Meratapi Hari Sumpah Pemuda
SATU setengah tahun lalu, di London School of Economics and Political Science, ada geger intelektual yang datang dari sebuah ceramah di kampus itu. Kampus yang lumayan ramai aliran itu, memang sering kali mengadakan kuliah umum yang memikat dan segar. Mengundang bicara para juru pikir kelas wahid, yang tak jarang meninggalkan kesan pikiran yang membekas lama se-antero Eropa.
Kali ini pikiran itu datang dari seorang sosiolog bernama Bryan S Turner, yang dikenal doyan meramu ide-ide Max Weber.
Bryan memprotes negeri Inggris, dengan apa yang disebutnya sebagai gejala historical decline dalam perkembangan ilmu sosialnya, terutama sosiologi.
Ia mempercayai sebagaimana Jay Rumney, ketika menulis British Sociology dalam kumpulan Twentieth Century Sociology, yang mengatakan: sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen tidaklah benar-benar berkembang secara mapan di Inggris, meskipun sebagai metode pendekatannya telah berumur cukup dan eksis sejak abad 18.
Alasan akan hal itu disebabkan fakta bahwa sosiologi secara esensial adalah sebuah produk dari perubahan sosial yang cepat melalui krisis sosial. Sementara, tanah England, bagi mereka adalah sebuah bangsa dimana stabilitas dan perubahan gradual selalu nongol menemani proyek reformasi dari evolusi sosial yang lamban. Jauh dari gejolak, krisis dan revolusi.
Tesis Turner atas dinamika sosiologi memang didasarkan atas kepercayaannya bahwa:
The growth of sociology as a critical theory and rise of public intellectuals are closely connected with political crisis that require a collective, dynamic response that amounts to a process of nation building.
Dasar berpikir seperti itulah yang membuat Turner selalu mengambil contoh negeri-negeri yang pernah mengalami krisis sosial. Krisis Hapsburg Empire di Hungaria, menurutnya, telah melahirkan para ilmuwan sosial.
Untuk menyebut di antaranya; Georg Lukacs, Karl Mannheim dan Istvan Meszaros. Atau mereka yang berasal dari belahan Timur Eropa, yang berikutnya menjadi pendorong berkembangnya sosiologi yakni Florian Znaniecki, Zygmund Baumann dan Maria Ossowska.
Sosiologi dalam pandangan seperti Turner, hanya akan berkembang dan bercorak bila ia tumbuh di masyarakat yang sedang mengalami guncangan serta problem sosial seperti Turki, India dan Cina. Kekuatan dan kelemahan yang terjadi dalam sosiologi di Inggris, baginya, pararel dengan budaya di Ingrris secara keseluruhan.
Turner menilai, sejarah kehidupan intelektual dan kehidupan ilmu sosial di Inggris di era post-war Britain, amatlah sangat bergantung pada intelektual imigran, terutama para intelektual Yahudi, yang kala itu mengungsi diakibatkan politik fasisme yang melanda Eropa.
Atau mereka yang berstatus sebagai eksil politik yang amat sensitif dan peduli terhadap isu post-kolonialisme Inggris dan permasalahan ras. Orang-orang itu adalah C.L.R. James, V.S. Naipul, John Rex, Stuart Hall dan Paul Gilroy.
Sementara, para New Left Review intelektual seperti Perry Anderson, Tom Nairn, Juliet Mitchell, George Orwell adalah mereka yang menurut Turner, telah turut memperhatikan perkembangan sosiologi dan kehidupan ilmu sosial di Inggris dengan menolak keras kolonialisme dan konservatisme Inggris.
Lantas, bagaimana kira-kira kalau kita bawa pulang teori Bryan Turner tersebut ke tanah air kita Indonesia? Negeri dengan kumpulan krisis dan gejolak yang selalu datang susul menyusul. Rasanya, sebagai bangsa, kita hampir merasakan segala kepedihan. Mulai dari kolonialisme yang datang dari luar, hingga yang bersumber dari rezim di dalam bangsa sendiri.
Tanpa bermaksud menyederhanakan apa yang sudah dibuat oleh ilmuwan, kita ingin bertanya apa yang sesungguhnya terjadi? Ilmuwan sosial kita tak kunjung datang. Kosong. Sementara sosiologi tak pernah mampu menyentuh dan menerka perasaan masyarakat yang terdalam, meski laboratorium kasus terserak demikian rupa. Teori Bryan S Turner kurang berlaku disini.
Yang justru sering bekerja secara kecil-kecilan menjadi sosiolog adalah wartawan. Tentu dengan segala kekurangannya. Tugas membuatnya memiliki keintiman dengan masyarakat. Mewartakan hal-hal mutakhir seputar identitas dan distribusi yang digumuli rakyat. Itu sebelum wartawan kemudian juga ikut-ikutan terlelap menjadi elitis dengan hanya menjadi penulis gosip elite-elite politik. Mereka makin doyan memaknai politik hanya sebagai manuver aktor-aktor dan kasak-kusuk dan bukan mempersoalkan kualitas public policy making.
Ilmu sosial perlu segera dibangunkan untuk memberitahu masyarakat bahwa bangsa ini akan terus berkepayahan, bahkan menyemai konflik jika identitas terus menerus mengalami pengerasan, sementara distribusi sebagai cara orang membagi sumber daya ekonomi dibiarkan timpang berkelanjutan.
Jika ada daerah yang bertanya kepada para pemikir sosial, mengapa hari ini kita perlu dan harus bersatu dalam bingkai NKRI dan atas dasar apa itu penting?
Menurut saya pertanyaan yang legitimate ini akan sulit sekali diberikan jawabannya.
Kalau Anda mencari jawabannya di koran-koran atau televisi, Anda pasti kesulitan. Karena hari ini alih-alih merajut persamaan nasib dan isu, mereka malah mempertontonkan persamaan kebanggaan atas benda-benda dan pameran karir politik. Seolah-olah lupa bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta dan Jawa. Atau bukan hanya tentang pemenang pemilu.
Berita-berita itu kebanyakan tak ada urusannya dengan kita yang masih sahih dalam peta NKRI! Kita di Alor, di Mentawai, Karimata, Sangihe Talaud, Dobu, dll.
Kalau sudah begini, kita boleh percaya, kesatuan tanpa keadilan hanya menjadi istilah yang cenderung menindas!
NKRI hanya sebuah dongeng yang akan terus dibayangkan oleh para intelektual dan ilmu sosial.
Bayangan itu hari ini terlihat makin kabur dan absurd oleh selera rendah mereka yang merasa menjadi penjaganya.
Selamat Hari Sumpah Pemuda. Bersumpah atas apa dan untuk siapa?***
Hertasning Ichlas, editor di http://www.adilnews.com. Artikel ini ditulis pertama kali akhir 2005 (sudah dibedakin), dan dimuat di http://www.facebook.com/profile.php?id=715272838#/profile.php?id=715272838&v=info. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.