SEJAK krisis ekonomi melanda dunia pada pertengahan 2008, belum tampak tanda-tanda bahwa ekonomi dunia pulih seperti semula. Sepertinya, tidak ada satu formula tunggal yang bisa disepakati bersama untuk menangani krisis, yang disebabkan oleh meletusnya gelembung spekulasi keungan di sektor properti.
Berlarut-larutnya proses pemulihan krisis ini, menandakan bahwa faktor produksi dan hubungan produksi ekonomi semakin kompleks dari segi ruang dan waktu. Untuk mengetahui bagaimana kompleksitas itu terjadi dan apa dampaknya bagi gerakan progresif, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, berbincang-bincang dengan Sonny Mumbunan, kandidat doktor ekonomi di Universitas Leipzig, Jerman. Berikut petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Apa beda antara krisis ekonomi 1930-an yang dikenal dengan nama Depresi Ekonomi dengan krisis ekonomi saat ini?
Sonny Mumbunan (SM): Tampilan makro kedua krisis ekonomi itu berbagi beberapa kemiripan umum. Mirip yang kita baca dalam berita media massa. Sebut saja pengangguran meningkat tajam, harga naik, ekspor dan perdagangan internasional turun, bank bangkrut, atau negara yang terpaksa jadi tukang talang. Termasuk pasar modal yang goyah, meski yang ini pemicunya bisa mengambil saluran berbeda — dulu pasar saham, sekarang pasar kredit perumahan. Perbedaan mendasar juga ada. Dulu, ada Perang Dunia I sebelum Depresi 1930. Depresi ini gilirannya turut mendorong kebangkitan fasisme dan Perang Dunia II.
Penyebaran krisis bisa juga berbeda. Ambil contoh Minahasa, satu daerah yang paling terintegrasi dalam sistem produksi kolonial dan pasar global. Tahun 1934, nilai kopra daerah ini tinggal sekitar 20 persen ketimbang nilai sebelum masa depresi. Minahasa dihajar krisis gara-gara, antara lain, bergantung pada satu komoditi, produksi berorientasi pasar dunia, dan bisa ekspor langsung ke pantai barat AS, yang kena depresi. Kalau saat ini, krisis punya efek berbeda bagi Minahasa.“
Kendati merembet, krisis yang terjadi paska Depresi 1930 juga tidak merata dan berdasar kawasan. Krisis di Amerika Latin terjadi tahun 1980an, krisis di Asia akhir 1990an. Mungkin tergantung perkembangan ekonomi-politik sebuah kawasan. Krisis di Indonesia saat ini “belum terasa“. APBN SBY-Kalla juga surplus. Meski program-program yang memompa konsumsi dan permintaan, seperti BLT, diperhebat. Barangkali ini juga terkait strategi elektoral pemilu barusan.
Kemungkinan krisis di tanah air saat ini sebaiknya juga merujuk pengalaman historis krisis 1997. Dulu kan sektor properti kalau bikin mall pakai biaya sendiri, termasuk utang. Sekarang, biayanya dibagi antara pengembang dan calon pembeli. Jadi kalau dilanda krisis lagi, responnya relatif berbeda. Ini tentu tidak berarti bahwa krisis di Indonesia tidak mungkin terjadi.
IP: Ada yang berpendapat, ketika terjadi depresi 1930an, walau krisis dipicu oleh keruntuhan pasar saham, tapi sesungguhnya sektor ekonomi yang dominan adalah sektor manufaktur (sektor riil). Sementara, krisis saat ini memang dipicu oleh krisis di pasar perumahan, tapi sektor yang dominan adalah sektor finansial. Tanggapan anda?
SM: Ini juga salah satu tanda pembeda dari kedua krisis tersebut. Terutama sejak 1980an, memang terjadi finansialisasi modal dalam perekonomian. Kecenderungan ini barangkali turut difasilitasi liberalisasi dan deregulasi perekonomian dunia yang dimulai pada masa itu. Pada tingkat tertentu, pasar keuangan jadinya lebih mirip sebuah “casino,” seperti diistilahkan John Maynard Keynes. Aktivitas sektor keuangan mulai terlepas dan tidak menggambarkan produktifitas sosial di sektor riil.
IP: Dari segi hubungan buruh-kapital, Depresi 1930an ditandai oleh perlawanan buruh terorganisir yang sangat kuat, yang bisa memaksa pemerintahan Roosevelt memberlakukan kebijakan kompromistis seperti New Deal. Tetapi, krisis saat ini tidak menghasilkan perlawanan buruh yang besar, dan tidak ada kebijakan yang kompromistis dari, katakanlah pemerintahan Obama. Apakah hal itu diakibatkan oleh, salah satunya, finansialisasi modal dalam perekonomian?
SM: Saya kira, ilmuwan politik atau pemerhati politik punya analisa lebih lengkap dan lebih cerdas soal ini, terutama soal dinamika gerakan buruh di AS dulu dan sekarang, ketimbang saya.
Komentar yang bisa saya berikan sangat terbatas, dan sebaiknya dibaca demikian. Pertama, walaupun program itu tidak sebesar New Deal dan minus tekanan massa, program-program stimulus ekonomi Obama bisa juga dilihat sebagai mengandung dimensi kompromistis. Disamping sebagai agenda agar krisis ekonomi tidak meluas, secara tidak langsung mungkin ada semacam akomodasi Keynesian di program-program Obama, supaya krisis ekonomi tidak memicu konflik sosial. Tergantung di mana kita melihatnya. Menarik juga adalah bahwa di kedua krisis tersebut presiden dari Partai Republik diganti oleh kandidat dari Partai Demokrat yang punya program ekonomi lebih progresif macam redistribusi pendapatan, atau andil negara untuk berperan lebih besar — Hoover diganti oleh Roosevelt, Bush oleh Obama. Pilihan presiden ini mungkin menyiratkan preferensi politik massa yang relatif mirip di saat krisis, meskipun tuntutan akan program ekonomi dan jaminan sosial yang lebih progresif di tiap-tiap krisis tersebut sebaiknya tetap dilihat dalam kekhususan konteks historisnya. Tadi, misalnya, saya menyebut Depresi 1930 yang ditemani Perang Dunia, baik sebelum dan sesudah.
Kedua, tentang ekonomi dan relasi produksi. Saya sendiri melihat perekonomian sebagai kumpulan beberapa lokus. Gampangnya begini deh, bayangkan sebuah tempayan yang dijejali beberapa mangkuk sampai mampat. Nah lokus-lokus itu mangkuk dalam tempayan ekonomi. Ada lokus produksi, lokus konsumsi, lokus keuangan, untuk menyebut beberapa yang relevan. Meski kelihatan terpisah-pisah, dan punya kecenderungannya masing-masing, lokus-lokus ini terkait dan berkelindan secara hidup. Di lokus produksi, ada penentuan tingkat upah, kontestasi kepemilikan hasil produksi, ada insentif dan kontrol, dan seterusnya, termasuk hubungan buruh-kapital yang anda sebut itu. Di lokus permintaan, misalnya, bagaimana konsumsi barang, kelebihan produksi tapi juga barang yang nggak laku, dan lain-lain. Sementara di lokus keuangan, kita menemukan misalnya pembentukan modal baru, atau proses finansialisasi.
Secara teoretis, sejauh pengetahuan saya, saya belum melihat ada satu teori besar ilmu ekonomi yang secara memadai dapat menjelaskan dinamika semua lokus itu secara serentak. Sekali lagi, ini pendapat saya pribadi. Saya cenderung melihat kemungkinan penjelasan ekonomi makro secara agak ekletik dan lebih heterodoks. Maksud saya begini. Ricardo, Marx, juga Coase mungkin memuaskan menjelaskan lokus produksi, tapi Keynes, Kalecki, atau Veblen, misalnya, bisa jadi lebih meyakinkan di lokus konsumsi. Sementara, Minsky, Roubini atau para behavioral economists bisa jadi punya sesuatu yang pantas didengar saat mempercakapkan lokus keuangan.
Apa yang barusan saya sebut ini terkait dengan teori-teori yang memandang adanya kecenderungan krisis dalam diri perekonomian kapitalistik. Mereka berbeda mendasar dengan teori-teori yang kurang, atau tidak, melihat adanya kecenderungan seperti itu dalam kapitalisme, bahwa misalnya “pasar” punya mekanisme koreksi-diri, seperti teori-teori neoklasik, efisiensi pasar, atau monetaris, yang di masa krisis seperti sekarang berada dalam posisi terpojok. Di sana ada nama-nama macam Lukas, Friedman, atau Prescott. Ini adalah teori-teori yang diajarkan di fakultas ekonomi di seluruh Indonesia, bersamaan dengan teori Keynesian yang dibahas dengan pelit.
Sementara kaitan antara relasi buruh-kapital dan finansialisasi, terlihat lebih jelas terutama dalam relasi lokus produksi dan keuangan. Finansialisasi pasar perumahan, yang nyata dalam kasus sub-prime mortgage di AS dalam krisis kali ini, membuat warga miskin atau berpendapatan rendah harus disita rumahnya, atau nilai rumahnya merosot drastis. Nilai surat berharga (sekuritas), yang di back-up hipotik rumah itu, jadi turun, dan bank-bank yang punya sekuritas itu pada rontok.
Meski sektor perumahan ini adalah sektor krisis yang utama, akumulasi dan transmisi krisis agak kompleks karena kini terkait dengan dinamika pasar keuangan yang juga dominan. Sudah tentu, efeknya merembet ke lokus konsumsi, serta ke perekonomian dunia, terutama karena AS adalah tujuan utama ekspor banyak negara. Pengangguran meningkat, karena permintaan akan produksi turun. Dan seterusnya. Buruh, baik yang kerahnya putih atau biru, kena dampak krisis. Walaupun finansialisasi ekonomi semakin memisahkan pasar keuangan yang spekulatif dengan sektor riil yang produktif, dampak krisis tetap saja ke sektor riil.
Mengapa buruh tidak melawan, seperti respon kolega mereka saat Depresi 1930? Saya tidak tahu jawaban pastinya. Dugaan saya, di satu segi, meski efek krisis adalah nyata, seperti PHK, kompleksitas akibat finansialisasi modal, bisa (juga tidak) menyumbang dalam hal ini.
Tetapi, di segi yang lain, hemat saya, terjadi atau tidaknya perlawanan sosial, dipengaruhi tidak sedikit hal. Semisal pembentukan preferensi kolektif dan sejarah aksi-aksi kolektif di AS. Sekedar sebuah perspektif, Barrington Moore menulis karya menarik tentang “obedience and revolt”, tentang mengapa buruh Jerman melawan dan tidak, meski berada dalam krisis seperti Depresi 1930. Menyebut ini, mereka yang menggunakan kacamata analitik pendekatan kelas secara kaku mungkin akan mencibir saya sebagai “psikolog sosial”.
Di sini, terdapat juga catatan untuk kalangan yang menggunakan pendekatan finansialisasi modal dalam menjelaskan krisis. Sepertinya titikberat analisa kalangan ini ada pada aspek “objektif”, bahwa akumulasi modal berujung pada krisis, finansialisasi modal adalah “jalan keluar” dari krisis akumulasi tersebut, dan finansialisasi modal memicu krisis. Walaupun bisa menyediakan landasan struktural bagi krisis ekonomi, finansialisasi modal tidak serta merta menciptakan krisis ekonomi. Saya kira terdapat hal-hal “subjektif” lain. Misalnya, “irasionalitas” pelaku di pasar modal, seperti antara lain tampak dalam perilaku kawanan (herd behavior), yang memicu krisis.
IP: Tidak adanya satu penjelasan tunggal terhadap krisis saat ini, serta dinamika hubungan buruh-kapital yang berbeda dengan masa Depresi, apa dampaknya bagi pembangunan gerakan progresif di Indonesia?
SM: Pertanyaan ini bukan gampang dan saya cuma punya sketsa-sketsa acak berikut terkait krisis dunia dan Indonesia. Pertama, finansialisasi modal sudah berlangsung sejak 1980an, jadi meskipun efek globalnya lebih dalam, krisis kali ini saya kira mestinya tidak dilihat jadi luar biasa atau benar-benar berbeda ketimbang krisis di Mexico 1994, Argentina 2000, atau Indonesia 1997. Krisis di AS hanya penanda dari balon spekulasi berbasis utang yang meletus. Balonnya kan nggak tiba-tiba jadi besar lalu meletus.
Kita tentu masih menunggu, seperti apa efek yang dramatis dari krisis global ini di Indonesia, terutama karena respon perekonomian Indonesia atas krisis ini sangat dipengaruhi penyesuaiannya atas krisis 1997. Krisis juga berperan fasilitator, tapi dinamika sosial-politik ditentukan kondisi tiap-tiap negara-negara tersebut. Di sini, saya kira, SBY-Boediono, sangat riskan andai mencabut subsidi BBM di masa-masa ini.
Kedua, finansialisasi di Indonesia telah berlangsung sebelum krisis di AS. Seperti yang sering dikeluhkan saat ini, pemberian kredit perbankan di Indonesia akhir-akhir ini lebih mengacu pada sektor yang memberi untung, termasuk surat berharga yang spekulatif, riskan dan tidak produktif, ketimbang menyalurkan kredit ke sektor riil. Karena krisis kali ini merembet ke perekonomian secara umum, maka secara intuitif pengaruhnya bakal terasa pada kemampuan sektor rill menciptakan kerja dan mendorong permintaan. Untuk sektor properti, Indonesia punya problematika yang sangat berbeda dengan di AS. Efek krisis atas sektor non-finansial tertentu, seperti manufaktur dan pertanian, saya kira tetap terkait tingkat integrasi ekonomi Indonesia dalam perdagangan dunia. Kita juga ingat bahwa upaya-upaya seperti subkontraksi produksi, fleksibilitas pasar kerja, atau liberalisasi impor sudah dimulai sebelum krisis. Ini semua tantangan bagi serikat-serikat pekerja, karena efek krisis menjadi tidak merata secara sektoral, serta di sisi lain “kompetisi” antar pekerja jadi lebih tinggi dan solidaritas kolektif jadi lebih sulit dibangun.
Meskipun beberapa hal di atas, jangan lupa bahwa finansialiasi tetaplah berangkat dari persoalan yang ada di sektor riil. Kemandekan ekonomi di sektor riil, terutama gara-gara keterbatasan merealisasikan profit, yang menjelaskan tumbuh-berkembangnya sektor spekulatif, mengapa sektor keuangan menjauh dari peran pendanaan usaha tambahan bagi sektor riil. Ringkasnya, semakin payah sektor riil, semakin riskan sektor spekulatif. Dan sektor riil selalu terkait kerja dan realisasi kerja. Kalau ini mandek, ya ekonomi produktif juga mandek, dan balon sektor spekulatif tinggal tunggu meletus. Di mana-mana tidak ada perekonomian bisa dibangun tanpa kerja, dan dari utang.
Kemiskinan, ketimpangan pendapatan, ketiadaan akses masal atas kesehatan dan pendidikan, bikin sektor riil payah. Dan perekonomian yang berkelanjutan tidak bisa dibangun di atas kekuatan produktif payah semacam itu. Ekonomi dan politik progresif saya kira tetap tidak bisa berpaling dari soal-soal struktural beginian. Hal-hal itu tetap penting, walaupun tampilan krisis dan transmisinya jadi seperti lebih kompleks. Meskipun ekletik, hampir semua spektrum teoretis menerima proposisi-proposisi ini — sektor riil dan kapasitas produktif — walaupun dalam penjelasan yang berbeda-beda. Ini juga relevan di Indonesia terutama lantaran negara kaya-raya ini separuh rakyatnya miskin dan industrialisasinya terbelakang. Dalam hal ini, ekonomi dan politik yang progresif perlu juga memikirkan, bagaimana negara berupaya keras memobilisasi sumberdayanya dengan efektif, dan efisien secara sosial, dalam menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya
Dalam keberagaman pendekatan teoretis, saya juga berharap bahwa pokok kapitalisme didekati secara lebih dinamis. Contohnya, relasi kekuasaan juga mengambil bentuk ruang, bukan sekedar sektoral ala manufaktur. Penyusunan APBD secara partisipatoris di Brazil, misalnya, bisa barangkali jadi tempat belajar bukan saja karena ia memudahkan inklusi sosial tapi juga potensinya mendorong demokratisasi lebih dalam.***