investasi sektor pulp tetap berada pada level yang paling tinggi dan harga produk industri tersebut terus meningkat. Krisis ini tidak bisa terjawab dengan teori ekonomi tradisional. Paradoks-paradoks yang terjadi berada di luar penalaran ekonomi tradisional, karena semua ini hanya bisa dimengerti dengan meninjau konteks realitas fisik yang mendasari terjadinya krisis kayu tersebut.
Ada dua hal yang melatar belakangi krisis industri kehutanan khususnya sektor pulp saat ini: Pertama, dalam menghindari krisis over-akumulasi, industri yang sangat bergantung pada sumberdaya alam kayu ini malah mempercepat kerusakan sumberdaya alam tersebut, karena ia mengkonsumsi sumberdaya alam tersebut secara berlebihan dalam kecepatan yang berakibat pada kelangkaan bahan baku kayu tersebut. Kedua, saat berhadapan dengan kekurangan sumber bahan baku kayu, industri dalam upaya menciptakan solusi bagi kelangkaan bahan baku malah meningkatkan produksi dengan cara mempertinggi kapasitas produksi. Dalam kasus Riau, industri pulp meningkatkan kapasitas produksinya dari 1 juta ton/thn menjadi 2 juta ton/thn. Walau Industri berusaha untuk mendaur ulang bahan baku, namun dalam upaya mendaur ulang bahan baku, industri menciptakan produk (kayu/HTI) yang bukan merupakan proses akhir dari industri tersebut, atau dengan kata lain tidak dimasukkan dalam konsumsi akhir, produk itu dikonsumsi oleh industri itu sendiri.
Upaya untuk mempertahankan keseimbangan antara produksi dan konsumsi, dilakukan melalui pengalihan kepada pengeluaran untuk produk akhir. Ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan industri tersebut dari hutan alam dan upaya itu bisa dilihat dari semakin besarnya konversi hutan untuk HTI. Luasan konsesi Pembangunan HTI dalam kurun waktu 15 tahun mencatat angka fantastis, dari 5 juta hektar pada tahun 1998, menjadi 7,4 juta hektar pada tahun 1999, kemudian pada tahun 2004 luasnya telah mencapai lebih dari 8 juta hektar. Bersamaan dengan itu, kapasitas industri pulp-paper, sebagai industri hilir HTI, juga terus menanjak naik, dari 3,9 juta ton di tahun 1997, melompat ke angka 8,3 juta ton di tahun 2001.
Namun sangat disayangkan efektivitas dari perluasan konsesi tersebut dengan pembangunan HTI, tidak berjalan sebagaimana mestinya, dimana penanaman yang dilakukan tidak mencapai 50% dari total luasan konsesi tersebut.
Dalam kondisi menurunnya seluruh efisiensi sistem, upaya perubahan relasi-relasi kepemilikan pun, misal, melalui nasionalisasi, tidak mampu memperbaiki penurunan efisiensi tersebut. Hal yang paling mungkin terjadi dari peralihan relasi kepemilikan itu adalah memfasilitasi peralihan sumberdaya dari konsumsi ke investasi. Nasionalisasi pada situasi ini tidak akan mampu menimbulkan fase baru pertumbuhan berkelanjutan dalam konsumsi material, karena rintangan yang muncul saat ini telah menjadi sesuatu yang sifatnya substantif.
Dengan kata lain, krisis yang terjadi pada sektor industri pulp di Riau, atau krisis industri kehutanan di Indonesia saat ini, merupakan krisis kapitalisme. Kita saat ini sedang menghadapi suatu bentuk krisis over-akumulasi, yang diperparah oleh krisis reproduksi sehingga, sebagaimana biasanya, krisis tersebut mengarah pada semakin meningkatnya kelangkaan sumberdaya alam kayu. Solusinya tidak pada pemulihan ekonomi tetapi pada pembalikan logika kapitalisme.
Sebagaimana kita ketahui logika kapitalisme adalah pergerakan menuju pada maksimalisasi profit. Jawabannya adalah menuju pada produksi yang subsistem, menciptakan kebutuhan-kebutuhan sesedikit mungkin, memuaskannya dengan pembelanjaan terkecil atas material, energi dan kerja serta memberikan beban yang paling kecil terhadap lingkungan.
Alternatif yang paling mungkin ditawarkan adalah pemisahan antara pemilik industri dengan pemilik “kebun kayu.” Industri yang saat ini ada sebaiknya hanya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, menghentikan pembangunan industri sejenis atau tidak memberikan ijin baru lagi untuk pembangunan industri pulp, agar tidak terjadi persaingan dalam pemenuhan bahan baku.***
Deddy Ratih, adalah Pengurus Pusat Sarekat Hijau Indonesia, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di jurnal “Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 248 Tahun V – 2009 , www.prakarsa-rakyat.org