Pengalaman Industri Perkebunan Kelapa Sawit
INFORMASI tentang pola-pola ekonomi di wilayah Sulawesi Tengah dalam beberapa abad terakhir dapat diperoleh dari buku geographer David Henley (2005), Fertility, Food, and Fever: Population, economy and environment in North and Central Sulawesi, 1600 – 1930. Dari sini bisa dilihat bagaimana sistem pertanian subsisten berbasis perladangan (swidden-farming) ditemukan di hampir semua wilayah Sulawesi Tengah, dengan tanaman utama padi ladang dan jagung. Tidak diketahui, sejak kapan padi mulai diintroduksi di Sulawesi Tengah, tetapi tanaman padi dalam skala besar telah dilakukan oleh To Bungku (di Kabupaten Morowali saat ini) pada 1540an. Di luar jagung dan beras, sagu adalah makanan pokok di wilayah ini. Sebuah laporan Belanda (1670) menyebut bahwa Orang Tolitoli dan Buol adalah pemakan sagu dan tidak memiliki padi. Selain kedua daerah itu, penduduk di kepulauan Togean dan sebagian To Bungku menjadikan sagu sebagai makanan pokok (Henley, 2005:54-62).
Seperti disimpulkan Henley (2005) meskipun kegiatan-kegiatan ekonomi itu bersifat pemenuhan kebutuhan subsisten, tetapi juga ditemukan penduduk memproduksi aneka barang pada masa-masa senggang. Barang-barang itu seperti tekstil, bahan galian, dan hasil hutan bahkan diperdagangkan, tetapi umumnya melalui barter, atau dengan tingkat monetisasi yang sangat rendah dan pasar yang kurang teratur.
Di tengah kekosongan studi tentang pertumbuhan kapitalisme dengan skala regional di daerah ini, dua buah studi dari dua antropolog ekonomi menyumbang sangat penting mengenai bagaimana hubungan-hubungan produksi kapitalis mulai menemukan bentuknya dalam sistem pertanian dan perkebunan berbasis rakyat. Yang pertama, studi Schrauwers (1998, 2000), yang memperlihatkan sebuah sistem ekonomi berwatak komunal berbasis perladangan oleh suku-suku bangsa pribumi pengayau di dataran tinggi Sulawesi Tengah mulai mengalami perubahan ketika di bawah Politik Etis, Belanda menancapkan kakinya di daerah ini (1905), didahului dengan ekspedisi militer yang mematikan dan berdarah-darah di wilayah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali (Schrauwers, 2000; Henley, 2005). Belanda memaksa penduduk setempat untuk mengadopsi sistem pertanian menetap berbasis padi sawah sejak 1908 di sekitar Danau Poso, termasuk dengan mengirim sejumlah petani untuk mempelajari teknologi pembajakan sawah dari orang Bali di Parigi (saat ini Kabupaten Parimo) pada tahun 1920an, lokasi di mana komunitas buangan politik asal Bali berada (Davis, 1976:111-121). Proses ini menyumbang dua hal penting, yakni tumbuhnya gagasan tentang hak milik individu (individual property right) dan tersedianya surplus produksi (beras) untuk diperjualbelikan oleh petani produsen. Dalam studinya di sebuah desa, yang pernah menjadi Desa Teladan tingkat Propinsi Sulawesi Tengah di masa Orde Baru, di sekitar Danau Poso, Tentena, Schrauwers (1998) melihat transformasi tersebut berlangsung tidak diikuti dengan komoditisasi tenaga kerja yang mencolok. Di masa itu (Belanda) pengenalan sistem pertanian baru padi sawah tetap menggunakan model penggunaan tenaga kerja tanpa upah di bawah prinsip saling membantu (labour exchange) secara bergilir yang diadopsi dari sistem perladangan. Sistem itu terus-menerus mengalami perubahan hingga masa Orde baru, ketika pemerintah memperkenalkan revolusi hijau (green revolution), tetapi prinsip dasar labour exchange tetap saja bekerja dengan tingkat artikulasi yang berbeda dari masa ke masa. Meskipun demikian, komoditisasi tenaga kerja di dalam pertanian berbasis padi sawah juga mulai tumbuh, terutama sejak diperkenalkan oleh pedagang-pedagang keturunan China sejak 1930s (Schrauwers, 2000:111).
Sulawesi Tengah, daerah di mana program transmigrasi berlangsung besar-besaran, dengan penempatan sebanyak 84.071 KK transmigran (umum dan swakarsa) sejak pra Pelita hingga 2004 (BPS Sulteng, 2004), sukses pertanian berbasis sawah menjadi contoh menonjol bagaimana proses-proses pembentukan kelas di pedesaaan berlangsung. Tolai di Kabupaten Parigi Moutong dan Toili di Kabupaten Banggai adalah contoh itu, di mana sukses sebagai lumbung padi di propinsi Sulawesi Tengah juga berjalan seiring dengan proses proletarisasi, di mana akumulasi tanah di sebagian petani melalui mekanisme jual beli dan praktik tengkulak telah melahirkan sejumlah petani tak bertanah, yang kemudian masuk ke dalam pasar tenaga kerja dalam ekonomi pertanian pedesaan. Sebagian memilih bermigrasi ke daerah-daerah baru di mana informasi tentang potensi pertanian masih tersedia luas. Desa Meko di Kecamatan Pamona Barat Kabupaten Poso adalah salah satu contoh, di mana para petani eks transmigran Tolai asal Bali yang tidak memiliki lahan berpindah untuk perburuan lahan sejak pertengahan 1990an. Desa Meko sendiri, yang merupakan salah satu lumbung beras dan kakao di sekitar Danau Poso, adalah contoh nyata dari lapangan bagaimana proses-proses pembentukan kelas sedang berlangsung, di mana terjadi akumulasi lahan di tangan segelintir orang di tengah sekitar 200 KK tidak punya lahan pertanian. Keadaan ini merupakan kombinasi yang kompleks antara pengungsian penduduk karena konflik kekerasan Poso, praktek-praktek tengkulak, dan pencaplokan-pencaplokan tanah oleh tuan-tuan tanah atau kekuatan yang berpengaruh di desa.
Sebuah pemandangan yang kurang lebih sama dapat dilihat dalam perekonomian berbasis tanaman kakao. Tanaman ini adalah contoh lain bagaimana sifat-sifat kapitalisme dalam ekonomi pedesaan berbasis perkebunan rakyat yang meluas tengah mencari bentuk, terutama dalam belasan tahun terakhir ini, ketika kebutuhan pasar global atas komoditi ini meningkat pesat. Penanaman kakao mengalami ekspansi yang luar biasa di mana tanah-tanah pertanian berbasis sawah dan ladang serta hutan-hutan sekunder telah dikonversi secara besar-besaran untuk tanaman ini, dipicu lonjakan tajam harga kakao terutama sejak krisis moneter 1997/98. Statistik resmi pemerintah menunjuk produksi kakao di propinsi ini lompat jauh dari 177 ton (1988) menjadi 99.857 ton (2000) dan 128.324 ton (2004) (Kantor Statistik Provinsi Sulawesi Tengah 1987:295;BPS Propinsi Sulawesi Tengah 2005:263). Pada tahun 2002, realisasi ekspor kakao Sulawesi Tengah mencapai 88.270 ton dengan perolehan devisa USD 119,21 juta atau 89,06 persen dari total perolehan devisa ekspor Sulawesi Tengah dalam tahun yang sama, yakni senilai USD 133,84 juta (Radar Sulteng, 30 Januari 2003). Dalam sensus pertanian 2003, banyaknya rumah tangga usaha perkebunan (terpilih) dalam perkebunan kakao di propinsi ini mencapai 184.733 KK (Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah, 2005:63). Apa yang terjadi dengan signifikansi perkembangan ini adalah semakin menguatnya hak-hak kepemilikan individual atas tanah ketika bekas-bekas ladang yang diolah secara bergilir dan hutan-hutan alam di mana terdapat beragam klaim adat dikonversi menjadi kebun-kebun kakao. Proses ini, yang digarisbawahi oleh antropolog ekonomi, Li (2007:103-9), telah mendorong proses komoditisasi tanah berjalan kencang, di mana praktek-praktek jual beli tanah marak terjadi, yang kemudian di antaranya menimbulkan akumulasi tanah di tangan segelintir orang dan mendepak sebagian lain menjadi petani tidak bertanah. Seperti juga dalam pertanian berbasis sawah, pertumbuhan perkebunan rakyat kakao untuk pasar global memicu pasar tanah tumbuh laju, tetapi ini tidak diikuti dengan semakin mendalamnya hubungan-hubungan produksi kapitalis, di mana kelas buruh tani yang terbentuk mengalami tingkat komoditisasi yang rendah. Seperti juga dalam pertanian berbasis sawah, ruang lingkup ekonomi berskala kecil dalam perkebunan rakyat kakao, menjadi salah satu faktor penghambat tumbuhnya lapisan buruh upahan yang menonjol dan berarti.
Situasi ini jauh berbeda ketika industrialisasi di sektor pertanian/perkebunan yang merambah wilayah ini sejak sekitar 20 tahun lalu. Pertumbuhan industri berskala besar dalam perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah menimbulkan dampak yang tidak pernah terjadi sebelumnya di wilayah ini dilihat dari proses-proses pembentukan kelas, di mana pemisahan penduduk dari alat produksi, proses pembentukan tenaga kerja, dan konsentrasi kepemilikan tanah terjadi. Pertumbuhan industri kelapa sawit menandakan suatu era paling maju dari transisi kapitalisme berbasis sumber daya alam di wilayah pedesaan Sulawesi Tengah, di mana tanah dan buruh mengalami komoditisasi sedemikian maju dibanding masa-masa sebelumnya terhitung sejak sekitar 100 tahun lalu, ketika Belanda mulai mengontrol wilayah ini secara langsung.
Industri Perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah
Konteks
Indonesia saat ini menjadi negeri kunci dalam industri perkebunan kelapa sawit di dunia. Bersama-sama dengan Malaysia, Indonesia menjadi penyumbang terbesar, yakni 85 % dari total out put minyak kelapa sawit secara global (Carter, et.al., 2007). Tentu saja hal ini dicapai setelah luas areal perkebunan kelapa sawit di negeri ini meningkat pesat dari 600.000 hektar pada tahun 1985 menjadi 7,9 juta hektar pada tahun 2008 dan berambisi untuk mencapai 10 juta hektar pada tahun 2020 (Gelder, 20004; The Star, 2009). Pada tahun 2007, Indonesia adalah negara paling luas areal perkebunan kelapa sawit yang sudah dewasa (mature) di dunia, yakni mencapai 4,87 juta hektar atau hampir 45 persen dari keseluruhan dunia. Sementara produksi crude palm oil (CPO) meningkat dari 167.669 ton (1967) menjadi 18,8 juta ton (2008) dan berambisi mencapai 40 juta ton (2020) (The Star, 2009). Sebagian besar dari produksi CPO Indonesia adalah untuk pasar internasional, di mana pada tahun 2008, volume ekspornya 12, 5 juta ton (menurun dibanding 13, 4 juta ton pada tahun 2007). Tahun 2008, ekspor dengan tujuan Uni Eropa mencapai 3 juta ton dan India sebagai pasar terbesar lebih dari 5 juta ton (Indonesian Commercial Newsletter, 2008; Bisnis Indonesia, 2009; Kontan, 2009).
Kemajuan tersebut merupakan buah dari proses evolusi pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit sejak masa Orde Baru dari industri yang berbasis pada perusahaan-perusahaan milik negara menuju industri yang sepenuhnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta. Seperti ditunjukkan oleh Larson (1996), sampai dengan tahun 1992, produksi kelapa sawit didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik negara. Tetapi, seperti yang kita lihat hari ini, pemain utama dalam industri ini adalah perusahaan-perusahaan swasta. Angka statistik BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1980, ketika luas perkebunan rakyat seluas 6.370 hektar dan perkebunan besar swasta 83.963 hektar, luas perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar negara mencapai 199.194 hektar. Tetapi, lebih dari 20 tahun kemudian, yakni pada tahun 2006, ketika luas perkebunan rakyat mencapai 2.120.338 hektar dan perkebunan besar swasta 3.141.802 hektar, justru luas perkebunan besar milik negara hanya 696.699 hektar (dikutip oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, N.D.). Itu setelah kebijakan-kebijakan berwatak neoliberal yang diperkenalkan oleh pemerintah melalui konsep ‘kebun inti dan plasma’ (nucleus estate and smallholder), subsidi suku bunga yang rendah dari bank-bank pemerintah kepada perusahaan-perusahaan swasta, pengurangan pajak-pajak ekspor secara progresif terhadap CPO dan produk lainnya, alokasi lahan yang luas untuk perusahaan perkebunan, dan membuka pintu selebar-lebarnya investasi asing di sektor ini (Casson, 2002:244-6; Larson, 1996; Colchester, et.al., N.D.).
Perkembangan yang luar biasa ini juga sangat terkait dengan sukses minyak kelapa sawit dalam perdagangan secara global. Menurut Carter, et.al., (2007) ada dua faktor di balik sukses perdagangan minyak sawit di tingkat global, yakni, minyak kelapa sawit memiliki harga yang lebih rendah dibanding produk minyak nabati lain dan minyak kelapa sawit cenderung dapat diproduksi dengan biaya murah dibanding minyak yang lain. Khusus dari sisi produksi, pada tahun 2004/2005, biaya produksi minyak kelapa sawit adalah paling kompetitif, yakni rata-rata adalah $ 100 per ton lebih rendah dari pada minyak nabati lainnya. Dan kunci yang menentukan di balik biaya produksi yang kompetitif dalam industri perkebunan kelapa sawit adalah ongkos buruh yang murah dan akses terhadap lahan yang mudah. Sumber buruh murah adalah buah dari kebijakan pemerintah di bidang transmigrasi – termasuk model PIR-Trans, sebuah proyek transmigrasi semi swasta (Levang, 2003:229-233) – yang menyediakan tenaga kerja yang melimpah ruah. Sumber lain, tentu saja, bekas-bekas petani yang masuk dalam pasar tenaga kerja baik karena kehilangan tanah menyusul kehadiran industri ini maupun transfer kepemilikan tanah dengan alasan-alasan lain beragam.
Tetapi, industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia bersifat oligopoli. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (N.D.), sifat ini terlihat struktur pasarnya, yang dikuasai oleh perusahaan swasta besar, dengan penguasaan 52,73 persen total lahan yang diusahakan untuk perkebunan, di mana 5 pelaku swasta utama, yakni Raja Garuda Mas, Wilmar Group, Guthrie Group, Sinar Mas, dan Astra Agro Lestari. Struktur pasar yang oligopolistik juga terjadi dalam usaha pengolahan hasil perekebunan sawit (tandan buah segar [TBS] kelapa sawit), di mana 75 persen (18.268 ton TBS/jam) dari total kapasitas produksi pengolahan CPO (24.268 ton TBS/jam) terkonsentrasi di tangan perusahaan perkebunan swasta besar dan perkebunan negara. Kendati perkebunan rakyat menyumbang cukup besar terhadap perkebunan sawit secara nasional seperti telah ditunjukkan, struktur oligopolistik di industri pengolahan kelapa sawit menyebabkan tingkat ketergantungan mereka terhadap industri pengolahan sawit sangat tinggi, di mana keseimbangan pasar dikendalikan oleh permintaan (pengusaha pengolahan TBS sawit) dari pada sisi penawaran (pekebun sebagai produsen TBS).
Sejak 1980an, pemerintah telah menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat saling menguntungkan antara perusahaan besar swasta dan negara dengan para petani. Salah satu di antaranya adalah model perkebunan inti rakyat-transmigrasi (PIR-Trans) diperkenalkan oleh pemerintah di bawah dukungan Bank Dunia sejak 1980an. Dasar legal pola ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan Dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi. Dalam model ini perusahaan inti punya keharusan menyiapkan lahan kebun sawit bagi rakyat atau (petani) plasma. Setelah sekitar 4 tahun sejak penanaman (awal produksi), perusahaan mengalihkan pengelolaan kepada para petani tetapi tetap di bawah pengawasan perusahaan, dan para petani plasma punya keharusan menjual hasil produksi kepada perusahaan. Yang kedua adalah model Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA), di mana fihak perbankan memberikan kredit modal kerja (KMK) kepada para petani sawit melalui koperasi primer KUD. Dalam pola ini perusahaan inti selain membangun kebun inti juga membangun kebun milik petani di atas tanah-tanah milik para petani. Skema KKPA ini didasarkan kepada keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil nomor 73/Kpts/OT.210/2/98 01/SKB/M/II/1998. Perkembangan terbaru setelah keluarnya UU No.18/2004, perusahaan perkebunan punya keharusan mengembangkan kemitraan termasuk dengan masyarakat sekitar. Secara tehnisnya, seperti tertuang dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan dengan luas areal lebih dari 25 hektar memiliki kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan, baik melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil yang dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
Kendati terdapat berbagai model praktik yang bersifat kemitraan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat sekitar, tetapi masyarakat atau petani selalu saja dirugikan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (N.D.) menyimpulkan bahwa kemitraan dengan pola PIR yang selama ini terjadi menunjukkan posisi tawar pekebun (petani) tidak sebanding dengan perusahaan inti. Pekebun plasma selalu dirugikan dalam hal timbangan, rendemen, dan atau harga. Pola kemitraan yang demikian berpotensi mengakibatkan praktik monopsoni dan atau perjanjian tertutup yang dilarang UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Perkembangan investasi swasta dalam industri perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah yang sudah dimulai sekitar 20 tahun lalu dan ekspansi yang dilakukan dalam dua tahun terakhir tentu saja merupakan bagian dari dinamka perkembangan tersebut. Secara historis, para pemain yang terlibat adalah perusahaan-perusahaan kapitalis berskala besar terutama bagian dari konglomerasi yang beroperasi di Indonesia yang memiliki hubungan dengan oligarki politik Orde Baru. Aliansi bisnis, merger, dan akuisisi sebagai respon terhadap krisis ekonomi memungkinkan proses akumulasi di sektor ini terus-menerus berputar.
Yang paling pertama kehadirannya adalah PT. Tamaco Graha Krida (TGK) di Kabupaten Poso (sekarang dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali). PT. TGK mengelola perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 10.000 hektar (4.266 hektar kebun inti dan 6.000 kebun plasma) di Kecamatan Petasia, Kecamatan Witaponda, dan Kecamatan Bungku Barat. Perusahaan juga memiliki sebuah pabrik CPO di Desa Ungkaya. Sejarahnya, perusahaan ini adalah anak perusahaan di bawah Salim Grup, milik keluarga Liem Sio Liong, konglomerat yang sangat dekat dengan bekas Presiden Suharto (Schwarz, 1999:109-115). Tetapi sejak tahun 2000 perusahaan jatuh ke tangan Kumpulan Guthrie (Malaysia) melalai PT. Minamas Plantation, menyusul pembelian oleh Kumpulan Guthrie atas 25 perusahaan-perusahaan perkebunan bekas milik Salim Grup seluas areal 250.000 dengan nilai USD 350 juta. Pembelian itu sendiri dilakukan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), di mana sebelumnya aset-aset milik Salim Grup diserahkan ke BPPN sebagai bagian dari pembayaran hutang kepada pemerintah menyusul krisis ekonomi 1997/98 (the Jakarta Post, 2000). Tetapi, sejak 2007, tiga perusahaan raksasa Malaysia, Kumpulan Guthrie Berhad, Golden Hope Plantation Berhad, dan Kumpulan Sime Darby Berhad melakukan merger dan beroperasi di bawah nama hukum baru Sime Darby, sehingga kemudian menjadi salah satu perusahaan multinasional berbasis Malaysia yang sangat kuat, beroperasi di 20 negara, dengan inti bisnis perkebunan, properti, motor, industri, energi, dan pelayanan kesehatan. Saat ini divisi perkebunan dari grup perusahaan ini menguasai 531.299 hektar areal perkebunan kelapa sawit yang telah ditanami, di antaranya 202.196 hektar di Indonesia, dan sisanya di Malaysia. Total produksi CPO perusahaan ini pertahun sebanyak 2.413.246 ton, dengan produksi dari Indonesia 843.853 ton dan sisanya dari produksi Malaysia. Sementara total produksi palm kernel adalah 549.981 ton di mana produksi Indonesia adalah 165.928 ton dan sisanya diproduksi di Malaysia (Sime Darby Berhad, 2008).
Perusahaan lain yang juga sudah beroperasi sejak belasan tahun lalu adalah PT. Hartati Inti Plantation (HIP) dari grup PT. Central Cipta Murdaya (CCM), sebuah grup perusahaan yang membawahi lebih dari 50 perusahaan yang bergerak di bidang produk logam, konstruksi, kehutanan, kayu, tekstil, dan perkebunan (Eva Martha Rahayu, 2006). Perusahaan milik konglomerat pasangan suami-istri Siti Hartati Tjakra dan Murdaya Widyamirta Poo yang beroperasi di Kabupaten Buol Tolitoli (telah dimekarkan menjadi Kabupaten Buol) kini memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang telah ditanami mencapai 12.000 hektar di wilayah Kecamatan Bukal, Kecamatan Bokat, Kecamatan Momunu dan Kecamatan Tiloan dan sebuah pabrik CPO dengan kapasitas produksi 70.000 ton pertahun di kompleks perkebunannya itu.
Sejak pertengahan 1990an, PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) telah mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Banggai. Saat ini areal perkebunannya diperkirakan sudah mencapai 12.000 hektar. Perusahaan ini juga memiliki pabrik CPO dengan kapasitas produksi 3.000 ton perbulan. Perusahaan juga sedang merencanakan pembangunan pabrik CPO di Mentawa, Kecamatan Toili Barat pada tahun 2010. Pabrik baru tersebut diharapkan mengolah 90 ton tandan buah segar (TBS) perjam. Perusahaan juga sedang mengembangkan areal perkebunan sawit di Daerah Mamosalato dan Baturube, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah masing-masing seluas 4.000 hektar, sedangkan di daerah Mentawa, Toili Utara, Kabupaten Banggai seluas 10.000 hektar. Pemilik perusahaan ini adalah Murad Husain, pengusaha daerah di Sulteng, bekas bendahara Dewan Pimpinan Daerah Golkar Sulawesi Tengah, yang pernah menukarkan uang pribadinya sebanyak USD 5 juta dengan kurs Rp 5.000, mengikuti anjuran Presiden Suharto ketika krisis ekonomi menyerang Indonesia pada tahun 1997/98.
Perusahaan lain yang sudah beroperasi bertahun-tahun adalah PT. Perkebunan Negara (PTPN) XIV dengan areal perkebunan kelapa sawit seluas 6.000 hektar di Kecamatan Mori Atas. Berbeda dengan ketiga perusahaan sebelumnya di mana pabrik CPO dibangun di areal sekitar lokasi perkebunan sawit, PTPN XIV sampai hari ini tidak memiliki pabrik CPO di wilayah perkebunan itu dan hanya mengangkut hasil panennya sejauh lebih dari 100 kilometer ke Kecamatan Sukamaju Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan, di mana perusahaan memiliki areal perkebunan sawit dan pabrik CPO.
Di luar perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah berproduksi, saat ini Sulawesi Tengah juga sudah diserbu oleh salah satu raksasa di bidang industri perkebunan kelapa sawit Indonesia, yakni PT. Astra Agro Lestari, Tbk. (AAL), yang 79.68 persen sahamnya dikuasai oleh PT. Astra International Tbk., salah satu raksasa pohon bisnis di Indonesia yang bergerak di bidang otomotif, keuangan, peralatan berat, pertambangan dan energi, agrobisnis, informasi teknologi dan infrastruktur. Saat ini, PT. AAL mengelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 250.883 hektar (inti 193.709 hektar dan plasma 57.174 hektar). Tahun 2008, produksi CPO perusahaan mencapai 981.538 ton dan memperoleh laba bersih Rp. 2,6 triliun (PT. Astra Agro Lestari, Tbk. 2008; PT.Astra International, Tbk., 2008). Setelah sukses ‘mensawitkan’ Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat) sejak 1990an di wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah melalui anak-anak perusahaannya (PT. Letawa, PT.Suryaraya Lestari, PT.Pasangkayu, PT.Mamuang, PT. Badhra Sukses), AAL telah merambah Sulawesi Tengah. Dimulai dengan PT. Lestari Tani Teladan (LTT) yang beroperasi dekat dengan anak-anak perusahaan AAL lain di Sulawesi Barat, kini Kabupaten Morowali dan Kabupaten Poso, dua daerah di mana konflik kekerasan bermasker agama dan suku pernah terjadi sejak 1998 hingga 2007, menjadi sasaran utama perusahaan ini. Anak-anak perusahaan AAL yang tercatat sudah mulai aktivitasnya adalah (1) PT.Agro Nusa Abadi (ANA) di wilayah Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali dan Kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso dengan areal seluas 19.675 hektar; (2) PT. Sawit Jaya Abadi (SJA) di Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali dengan areal seluas 18.273 hektar; (3) PT. Cipta Agro Nusantara (CAN) di Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali dengan areal seluas 10.013,5 hektar; (4) PT. Rimbunan Alam Sentosa (RAS) di Kecamatan Mori Atas dengan areal seluas 21.289 hektar. Di luar itu, masih ada PT. Sawit Indonesia (SI) yang sebelumnya sudah memperoleh areal seluas 13.127 hektar di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali dan PT. Surya Cemerlang Permai (SCP). Dengan ekspansi ke Sulawesi Tengah, PT. AAL, Tbk., akan melipat-gandakan posisinya sebagai salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia.
Raksasa lain yang melakukan ekspansi ke daerah ini adalah perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit di bawah bendera Sinar Mas Group, sebuah kerajaan bisnis yang di masa Orde Baru memiliki beberapa usaha bisnis berhubungan dengan keluarga besar Suharto, yang dikuasai keluarga konglomerat Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek Tjhong) (Aditjondro, 2006). Di bidang perkebunan perusahaan saat ini beroperasi melalu Golden Agri-Resources Ltd., perusahaan perkebunan kelapa sawit terintegrasi terbesar kedua di dunia yang berbasis di Singapura, dengan pendapatan bersih USD 1,4 miliar pada tahun 2008. Perusahaan memiliki puluhan perusahaan perkebunan kelapa sawit, pabrik pemrosesan CPO dan PK, hingga pabrik penyulingan CPO untuk barang-barang konsumsi dan industri seperti minyak goreng dan margarin. Di negeri ini, pada tahun 2008, perusahaan menguasai 392.000 hektar perkebunan kelapa sawit dan memproduksi CPO sebanyak 1.689.982 ton dan palm kernel 382.721 ton pertahun (Golden Agri-Resources, Ltd., 2008). Pada tahun 2008, Seperti juga anak-anak perusahaan PT. AAL Tbk., Sinar Mas Group juga menjadikan Kabupaten Morowali sebagai target utama ekspansinya. Perusahaan-perusahaan di grup ini yang sudah mengantongi izin lokasi hingga Mei 2009 meliputi (1) PT. Niaga Internusa dengan luas areal 17.000 hektar di Kecamatan Lembo; (2) PT. Kirana Sinar Gemilang dengan areal seluas 16.645 hektar di Kecamatan Lembo; (3) PT. Bahana Karya Semesta dengan areal seluas 9.253 hektar di Kecamatan Mori Atas; (4) PT. Nusamas Griya Lestari dengan areal seluas 20.000 hektar di Kecamatan Mori Atas; (5) PT. Primatama Kreasimas dengan areal seluas 9.224 hektar di Kecamatan Petasia dan 6.889 hektar di Kecamatan Soyo Jaya; (6) PT. Bahana Karya Semesta dengan areal seluas 10.420 hektar di Kecamatan Bumi Raya dan Kecamatan Witaponda.
Di luar itu, berkenaan dengan pelaksanaan Kota Terpadu Mandiri (KTM), sebuah program antar departemen dari pemerintah pusat untuk menyulap sebuah wilayah terkebelakang menjadi sebuah kota ‘baru dan modern’, di mana KTM Air Terang di Kabupaten Buol adalah salah satu diantaranya, dua perusahaan perkebunan kelapa sawit hendak hadir di wilayah itu menyusul PT.HIP yang sudah ada sebelumnya. Keduanya adalah PT. Buana Makmur Lestari yang memiliki rencana untuk membuka perkebunan kelapa sawit seluas 30.000 hektar (12.000 hektar kebun inti dan 18.000 hektar kebun plasma). Perusahaan lain bernaung di bawah bendera PT. Hadji Kalla Group yang akan berinvestasi di areal seluas 20.600 hektar. Untuk program ini, pemerintah juga sejak 2008 hingga 2011 hendak menempatkan 1.500 KK transmigran di areal sekitar 7.000 hektar.
Ada beberapa masalah menonjol telah dan akan muncul berkenaan dengan alokasi lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang memang rakus tanah. Pertama, penyerobotan lahan antar perusahaan tidak bisa dihindari menyusul ekspansi besar-besaran perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit itu. Di Desa Peleru Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali, areal seluas 24, 6101 hektar yang dikuasai PT. Nusamas Griya Lestari diserobot oleh PT. Rimbunan Alam Sentosa. Hal yang sama juga dialami oleh PT. Primatama Kreasimas, di mana lahannya seluas 366.3071 hektar di Desa Tontowea Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali telah diserobot oleh PT. Sawit Jaya Abadi. Kedua, nafsu besar pemerintah daerah untuk mengonversi hutan alam menjadi ‘hutan sawit.’ Ini sudah ditunjukkan oleh pemerintah daerah (Pemda) Morowali, di mana hingga Mei 2009, Pemda setempat telah menerbitkan 14 izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit. Bahkan usulan Bupati Morowali ke Gubernur Sulawesi Tengah untuk revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) tertanggal 7 Mei 2009 tampak sekali semangat untuk mengalihkan fungsi kawasan hutan di wilayah itu patut dicurigai sebagai semangat untuk “mensawitkan” Morowali. Dalam usulan itu, luas kawasan Hutan Alam dan Pelestarian Alam (CA) di Morowali yang saat ini mencapai 241.331 hektar diusulkan untuk dikurangi menjadi 152.249 hektar; Hutan Lindung 436.756 hektar dikurangi menjadi 285.180 hektar; Hutan Produksi Terbatas dari 238.177 hektar menjadi 267.722 hektar; Hutan Produksi Tetap dari 181.366 menjadi 127.843 dan; Areal Penggunaan Lain dari 417.266 hektar menjadi 743.118 hektar. Ketiga, meningkat dan meluasnya konflik-konflik pertanahan antara perusahaan dengan penduduk setempat, seperti yang akan ditunjukkan dalam tulisan ini. Terutama di dua wilayah bekas kerusuhan, yakni Poso dan Morowali, di mana masalah-masalah keperdataan (terutama tanah) yang muncul setelah konflik menyusul pengungsian penduduk yang mengikuti garis agama dan suku tidak terselesaikan sampai saat ini. Di antara masalah-masalah itu adalah jual beli tanah di bawah harga, pinjam meminjam lahan, dan penguasaan sepihak atas lahan-lahan pertanian.
Penulis adalah mahasiswa doktoral antropologi di York University, Canada.
Tulisan ini dipresentasikan dalam diskusi dengan aktivis-aktivis tanah dan lingkungan Sulawesi Tengah, 28 Agustus 2009 di Palu. Tulisan ini merupakan sebagian catatan lapangan dari laporan penelitian yang masih dalam proses penulisan.