KABINET Indonesia Bersatu (KIB) II, akhirnya terbentuk sudah. Mereka yang asyik mengutak-atik konstelasi politik elite, banyak yang terkejut. Komposisi KIB II ini ternyata, lebih mencerminkan kehendak untuk mengonsolidasikan fragmentasi politik di tingkat elite.
Tetapi bagi kalangan gerakan progresif, komposisi KIB II ini, hanya kian meneguhkan apa yang selama ini telah diprediksi: bagaimana agar agenda-agenda kapitalisme-neoliberal bisa segera berjalan tanpa direcoki oleh fragmentasi elite. Konsolidasi elite, adalah salah satu aspek penting yang harus diwujudkan, baru kemudian menaklukkan dan atau mengkooptasi kekuatan anti kapitalisme-neoliberal. Untuk mendiskusikan lebih jauh kesimpulan politik ini, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, berbincang dengan Zely Ariane dari Komite Politik Rakyat Miskin Partai Rakyat Demokratik (KPRM PRD). Berikut petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Apa pendapatmu dengan komposisi baru kabinet Indonesia Bersatu II ini?
Zely Ariane (ZA): Cocok disebut kabinet “sogok-demi-stabilitas.” Kabinet kompromi dan dagang sapi antara pemenang pemilu, yang digeber stabilitas akibat krisis kapitalisme, dengan elit politik “oposisi” oportunis yang minta bagian. Yang terakhir ini, semakin saja membuktikan mereka memang GADUNGAN; oposisi gadungan.
Semuanya telanjang satu kepentingan, sekarang: segera tenang untuk berjuang menambal kerugian para tuan modal asing dan dalam negeri akibat krisis.
IP: Mengapa sampai tiba pada penilaian seperti itu?
ZA: Dari segi komposisi, selain sekutu-sekutu Pilpresnya, SBY sudah merangkul semua, utamanya: sisa Orde Baru, GOLKAR.
Dengan takluknya PDIP lewat statement itu, maka representasi “Reformis” terbesar–di luar partai-partai yang sudah satu koalisi dengan SBY–kembali terbukti gadungan. Dan, oposisinya pun hanya oposisi-oposisian; oposisi gadungan.
Secara historis, semua elit tersebut sudah kita ketahui dosa-dosanya, pengkhianatan-pengkhianatannya. Terbukti selalu menjadi pembela para tuan modal besar dalam dan luar negeri–membela rakyat hanya dalam kampanye pemilu. Tak segan, mereka juga menggunakan sentimen “nasionalisme” untuk membantu kepentingan tuan modal dalam negeri dari “ancaman” modal asing, maupun sekadar melakukan tawar-menawar.
IP: Kalau tak ada lagi oposisi di parlemen, berarti harapan oposisi berada di luar parlemen. Apakah ini mungkin?
ZA: Sebelum menilai bagaimana peluang bagi oposisi ekstraparlemen saat ini, menurutku, penting untuk diusut mengapa tidak ada landasan material dan historis bagi oposisi
elit–yang perdefinisi adalah kelompok yang menentang pemerintah–di Indonesia. Hal ini penting agar kita tidak mencari-cari atau mengada-ada yang sebenarnya secara faktual tidak ada.
Pasca reformasi 1998, ada lima kekuatan politik yang menjadi penghambat utama perubahan ekonomi dan politik di Indonesia menjadi lebih maju. Mereka adalah:
(1) Pemerintah kaki tangan kapitalis
(2) GOLKAR, sebagai representasi sisa Orde Baru yang selamat dan berhasil menyesuaikan diri ke dalam politik reformis;
(3) Tentara, yang secara struktural mewarisi nilai-nilai kekerasan dan anti demokrasi Orde Baru–bahkan KNIL Belanda;
(4) Reformis Gadungan, yakni partai-partai dan elit politik yang dengan segera mengkhianati janji-janji Reformasi 1998;
(5) Milisi Sipil Reaksioner, berbagai organisasi bentukan sisa-sisa Orde Baru dan tentara, yang digunakan untuk mengorganisasikan tindakan-tindakan anti demokrasi.
Kelima kekuatan politik ini berideologi sama: pro kapitalisme dan secara sukarela menjadi kaki tangan kapitalisme.
Menurutku, sejak deklarasi Ciganjur dan dijatuhkannya Gus Dur oleh koalisi “oposisi” para reformis gadungan bersama Golkar dan Tentara, maka hancur sudah landasan material bagi munculnya oposisi elit di Indonesia. Paling tidak, yang sudah terbukti adalah: seluruh elit sipil (yang mengaku reformis) bertekuk lutut di hadapan tentara, dan tak segan-segan untuk kembali merangkul sisa-sisa orde baru, padahal, keduanya merupakan penopang utama sistem politik Orde Baru.
Oleh karena itu, oposisi sejati hanya akan muncul selama kekuatan kiri: yang anti kapitalisme, anti sisa Orba, anti tentara, dan anti reformis gadungan, tumbuh dan berkembang, baik itu di parlemen maupun ekstraparlemen.
Untuk situasi sekarang, karena tidak ada kekuatan kiri di parlemen, maka harapannya memang dari luar parlemen.
IP: Kira-kira siapa itu kekuatan oposisi di luar parlemen? Seberapa besar potensi mereka untuk menjadi kekuatan oposisi?
ZA: Sebelumnya aku ingin meluruskan maksud pernyataanku tentang oposisi.Terhadap istilah “oposisi” itu sendiri, aku masih agak rancu. Oposisi yang perdefinisi adalah kelompok yang menentang pemerintah, sebenarnya bisa muncul di mana saja (parlemen atau ekstraparlemen). Karena akan banyak sekali kelompok-kelompok yang akan menentang pemerintahan ini secara parsial. Misalnya, melawan kebijakan pemerintah yang merugikan kelompok/faksi borjuasi tertentu, ataupun kepentingan rakyat, dalam jangka waktu tertentu.
Dalam kepentingan ini, bisa saja PDIP, atau Gerindra dan Hanura, kembali menjadi oposisi di parlemen. Tak terkecuali anggota-anggota koalisi kabinet SBY-Boediono sendiri. Inilah yang disebut oposisi-oposisian; gadungan. Tanpa menyingkap rekam jejak mereka dan tabir ideologinya, gerakan progresif akan terus-menerus terjebak dalam dukung-mendukung oposisi semacam ini.
Dalam pengertian ini, maka akan banyak sekali oposisi, dan mereka ini bisa jadi bertebaran di luar parlemen nanti. Bahkan, perlawanan spontan rakyat menolak penggusuran pun dapat dikategorikan sebagai oposisi, termasuk berbagai perlawanan yang sarat kepentingan elit politik atau bahkan dimobilisasi oleh mereka.
Oleh karena itu aku tidak berminat bergenit-genit dengan kata oposisi, seperti halnya bergenit-genit dengan kata anti-neoliberalisme–seperti yang sedang ramai diminati politik mainstream.
Jadi kata oposisi kurang tepat atau sekedar penyederhanaan dan eufemisme bila ditujukan atau disematkan pada kelompok-kelompok yang memang mau mengganti sistem negara kelas kapitalis menjadi kelas proletar atau sosialis.
Aku, sebagai bagian dari salah satu kelompok itu, dapat saja dikategorikan oposisi, tapi lebih dari itu, kami adalah bagian dari kelompok-kelompok pembaharu yang berusaha dengan sabar, militan, cerdik dan demokratik, untuk terus menerus menemukan strategi dan taktik menjatuhkan negara kapitalis ini. Dan kelompok-kelompok semacam ini, memang, masih kecil.
Bahwa YA, ada kekuatan politik kiri di luar parlemen, yang dengan konsisten membina perlawanan rakyat, membangun pergerakan politik dan persatuannya untuk mengganti pemerintahan dan negara kapitalis ini. Mereka ambil bagian di dalam demonstrasi 20 Oktober beberapa waktu lalu, baik dengan persatuan maupun sendiri-sendiri.
Seberapa besar potensi mereka untuk dapat, paling tidak dalam tahap ini, menandingi hegemoni politik elit? Menurutku, secara objektif besar. Semakin banyak rakyat yang muak dengan tingkah laku elit politik, yang, paling tidak, dalam wujud golput (apapun latar belakang dan motivasinya) pada pemilu lalu.
Semakin banyak dan maju metode perlawanan rakyat karena semakin kasat mata pula para “wakilnya” tak membela mereka. Sementara serangan kapitalisme semakin memiskinkan mereka.
Tapi semua ini dapat berbuah pragmatisme, atau kekecewaan, karena tak kunjung berhasil maupun tak tampak ada jalan keluar. Apalagi, rakyat menyaksikan pimpinan-pimpinan organisasi mereka, atau para aktivis-aktivis yang mereka kenal (popular), sudah bergandengan tangan, bahkan, dengan kekuatan politik elit yang sebelumnya mereka kampanyekan sebagai musuh rakyat. Sehingga, rakyat yang rendah kapasitas intelektualnya dan rekam jejak sejarahnya kembali menunduk kecewa, ataupun tetap terseret dalam arus politik elit yang tak bersegi-hari-depan itu. Situasi ini jelas berbahaya dan dalam beberapa derajat, sudah memundurkan capaian pergerakan sebelumnya.
Oleh karena itu, siapa yang sanggup memberikan KERANGKA dan ARAH dari perjuangan yang bersegi-hari-depan? Hanya PERSATUAN kaum pembaharu yang sabar, cerdik, militan dan demokratik dalam membangun pergerakan dan menciptakan panggung-panggung politiknya sendiri secara lebih luas serta dengan tegas menolak dicampuri/diintervensi oleh kekuatan politik penghambat pembebasan rakyat–atau yang kami sebut sebagai politik anti kooptasi.
Dan itupun, kembali, merupakan pekerjaan yang tidak ringan saat ini.
IP: Bagaimana metode untuk mencapai persatuan gerakan kaum pembaharu tersebut, dan faktor apa saja yang menghambat terwujudnya persatuan itu selama ini?
ZA: Pertama-tama, dan yang paling penting, adalah kepentingan politik terhadap persatuan dalam tahap revolusi sekarang harus kuat dan dengan sabar diupayakan–tentu tidak gelap mata dengan sekadar mempertahankan persatuan yang sudah artifisial atau tidak demokratik. Seperti yang kami dinyatakan dalam posisi politik KPRM PRD dalam deklarasinya: “sudah barang tentu, mempersatukan jutaan rakyat (terhisap dan tertindas) dalam kepemimpinan persatuan adalah suatu tugas strategi-taktik yang amat sangat sukar; ia menuntut ketekadan, keuletan dan keberanian.
Memang, persatuan hanya menjadi salah satu taktik untuk membesarkan gerakan; mencapai kemenangan, namun di tengah lautan massa yang masih sangat reformis saat ini, persatuan gerakan menjadi syarat mutlak untuk memimpin sekaligus mengolah maju kesadaran massa yang demikian secara cara lebih cepat dan luas.
Menurut kami, pada tahap ini, persatuan kaum pembaharu; kaum sosialis, sangat mendesak dibutuhkan untuk memberi ARAH dan KERANGKA JALAN KELUAR terhadap keresahaan rakyat. Dalam ekspresi-ekspresi politiknya, persatuan semacam ini harus dengan tegas TIDAK mau dicampuri, TIDAK disubordinasi atau lepas dari pengaruh, dan (apalagi) TIDAK boleh dileburkan, dengan kekuatan pemerintah agen imperialis, tentara, sisa ORBA dan reformis gadungan. Jangan lagi membingungkan rakyat dan memundurkan kesadaran anti elitnya yang mulai menanjak.
Inilah yang kami sebut sebagai politik rakyat miskin, yakni politik alternatif (tandingan) yang berbasiskan pada kekuatan perlawanan rakyat sendiri, dengan prinsip non-kooperasi dan non-kooptasi dalam berhadapan dengan musuh-musuh rakyat.
Posisi tersebut tentu tidak menolak terhadap kemungkinan persatuan-persatuan yang bersifat jangka pendek dengan elemen-elemen demokratik, sesuai tuntutan yang disepakati bersama atas dasar kebebasan berpropaganda.
Tidak ada manual bagi metode persatuan saat ini. Kuncinya hanya kepentingan terhadap persatuan itu sendiri, anti kooptasi-kooperasi dengan musuh-musuh rakyat, dan kebebasan berpropaganda. Kita dapat belajar dari evaluasi berbagai persatuan, segi-segi majunya harus kita pertahankan, dan memperbaiki yang masih kurang. Demi persatuan para kaum pembaharu, kami–walaupun masih kecil–mulai membangun budaya politik persatuan yang baru. Sedapat mungkin kami akan terlibat dan bersolidaritas pada berbagai ekspresi politik kelompok-kelompok pembaharu lainnya, tanpa harus menggunakan atribut organisasi kami.
Tujuannya adalah mengikis prasangka-prasangka subjektif terhadap sesama organisasi pembaharu. Tapi upaya ini sangat kecil dampaknya bila tidak segera diikuti oleh sebuah konsolidasi persatuan yang berkemampuan membangun panggung-panggung politiknya sendiri, guna menandingi hegemoni politik elit.
Tidak pernah jelas faktor apa yang sesungguhnya menghambat persatuan, karena secara formal semua kelompok menyatakan persetujuannya. Ada yang bilang eksistensi organisasi atau pengalaman buruk dari persatuan sebelumnya. Untuk yang terakhir, lebih gampang menyelesaikannya. Tapi untuk yang pertama, aku sendiri belum sanggup menyimpulkan demikian selain bahwa, mungkin, kepentingan terhadap persatuan, dalam tahap revolusi sekarang ini, memang belum kuat.***